Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rd. Danianti K. P.
Abstrak :
Down Syndrome adalah kelainan yang terjadi pada anak yang mengalami keterbelakangan mental yang disebabkan oleh adanya kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari dua kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21), yang mengakibatkan anak mengalami penyimpangan fisik. Faktor spesifik yang diduga menjadi penyebab trisomi meliputi pengobatan dan obat-obatan, radiasi, zat-zat kimia, atau virus hepatitis, serta kemungkinan tidak adanya mekanisme kelahiran secara spontan (seperti melalui induksi, vaccum, dll) dan usia ibu waktu hamil dan melahirkan. Anak dengan down syndrome mudah dikenali karena karakteristik yang dimilikinya, antara lain seperti wajah mirip orang mongol atau datar, telinga kecil dan agak miring (seperti caplang), satu garis telapak tangan melewati telapak tangan, jarak antara ibu jari dan jari kedua terlalu renggang, kelingking hanya sate ruas jari. Selain itu anak dengan down syndrome juga memiliki karakteristik psikologis antara lain cenderung ramah, mudah bergaul, hangat dan memiliki sifat yang menyenangkan. Anak down syndrome biasanya lahir dengan berbagai gangguan medis, seperti gangguan jantung, leukemia, katarak, hypotonia, gangguan pendengaran, dan gangguan wicara. Selain itu, anak down syndrome jugs mengalami kerusakan fungsi otak dan kelainan sensorik dan neuromotor. Karakteristik anak down syndrome adalah terbatasnya kemampuan kognitif mereka. Dengan kemampuan kognitif yang terbatas, maka akan mempengaruhi akademik mereka. Anak dengan down syndrome ini biasanya mengalami kesulitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan belajar karena kemampuan atensi, metacognition, memory, dan generalisasi yang lambat dibandingkan dengan anak normal. Masalah ini dapat berasal d.ari lemahnya kemampuan persepsi dan menilai (judgement) suatu ingatan yang sudah disimpan dengan keadaan saat ini. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dalam menggunakan ingatan jangka pendek yang lemah pada anak down syndrome. Namun demikian anak-anak dengan down syndrome memiliki visual processing skills yang lebih balk. Oleh sebab itu diyakini gambar merupakan metode bagus untuk mengajarkan anak down syndrome belajar, berbicara, dan berinteraksi. Daya ingat jangka pendek anak dengan down syndrome ini menurut penelitian dapat ditingkatkan melalui pelatihan yang disebut sebagai Memory Skill Training. Pelatihan ini menggunakan dua program, yaitu rehearsal programme dan organisation programme. Pada penelitian yang peneliti lakukan, peneliti menggunakan program organisation, yaitu bertujuan mengajarkan anak untuk mengkategorisasikan dan mengelompokkan sebagai jalan untuk membantu dalam mengingat sesuatu. Pelatihan ini menggunakan gambar-gambar yang memudahlan anak dengan down syndrome untuk mengingatnya. Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, program Memory Skill Training dapat meningkatkan daya ingat jangka pendek anak dengan down syndrome. Program ini sebaiknya dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama dan dilakukan secara berkelanjutan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisna Kartika Wono
Abstrak :
Peneliti ingin mengetahui profil problem scales Child Behavior Checklist pada kanak-kanak madya yang menerima disiplin secara inkonsisten dari lingkungan rumah. Dengan mengetahui profil problem scales Child Behavior Checklist, akan diperoleh profil masalah tingkah laku anak-anak tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Keduanya digunakan karena peneliti menggunakan data sekunder kuantitatif (CBCL berbentuk kuesioner dengan pilihan jawaban berbentuk skor) dan data sekunder kualitatif (anamnesis terhadap orang tua subjek). Kemudian peneliti menganalisis data secara kuantitatif dengan perhitungan rata-rata dan persentase dengan hasil berbentuk angka yang selanjutnya disajikan dalam grafik, lalu menganalisis sindrom masalah tingkah