Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosalin Yuniarti Maruf
Abstrak :
Latar Belakang. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi di daerah tropis yang terabaikan (neglected infectious diseases) akibat vektor hewan dan kondisi lingkungan. Prevalensi di negara beriklim tropis, khususnya Indonesia cukup tinggi namun tidak terdiagnosis dengan baik. Diagnostik pasti sulit didapat karena uji baku emas leptospirosis, MAT (microscopic agglutination test), di Indonesia masih terbatas aksesnya dan uji alternatif belum banyak diteliti efektifitasnya. Metode. Penelitian ini menguji kinerja dua jenis alat diagnostik terbaru yaitu tes cepat berbasis IgM (Leptodipstick), dan PCR (polymerase chain reaction) terhadap gen lipl32 dan secY Leptospira dibandingkan uji baku emas MAT pada populasi Indonesia. Subjek penelitian adalah pasien dewasa rawat inap di RSCM pada tahun 2016-2018 yang memenuhi kriteria klinis leptospirosis WHO dan diujikan dengan MAT, tes cepat Leptospira, dan PCR Leptospira. Penelitian ini bersifat potong lintang, dengan variable yang diteliti meliputi data demografi, manifestasi klinis, paparan pekerjaan, paparan vektor ataupun lingkungan, serta hasil pemeriksaan MAT, tes cepat, dan PCR terhadap Leptospira. Hasil: Terdapat total 30 subjek yang ikut dalam penelitian dengan 11 (36,7%) meninggal dunia. Berdasarkan uji baku emas MAT, 14 (46,67%) dinyatakan reaktif terhadap antibodi Leptospira. Tes cepat Leptospira mendapat nilai sensitivitas 85,71% (95%IK: 57,19-98,22%), serta spesifisitas 62,50% (95%IK: 35,43%-84,80%), dan area di bawah kurva ROC 0,741 (95%IK: 0,549-0,883). Pemeriksaan PCR terhadap gen lipl32, sensitivitas 85,71% (95%IK: 57,19-98,22%), spesifisitas 18,75% (95%IK: 4,05-45,65%), dan area di bawah kurva ROC 0,522 (95%IK: 0,333 – 0,707). Pemeriksaan PCR gen secY, sensitivitas 71,43% (95%IK: 41,90-91,61%), spesifisitas 12,50% (95%IK: 1,55-38,35%), dan area di bawah kurva ROC 0,580 (95%IK: 0,371-0,789). Secara umum, semua uji memiliki sensitivitas yang memuaskan, namun spesifisitas yang buruk dibandingkan dengan MAT. Spesifisitas yang rendah dapat dikaitkan dengan onset penyakit yang sebagian besar berada pada fase akut sehingga belum dapat terdeteksi dengan alat uji yang berbasis antibodi. Kesimpulan. Spesifisitas tes cepat Leptospira dengan IgM maupun PCR terhadap gen lipl32 dan secY Leptospira sebagai alat penapisan cukup baik. Perlu dilakukan penelitian kinerja diagnostik lanjutan berdasarkan onset penyakit. ......Background. Leptospirosis is a neglected infectious disease transmitted by animal vectors and environment. The prevalency in  tropical Asia-Pacific country, including Indonesia was high. The gold standard test for leptospirosis was microscopic agglutination test (MAT), very limited distribution in Indonesia. Methods. This study compares the diagnostic profiles of two new diagnostic tools, an IgM-based rapid test (Leptodipstick) and polymerase chain reaction (PCR) of the genes lipl32 and secY of the Leptospira genome, to MAT as the gold standard, in the Indonesian population. Adult inpatients of RSCM in the years 2016-2018 with conformity to the WHO clinical criteria for leptospirosis and undergo MAT test, Leptospira rapid test, and Leptospira PCR were enrolled in the study. The study was cross-sectional with the examined variable were demographic data, clinical manifestation, occupational exposure, exposure towards animal vectors or environmental conditions, and results of the MAT, Leptospira rapid test, and Leptospira PCR. Results. The study enrolled 30 participants, with 11 (36,7%) deceased in the study period. Based on MAT, 14 participants (46,67%) were considered reactive for Leptospira antibodies. The Leptospira rapid test has a sensitivity of 85.71% (95%CI: 57.19-98.22%), and specificity of 62.50% (95%CI: 35.43%-84.80%), and the area under the ROC curve of 0.741 (95%CI: 0.549-0.883). PCR for the gene lipl32 showed a sensitivity of 85.71% (95%CI: 57.19-98.22%), specificity of 18.75% (95%CI: 4.05-45.65%), and area under the ROC curve of 0.522 (95%CI: 0.333-0.707). PCR for the gene secY showed a sensitivity of 71.43% (95%CI: 41.90-91.61%), specificity of 12.50% (95%CI: 1.55-38.35%), and area under the ROC curve of 0.580 (95%CI: 0.371-0.789). Generally, all tests showed a satisfactory sensitivity, yet very low specificity compared to MAT. Area under the curve showed a low (PCR) to moderate (rapid test) diagnostic value for each test. Low specificity may be tied to the onset of the disease of the study sample that most of them are on acute phase which cannot detected by the alternative test with antibody basis. Conclusion. The diagnostic parameters of the Leptospira IgM rapid test, and Leptospira PCR with the genes lipl32 and secY are still satisfactory to be used as early diagnostic tools in cases of leptospirosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Helio Sarmento Freitas Guterres
Abstrak :
