Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Fazlines
"Latar belakang : Peningkatan prevalensi penyakit arteri perifer (PAP) sejalan dengan peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Strategi pencegahan komplikasi salah satunya berfokus pada pengendalian faktor risiko dan deteksi dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan PAP pada pasien DMT2 di tingkat layanan kesehatan primer.
Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DMT2 berusia 20-65 tahun yang berobat di sepuluh Puskesmas DKI Jakarta pada bulan Agustus 2020 – Juni 2021. Pasien yang dapat dilakukan pemeriksaan ABI dengan menggunakan USG doppler handheld pada salah satu atau kedua tungkai, dengan atau tanpa riwayat PAP sebelumnya, akan dimasukkan sebagai subjek penelitian dan dilakukan pencatatan data dasar usia, jenis kelamin, durasi penyakit diabetes, tekanan darah, kadar kolesterol total, K-HDL, K-LDL dan trigliserida serta riwayat merokok, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan lingkar pinggang. Dianggap PAP bila nilai ABI £0,9 atau >1,3 pada masing-masing tungkai.
Hasil : Dari 188 pasien DMT2 yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 27 (14,4%) pasien mengalami komplikasi PAP dan 24 pasien diantaranya adalah perempuan. Proporsi masing-masing untuk PAP ringan, sedang dan berat adalah 56%, 18% dan 26%. Analisis bivariat menunjukkan perempuan 3-4 kali lebih berisiko mendapatkan PAP (IK 95% 1,099-13,253, p=0,024), sementara usia, durasi diabetes, dislipidemia, hipertensi, obesitas, obesitas sentral dan merokok tidak dijumpai adanya perbedaan signifikan. Namun, setelah disesuaikan dengan durasi diabetes dan merokok pada analisis regresi logistik, jenis kelamin perempuan menunjukkan hasil tidak signifikan.
Simpulan : Tidak dijumpai adanya hubungan bermakna antara usia ≥50 tahun, jenis kelamin perempuan, durasi diabetes ≥10 tahun, hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok, obesitas dan obesitas sentral terhadap PAP pada pasien DMT2.

Background: The increasing prevalence of peripheral arterial disease (PAD) is in line with that of type 2 diabetes mellitus (T2DM). To prevent diabetes complications needs focuses on controlling risk factors and early detection. The aims of the study were to determine the prevalence and predictors of PAD in diabetic patients at the primary care setting.
Method: A cross sectional study of 188 diabetic patients aged 20-65 years old who attended ten community health centers in Jakarta from August 2020 until June 2021. Patients were performed for ABI using handheld doppler ultrasound on one or both limbs, with or without a previous history of PAD, were included. Baseline data such as age, gender, duration of diabetes, blood pressure, total cholesterol levels, c-HDL levels, c-LDL levels, triglyceride levels, smoking history, weight, height, body mass index and waist circumference were recorded. PAD was defined as the ABI value £0.9 or >1.3 in each limb.
Result: Of the 188 T2DM patients who met the inclusion criteria, 27 (14.4%) patients experienced PAD and 24 of them were female. The proportions for mild, moderate and severe PAD were 56%, 18% and 26%, respectively. Bivariate analysis showed that female were 3-4 times at risk of PAP (95% CI 1.099-13.253, p=0.024), while there were no significant differences in age, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity and smoking. However, after adjusting for duration of diabetes and smoking in logistic regression analysis, female had no statistically significant.