laku secara kualitatif (Creswell, 1994). Berdasarkan hasil perhitungan dari data yang ada, diperoleh bahwa masalah atensi (attention problems) merupakan sindrom masalah tingkah laku yang perlu perhatian khusus pada kanak-kanak madya yang menerima disiplin secara inkonsisten dari lingkungan rumah. Selanjutnya, berdasarkan analisis pada sindrom masalah atensi yang muncul, terdapat beberapa tingkah laku yang kadang-kadang sampai sering kali ditampilkan oleh sebagian besar kanak-kanak madya tersebut, yaitu: sulit berkonsentrasi atau memusatkan perhatian dalam waktu yang lama; berperilaku kekanak-kanakan untuk usianya; dan tidak dapat duduk dengan tenang, tidak bisa diam, hiperaktif.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listiyo Andini
Abstrak :
Pelatihan keterampilan memecahkan masalah dalam lugas akhir ini diberikan pada anak yang, cendemng menunjukkan perilaku opposi1iona1_ yaitu lidak menyukai peraturan, cenderung menampilkan respon ”Lidak” setiap mendapatkan perintah, terbatasnya kemampuan F dalam mencazi soiusi altemalif, dan tidak mempertimbangkan adanya konsekuensi alas respon yung dipilih. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam memecahkan masalah sam menghadapi situasi sosial yang sulit dan memilih respon sosial yang tepai dengan menggmmakan pendekatan cognitive-behavior. Pelaksanaan intervensi clilakukan dalam 6 scsi penemuan, dengan durasi 45-60 menit. Hasil pelatihan ini adalah anak menganggap peraluran adalah hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui adanya alternatif soiusi dalam menghadapi suatu masalah dan adanya konsekuensi pada setiap altematif solusi tersebut. ......Problem solving skills training in this final task is applied to oppositional child; who dislike the rules, tends to say “No” to authority figure commands, incapable to End alternative solutions, and could not consider consequences of his inappropriate behavior. The aim of this intervention which uses cognitive- behavior approach is to improve the chi1d’s ability to solve social situation problems and show appropriate behavior. This intervention is conducted in 6 sessions; with the duration of each session is 45-60 minutes. The result of this intervention is considering that rules are regular things in daily life, capable to generate altemative solutions to solve problems in social situations, and knowing the consequences of his inappropriate behavior.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34128
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
L. Mawar Nusantari
Abstrak :
ABSTRAK
Ketika seseorang menginjak usia 18-22 tahun, ia memasuki masa transisi dari remaja menuju dewasa muda (Kail & Cavanaugh, 2000; Smolak, 1993). Menurut Smolak (1993), seseorang pada usia ini bukan anak-anak, dan dianggap bukan remaja lagi, namun mereka juga belum memiliki kriteria dewasa. Banyak ahli yang meyakini bahwa krisis pembentukan identitas terjadi pada masa remaja, namun studi cross sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa krisis identitas terjadi pada masa transisi ini (Smolak, 1993). Kail & Cavanaugh (2000) mengemukakan bahwa transisi itu tergantung pada faktor kebudayaan dan beberapa faktor psikologis. Pada budaya timur, patokan yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang menjadi dewasa lebih -jelas daripada budaya barat. Pada kebudayaan timur, pernikahan menjadi determinan yang paling penting dalam status kedewasaan (Schlegel & Barry, 1991). Berbicara mengenai menikah dan kemudian memiliki anak akan dikaitkan dengan kematangan dan tanggung jawab seseorang. Oleh karena itu untuk memasuki pernikahan seseorang akan dipertanyakan apakah ia sudah cukup matang atau apakah ia sudah cukup dewasa. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (BPS, 2002) menunjukkan bahwa, kurang lebih 11 % dari penduduk yang berusia 18-22 tahun telah menikah. