Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Carin Andyline Noerhadi
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai permasalahan pestisida dalam kegiatan perdagangan internasional di dunia dan pembentukan peraturan internasional terkait dengan perdagangan pestisida. Penulis ini akan membedah isi Konvensi Rotterdam, sebagai salah satu ketentuan hukum internasional tentang perdagangan pestisida; dengan memberikan penjabaran mengenai prinsip, materi pokok, manfaat, kendala, serta hak dan kewajiban Negara peserta dalam melakukan ratifikasi Konvensi tersebut. Implementasi Konvensi Rotterdam di Indonesia dan beberapa Negara lain juga akan dianalisis yang didasarkan pada kepentingan, peraturan nasional, dan praktik perdagangan pestisida di Indonesia dan beberapa Negara tersebut. Kesimpulan yang didapatkan menunjukkan bahwa munculnya permasalahan pestisida di dunia disebabkan oleh perdagangan pestisida internasional yang marak dilakukan secara ilegal, sehingga pembentukan Konvensi Rotterdam memberikan banyak keuntungan bagi Negara pesertanya.
This thesis discusses the issue of pesticides in international trade activity in the world and the establishment of international regulations related to pesticide trade. The author of this thesis dissects the contents of the Rotterdam Convention, as one of the provisions of international law on trade of pesticides; to provide a description of the principal, subject matter, benefits, constraints, and rights and obligations of State Parties to ratify the Convention. Implementation of the Rotterdam Convention in Indonesia and some other countries will also be analyzed based on interests, national regulations and practices of pesticide in Indonesia and some of those States. The conclusion shows that the emergence of issues cause by pesticides in the world of international pesticide trade are rampant carried out illegally, so the for establishment of the Rotterdam Convention provides many return for the State Parties.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S56950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma. Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC) yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan (co-perpetration).
ABSTRACT
This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration.
2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Nindya Puteri
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang keberlakuan alasan keamanan nasional sebagai pengecualian asas non-refoulement yang dikenal sebagai kerangka perlindungan terhadap warga negara asing di suatu negara. Pertanyaan dasar yang menjadi pusat penelitian skripsi ini adalah dapat tidaknya alasan keamanan nasional diberlakukan sebagai pengecualian terhadap asas non-refoulement setelah terjadinya perkembangan terhadap pengaplikasian asas itu sendiri. Dalam satu sisi, kedaulatan setiap negara dalam hubungan internasional harus dihormati. Hal ini termasuk menyangkut permasalahan tindakan-tindakan yang dilakukan negara untuk menjaga keamanan nasional mereka. Di sisi lain, pertumbuhan rezim perlindungan yang ditawarkan oleh asas non-refoulement telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi metode pemenuhan dan perlindungan HAM yang dikenal di berbagai kerangka hukum HAM internasional maupun regional sebagai norma yang tidak dapat diderogasi. Hal ini mengakibatkan nonrefoulement sering diaplikasikan sebagai norma yang tidak dapat dikecualikan bahkan didiskusikan untuk meraih status norma jus cogens, norma tertinggi dalam hirarki hukum internasional. Pada kondisi tersebut, negara-negara dihadapkan kepada tantangan dalam menggunakan alasan keamanan nasional untuk mengenyampingkan kewajiban non-refoulement dalam rangka menerapkan kebijakan domestik dalam memerangi terorisme. Dengan demikian skripsi ini membahas pertemuan atau persinggungan antara dua kepentingan yaitu kepentingan untuk menjunjung dan melindungi HAM dan kepentingan keamanan nasional. ...... This study explains about the application of national security exception to the principle of non-refoulement that is recognized as a protection framework for aliens in foreign countries. The fundamental question of this study is whether the national security exception can be applied considering the current development of non-refoulement application itself. On one hand, state’s sovereignty is honored in international relation. This includes state’s discretion to take measures to safeguard their national security. On the other hand, the growth of protection regime offered by non-refoulement principle has developed so as to be a method in fulfilling and protecting human rights which is recognized under numerous international and regional human rights instruments as a norm that is nonderogable. This has caused non-refoulement to be applied without exceptions even being discussed as attaining the status of jus cogens, the highest norm in the hierarchy of international law. In this condition, states are challenged to invoke national security to set aside their non-refoulement obligation in enforcing their national policy to combat terrorism. Hence, this study discusses about the clash between two interest namely the upholding and protection of human rights and national security.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45778