Latar belakang : Peresepan antibiotik (AB) yang tidak tepat umum terjadi di seluruh dunia dan berkontribusi pada meningkatnya organisme yang resisten. Diperlukan sistem surveilans untuk memantau penggunaan AB dan resistensi untuk pengambilan keputusan yang tepat. Indonesia belum pernah menerapkan Point prevalence survey (PPS) dalam evaluasi AB dan resistensi. Tujuan: untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik dan resistensi mikroorganisme di rumah sakit menggunakan metode PPS Metode : penelitian potong lintang. Dilakukan pengumpulan data demografi, penggunaan antibiotik dan kultur resistensi mikroorganisme menggunakan formulir PPS. Hasil : Pada hari penelitian dilakukan survei terhadap 451 pasien, ditemukan 244 (54,1%) pasien mendapatkan AB dengan diagnosis paling banyak adalah pneumonia (25%). Alasan penggunaan antibiotik adalah untuk tatalaksana infeksi dari komunitas sebanyak 50,8%, infeksi dari fasilitas kesehatan sebanyak 15,5%, penggunaan AB sebagai profilaksis sebanyak 30,7% dan 3% tidak ditemukan alasan indikasi penggunaan AB. Diresepkan 368 AB, di mana hanya 46 (12,5%) AB yang digunakan sebagai terapi definitif. Tiga AB yang paling sering digunakan adalah ceftriaxone (15,5%), levofloxacin 9,2% and ampicillin sulbactam 7,9%. Tanggal evaluasi penggunaan AB hanya tertulis pada 88 (22,3%) AB. Tidak tersedia pedoman tatalaksana lokal sebanyak 83 (22,6%) penggunaan AB dan hanya 214 (58,2%) AB yang diresepkan sesuai dengan pedoman tata laksana lokal. Kami melakukan evaluasi terhadap 244 pasien yang menggunakan AB dan hanya 91 (38%) pasien yang dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Didapatkan 222 sampel, dimana 81 (36,5%) adalah steril. Tiga mikroorganisme terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae 47 (20,7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9,9%) dan Escherichia coli 20 (9%). Jumlah mikroorganisme extended-spectrum β-lactamase (ESBL) didapatkan sebesar 21,4%, resisten terhadap karbapenem 12,5% dan Multiple drug resistance (MDR) sebesar 17,7%. Kesimpulan : lebih dari setengah pasien yang disurvei menggunakan AB dan angka kepatuhan penggunaan antibiotik masih belum baik, evaluasi resistensi kuman terbatas karena jumlah sampel yang diperiksa kurang. Pelaksanaan PPS terbukti efektif dan efisien. ......Background: Inappropriate antibiotic prescribing appears to be common worldwide and is contributing to the selection of resistant organisms. Surveillance systems to monitor antimicrobial use and resistance are needed to improve decision making and assess the effect of interventions. Point prevalence surveys (PPSs) in Indonesian hospitals have not yet been applied. Aim : to evaluate the antibiotic prescribing trends and microorganism resistance using PPS methods Methods: A one day, cross-sectional PPS was performed whereas total of 10 days were taken. Data on demographics, antimicrobial use and culture/resistance test of all adult inpatients were collected using a data collection form. Results: On the day of the study 451 adults patients were surveyed, 244 (54.1%) were received 368 antibiotics and the most common diagnosis was pneumonia (25%). Reasons of using the antibiotics were to treat community acquired infection (CAI) 50.8%, hospital acquired infection (HAI) 15.5%, prophylaxis 30.7% and 3% was unknown. 368 antibiotics prescriptions were issued, of which 46 (12.5%) were used for definitive therapy. The top three antibiotics prescribed were ceftriaxone (15.5%), levofloxacin 9.2% and ampicillin sulbactam 7.9%. Review date of using antibiotics were performed in 88 (22.3%). Local guidelines was not available for 83 (22.6%) of prescribed antibiotics and among prescribed antibiotics with local guidelines available compliance was 214 (58.2%). We evaluate the culture test among those received antibiotics (244), 91 (38%) patients were performed culture and resistance test. From these 222 samples of culture, 81 (36.5%) was sterile. The most three growth microorganisms were Klebsiella pneumoniae 47 (20.7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9.9%) and Escherichia coli 20 (9%). The number of extendedspectrum β-lactamase (ESBL) recorded at 21.4%, Carbapenem Resistanculture ce was 12.5% and Multiple drug resistance was 17.7%. Conclusions: more than half-of-patients surveyed by PPS in an hospital in Indonesia were on antibiotics, has a limitation due to availability of result and sample. Conducting PPS in teaching hospital proved to be effective and efficient.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Masra Lena
Abstrak :