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda. Padahal setelah menikah mereka akan dihadapkan pada masalah baru ketika mereka mempunyai anak. Menjadi orang tua juga merupakan krisis dalam hidup, karena menyebabkan perubahan besar dalam sikap, nilai, dan peran seseorang. Mempunyai anak juga berarti mendapatkan tekanan untuk terikat pada tingkah laku peran jender sebagai ayah dan ibu (Carstensen, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Oleh karena itu untuk menjadi orangtua diperlukan persiapan yang matang baik secara finansial, mental, maupun emosional. - Laki-laki yang berperan sebagai ayah dituntut untuk bertanggung jawab yang besar sebagai pemimpin keluarga serta bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga memerlukan perlu persiapan yang matang untuk memasuki jenjang perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana seorang pria yang berada pada usia transisi dewasa muda (18 - 22 tahun) yang telah menikah dan memiliki anak menghayati perannya sebagai seorang ayah. Penghayatan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk alasan seorang pria berusia transisi dewasa muda memutuskan untuk menikah, pemahaman tentang peran ayah, bagaimana mereka menghayati tuntutan perannya sebagai seorang ayah, serta interaksi yang mereka lakukan dalam memenuhi tugasnya sebagai seorang ayah, serta bagaimana penghayatan peran sebagai ayah tersebut mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan usia transisi dewasa muda, teori peran dikhususkan pada teori peran ayah dalam keluarga. Peneliti mengambil 5 orang sampel dengan kriteria seorang pria, berusia 18 - 22 tahun, telah menikah dan memiliki anak, serta pendidikan minimal SMU atau sederajat untuk diwawancara secara mendalam. Sampel berasal dari kota Jakarta dan Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar subjek, yaitu 4 dari 5 orang subjek penelitian ini menikah di usia muda karena terpaksa. Karena melakukan pacarnya terlanjur hamil, maka subjek pun bertanggung jawab untuk menikahi pacarnya. Maka menjalani peran sebagai seorang ayah pun tidak dapat dihindari, walaupun mereka mengaku merasa belum siap menjadi seorang ayah. Menjalani peran sebagai seorang ayah memerlukan tanggung jawab yang besar dan memerlukan kesiapan baik secara materi maupun mental. Walaupun subjek merasakan adanya tuntutan peran sebagai ayah dari lingkungan namun yang berperan lebih besar dalam tingkah laku subjek dalam menjalani peran sebagai ayah adalah tuntutan peran yang ada dalam diri subjek sendiri. Tuntutan peran yang ada dalam diri subjek tersebut diperoleh dari konsep subjek mengenai ayah yang ideal serta berpatokan pada tingkah laku dan pendidikan orangtuanya dulu, terutama ayah mereka. Walaupun subjek merasa belum sesuai dengan konsep ayah yang ideal tersebut, namun mereka semua berusaha menuju ke arah sana. Sebagian besar subjek penelitian ini sudah menyadari betapa penting perannya sebagai ayah terhadap perkembangan anak. Dalam penelitian ini terlihat bahwa selain melakukan aktivitas mendidik dan bermain, mereka juga merasa bertanggung jawab untuk ikut terlibat dalam aktivitas merawat anaknya terutama kegiatan memandikan, menina-bobokan, serta melindungi saat anak bermain. Mereka menyadari bahwa dalam aktivitas merawat tersebut merupakan saat yang tepat untuk membangun kedekatan emosional dengan anak mereka. Setelah menikah dan memiliki anak, banyak perubahan yang terjadi pada diri subjek, terutama mengenai cara subjek memandang tentang hidup. Subjek yang sebelumnya merupakan orang-orang yang selalu berorientasi pada kesenangan diri sendiri dan selalu mengikuti hati nurani dalam bertindak. Setelah menikah dan memiliki anak, timbul rasa tanggung jawab yang besar pada diri mereka, mereka mulai berpikir bahwa hidup tidak selamanya santai dan ada yang perlu diperjuangkan, terutama mengenai anak. Mereka mulai berpikir panjang sebelum bertindak dan mulai berpikir tentang masa depan. Selain itu mereka juga merasa hidupnya lebih baik dan lebih teratur serta lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu.