Conclusion: No significant relationship was found among age, gender, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity, smoking and PAP in T2DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
H.R.K. Herry Nursetiyanto
"Daya tahanan terhadap stres lethalakan meningkat dengan adanya induksi HSP oleh stres sublethal. Mekanisme serupa dapat terjadi pada puasa Ramadhan (puasa intermiten). HSP70 intraselular adalah salah satu protein yang diinduksi oleh stres dan bertindak sebagai pelindung sel. Respon HSP juga menunjukkan perilaku yang sama ketika menghadapi stres, seperti kekurangan glukosa dan infeksi atau peradangan. Fungsi serum HSP72 in vivo tergantung pada kondisi organisme.HSP72 memfasilitasi sistem kekebalan tubuh ketika dilepaskan ke dalam sirkulasi darah organisme yang sehat, sementara pada organisme dengan penyakit kronis, serum HSP72 dapat memperburuk kondisi penyakit inflamasi kronis tersebut.Penelitian ini ingin mengetahui adakah penurunan kadar serum HSP70 &faktor apa saja yang memengaruhi perubahan kadar HSP70 serum pada penyandang DMTipe-2 yang berpuasa > 21 hari di bulan Ramadhan.Studi Quasi experimental one group before and after inidiawali dengan melakukan edukasi asupan makanan selama berpuasa di bulan Ramadhan, pengumpulan data klinis dan laboratorium kepada 37 subjek penyandang DM Tipe-2,1 minggu sebelum &hari ke 21 bulan Ramadhan. Didapatkan penurunan bermakna pada IMT, GD puasa dan kadar serum HSP70 pada minggu ke 3 dibandingkan minggu ke-1 (sebelum berpuasa Ramadhan). Lingkar pinggang perempuan pada minggu -1 berhubungan bermakna dengan penurunan kadar HSP70.Terdapat penurunan bermakna kadar serum HSP70 pada peyandang DM Tipe-2 yang berpuasa > 21 hari di bulan Ramadhan. Lingkar pinggang perempuan yang berpuasa> 21 hari di bulan Ramadhan berpengaruh terhadap penurunan kadar HSP70.

Resistance to lethal stress will increase with the induction of the HSP by sublethal stress. A similar mechanism may occur in the Ramadan fasting (intermittent fasting ). HSP70 is one of the proteins that are induced by stress and acts as a cell protector. HSP response also exhibit the same behavior when faced with stressors such as glucose deprivation and infection or inflammation. Serum HSP72 function in vivo depends on the circumstances of each organism. HSP72 facilitates the body's immune system when it is released into the circulation in a healthy organism, while the organism with a chronic disease, serum HSP72 can exacerbate chronic inflammatory disease state. The aim of this study is to determine whether there is a decrease in serum levels of HSP70 & what factors influence the change in serum HSP70 levels in people with T2DM who fasted for > 21 days in the month of Ramadan.This Quasi experimental one group before and after study performed data collection from 37 T2DM subjects and education on dietary intake during fasting in Ramadan on 1 week before and day 21st of Ramadan month. From the 37 subjects examined , found a significant decrease in BMI , FBG & serum HSP70 at week 3 than at week 1 before the fasting of Ramadan. Waist circumference of women at 1 week before Ramadan fasting significantly associated with decreased levels of HSP70.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zamrina Adilafatma
"Latar Belakang. Peningkatan kasus diabetes melitus (DM) secara global disertai denganmeningkatnya tren onset DM pada populasi dewasa muda. Sebagian besar DM pada usia muda tidak terdiagnosis dan memiliki risiko paparan komplikasi kronis yang lebih panjang. Khususnya di Indonesia, belum banyak data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan DM pada populasi usia muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan DM pada populasi usia muda di Indonesia.
Metode. Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang, dengan komponen deskriptif dan analitik pada subjek penelitian berusia 18-40 tahun. Analisis data sekunder dari registrasi data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Dilakukan pencatatan faktorfaktor yang berhubungan dengan DM, antara lain usia, jenis kelamin, indeks masa tubuh (IMT), obesitas sentral, dislipidemia, inaktivitas fisik, pola diet tidak sehat, kebiasaan merokok, hipertensi, area tempat tinggal, dan tingkat pendidikan. Analisis berdasarkan bobot (weights) dan PSU (primary sampling unit). Analisis bivariat dilanjutkan analisis multivariat pada variabel dengan p<0,25. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dengan metode backward stepwise sampai didapatkan model akhir dengan p<0,05.
Hasil. Sebanyak 11.401 subjek usia 18-40 tahun masuk dalam penelitian ini dengan 62,7% subjek adalah perempuan. Prevalensi DM pada subjek penelitian adalah 12,8%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan DM pada populasi usia muda adalah hipertensi (OR=1,253; IK 95% 1,078-1,455), dislipidemia (OR=1,306; IK 95% 1,135-1,502), perokok aktif (OR=1,338; IK 95% 1,141-1,569), usia >33 tahun (OR=1,229; IK 95% 1,065-1,417) dan tempat tinggal perkotaan (OR=1,342; IK 95% 1,156-1,558).
Kesimpulan : Faktor hipertensi, area tempat tinggal perkotaan, dislipidemia, perokok aktif, dan usia 33-40 tahun berhubungan dengan DM pada populasi usia muda di Indonesia.