Latar belakang. Bakteremia yang disebabkan oleh kuman resisten antibiotik Escherichia coli (E. coli) penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) dipengaruhi beberapa faktor risiko. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi sepsis yang dapat meningkatkan tingginya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi bakteremia yang disebabkan E. coli penghasil ESBL cukup tinggi mencapai 57,7%. Pentingnya melakukan penelitian untuk mengevaluasi faktor risiko pada terjadinya bakteremia E. coli penghasil ESBL yang dapat menyebabkan tingginya biaya perawatan dan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai di awal sebagai antisipasi terhadap kejadian mortalitas. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko bakteremia E. coli penghasil ESBL dan menentukan faktor risiko terhadap mortalitas. Metode. Penelitian kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kultur darah positif E. coli yang di rawat pada dua Rumah Sakit Rujukan di Jakarta yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan periode Januari sampai Desember 2019. Faktor risiko terjadinya ESBL yang dicari sesuai dengan kepustakaan adalah usia, komorbiditas berdasarkan indeks Charlson, pemakaian alat medis, riwayat terapi antibiotik dan riwayat perawatan sebelumnya serta faktor risiko terhadap mortalitas. Uji bivariat perbedaan dua kelompok kategorik (Chi-square atau Fisher) dan uji regresi logistik multivariat dilakukan untuk menentukan faktor yang berpengaruh terhadap bakteremia ESBL dan mortalitas. Hasil. Total 116 subjek dalam kurun waktu penelitian dengan usia ≥18 tahun sebanyak 81% subjek, didominasi 52,6% berjenis kelamin laki-laki. Sumber lokasi infeksi terbanyak berasal dari saluran cerna dan intra abdomen yang ditemukan pada 43 subjek (37,1%) dan sebanyak 54 subjek (46,6%) memiliki komorbiditas keganasan. Faktor risiko yang bermakna secara statistik pada seluruh subjek adalah riwayat terapi antibiotik (adjusted OR 2,78; IK95% 1,20–6,45; p=0,017) dan pemakaian alat medis (adjusted OR 3,21; IK95% 1,10–9,34; p=0,033), sementara pada pasien ≥18 tahun (94 subjek) hanya faktor riwayat terapi antibiotik yang bermakna (adjusted OR 2,77; IK95% 1,13 – 6,81; p= 0,027). Tidak terdapat perbedaan mortalitas antara bakteremia E.coli penghasil ESBL dan non-ESBL (p=0,059). Proporsi mortalitas bakteremia E. coli penghasil ESBL adalah 55,7% dan faktor risiko mortalitas yang bermakna adalah usia (adjusted OR 15,0; IK95% 1,54–146,0; p=0,020) dan sepsis (adjusted OR 6,5; IK95% 1,91–22,16; p=0,003). Simpulan. Faktor risiko terjadinya bakteremia E. coli penghasil ESBL adalah riwayat terapi antibiotik dan pemakaian alat medis. Lebih dari separuh pasien mengalami mortalitas dan faktor risiko yang berhubungan adalah usia dan sepsis. ......Background. Bacteremia caused by the Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)-producing Escherichia coli (E. coli) causing septicaemia and lead to high morbidity and mortality. Factors to ESBL bacteremia are important to recognize soon as patient admitted to hospital since the prevalence of ESBL bacteremia is as high as 57,7% among admitted patient to hospital. The understanding of the risk factors ESBL-producing E. coli bacteremia give the opportunity to provide costs effective treatment costs and antibiotics use to save the lives. This study aims to identify and analyze the risk factor in bacteremia patients with ESBL producing E. coli and its mortality. Methods. A retrospective cohort study based on medical record data on all patients with a confirmed positive E. coli blood culture examinations were collected from January to December 2019 at two referral hospital in Jakarta, Cipto Mangunkusumo National Hospital and Persahabatan Hospital. Identified risk factors for ESBL-producing E. coli bacteremia were age, comorbidities based on the Charlson index, medical devices, history of hospitalization and history of antibiotics therapy including risk factors on mortality. Bivariate analysis of categorical group differences (Chi-square or Fisher test) and multivariate analysis with logistic regression tests were performed to identify the correlation of these factors to ESBL bacteremia and mortality. Results. A total of 116 subjects E. coli bacteremia were included, eighty one percent of subjects ≥18 years old and 52.6% was male. The common site of infection was gastrointestinal tract 37.1% (43 subjects) and 54 subjects (46.6%) had malignancy comorbidity. History of antibiotic therapy (adjusted OR 2.78; 95%CI 1.20–6.45; p=0.017) and medical devices (adjusted OR 3.21; 95%CI 1.10–9.34; p=0.033) were associated with ESBL bacteremia. Among patients ≥18 years old (94 subjects) marely the history of antibiotics (adjusted OR 2.77; 95% CI 1.13 – 6.81; p= 0.027) was associated with ESBL-producing E. coli bacteremia. Mortality among bacteremia ESBL and non-ESBL-producing E. coli were not significantly different (p=0.059). Mortality was found 55,7% among ESBL-producing E. coli bacteremia and associated independent risk factors were age (adjusted OR 15.0; 95%CI 1.54–146.0; p=0.020) and sepsis (adjusted OR 6.5; 95%CI 1.91–22.16; p=0.003). Conclusion. The risk factors for ESBL-producing E. coli bacteremia patients were a history of antibiotic therapy and medical devices. High mortality was found in patient with ESBL-producing E.coli bacteremia and the risk factors was associated with mortality were age and sepsis.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Merlinda Veronica
Abstrak :