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Budhi Prananto
Abstrak :
Permasalahan space debris merupakan salah satu persoalan yang terus menjadi ancaman bagi kegiatan masyarakat internasional di ruang angkasa. Mengingat space debris sebagai suatu akibat langsung dari kegiatan manusia di ruang angkasa, bertambah banyaknya negara-negara yang berkemampuan teknologi untuk melakukan peluncuran hanya akan terus membuat persoalan debris terus berkembang. Walaupun telah terdapat ancaman yang nyata dari keberadaan space debris, kerangka hukum internasional yang tersedia belumlah secara komprehensif mampu menanggapi persoalan yang ada secara langsung. Terlihatlah bahwa konvensi-konvensi ruang angkasa internasional tidak secara langsung membahas mengenai perlindungan lingkungan ruang angkasa terhadap space debris. Contohnya, misi anti-satelit RRC yang dilaksanakan pada tahun 2007. Walaupun tindakan tersebut telah menambah jumlah space debris yang cukup signifikan, akan tetapi tidaklah jelas apakah hal ini dilarang oleh hukum internasional. Tanpa adanya suatu ketentuan hukum internasional yang mengikat, permasalahan yang ada tidak akan dapat diselesaikan. Di lain pihak, masyarakat internasional telah menaruh perhatian pada masalah tersebut dan telah terdapat beberapa usaha dalam penanggulangannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya resolusi Majelis Umum PBB yang mengadopsi ketentuan UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines. Adopsi yang telah dilakukan merupakan langkah besar dalam menanggapi persoalah space debris. Akan tetapi, perlu diingat bahwa adopsi yang dilakukan tidaklah secara serta merta menciptakan norma internasional yang baru. Dalam hal ini, resolusi Majelis Umum PBB yang bersangkutan hanyalah bertindak sebagai "soft law". Walaupun demikian eesolusi tersebut telah mempengaruhi tindakan negara-negara di dunia pada tingkatan tertentu. Usaha-usaha penanggulangan masyarakat internasional telah ditunjukkan dengan adanya implementasi dalam kerangka nasional. Selain itu, resolusi dapatlah dijadikan sebagai harapan-harapan di masa yang akan datang mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu negara terhadap space debris. Dengan ini, maka dapat saja resolusi tersebut dijadikan sebagai landasan pada munculnya norma hukum yang baru.
Space debris has been an increasing threat to space activities conducted by nations worldwide. Considering space debris as a direct consequence of mankind's activity in outer spece, it is inevitable tha future increases in space faring nations will only augment the space debris problem. Despite the obvious danger posed by space debris, the current state of international law has not sufficiently tackle the issue head-on. It is indeed quite clear that the major international space law conventions do not specifically regulate the protection of the outer space environment against the prevalence of space debris. For example, a Chinese anti-satellite missile has destroyed a disused weather satellite in 2007. Though the mission has undeniably generated a substantial amount of space debris, it is unclear whether such an act can be regarded as a violation of international law. Without any binding international norm, the problem is expected to worsen. Fortunately, the international community has recognized the problem and made efforts to mitigate its effects. This has been shown by the UN General Assembly adoption of the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines by way of a resolution. The adoption may be regarded as a major step forward on tackling the problem of space debris. However, it needs to be noted that the adoption does not necessarily generate a new norm under international law. The UN General Assembly resolution may only be regarded as "soft law". In spite of this, the resolution has affected the conduct of nations to some extent. The efforts of nations worldwide on the mitigation of space debris have been shown by the implementation of these guidelines into national framework. Furthermore, the resolution can also be regarded as expectations by the international community on how nations should act towards the problem of space debris. It may well be the case that the resolution might then act as the first step of an emerging international norm.
2014
S53774
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agata Jacqueline P.