2003
S3219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Setiawati
Abstrak :
ABSTRAK
Di dalam kehidupan individu terdapat berbagai masalah yang dapat menjadi Menurut Papalia, Sterns, Feldman, Cramp (2002), Santrock (1999) tekanan terus-menerus dan tanggung jawab ganda untuk merawat anak dan orangtua dapat menyebabkan stres pada seorang individu. Hal ini terutama berdampak pada wanita (Preto dalam Bird & Melville, 1994). Pada penelitian ini subjek yang dipilih adalah wanita dewasa madya yang tidak bekerja, mempunyai anak, tinggal bersama ibu mertua, suku bangsa WNI keturunan Tionghoa. Peneliti memilih salah satu kriteria tidak bekerja karena menurut Baruch, Biener, dan Barnett (dalam Cooper & Payne, 1991) wanita yang tidak bekerja mengalami stres yang lebih besar daripada wanita yang bekerja. Selain itu, kemungkinan ia untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan orang yang tinggal di rumah yang dalam penelitian ini adalah anak dan ibu mertua lebih besar. Peneliti memilih subjek yang mempunyai anak karena salah satu sumber potensi stres yang besar bagi mereka yang berada pada usia dewasa madya adalah anak (Preto dalam Bird & Melville, 1994). Peneliti memilih salah satu kriteria dari penelitian adalah tinggal bersama ibu mertua karena hubungan menantu wanita dengan ibu mertuanya selalu digambarkan tidak akur (www.keluarga.org). Peneliti memilih salah satu kriteria subjek penelitian ini adalah WNI keturunan Tionghoa karena menurut Hariyono (1993), Taher (1997) terdapat ajaran yang berpengaruh dan mendarah daging dalam kehidupan orang Tionghoa sehari-hari yaitu konfusianisme yang mengajarkan bahwa penghormatan anak kepada orangtua memegang peranan yang penting, seseorang harus berbakti. Dalam konteks penelitian ini seorang anak (wanita dewasa madya selaku menantu) harus berbakti kepada orangtua (ibu mertua). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keadaan stres yang dialami dan coping yang digunakan oleh wanita dewasa madya keturunan Tionghoa yang tinggal bersama dengan ibu mertua. Sumber stres yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber stres yang dikemukakan oleh Atwater (1983); Haber dan Runyon (1984) yaitu: frustrasi, konflik, tekanan, dan kecemasan. Coping yang digunakan dalam penelitian ini adalah coping yang dikemukakan oleh Folkman dan Lazarus (dalam Sarafino, 1998), yaitu: planful problem solving, confrontive coping yang tergolong dalam problem focused coping; mencari dukungan sosial yang tergolong dalam problem dan emotion focused coping', distancing, escape avoidance, kontrol diri, menerima tanggung jawab, posilive reappraisal yang tergolong dalam emotion focused coping. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data wawancara mendalam dan observasi terhadap empat orang wanita dewasa madya tidak bekerja yang tinggal bersama ibu mertua. Observasi yang digunakan pada penelitian hanya dibatasi pada situasi lingkungan, ekspresi subjek pada saat wawancara berlangsung. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya kesamaan di antara keempat subjek dalam hal sumber stres yang berasal dari hubungan dengan ibu mertua. Sesuatu hal dapat menjadi sumber stres bagi seorang subjek namun tidak pada subjek yang lain. Sumber stres yang berasal dari hubungan dengan ibu mertua adalah perbedaan agama yang dianut diri subjek dengan ibu mertua, pengaturan rumah, ibu mertua yang sering berantakan ketika buang air besar, ibu mertua yang tidak mengkontrol jumlah makanan yang dimakannya, ibu mertua yang sering marah ketika teman-teman anak subjek datang, subjek yang merasa tidak dapat bebas karena tidak dapat pergi ketika hendak pergi. Pada sumber stres yang berasal dari hubungan dengan anak ditemukan satu kesamaan diantara keempat subjek yaitu anak yang sering pergi ke luar rumah. Pada tiga orang subjek perilaku anaknya tersebut disertai pulang pada larut malam. Sumber stres lainnya yang berasal dari hubungan dengan anak adalah dalam hal pergaulan anak, pasangan hidup anak, pengerjaan tugas rumah tangga, anak yang kadang-kadang harus disuruh terlebih dahulu untuk belajar, anak yang ingin langsing sehingga tidak ingin memakan makanan yang rasanya manis yang ditawarkan oleh subjek. Sumber stres yang banyak muncul dari keseluruhan permasalahan subjek adalah sumber stres yang berbentuk frustrasi dan kecemasan. Secara umum coping yang digunakan cenderung mengarah pada confrontive coping yang tergolong dalam problem solving coping. Cara coping ini merupakan satu-satunya coping yang digunakan bersama oleh keempat subjek. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitan pada wanita dewasa madya tidak bekerja yang tinggal bersama dengan ibu mertua dengan suku bangsa yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian dapat dilakukan pada dewasa madya yang suku bangsanya sama dengan ibu mertua namun berbeda dengan suku bangsa subjek pada penelitian ini. Penelitian dapat juga dilakukan pada dewasa madya yang suku bangsa dirinya dan ibu mertua berbeda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah hasil penelitian akan berbeda. Penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan pada wanita dewasa madya bekerja yang tinggal bersama ibu mertua untuk melihat apakah ada perbedaan mengenai stres yang mereka hadapi dan coping yang digunakan.