Latar belakang. Kerentanan terhadap infeksi dan peningkatan resistensi antibiotik menempatkan pasien luka bakar pada risiko infeksi yang disebabkan oleh multidrug-resistant organism (MDRO), kondisi ini dapat berlanjut menjadi sepsis yang dapat meningkatkan tingginya morbiditas dan mortalitas. Metode. Penelitian kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien yang di rawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2020 sampai Juni 2022. Hasil. Total 160 subjek dalam kurun waktu penelitian dengan usia < 60tahun sebanyak 82,5%, memiliki komorbid 16,88%, penyebab terbanyak luka bakar adalah api  86,25%, penggunaan alat medis sebanyak 90,63% dengan median lama rawat 14 hari. Patogen MDRO tersering Gram negatif adalah K. pneumoniae, 91%), Enterobacter sp (22,32%) dan Acinetobacter (20,54%), pasien infeksi MDRO yang meninggal sebanyak 45%. Pada analisis bivariat ditemukan pengaruh infeksi MDRO terhadap mortaltas pasien luka bakar (RR1,103; IK 95% 1,004-1, 211,; p=0,046). Setelah di-adjusted dengan variabel perancu yaitu: usia, komorbid, TBSA, penggunaan alat medis, lama rawat dan dianalisis multivariat ditemukan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi MDRO adalah lama rawat dan usia. Simpulan. Terdapat pengaruh infeksi MDRO pada angka mortalitas pasien luka bakar. Mortalitas pasien luka bakar akibat infeksi MDRO lebih besar (45%) dibandingkan dengan Non MDRO (21,43 Patogen MDRO Gram negatif tersering adalah K.pneumonia e. ......Background. Susceptibility to infection and increased antibiotic resistance place burn patients at risk of infection caused by multidrug-resistant organisms (MDRO), this condition can progress to sepsis which can increase morbidity and mortality. Method. Retrospective cohort study using medical record data of patients treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period January 2020 to June 2022. Results. Total of 160 subjects in the study period with age < 60 years were 82,5%, had comorbidities 16.88%, the most common cause of burns was fire 86.25%, the use of medical devices was 90.63% with a median length of stay of 14 days . The most common Gram-negative MDRO pathogens were K. pneumoniae Enterobacter sp (22.32%) and Acinetobacter (20.54%), MDRO infected patients who died were 45%. Bivariate analysis found increased risk of mortality on MDRO infection among burn patient (RR 1,103; 95% CI 1,004-1,211, p=0.046). After adjusting for the role variables, namely: age, comorbidities, TBSA, use of medical devices, length of stay and multivariate analysis, it was found that the MDRO infection mortality were length of stay and age. Conclusion. MDRO infection increases mortality in of burn patients. Mortality of burn patients due to MDRO infection is greater (45%) compared to Non MDRO (21.43%). The most common Gram-negative MDRO pathogen is K.pneumoniae.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Nareswari Tunjungputri
Abstrak :
Latar Belakang: Salah satu upaya penatagunaan antibiotik untuk membatasi resistensi antibiotik adalah penilaian kualitas penggunaan antibiotik. Sampai saat ini kualitas dan ketepatan penggunaan antibiotik belum pernah dinilai dengan instrumen yang terbukti dapat diterapkan di Indonesia. Salah satu perangkat indikator kualitas (IK) penggunaan antibiotik yang direkomendasikan adalah IK yang dilaporkan oleh Den Bosh dkk. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai properti klinimetrik, yang mencakup kemampuukuran, kemamputerapan, performa, reliabilitas antarpengamat, koefisien korelasi antar nilai kemamputerapan berbagai IK, serta nilai potensi peningkatan dari 11 IK berdasarkan van den Bosch dkk. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu pada periode 1 Agustus 2022 sampai dengan 2 Februari 2023. Pasien rawat inap dewasa yang mendapatkan antibiotik empirik karena kecurigaan mengalami infeksi dan memenuhi kriteria akan diinklusi. Hasil: Pada 500 pasien rawat inap dewasa di 2 RS, seluruh IK memiliki missing data <10%. Sebanyak 10 IK memiliki kemamputerapan >10%. Sejumlah 4 IK memiliki performa ≥70%. Potensi peningkatan >30% didapatkan pada 6 IK. Seluruh IK memiliki koefisien kappa >0,6, dan tidak didapatkan korelasi yang bermakna antar-IK. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan pentingnya penilaian properti klinimetrik dari IK yang telah dikembangkan sebelumnya sebelum digunakan dalam praktik klinis sehari-hari sebagai bagian dari program penatagunaan antibiotik di Indonesia. Ke- 10 IK dalam penelitian ini memiliki kemamputerapan yang baik untuk rumah sakit rujukan pemerintah di Jakarta. Sebanyak 4 IK telah memiliki performa yang baik, dan 6 IK dengan potensi peningkatan yang baik dapat menjadi prioritas intervensi. Reliabilitas antar pengamat untuk seluruh indikator baik, tanpa adanya korelasi antar-IK. ......Background: One of the efforts of antibiotic stewardship for limiting antibiotic resistance is the assessment in the quality of antibiotic use. To date, the quality and appropriateness of antibiotic use have not been assessed using proven instruments in Indonesia. One recommended tool of quality indicators (QIs) for antibiotic use is the QIs reported by Den Bosch et al. Objective: The aim of this study is to assess QIs that measure the clinimetric properties, which include measurability, applicability, performance, inter-observer reliability, correlation coefficients between different QIs, and potential improvement values of 11 QIs based on Den Bosch