Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vania Aileen
"Salah satu obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang digunakan dalam mengatasi artritis adalah ketoprofen. Obat ini dapat diformulasikan menjadi suatu sediaan transdermal untuk menghindari efek samping pendarahan saluran cerna akibat penggunaan oral, salah satunya berupa sediaan dissolving microneedles (DMN) yang memanfaatkan polimer hidrofilik sebagai basis. Ketoprofen termasuk dalam biopharmaceutical classification system (BCS) kelas II, yaitu memiliki permeabilitas baik dan kelarutan yang buruk sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan kelarutannya. Tujuan penelitian ini adalah memformulasikan ketoprofen dalam DMN berbasis campuran poli(vinil alkohol) (PVA) dan poli(vinilpirolidon) (PVP) dengan menambahkan surfaktan, yaitu Polisorbat 80 (PS-80), Span 20 (S-20), Polietilenglikol 400 (PEG-400), dan Poloksamer 188 (P-188) dengan variasi konsentrasi. PS-80 1% dan 2% serta P-188 0,5% dan 1% adalah surfaktan terbaik untuk melarutkan ketoprofen. Evaluasi sediaan DMN meliputi evaluasi fisik, kekuatan mekanis, kemampuan insersi, dan pelarutan jarum dalam kulit. Berdasarkan evaluasi fisik, kekuatan mekanis, dan kemampuan insersi, F6 (PS-80 2%‒PVA 10%‒PVP 10%) dan F19 (P-188 0,5%‒PVA 5%‒PVP 10%) adalah formula yang memiliki karakteristik paling optimal untuk dapat dievaluasi lebih lanjut. Persentase penurunan tinggi jarum pada F6 dan F19 berturut-turut adalah 3,81±0,47% dan 3,68±0,75% dan kedua formula ini menunjukkan penetrasi terbaik hingga lapisan ke-4 Parafilm M® dibandingkan formula lain yang diuji. Dibutuhkan waktu berturut-turut lebih dari 360 menit dan 190 menit untuk melarutkan jarum seutuhnya pada F6 dan F19

One of nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) which are often used for treating arthritis is ketoprofen. Ketoprofen can cause gastrointestinal bleeding and to overcome this issue, it can be given transdermally through dissolving microneedles (DMN) apparatus. DMN uses hydrophilic polymers as its base. The drug used in this study belongs to Class II of biopharmaceutical classification system (BCS), which has excellent permeability but low solubility, thus it has to be improved. This study aimed to formulate and evaluate DMN containing ketoprofen with mixtures of poly(vinyl alcohol) (PVA) and poly(vinylpyrrolidone) (PVP) as bases and surfactant as the solubility enhancer. The surfactants used were Polysorbate 80 (PS-80), Span 20 (S-20), Polyethylene glycol 400 (PEG-400), and Poloxamer 188 (P-188) with various concentrations. PS-80 1% and 2% and also P-188 0,5% and 1% showed the most excellent solubilization of ketoprofen. Subsequently DMNs were evaluated in terms of their physical, mechanical strength, penetration ability, and in-skin dissolution. Based on the first three evaluations, F6 containing PS-80 2%‒PVA 10%‒PVP 10% and F19 containing P-188 0,5%‒PVA 5%‒PVP 10% were the most promising formulations to be evaluated further. The percentage of needles’ height reduction between these two were 3,81±0,47% and 3,68±0,75% respectively and they showed the best penetration until the fourth layer of Parafilm M® compared to other formulations. At the in-skin dissolution evaluation, it took 360 minutes and 190 minutes for the needles to be dissolved completely for F6 and F19 respectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fitriyah
"Metronidazol merupakan salah satu obat yang mempunyai efek anti-inflamasi yang dipergunakan untuk pengobatan penyakit rosacea. Saat ini, di Indonesia belum tersedia metronidazol dalam bentuk krim sehingga pada pelaksanaan pelayanan kefarmasian, tenaga kesehatan mengalami keterbatasan dalam mengobati rosacea secara topikal. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan formula krim metronidazol dengan karakterisasi fisik yang baik dan memperoleh data stabilitasnya. Formulasi krim menggunakan Glyceryl Stearate Citrate sebagai emulgator dengan variasi penggunaaan sebesar 2% (F1), 4% (F2), dan 6% (F3). Hasil formula krim dievaluasi berdasarkan pengamatan organoleptis, pengujian pH, pengujian viskositas dan sifat alir, pengujian daya sebar, uji hedonik, dan pegujian kadar menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Sementara untuk uji stabilitas, dilakukan uji stabilitas mekanik (sentrifugasi); uji stabilitas penyimpanan pada suhu rendah (4±2°C), suhu kamar (25±2°C), dan suhu tinggi (40±2°C) selama 12 minggu; dan cycling test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua formula memiliki organoleptis sediaan yang baik selama penyimpanan. Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa penggunaan Glyceryl Stearate Citrate sebesar 4% sebagai emulgator pada formula krim metronidazol mempunyai kestabilan secara fisik dan kimia terbaik dengan organoleptis, nilai viskositas, dan sifat alir yang stabil, serta memiliki pH yang stabil.