2003
S3299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Puspasari
2004
S3436
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Nuratman
Abstrak :
Attachment Parenting (AP) merupakan salah satu konsep cara parenting yang sudah berkembang di negara maju. AP merupakan cara parenting yang penting untuk medekatkan ibu dengan bayi agar dapat menciptakan dan meningkatkan secure attachment. Dengan meningkatnya jumlah ibu bekeija dan waktu kerja sehingga ibu bekerja kurang mempunyai waktu untuk dapat menemani bayinya, dikhawatirkan akan terjadi keregangan dalam hubungan ibu dan anak dan kondisi inii memungkinkan timbulnya gejala insecure attachment antara ibu dengan bayi. Berdasarkan pernyataan diatas peneliti memfokuskan attachment parenting pada ibu bekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran attachment parenting ibu bekeija terhadap bayi usia 12-18 bulan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 4 subyek dengan karakteristik subyek sekarang sedang bekeija dan mempunyai bayi dalam rentang usia 12-18 bulan. Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum dan menggunakan observasi partisipatif sebagai metode pendukung. Lebih lanjut hasil penelitian menyatakan semua subyek mengalami secure attachment dan semua subyek menggunakan attachment parenting. Aspek pekerjaan ternyata tidak mempengaruhi kedekatan yang telah dibentuk antara ibu dengan bayi. Melainkan kemampuan subyek dalam menyeimbangkan tugas sebagai ibu bekeija dan sebagai ibu rumah tangga lebih penting. Adanya pendelegasian tugas parenting mempunyai andil penting dalam membangun ikatan antara ibu dengan bayi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman untuk penelitian-penelitian lebih lanjut yang mempunyai kaitan dengan attachment parenting dan juga dapat mengkaitkan attachment parenting dengan beragam budaya yang ada di Indonesia ini Manfaat lainnya adalah untuk membantu ibu bekerja agar dapat melakukan intervensi melalui attachment parenting untuk menghindari terjadinya insecure attachment dan di sisi lain dapat menciptakan dan meningkatkan secure attachment. Untuk penelitian selanjutnya dapat diarahkan untuk mempertimbangkan atau menguji faktor-faktor seperti usia ibu bekerja, budaya, ekonomi, penggunaan babysitter, dan kehadiran pengasuh lainnya, karena kemungkinan faktor-faktor tersebut berpengaruh. Selain itu juga disarankan bagi ibu bekerja untuk membuat prioritas waktu terhadap peran sebagai pekerja dan sebagai ibu dan mendelegasikan beberapa tugas rumah tangga kepada anggota keluarga yang ada. Hal ini ditujukan agar ibu bekerja tetap dapat bekerja dan dapat dekat dengan bayinya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yufi Adriani
Abstrak :
Gallinski (dalam Martin & Colbert 1997) secara khusus menyebutkan bahwa proses interaksi antara orangtua dan anak sejak anak lahir hingga beranjak dewasa dan meninggalkan rumah dikenal dengan sebutan parenting. Parenting merupakan proses interaksi yang berkelanjutan, yang selalu melibatkan orangtua, anak, dan pengaruh lingkungan. Proses parenting yang melibatkan interaksi antara orangtua dan anak dapat diwujudkan dalam kegiatan yang berbeda sesuai dengan tingkat dan tahap perkembangan anak. Dalam proses parenting ini terdapat dua cara parenting (altachment parenting & detachment parenting) yang dapat dilakukan orangtua terhadap anaknya dan gambaran cara parenting ini dapat dilihat dari beberapa cara pengasuhan. Pada masa bayi (infancy), cara pengasuhan pada umumnya meliputi lima hal yaitu menyusui, menggendong, berbagi tempat tidur, pembentukan bonding dengan bayi, dan kesensitifan terhadap cues yang diberikan oleh bayi (Sears dalam Brooks, 2001). Pada umumnya, lima cara pengasuhan yang telah disebutkan di atas dilakukan oleh ibu yang berperan sebagai primary caregiver. Oleh karena itu penelitian ini dikhususkan untuk melihat gambaran cara parenting yang dilakukan ibu. Selain itu, penelitian mengenai gambaran