et al. Methods: This study is an observational study with a cross-sectional design conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSCM) and (Rumah Sakit Umum Daerah, RSUD) Pasar Minggu Regional Hospital from August 1, 2022, to February 2, 2023. Adult inpatients who received empiric antibiotics due to suspected infection and meeting the inclusion criteria will be included. Results: In 500 inpatients in 2 hospitals, all QIs demonstrated <10% of missing data. Ten QIs showed an applicability of >10%. Four QIs showed performance scores of ≥70%, while six QIs had potential for improvement scores of >30%. All QIs displayed kappa coefficient >0,6, and no significant correlations are found between QIs. Conclusion: This study demonstrated the importance of the clinimetric properties assessment of previously developed QIs before their use in daily clinical practice as part of antibiotic stewardship programme in Indonesia. Ten QIs demonstrated good applicability for government referral hospitals in Jakarta. Four QIs already had good performance scores, and 6 QIs with good improvement potential can be intervention priorities. The interobserver reliability for all indicators are good, without any correlations between QIs.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Indrasanti
Abstrak :
Kandidiasis orofaring yang disebabkan oleh C. albicans merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien HIV/AIDS. Flukonazol telah digunakan secara luas untuk terapi kandidiasis. Beberapa penelitian saat ini telah melaporkan terjadinya resistensi spesies Candida terhadap flukonazol terutama pada pasien HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini untuk melihat besarnya resistensi spesies Candida yang diisolasi dari pasien HIV/AIDS juga ingin diketahui categorical agreement antara metode otomatik Vitek2 dengan metode manual difusi cakram dalam menguji kepekaan spesies Candida terhadap antijamur. Penelitian potong lintang ini terdiri dari 137 isolat Candida yang didapatkan dari 86 subyek HIV/AIDS dengan Kandidiasis Orofaring di RSCM. Data karakteristik subyek dicatat dan dilakukan pengambilan swab orofaring. Identifikasi spesies dilakukan menggunakan media CHROMagar dan YST Vitek2. Uji kepekaan dilakukan memakai metode otomatik Vitek2 dan manual difusi cakram, kemudian dicari interpretasi error dan categorical agreement antara kedua metode. Didapatkan 8 spesies Candida yaitu C.albicans sebesar 77 (55,3%), C.glabrata 21(15,3%), C.tropicalis 19 (13,9%), C.krusei 9 (6,7%), C.parapsilosis 5 (3,6%), C.dubliniensis 4 (2,9%), C.famata 1 (0,76%), C.magnoliae 1 (0,76%). Angka resistensi C.albicans dengan Vitek2 terhadap FCA,VOR,AMB, dan FCT berturut turut adalah 0; 1,3%; dan 2,6%; dan 0, C.glabrata 9,5%; 9,5%; 5%; dan 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%; dan 0, C.dubliniensis 0; 0; 25%; dan 0. Angka resistensi C.albicans dengan difusi cakram terhadap FCA,VOR,AMB berturut turut adalah 2,6%; 2,6%; 0, C.glabrata 52,4%; 23,8%; 23,8%, C.tropicalis 5,3%; 5,3%; 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Categorical agreement uji resistensi antara metode otomatik Vitek2 dengan manual difusi cakram terhadap FCA, VOR, dan AMB berturut turut untuk C.albicans yaitu 90,9%; 92,2%; dan 98,7%, C.glabrata 19,05%; 71,4%; dan 80,95%, C.tropicalis 89,5%; 89,5%; dan 89,5%, C.krusei 100%; 88,9%; dan 55,6%, C.parapsilosis 100%; 100%; dan 80%, serta C.dubliniensis 75%; 100%; dan100%. Kami menyimpulkan C.albicans masih merupakan penyebab kandidiasis tersering, dan angka resistensi isolat Candida yang didapatkan dari subyek HIV/AIDS dengan kandidiasis orofaring di RSCM cukup rendah, kecuali C.krusei dan C.glabrata. Total categorical agreement untuk seluruh spesies Candida antara Vitek2 dengan difusi cakram cukup baik, kecuali untuk C.glabrata. ...... Oropharyngeal candidiasis caused by C. albicans is the most common opportunistic infection in patients with HIV / AIDS. Fluconazole has been used widely for the treatment of candidiasis. Recent studies have reported the occurrence of fluconazole resistance to Candida species, especially in HIV / AIDS patients. The purpose of this study is to determine frequency of resistance of Candida species isolated from patients with HIV / AIDS to antifungal drugs. Further, to explore the categorical agreement between Vitek2 automatic with manual disc diffusion method to determine the sensitivity of Candida species. This cross-sectional study conducted between October 2012 and March 2013 yield on 137 Candida isolates from 86 oropharyngeal candidiasis HIV/AIDS patients at RSCM. Data on baseline characteristic were recorded and isolation of Candidia species was obtained by performing oropharyngeal swab. Species identification using CHROMagar media and YST Vitek2 and sensitivity test by automatic Vitek2 methods and manual disc diffusion was performed. The error interpretation and categorical agreement between the two methods was then calculated We identified total of eight Candida species, 77 (55.3%) C.albicans and non albicans included C.glabrata 21 (15.3%) ; C.tropicalis 19 (13.9%) ; 9 (6.7%) C.krusei; 