Background. The increasing number of diabetes mellitus (DM) cases globally was in line with the increasing number of DM in the young adult population. Most of DM cases at a young age were underdiagnosed yet have a longer risk of exposure to chronic complications. There was not much data regarding factors associated with DM in the young age population, especially in Indonesia. This study aimed to determine the factors associated with DM in the young adult population in Indonesia.
Methods. This was a cross-sectional observational study, with descriptive and analytic components. We analysed study subjects who were 18-40 years old and were registered in the secondary data of the 2018 Indonesian Basic Health Research (Riskesdas). Data according to factors associated with DM in young age population was recorded and analysed (age, gender, body mass index, central obesity, dyslipidaemia, physical inactivity, unhealthy diet patterns, smoking habit, hypertension, residential area, and education level), along with analysing weights and primary sampling unit (PSU). Bivariate followed by multivariate analysis on variables with p<0.25 was performed. Multivariate analysis used logistic regression with the backward stepwise method until the final model was obtained with p <0.05.
Results. A total of 11,401 subjects aged 18-40 years were included in this study with 62.7% subjects were female. The prevalence of DM in this study was 12.8%. Factors independently associated with DM in young adults were hypertension (OR=1.253; 95% CI 1.078-1.455), dyslipidaemia (OR=1.306; 95% CI 1.135-1.502), active smokers (OR=1.338; 95% CI 1.141-1.569), age 33-40 years (OR=1.229; 95% CI 1.065-1.417) and urban residential area (OR=1.342; 95% CI 1.156-1.558).
Conclusion. Factors hypertension, urban living area, dyslipidaemia, active smokers, and age 33-40 years groups are independently associated with DM in young adult population in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Sadhyo Prabhasworo
"Latar Belakang Diabetes melitus dapat menyebabkan gangguan sistem saraf otonom (SSO) yang disebut sebagai neuropati otonom diabetik. SSO mengendalikan banyak sistem organ dan salah satu gangguannya dapat bermanifestasi sebagai disfungsi ereksi (DE). Prevalensi DE dan neuropati otonom diabetik di dunia masih beragam dan hubungan keduanya masih memiliki hasil yang bervariasi. Dengan deteksi dini neuropati otonom diabetik diharapakan dapat turut mendeteksi DE dan mencegah progresifitas DE menjadi lebih berat. Terdapat pilihan skrining untuk mendeteksi neuropati otonom salah satunya dengan Survey of Autonomic Symptom (SAS) dan pemeriksaan variabilitas detak jantung (HRV)
Tujuan Mengetahui proporsi dan hubungan antara neuropati otonom dengan disfungsi ereksi pada DMT2 yang dinilai dengan kuesioner SAS dan pemeriksaan HRV
Metode Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dari 86 pasien DMT2 di Poliklinik Metabolik Endokrin RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sejak Agustus 2021 hingga November 2021. Pasien dilakukan wawancara dengan kuesioner SAS, IIEF-5, dan Pemeriksaan HRV. Dilakukan analisis multivariat untuk menilai hubungan variabel bebas dan terikat setelah dikontrol dengan variabel-variabel perancu yang berhubungan.
Hasil Pada penelitian ini didapatkan proporsi pasien DE pada DMT2 sebanyak 59,3%. Proporsi pasien neuropati otonom yang dinilai dengan HRV sebanyak 94,3% dan neuropati otonom yang dinilai dengan kuesioner SAS sebanyak 41,9%. Terdapat hubungan secara statistik bermakna setelah dilakukan analisis multivariat antara neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS dengan DE (adjusted OR 18,1 [IK95% 3,90-84.33]). Pemeriksaan HRV dalam penelitian ini tidak menunjukan hubungan yang signifikan secara statistik dengan DE.
Kesimpulan Proporsi pasien dengan neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS didapatkan sebesar lebih dari 40% dan yang dinilai dengan HRV lebih dari 90%. Terdapat hubungan yang secara statistik bermakna antara neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS dengan DE.

Background Diabetes mellitus (DM) affecting the autonomic nervous system known as diabetic autonomic neuropathy (DAN), which controls many organ systems and can manifest as erectile dysfunction (ED). The range of ED and DAN prevalence has been found to vary widely depending on the baseline comorbidities in the population of the subject studied. Autonomic neuropathy is still rarely studied and its relationship with erectile dysfunction needs to be explored whether the two variables are related. By early detection of autonomic neuropathy, it is hoped that can help detect ED and prevent the progression more severe. There are screening options to see autonomic neuropathy: survey of Autonomic Symptoms (SAS) questionnaire and Heart rate variability (HRV) test.