cara parenting pada berbagai kebudayaan di Indonesia belum dapat diketahui secara rinci, terutama pada kebudayaan Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Ibu memegang peranan penting dalam proses pendidikan, sosialisasi, dan perkembangan anak, sehingga penelitian ini dikhususkan untuk melihat bagaimana gambaran cara parenting ibu terhadap bayi usia 11-18 bulan pada suku Minangkabau; apakah ada perbedaan cara parenting ibu terhadap bayi laki-laki dan bayi perempuan; apa saja faktor yang berpengaruh terhadap cara parenting ibu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui metoda wawancara. Subjek wawancara adalah empat orang ibu yang mempunyai bayi berusia 11-18 bulan yang berada dalam lingkungan budaya Minangkabau. Kerangka teoritis yang digunakan- dalam penelitian ini adalah teori perkembangan infancy, teori parenting : teori mothering; teori yang berhubungan dengan nilai dan adat budaya Minangkabau. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bahwa keempat subjek merasa sudah teridentifikasi sebagai bagian dari suku bangsa Minangkabau dan sudah dapat memahami nilai-nilai yang ada dalam budaya Minangkabau. Namun keempat subjek merasa budaya Minangkabau belum memberikan pengaruh terhadap cara parenting yang mereka lakukan pada anak mereka. Hal itu karena cara parenting yang digunakan adalah ketika anak masih berada dalam tahap infancy (bayi). Pengaruh budaya akan lebih terlihat jika anak sudah berada dalam usia yang lebih besar, dimana ia sudah dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari budaya Minang. Selain itu juga, pada masa ini orangtua mempunyai tujuan dan cara parenting yang berbeda, yang dapat dipengaruhi oleh usia dan tahap perkembangan anak dan harapan lingkungan sosial terhadap anak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa harapan subjek terhadap anak laki-laki dan anak perempuannya berbeda, namun hal itu tidak berpengaruh terhadap perbedaan cara parenting pada bayi laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cara parenting adalah pendidikan dan penghasilan yang cukup sehingga subjek dapat lebih terbuka terhadap informasi-informasi yang ada mengenai cara parenting pada bayi. Untuk penelitian lanjutan, disarankan agar melakukan penelitian di luar budaya Minangkabau mengenai cara parenting, terutama cara parenting pada tahap perkembangan anak yang berbeda-beda.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agita Pramita
Abstrak :
Remaja merupakan periode dimana individu disibukkan dengan tujuan yang berkaitan dengan masa depan. Namun, remaja yang memiliki penyakit kronis akan menghadapi berbagai permasalahan yang berdampak terhadap kemampuan mereka menghadapi kehidupan di masa depan. Thalassaemia Mayor merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang diturunkan dan merupakan penyakit kronis yang dapat menimbulkan berbagai masalah mengenai harapan masa depan bagi penderitanya. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa harapan berhubungan dengan kemampuan individu untuk bertahan hidup, menghadapi penyakit, dan berpikir mengenai masa depan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan teori harapan dari Snyder (1994) yang mengatakan bahwa harapan merupakan kombinasi dari willpower (kemampuan individu yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai tujuan) dan waypower (kapasitas individu yang digunakan untuk menemukan jalan untuk meraih tujuan) yang digunakan untuk mencapai tujuan. Penelitian ini melibatkan empat orang subyek remaja yang berusia 15-22 tahun. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan karakteristik optimisme, self-esteem, dan afek positif pada keempat subyek dalam mencapai beberapa tujuan yang mereka miliki. Willpower & waypower berbeda tergantung pada tujuan yang dimiliki. Tiga orang subyek memiliki willpower tinggi dan waypower rendah. Hanya satu orang subyek yang memiliki willpower & waypower tinggi untuk semua tujuannya.