5 (3.6%) C.parapsilosis; 4 (2.9%) C.dubliniensis and 1 (0.76%) for each C.famata and C.magnoliae. Vitek2 resistance rates against C.albicans with fluconazole (FCA), voriconazole (VOR), amphoterisin B (AMB), and flucytosin (FCT) were 0; 1.3%; 2.6% and 0 respectively, C.glabrata 9.5%; 9.5%; 5% and 0, respectively. C.krusei 100%; 0; 11.1%, and 0 respectively. C.dubliniensis 0; 0; 25%, and 0. Using disc diffusion the resistance of FCA, VOR, AMB was 2.6%, 2.6%, 0 for C.albicans, C.glabrata 52.4%, 23.8%, 23.8%, C. tropicalis 5.3%, 5.3%, 0, C.krusei 100%; 0; 11.1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Total categorical agreement for all Candida species against FCA, VOR and AMB, Vitek2 and disc diffusion method Vitek2 was C.albicans 90,9%; 92,2%; and 98,7%, C.glabrata 19,05%, 71,4%, and 80,95%, C.tropicalis 89,5%, 89,5%, and 89,5%, C.krusei 100%, 88,9%, and 55,6%, C.parapsilosis 100%, 100%, and 80% C.dubliniensis 75%, 100%, and 100% respectively. C.albicans still found as the most common caused of oropharyngeal candidiasis and remained sensitive to antifungal treatment. Among the non albicans species, susceptibilities of C.krusei and C.glabrata to antifungal treatment was poor. Sensitivity test using Vitek2 and disc diffusion methods resulted in excellent to
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalid Mohammad Shidiq
Abstrak :
Latar belakang HIV / AIDS adalah penyakit kronis dengan spektrum klinis luas yang membutuhkan perawatan seumur hidup, dan dapat menurunkan kualitas hidup. Belum ada alat sederhana untuk mengevaluasi gejala infeksi HIV dan efek samping pengobatan yang dapat digunakan dalam pengaturan rawat jalan. Pengukuran gejala objektif penting karena berkorelasi dengan kepatuhan pengobatan dan progresifitas penyakit. Objektif. Untuk menilai keandalan Indeks Gejala HIV versi Indonesia untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS, dan mengetahui profil gejala / pola pasien HIV / AIDS di Indonesia menggunakan Indeks Gejala HIV. Metode. Ini adalah studi cross sectional pada subyek HIV / AIDS rawat jalan. Subjek direkrut secara acak di klinik HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari September hingga November 2018. Penilaian reliabilitas onaire Questi dilakukan pada 20 subjek, dan evaluasi gejala dilakukan pada 87 subjek. Adaptasi bahasa dari versi bahasa Inggris asli ke bahasa Indonesia dilakukan dengan metode Beaton dan Guillemin. Realibility dari versi Indonesia Indeks Gejala HIV diuji dengan alpha cronbach adalah analisis koefisien, dan validitas internal itu diuji dengan multitrait analisis skala. Indeks Gejala HIV versi Indonesia yang valid dan andal kemudian digunakan untuk membuat profil pola gejala pasien HIV / AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo . Hasil. Indeks Gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan ( cronbach alpha 0,76) dan valid ( korelasi multitrait > 0,4) untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS. Gejala yang paling umum adalah kelelahan (55,7%), diikuti oleh insomnia (43,3%), pusing dan pusing (42,3%), masalah kulit (42,3%), dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki (39,2%). Keluhan paling jarang adalah demam (15,5%), batuk (20,6%), mual atau muntah (20,6%), diare (21,6%), dan kehilangan nafsu makan (23,7%). Kesimpulan. Indeks gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan dan valid untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS secara objektif. Gejala yang paling sering adalah kelelahan atau kelemahan, pusing atau sakit kepala ringan, susah tidur, masalah kulit, dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki. ......Backgrounds. HIV/AIDS is a chronic disease with a wide clinical spectrum which needs a long life treatment, and could decrease quality of life. There is yet a simple tool to evaluate symptoms of HIV infection and treatment s side effect that can be used in outpatient setting. Objective symptoms measurement is important because it is correlated to treatment adherence and progressivity of the disease. Objective. To assess reliability of Indonesian version of HIV Symptom Index for measuring symptoms of HIV/AIDS patients, and knowing the symptom profile/pattern of HIV/AIDS patients in Indonesia using HIV Symptom Index. Method. It is a cross sectional study in outpatient HIV/AIDS subjects. Subjects are recruited randomly in Cipto Mangunkusumo Hospital s HIV clinic from September until November 2018. Questionaire reliability assessment was done on 20 subjects, and symptom evaluation is done on 87 subjects. Language adaptation from the original english version into Indonesian was done with Beaton and Guillemin method. Realibility of Indonesian version of HIV Symptom Index was tested by alpha cronbach s a coefficient analysis, and the internal validity was tested with multitrait scaling analysis. The Valid and reliable Indonesian version of HIV Symptom Index is then used to profile the symptom pattern of HIV/AIDS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital. Result. Indonesian version of HIV Symptom Index is reliable (cronbach alpha 0,76) and valid (multitrait correlation >0,4) to measure symptoms of HIV/AIDS patients. The most common symptom is fatigue (55,7%), followed by insomnia (43,3%), dizziness and lightheaded (42.3%), skin problems (42,3%), and pain, numbness, or tingling in the hands or feet (39,2%). The rarest symptoms are fever (15,5%), cough (20,6%), nausea or vomiting (20,6%), diarrhea (21,6%), and lost of appetite (23,7%). Conclusion. Indonesian version of HIV symptom Index is reliable and valid to measure symptoms of HIV/AIDS patiens objectively. Most frequent symotoms are fatigue or weakness, dizzines or lightheaded, insomnia, skin problems, and pain, numbness, or tingling in the hands or feet.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoppi Kencana