Objective To determine the proportion and relationship between diabetic autonomic neuropathy and erectile dysfunction in Type 2 DM using SAS questionnaire and HRV examination
Methods Cross-sectional study of 86 type 2 DM patients at the Metabolic Endocrine Polyclinic, dr. Cipto Mangunkusumo from August 2021 to November 2021. Patients were interviewed with the IIEF-5 questionnaire, SAS and HRV examination. Multivariate analysis with logistic regression analysis was performed to assess the relationship between diabetic autonomic neuropathy with ED in the type 2 DM population.
Results In this study, the proportion diabetic autonomic neuropathy in Type 2 DM was 41.9% with SAS questionnaire and 94,3% with HRV, and Proportion of ED was 59.3%. The proportion of autonomic neuropathy who had ED was 91.7% with SAS and 69,7% with HRV. There was a statistically significant relationship between diabetic autonomic neuropathy use SAS and ED (adjusted OR 18.1 [95% CI 3.90-84.33]). HRV examination did not show an association with ED in this study.
Conclusion More than half of the subjects had erectile dysfunction and almost all of the patients with diabetic autonomic neuropathy had erectile dysfunction. There is a statistically significant relationship between diabetic autonomic neuropathy using SAS questionnaire and ED.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Garry Anthony
"Menurut Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan otoritas penerbangan Indonesia,pilot DM yang mendapat terapi insulin dianggap tidak layak terbang karena risiko hipoglikemia. Beberapa negara seperti Kanada, Inggris, Irlandia, Austria, dan Amerika Serikat memberikan sertifikasi aeromedis pilot tersebut. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah meninjau risiko hipoglikemiapada pilot DM yang diterapi insulin.Pencarian literatur dilakukan melalui Cochrane, PubMed, Scopus dan Ingentaconnect. Kriteria inklusi adalah studi pada pilot sipil dengan DM yang diterapi insulin dalam bentuk studi case report studies, case series, systematic reviews, case controls, cohorts, and randomized control trials. Literatur dinilai secara kritis menggunakan kriteria Oxford Center for Evidence-based Medicine.Terdapat 2 literatur sesuai kriteria inklusi.Studi kohort oleh Mitchell, dkk (2017) menunjukkan tidakada perubahan signifikan kadarglukosa darah pada pilot DM dengan insulin sebelum dan sesudah mendapat sertifikasi aeromedis,studi kasus-kontrol oleh Mills, dkk (2017) menyatakan pilot DM dengan insulin yang diberikan sertifikasi aeromedis tidak signifikan menjadi penyebab kecelakaanpesawat.Hasil studi terdapat risiko inkapasitasi pada pilot DM yang diterapiinsulin karena efek samping hipoglikemianamun risiko dapat dihindari dengan menerapkan protokol khusus seperti pemeriksaan kesehatan berkala oleh dokter spesialis penyakit dalam dan pemeriksaan glukosa darah sebelum dan selama menerbangkan pesawat.

According to International Civil Aviation Organization and Indonetian national aviation authorities, diabeticpilots withinsulin are considered unfit due to risk of hypoglycemia. Several countries such as Canada, UK, Ireland, Austria, and the US provide aeromedical certification to these pilots. The purpose of this evidence-based case report is to review the risk of hypoglycemia in insulin-treated DM pilots.Literature search was conducted through Cochrane, PubMed, Scopus and Ingentaconnect. Inclusion criteria were studies of insulin treated diabetic civilian pilots in the form of case report, case series, systematic reviews, case controls, cohorts, and randomized control trials. Literature is critically appraised using Oxford Center for Evidence-based Medicine criteria.Twoliterature selected according to the inclusion criteria. Cohort study by Mitchell, et al (2017) showed no significant changes inblood glucose levels before and after receiving aeromedical certification, case-control study by Mills, et al (2017) stated that diabetic pilots with insulin who were given aeromedical certification were not the cause of aircraft accidents.Study results show there arisk of incapacitation in insulin-treated DM pilots because of hypoglycemia, risk can be avoided by implementing special protocols such as periodic medical examinations by internal medicine specialists and blood glucose checks before and during flight."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Ivan Diandy
"Bukti-bukti ilmiah pada pilihan obat golongan inhibitor enzim pengonversi angiotensin (ACEI) dan angiotensin II receptor blockers (ARB) terhadap perkembangan nefropati pada pasien diabetes masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek renoprotektif dan keamanan dari obat-obatan ini pada pasien penyakit ginjal diabetik. Penelitian kohor ambispektif ini dilakukan pada pasien diabetes yang menggunakan terapi ACEI atau ARB. Luaran utama renoprotektif meliputi perubahan RAK, stadium PGD, dan kejadian morbiditas, parameter luaran keamanan adalah perubahan kalium darah. Sebanyak 57 pengguna ACEI dan 57 pengguna ARB diikutkan dalam penelitian ini. Penggunaan ACEI atau ARB menunjukan tidak adanya perbedaan bermakna terhadap luaran yang diamati. Perubahan RAK (P 0,850; OR 1,087; 95% CI, 0,706-1,673), stadium PGD (P 0,641; OR 1,068; 95% CI, 0.888-1.285), kalium darah (P 0,708; OR 0,897; 95% CI, 0,612- 1,313) dan kejadian morbiditas (P 0,400; OR 1,128; 95% CI, 0,900-1,414) selama penlitian menunjukan perbedaan perubahan yang tidak bermakna. Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan ACEI dan ARB pada pasien diabetes dengan nefropati memiliki efek renoprotektif dan keamanan yang sama.