Adolescence is a period where individual occupied with a purpose related to the future. But, there are several problems exist for the adolescents with a chronic illness affecting to their ability to encounter future life. Thalassaemia Major is an inherited disease caused by a genetic blood disorder and one of a chronic illness which presents a wide range of problems including expectations of the future. Numerous studies indicate that hope related to individual ability to survive, cope with illness, and start a future thinking. In this study, the researcher used qualitative research method and hope theory from Snyder (1994) who defines hope as a willpower (individual?s capacity which initiate and sustain movement to reach the goals) and waypower (individual?s ability to find one or more effective ways to reach that goals) for goals. This study involved four adolescents with Thalassaemia Major aged 15-22 years. The results of this study found that all subjects had hope characteristics such as optimism, self-esteem, and positive affect to reach their own goals. They also had different willpower and waypower level which depend on their goals. Three subjects had high willpower and low waypower. Only one subjects had high willpower and waypower for all her goals.
2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Puspita Sari
Abstrak :
Banyak penyakit kronis yang menjadi masalah bagi aktivitas pekerjaan dan status bekerja (Taylor, 2003). Dengan bekerja, laki-laki memenuhi tugasnya dalam tahap dewasa awal dan peran gender sebagai penjaga dan pemberi nafkah (Papalia et al., 2007). Untuk memenuhi hal tersebut, pada penderita SLE diperlukan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai alternatif berdasarkan pada teori Janis (dalam Janis & Mann, 1977), yang terdiri dari lima tahap proses pengambilan keputusan dan lima faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan (Kemdal & Montgomery, dalam Reynard, Crozier, & Svenson, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses pengambilan keputusan untuk bekerja pada penderita SLE laki-laki dan faktor-faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipan penelitian ini adalah tiga penderita SLE laki-laki usia dewasa muda dan bekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua partisipan melewati kelima tahap dalam proses pengambilan keputusan. Kedua partisipan melewati tahap satu sampai empat dan hanya satu partisipan yang melewati tahap satu sampai tahap kelima. Selain itu, faktor preference, belief, circumstances dan action merupakan faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan pada ketiga partisipan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor preference dan circumstances merupakan faktor yang paling berpengaruh dibandingkan faktor lainnya.
There are so many chronic diseases which become a problem in working activity and working status (Taylor, 2003). By working, men could fulfill his duty on young adulthood and gender role as a care taker and live provider (Papalia et al., 2007). In order to fulfill that situation, the SLE patient needs a decision making by considering various alternatives based on Janis theory (in Janis & Mann, 1977), which consist of five level the decision making process and five factors which have a role in decision making (Kemdal & Montgomery, in Reynard, Crozier, & Svenson, 1997). This research intend to acknowledge the description of the decision making process to work on the men SLE patient and factors which have a role in decision making process. This research participant are three men SLE patient young adulthood and work. The research result showed that not all participants pass through all the fifth level in decision making process. Two participants pass through first level up to fourth level and only one participant who pass through first level up to fifth level. Beside that, the preference, belief, circumstances and action factors are factors which have a role in decision making process on three participants. Among the fourth factor, preference and circumstances factors are the most influential factor than others.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
153.83 SAR g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>