Metronidazole is a drug that has an anti-inflammatory properties and is used to treat rosacea. Currently, metronidazole cream is unavailable in Indonesia, thus in pharmaceutical practice, health workers get limitations in treating rosacea. This study aims to develop formula for metronidazole cream with good physical characteristics and obtain stability data. The cream formulation used Glyceryl Stearate Citrate as an emulsifier with variations in usage of 2% (F1), 4% (F2) and 6% (F3). The results of the cream formula were evaluated based on organoleptic observations, pH value, viscosity and flow property, spreadability, hedonic test, and drug level determination by spectrophotometer UV-Vis. Meanwhile, the stability test was done by mechanical stability test (centrifugation); storage stability test at low temperature (4±2°C), room temperature (25±2°C), and high temperature (40±2°C) for 12 weeks; and cycling test. that were stable The results showed that all formulas had good organoleptic properties during storage. This study concluded that using 4% Glyceryl Stearate Citrate as an emulsifier for metronidazole cream formula demonstrated the best physical and chemical stability and a stable organoleptic appearance, viscosity, flow properties, and pH."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Dinia Mufidah
"Sargassum polycystum diketahui secara in vitro memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel HCT-116 pada kolon yang diuji pada beberapa pelarut dan dengan nilai IC50 yang berbeda. Namun, penelitian secara in vivo Sargassum polycystum pada kanker kolon belum banyak dilakukan dan mekanisme sepenuhnya dalam penghambatan kanker belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek alga coklat (Sargassum polycystum) secara in vivo pada hewan model kolitis terkait kanker kolon yang diinduksi dengan Dekstran Sodium Sulfat (DSS). Penelitian ini menggunakan mencit jantan galur Balb/c (n = 30 ekor) yang secara acak dibagi dalam 5 kelompok: kelompok normal, kelompok negatif, kelompok dosis 1 (18 mg/kgBB), kelompok dosis 2 (90 mg/kgBB), dan kelompok dosis 3 (450 mg/kgBB). Induksi kolitis terkait kanker kolon menggunakan senyawa kimia Dekstran Sodium Sulfat (DSS) dengan konsentrasi 2% dan 1% selama total 24 hari. Pengukuran berat badan, analisis kelangsungan hidup, dan penilaian Disease Activity Index (DAI) dilakukan selama penelitian berlangsung. Pengaruh Sargassum polycystum sebagai antikanker diamati dengan memeriksa variabel inflamasi IL-1β dan pemeriksaan histologi jaringan kolon dengan periodic acid-schiff (PAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hewan uji yang diberikan Sargassum polycystum pada dosis 18 mg/kgBB memiliki kelangsungan hidup lebih tinggi dan dapat menurunkan ekspresi variabel inflamasi IL-1β.

Sargassum polycystum is known in vitro to have cytotoxic activity against HCT-116 cells in the colon, which were tested in several solvents with different IC50 values. However, in vivo studies of Sargassum polycystum on colon cancer have not been widely carried out, and the full mechanism of cancer inhibition is not yet known. This study aims to determine the effect of brown algae (Sargassum polycystum) in vivo on an animal model of colitis related to colon cancer induced by Dextran Sodium Sulfate (DSS). This study used male mice of the Balb/c strain (n = 30), which were randomly divided into 5 groups: normal group, negative group, dose 1 group (18 mg/kgBW), dose 2 group (90 mg/kgBW), and dose group 3 (450 mg/kgBW). Induction of colitis-associated colon cancer using the chemical compound Dextran Sodium Sulfate (DSS) with a concentration of 2% and 1% for a total of 24 days. Body weight measurements, survival analysis, and Disease Activity Index (DAI) assessments were carried out during the study. The effect of Sargassum polycystum as an anticancer agent was observed by examining the inflammatory variable IL-1β and histological examination of colonic tissue with periodic acid-schiff (PAS). The results showed that the test animals that were given Sargassum polycystum at a dose of 18 mg/kgBW had higher survival and could reduce the expression of the inflammatory variable IL-1β."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meuthia Deandri Azizah
"Alga coklat (S. polycystum) yang diekstraksi dengan berbagai macam pelarut diketahui memiliki aktivitas sitotoksik pada sel kanker kolon HCT-116. Nilai IC-50 paling baik ditunjukkan pada alga coklat (S. polycystum) yang diekstraksi menggunakan pelarut etil asetat. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek ekstrak alga coklat (S. polycystum) dalam menghambat kolitis terkait kanker kolon secara in vivo. Sebanyak 30 ekor mencit jantan galur Balb/C dibagi acak dalam 5 kelompok yaitu normal, negatif, dosis 1 (18 mg/kgBB), dosis 2 (90 mg/kgBB), dosis 3 (450 mg/kgBB). Hewan model dibuat dengan mengadministrasikan Dekstran Sodium Sulfat (DSS) selama 24 hari secara berturut-turut dengan konsentrasi 2% selama 7 hari, konsentrasi 1% selama 10 hari, dan konsentrasi 2% selama 7 hari. Pemberian ekstrak alga coklat (S. polycystum) diberikan pada hari ke-8 berlanjut hingga 14 hari setelah induksi. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran berat badan hewan, kemampuan bertahan hidup, dan penilaian Disease Activity Index (DAI). Setelah pengorbanan hewan dilakukan isolasi kolon untuk mengukur panjang, berat kolon, kerusakan jaringan, jumlah sel goblet dengan metode histopatologi kolon serta analisis ekspresi Caspase-3 pada jaringan kolon menggunakan metode ELISA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak alga coklat (S. polycystum) pada dosis 1 (18 mg/kgBB), menunjukkan perbaikan kerusakan jaringan kolon paling optimal dan memiliki konsentrasi Caspase-3 paling tinggi dibandingkan kelompok dosis lainnya.