Scientific evidences on the choice of angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs) and angiotensin II receptor blockers (ARBs) in the development of nephropathy in diabetic patients are  still limited. This study aims to compare the renoprotective and safety effects of these drugs in patients with diabetic nephropathy. This ambispective cohort study was conducted in diabetic patients who uses ACEIs or ARBs therapy. The main outcomes includeed changed in UACR, stages of chronic kidney disease (CKD), and the incidence of morbidity. The safety endpoint was changed in blood potassium. A total of 57 ACEI users and 57 ARB users were included in this study. The use of ACEIs or ARBs showed no significant differences in the observed primary outcomes. Changes in RAK (P 0.850; OR 1.087; 95% CI, 0.706-1.673), stage of CKD (P 0.641; OR 1.068; 95% CI, 0.888-1.285), blood potassium (P 0.708; OR 0.897; 95% CI, 0.612-1,313) and morbidity (P 0,400; OR 1,128; 95% CI, 0,900-1,414) during the study showed no significant difference in the changes. Based on these findings it can be concluded that the use of ACEIs and ARBs in diabetic patients with nephropathy has the same renoprotective and safety effects."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pasien diabetes melitus tipe 2 dengan penyakit arteri perifer (terutama critical limb ischemia) memiliki tingkat amputasi yang masih tinggi. Perkembangan teknik endovaskular memungkinkan tindakan revaskularisasi dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dan komplikasi yang rendah dibandingkan operasi bypass.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat keberhasilan klinis 1 tahun setelah tindakan Percutaneus Transluminal Angioplasty dan distribusi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan klinis.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan penyakit arteri perifer yang menjalani tindakan PTA pada tahun 2008-2012 di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pasien diikuti selama 1 tahun setelah tindakan PTA. Luaran yang dinilai pada penelitian ini adalah keberhasilan klinis dan limb salvage. Definisi keberhasilan klinis adalah tidak mengalami amputasi mayor, tidak terjadi restenosis, dan tidak mengalami nyeri berulang. Sedangkan tingkat limb salvage adalah proporsi pasien dengan plantar stand yang utuh setelah tindakan PTA.
Hasil : Tindakan PTA dilakukan pada 43 pasien dengan diabetes tipe 2. Manifestasi paling sering adalah gangren (30.2%) dan luka iskemik (30.2%). Sedangkan 8(18.2%) pasien datang dengan nyeri pada istirahat dan 9(20.2%) pasien datang dengan klaudikasio. Selama 1 tahun, 3 pasien mengalami amputasi mayor, 3 pasien mengalami restenosis, dan 4 pasien mengalami nyeri berulang. Keberhasilan klinis untuk 1 tahun adalah 75% dan tingkat limb salvage selama 1 tahun adalah 90%. Pasien dengan diabetes terkendali dan CTO memiliki proporsi keberhasilan klinis yang lebih tinggi.
Simpulan : Tindakan PTA pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan PAD memiliki keberhasilan klinis dan tingkat limb salvage yang cukup baik.