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai offers of services yang diajukan oleh Komite Internasional Palang Merah dalam suatu Konflik Bersenjata Internasional. Komite Internasional Palang Merah sebagai guardian dari keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 mempunyai status khusus sebagai neutral intermediary dari para pihak yang berkonflik. Oleh karena status khusus inilah, Komite Internasional Palang Merah tidak dapat memaksakan para pihak yang berkonflik untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam keempat Konvensi Jenewa berserta Protokolnya. Offers of services ini menjadi suatu instrumen yang digunakan Komite Internasional Palang Merah untuk mengingatkan para pihak untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa yang dalam penerapannya memerlukan persetujuan para pihak yang berkonflik. Lebih lanjut, skripsi ini akan membahas dampak-dampak yang ditimbulkan baik dari penerimaan maupun penolakan offers of services ini dari para pihak yang berkonflik.
This paper is discussing about the offers of services of The International Committee of the Red Cross (ICRC) in international armed conflicts. The ICRC as the guardian of the Geneva Convention of 12 August 1949 has a unique legal status as a neutral intermediary to the warring parties and thus is not capable of forcing the warring parties to comply to the provisions of the Geneva Conventions and its Protocols. The offers of services, hence, is an instrument used by the ICRC to notify the warring parties of their compliance to the Geneva Conventions, which, in its application, requires the consent of the warring parties. Furthermore, this paper will discuss the effects caused by its acceptance as well as its rejection by the warring parties.
2014
S53670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai persoalan masalah keabsahan berdirinya negara Israel di wilayah mandat dalam hukum internasional, terutama mengacu pada sistem mandat internasional dan sistem perwalian. Sebagai rangkaian permulaan pembahasan, secara kronologis, akan dipaparkan mengenai status hukum wilayah Palestina, mulai dari berakhirnya Perang Dunia I sampai beralihnya wilayah tersebut kepada Inggris oleh Liga Bangsa-bangsa melalui perjanjian mandat Palestina. Analisis diawali dengan menjelaskan sistem mandat internasional yang diperkenalkan Liga Bangsa-bangsa serta sistem perwalian yang menggantikannya. Berikutnya, analisis dilakukan terhadap isi perjanjian mandat, yang juga sangat berkaitan dengan Deklarasi Balfour, serta praktik pelaksanaan mandat dengan mendasarkan pada sistem mandat internasional oleh Liga Bangsa-bangsa maupun sistem perwalian oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Metode pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Pada akhirnya, ditemukan bahwa pendirian negara Israel melalui keadaan yang tidak ideal, terlepas dari fakta penerimaannya sebagai anggota PBB. ......This thesis studies the legality of Israel?s declaration of independence in Palestine territory, in the scope of international mandat and trusteeship system. Subsecquently, as a background issue, this thesis will start to describe the legal state of Palestine territory after the World War I as much as the recognition of British government as Mandatory State carried on the international mandate system by the Palestine mandate treaty from the Covenant League. Next, this thesis will explain the conceptions and practices of League mandate systems as well as to differ the latest system. Afterwards, analyze the content of mandate treaty of Palestine which happened to be legal standing of British mandate rule over those territory, as well as the emerge of Balfour Declaration in advance. Also to analyze the mandate practice over during the mandate period, accordingly to the international mandate and trusteeship system, subsequently. Qualitative approach is used to gather resources in writing this thesis. This thesis concluded by point out the legality of Israel?s declaration of independence was deliberately attemped in unideal situation, regardless the recognition and membership approval from United Nations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53587
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eliza Dayinta Harumanti
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai perkembangan teori restrictive sovereign immunity di dalam hukum internasional dan penerapannya terhadap imunitas pejabat publik. Penulis akan menganalisis tujuh putusan pengadilan dari beberapa negara dan pengadilan internasional yang menggunakan pendekatan imunitas yang terbatas di dalam dalil gugatan melawan negara di hadapan pengadilan asing. Analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan teori imunitas yang terbatas dan pengaturannya dengan meninjau perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum kebiasaan internasional. Simpulan yang didapatkan menunjukkan bahwa adanya perubahan penerimaan pendekatan imunitas absolut menjadi pendekatan imunitas negara secara terbatas oleh berbagai putusan pengadilan nasional. Pembatasan imunitas negara didasarkan kepada dua tes, yaitu rationae personae dan rationae materiae. Praktik ini diterapkan secara konsisten di dalam praktik-praktik negara.