Abstrak :
ABSTRAK Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit. Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi. Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92,3 %; 87,5%; 70,6%; dan 97,2%. Simpulan : RNL memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap derajat steatosis (CAP) dan fibrosis (ET) dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.
ABSTRACT Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome. This study aims to know the diagnostic value of NLR as the indicator of steatosis and fibrosis severity. Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sample collection. We used secondary data from medical record, starting from 2016-2018. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, multivariate linear regression, t test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under the Curve (AUC) were done to know the outcome of the study. Statistical analyses were performed using Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Version 20.0 (SPSS Inc, Chicago, Illinois). A P value <0.05 was considered as statistically significant. Results: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with the mean of age 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had moderate to severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r=0.647 (p<0.001) and r=0.621 (p<0.001) respectively. The use of RNL to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity,  specificity, PPV and NPV respectively at 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, and 97.2% respectively. Conclusion: NLR has a positive and significant correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity in comparison with TE/CAP.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Nugraha Yulisar
Abstrak :
Latar Belakang: Diagnosis sepsis pada pasien tumor padat metastasis sulit karena adanya gejala, seperti demam dan leukositosis, dapat timbul tanpa adanya infeksi. Procalcitonin (PCT) merupakan salah satu parameter untuk mendiagnosis sepsis. Titik potong PCT untuk diagnosis sepsis pada pasien tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis masih belum diketahui. Studi sebelumnya belum ada yang menilai titik potong PCT pada pasien tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis. Tujuan: Mengetahui titik potong PCT dalam diagnosis sepsis pada pasien tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis. Metode: Studi potong lintang terhadap pasien tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis yang berobat di RSCM Juni 2016 - April 2018. Pada pasien ditentukan ada tidaknya sepsis menggunakan kriteria sepsis sesuai The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3), yaitu menggunakan mSOFA. Dilakukan pemeriksaan darah perifer dan PCT. Dilakukan pencarian nilai titik potong PCT untuk diagnosis sepsis pada pasien tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosios menggunakan ROC. Hasil: Didapatkan 86 pasien tumor padat metastasis dengan demam dan lekositosis, dengan wanita sebanyak 61,6%, rerata usia 49,48 ±11,44 tahun. Sebanyak  43 pasien (50%) mengalami sepsis. Dari kurva ROC kadar PCT pada tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis yang mengalami sepsis, didapatkan AUC [0,873 ,IK 0,799 - 0,946, p <0,001]. Nilai titik potong PCT untuk diagnosis sepsis pada pasien tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis adalah 1,755 ng/mL dengan sensitivitas 76,7% dan spesifisitas 81,4%, NDP 80,5%, NDN 77,8%. Kesimpulan: Nilai titik potong PCT untuk diagnosis sepsis pada tumor padat metastasis dengan demam dan leukositosis adalah 1,755 ng/mL. ......Background: Diagnosis of infection in advanced solid tumor patients can be difficult since fever and leucocytosis is a non-specific clinical marker and can occur without infections. Untreated infections can lead to sepsis, increasing mortality in those patients. Procalcitonin has been used to support the diagnosis of sepsis. Procalcitonin cut off in advanced stage solid tumor patients with fever as a sepsis biomarker is still unclear. No study has seen procalcitonin cut-off in advanced solid tumor patients with fever. Objective: To discover the cut-off point for sepsis in advanced solid tumor patients with fever. Method: A cross-sectional study was conducted in the advanced solid tumor patients with fever patients who were admitted to Cipto Mangunkusumo Hospitals, Indonesia