Kata Kunci : Angioplasti; diabetes; critical limb ischemia; penyakit arteri perifer; PTA; limb Salvage
ABSTRACT
Background : Diabetic patient with PAD (especially critical limb ischemia) still have a high rate of limb amputation. The development in endovascular technique allows revascularization with high level of success and low complication compare to surgical (bypass).
Objectives :The aim of this study is to evaluate the clinical outcome 1 year after PTA in type 2 diabetic patient with PAD.
Methods : This was a retrospective cohort study, with 1 year follow up, to evaluate the clinical outcome of diabetic patients with PAD that has undergone PTA procedure in 2008-2012 in Cipto Mangunkusumo Hospital. The main outcome measured were clinical success and limb salvage rate. Clinical success defined as no major amputation, no restenosis, and no reccurence pain after PTA. Limb salvage rate defined as proportion of patient with intact plantar stand after PTA.
Results : PTA was performed in 43 patient with diabetes. In this study most frequent manifestation were gangren (30.2%) and ischemic wounds (30.2%), while 8 patients (18.2%) came with resting pain, and 9 patients (20.2%) have claudication. During one year follow up 3 patients (6.9%) had major amputation, 3 patients (6.9%) had restenosis, and 4 patients had resting pain reccurence. The clinical succes rate for one year is 75%, with limb salvage rate for 1 year is 90%. Patients with controlled diabetes and chronic total occlusion had a higher proportion of clinical success.
Conclusion : PTA procedure for diabetic patient with PAD has good clinical outcome with high level of limb salvage rate.
Keyword : Angioplasty; critical limb ischemia; diabetes; peripheral arterial disease; PTA; limb salvage"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Pratama
"Infeksi kaki diabetik (IKD) menjadi masalah utama secara global untuk pasien dan sistem pelayanan kesehatan. Selain mempertimbangkan efektivitas antibiotik, beban biaya medis pengobatan juga menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah analisis efektivitas-biaya antara ampisilin/sulbaktam dan non-ampisilin/sulbaktam pada pasien IKD rawat inap. Desain penelitian ini kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan data biaya pengobatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Perbaikan klinis infeksi kaki dinilai pada periode 5-7 hari dan dihitung total biaya medis langsung. Total 135 pasien IKD rawat inap teriklusi terdiri dari 93 pasien kelompok ampisilin/sulbaktam dan 42 pasien kelompok non-ampisilin/sulbaktam. Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas perbaikan klinis IKD pada kedua kelompok (55,9% vs 64,3%; p = 0,361). Pada analisis bivariat, derajat infeksi luka ringan 1,63 kali lebih berpeluang mencapai perbaikan klinis infeksi dibandingkan dengan pasien derajat sedang-berat (p = 0,026). Tidak ada perbedaan signifikan pada total biaya medis langsung antara ampisilin/sulbaktam dengan non-ampisilin/sulbaktam (Rp30.645.710 vs Rp32.980.126; p = 0,601). Pada perhitungan ACER dan model decision-tree, kelompok non-ampisilin/sulbaktam lebih cost-effective dibandingkan ampisilin/sulbaktam. Pada perhitungan ICER non-ampisilin/sulbaktam, untuk penambahan 1% perbaikan klinis IKD, dibutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 277.907.

Diabetic foot infections (DFI) is a major problem globally and health system services. In addition to considering effectiveness of antibiotics, the burden of medical treatment costs is also a major concern in this study. This study aimed to analyze cost-effectiveness between ampicillin/sulbactam and non-ampicillin/sulbactam in hospitalized DFI patients. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data and medical cost data at Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. Assessment of clinical improvement of foot infections in 5-7 days and calculated total direct medical costs. A total of 135 inpatients with DFI, consisting of 93 patients in the ampicillin/sulbactam group and 42 patients in the non-ampicillin/sulbactam group. There was no significant difference in the effectiveness of clinical improvement between two groups (55.9% vs. 64.3%; p = 0.361). In bivariate analysis, mild infection had a 1.63 times probability of clinical improvement compared to moderate-severe infection (p = 0.026). There was no significant difference in total direct medical costs (IDR 30,645,710 vs IDR 32,980,126; p = 0.601). In ACER and decision-tree models, non-ampicillin/sulbactam group was more cost-effective. In ICER of non-ampicillin/sulbactam, for an additional 1% of clinical improvement in DFI, an additional fee of IDR 277,907 is required."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shirly Elisa Tedjasaputra
"Latar Belakang. Kalsifikasi vaskular yang ditandai dengan penebalan tunika intima-media (TIM) karotis pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan faktor prediktor terhadap kejadian serebro-kardiovaskular. Osteoprotegerin (OPG) merupakan petanda disfungsi endotel yang dapat digunakan sebagai prediktor terhadap penebalan TIM karotis.