This thesis discusses the development of restrictive sovereign immunity under international law and its application to public official immunity. The author of this thesis analyses seven judgments of national courts and international tribunals regarding the use of restrictive sovereign immunity as the claimants motions to raise a civil actions against State before foreign courts. The analysis is based on literature studies concerning the development of restrictive sovereign immunity theory and how it is governed in customary international law, treaties and national laws. In conclusion, there has been a change of practice of national courts to accept the restrictive approach to immunity in numerous decisions. There are two limitations to this approach, namely rationae personae and rationae materiae. These limitations are consistently referred in the State practices.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54994
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Angelo Putra
Abstrak :
Konsep Joint Criminal Enterprise pertama kali diperkenalkan oleh Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas wilayah Yugoslavia di dalam kasus Tadic pada tahun 1999. Setelah kasus Tadic, konsep Joint Criminal Enterprise diterapkan di berbagai pengadilan pidana internasional dan pengadilan hybrid supranasional untuk kasus kejahatan internasional. Di Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana memuat konsep penyertaan, sebuah konsep yang menyerupai Joint Criminal Enterprise. Tulisan ini membahas pengertian dan perkembangan konsep Joint Criminal Enterprise, penerapan Joint Criminal Enterprise di dalam pengadilan pidana internasional dan pengadilan hybrid supranasional, serta analisis kesamaan konsep Joint Criminal Enterprise dengan konsep penyertaan menurut hukum Indonesia dan apakah konsep Joint Criminal Enterprise dapat diterapkan di dalam Pengadilan HAM di Indonesia. ......The concept of Joint Criminal Enterprise was first introduced by the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia in the 1999 Tadic case. The concept was then applied in various international criminal tribunals and hybrid criminal courts for cases of international crimes. In Indonesia, the criminal code prescribes the concept of joint perpetration, a concept that is similar to the concept of Joint Criminal Enterprise. This thesis discuses the definition and development of the concept of Joint Criminal Enterprise, the application of Joint Criminal Enterprise in various international criminal tribunals and hybrid criminal courts, as well as the concept of Joint Criminal Enterprise and its association with the concept of joint perpetration under Indonesian law. Finally, this thesis discusses whether Joint Criminal Enterprise can be applied in the Human Rights Court in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1190
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tria Widyakumala
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S26282
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Try Kuntarto
Abstrak :
Pemerintah Republik Indonesia memiliki yurisdiksi ekstrateritorial untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi korban perdagangan orang transnasional yang berada di wilayah teritorial negara lain melalui perwakilannya di luar negeri. Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 dan Vienna Convention on Consular Relations 1963 memberikan batasan terhadap yurisdiksi ekstrateritorial yang dimiliki oleh Republik Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang berada di luar negeri. Pemberian perlindungan terhadap warga negara yang menjadi korban perdagangan orang transnasional secara khusus diatur di dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime mutatis mutandis Protocol to Suppress, Prevent, and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children. Peran Pemerintah RI memberikan perlindungan terhadap WNI melalui perwakilannya di wilayah territorial negara lain diwujudkan dengan membentuk Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia sebagai badan koordinasi dan pembentuk kebijakan utama dalam memberikan perlindungan oleh Para Pejabat Perwakilan RI.
The Government of the Republic of Indonesia have extraterritorial jurisdiction to give protection to its national who are victims of transnational trafficking in persons residing in the territory of another country through its representatives abroad. Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 and the Vienna Convention on Consular Relations in 1963 provide limits on extraterritorial jurisdiction that is owned by the Republic of Indonesia in providing protection to its national residing abroad. Giving protection to national who are victims of transnational trafficking in persons specifically regulated in the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Protocol mutatis mutandis to Suppress, Prevent, and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children. Role of the Government of Indonesia to provide protection to its national through their representatives on the territory of another state is realized by establishing a Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (Directorate of Protection of Indonesian Citizens and Legal Entities) as a coordinating body and forming the main policy provides protection by The Member of The Mission of Republic of Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S26284
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library