during June 2016 to April 2018. Demographic characteristics, physical examinations, laboratory examinations were recorded. Sepsis was defined using 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference criteria. Results: A total of 86 subjects were enrolled in this study, 61,6% were female with mean age 49,5 years old. Among them, 43 patients (50%) were diagnosed with sepsis. The ROC curve showed that the levels of procalcitonin for sepsis in advanced solid tumor patients with fever was in the area under curve (AUC) 0,891 (CI 826 - 956). Cut-off procalcitonin for diagnosing sepsis in advanced solid tumor patients with fever was 1,755 ng/mL, sensitivity 76,7%, specificity 81,4%, PPV 80,5%, NPV 77,8%. Conclusions: The cut-off point of procalcitonin level to support sepsis diagnosis in advanced solid tumor patients with fever was higher than normal populations.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahayu Nur Laila Praptiwi
Abstrak :
Latar Belakang: Cakupan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang semakin luas berdampak positif dengan menurunnya angka kematian dan kesakitan pasien HIV/AIDS. Waktu inisiasi pemberian terapi ARV pada pasien HIV juga berhubungan erat dengan penurunan angka kematian dan kesakitan. Tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi yaitu 10% dibanding yang tidak tertunda. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian terhadap faktor-faktor tersebut sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada pasien HIV. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien HIV rawat jalan dewasa di UPT/HIV RSUPNCM yang memulai ARV pertama kali selama periode Januari 2013-Desember 2014. Data klinis dan laboratorium didapatkan dari rekam medis pasien. Tertundanya inisiasi terapi ARV dinyatakan bila pasien belum memulai terapi ARV 10 minggu setelah diagnosis HIV. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (IMT), status fungsional, stadium klinis HIV, dan infeksi oportunistik. Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor tersebut dengan tertundanya inisiasi terapi ARV. Hasil: Terdapat 444 pasien yang memulai terapi ARV pertama kali, 107 pasien (24,1%) yang tertunda inisiasi terapi ARV dan 337 pasien (75,9%) tidak tertunda. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan 3 variabel yang memiliki kemaknaan statistik yaitu stadium klinis lanjut (p<0,001), status fungsional rendah (p<0,001) dan adanya infeksi oportunistik (p<0,001). Pada analisis multivariat lebih lanjut terdapat dua variabel yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV yaitu stadium klinis lanjut (OR: 2,92, IK95% 1,53-7,40, p=0,02) dan adanya infeksi oportunistik (OR 1,99, IK95% 1,21-3,29, p=0,01). Simpulan: Stadium klinis lanjut menurut WHO dan adanya infeksi oportunistik merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV. ...... Background: Increase access towards antiretroviral therapy (ART) contribute to global decrease of HIV/AIDS-associated morbidity and mortality. Time to initiation of ART in eligible HIV-infected patients is associated with reduction of mortality and morbidity. Delayed initiation of antiretroviral therapy can lead to increase of mortality rate more than 10% compared to early initiation. It is important to identify factors associated with delayed initiation ART among HIV patient in order to control these factors and thus lower the mortality and morbidity in HIV patients. Objectives: To identify factors associated with delayed initiation of ART in HIV patients. Methods: This study was a cross sectional study among adult HIV patients in Out-patient Clinic of HIV Integrated Clinic Cipto Mangunkusumo General Hospital who started ARV therapy for the first time (ART-naïve patients) enrolled from January 2013 to December 2014. Clinical and laboratory data were extracted from medical records. Delayed initiation ART was defined as eligible patients didn?t initiate ART within 10 weeks after the diagnosis of HIV infection. Factors identified were gender, education level, employment, marital status, WHO clinical stage, BMI, functional status, and the presence of opportunistic infection. Logistic regression test was used to find factors associated with delayed initiation of ART. Results: There were 444 subjects in this study, which consisted of 107 patients (24.1%) who delayed initiation of ART and 337 patients (75.9%) who didn?t delayed initiation of ART. Based on the bivariate analysis, there were three variables statistically significance, which were advanced WHO clinical stage (p<0.001), lower functional status (p<0.001) and the presence of opportunistic infection (p<0.001). Further multivariate analysis showed that there were two variables associated with delayed initiation of ART, which were advanced WHO clinical stage (OR: 2.92, 95%CI 1.53-7.40, p=0.02) and the presence of opportunistic infection (OR 1.99, 95%CI 1.21-3.29, p=0.01). Conclusion: Advanced WHO clinical stage and the presence of opportunistic infections are factors associated with delayed initiation of ART among HIV patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>