Penggunaan ultrasonografi (USG) karotis untuk menilai ketebalan TIM karotis masih terbatas di Indonesia sehingga diperlukan metode diagnostik lain yang lebih cost effective. Tujuan. Menentukan faktor-faktor determinan yang bermakna dan nilai tambah diagnostik
pemeriksaan OPG dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2. Metodologi. Studi potong lintang dilakukan di poliklinik Metabolik Endokrin dan poliklinik spesialis Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan April-Juni 2012 pada pasien DM tipe 2 tanpa komplikasi serebro-kardiovaskular, tanpa komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium III – V dan tidak merokok. Pada penelitian ini dilakukan analisis bivariat dan multivariat pada variabel lama menderita DM, hipertensi, dislipidemia, HbA1c dan OPG, kemudian ditentukan nilai tambah pemeriksaan OPG dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2. Hasil dan Pembahasan. Dari 70 subyek penelitian, didapatkan jumlah subyek dengan peningkatan OPG dan penebalan TIM karotis adalah sebesar 45,7 % dan 70 %. Dari 49 subyek dengan penebalan TIM karotis, didapatkan 61,2 % subyek dengan peningkatan OPG. Lama menderita DM (OR 26,9; IK 95 % 2 – 365,6), hipertensi (OR 22; IK 95 % 2,3 – 207,9), dislipidemia (OR 85,2; IK 95 % 3,6 – 203,6) dan OPG (OR 12,9; IK 95 % 1,4 –
117,3) berhubungan secara bermakna dengan penebalan TIM karotis. Pemeriksaan OPG mempunyai spesifisitas dan nilai duga positif tinggi (90,5 % dan 84 %). Nilai tambah diagnostik OPG hanya sebesar 2,3 % dalam mendeteksi penebalan TIM karotis. Kesimpulan. Faktor-faktor determinan yang bermakna untuk mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2 adalah lama menderita DM, hipertensi, dislipidemia dan OPG. Nilai tambah diagnostik dari pemeriksaan OPG adalah sebesar 2,3 % dalam mendeteksi penebalan TIM karotis pada pasien DM tipe 2

Background. Vascular calcification measured by carotid intima-media thickness
(CIMT) in type 2 diabetes mellitus (DM) patient is a predictor for cerebrocardiovascular
event. Osteoprotegerin (OPG) as a marker for endothelial dysfunction
can be used as a predictor for increased CIMT. Applicability of carotid ultrasonography
(USG) in Indonesia is still limited, therefore other diagnostic method that is more cost
effective is needed.
Objective. To determine the significant determinant factors and the diagnostic added
value of OPG to detect increased CIMT in type 2 DM patient.
Methods. Cross sectional study was conducted in Metabolic Endocrine and Internal
Medicine outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital between April and June 2012
in type 2 DM patient without history of cerebro-cardiovascular event, without history of
chronic kidney disease (CKD) stage III – V and without smoking. Bivariate analysis and
multivariate analysis were performed to variables duration of DM, hypertension,
dyslipidemia, HbA1c and OPG, followed by determining the diagnostic added value of
OPG to detect increased CIMT in type 2 DM patient.
Results. From 70 subjects, there were 45,7 % subject with increased OPG and 70 %
subject with increased CIMT. From 49 subject with increased CIMT, 61,2 % subject had
increased OPG. Duration of DM (OR 26,9; IK 95 % 2 – 365,6), hypertension (OR 22;
IK 95 % 2,3 – 207,9), dyslipidemia (OR 85,2; IK 95 % 3,6 – 203,6) and OPG (OR 12,9;
IK 95 % 1,4 – 117,3) were correlated significantly to increased CIMT. OPG
measurement had high specificity and positive predictive value (90,5 % and 84 %).
Diagnostic added value of OPG was only as 2,3 % to detect increased CIMT in type 2
DM patient.
Conclusion. The significant determinant factors for detection of increased CIMT in
type 2 DM patient were duration of DM, hypertension, dyslipidemia and OPG. The
diagnostic added value of OPG was 2,3 % to detect increased CIMT in type 2 DM
patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T42723
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>