Brown algae (S. polycystum) extracted with various solvents is known to have cytotoxic activity on HCT-116 colon cancer cells. IC-50 value is best shown in brown algae (S. polycystum) extracted using ethyl acetate solvent. This study aims to prove the effect of brown algae extract (S. polycystum) in inhibiting colitis associated with colon cancer in vivo. Thirty male mice Balb/C strain were randomly divided into 5 groups: normal, negative, dose 1 (18 mg/kgBB), dose 2 (90 mg/kgBB), dose 3 (450 mg/kgBB). Animal models were made by administering Dextran Sodium Sulphate (DSS) for 24 consecutive days with a concentration of 2% for 7 days, 1% concentration for 10 days, and 2% concentration for 7 days. Brown algae extract (S. polycystum) was given on the 8th day and continued until 14 days after induction. During the study, animal body weight, survival ability, and Disease Activity Index (DAI) were measured. After animal sacrifice, colon isolation was carried out to measure the length, weight of the colon, tissue damage, number of goblet cells using the colon histopathology method and analysis of Caspase-3 expression in colon tissue using the ELISA method. The results showed that brown algae extract (S. polycystum) at dose 1 (1.8 mg/kg BW) showed the most optimal colonic damage improvement and had the highest concentration of Caspase-3 compared to the other dose groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadzia Nazhiva Fikra
"Evaluasi penggunaan obat (EPO) merupakan salah satu program dari standar pelayanan kefarmasian dan perlu dilakukan secara rutin. Lebih lagi, dengan pandemi COVID-19, terdapat rujukan tatalaksana baru yang perlu diperhatikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pola penggunaan obat di salah satu rumah sakit rujukan COVID-19, yaitu Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Metode evaluasi yang digunakan adalah ATC/DDD sebagai analisis kuantitatif dan perbandingan kesesuaian terhadap Formularium Nasional. Penelitian yang dilakukan memiliki desain cross-sectional dengan analisis deskriptif. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah resep pasien rawat inap RSUI tahun 2020-2022, dengan inklusi pasien merupakan orang dewasa (18 tahun atau lebih tua) dan obat yang digunakan terdapat pada indeks ATC/DDD. Hasil analisa data menunjukkan obat dengan nilai DDD/100 hari rawat terbesar pada tahun 2020 dan 2021 adalah asam askorbat dengan nilai berturut-turut 826,83 dan 1437,21 DDD/100 hari rawat. Sementara itu, pada tahun 2022 obat dengan nilai DDD/100 hari rawat terbesar adalah asam folat, yaitu sebesar 279,67 DDD/100 hari rawat. Kesesuaian penggunaan obat yang terhadap Fornas selama tahun 2020-2022 secara berturut-turut adalah sebesar 66,17%; 63,25%; dan 69,09%.

Drug Utilization Evaluation (DUE) is one of the programs of pharmaceutical service standards and needs to be carried out routinely. Furthermore, with the COVID-19 pandemic, there are new management references that need to be considered. This study was conducted to evaluate the drug utilization patterns in one of the COVID-19 referral hospitals, namely the University of Indonesia Hospital. The evaluation method used was ATC/DDD for quantitative analysis and a comparison of appropriateness against the National Formulary. The research was conducted with a cross-sectional design and descriptive analysis. The sample used in this study consisted of inpatient prescriptions at RSUI from 2020 to 2022, including adult patients (18 years or older), and the prescribed drugs were included in the ATC/DDD index.The data analysis results showed that the drug with the highest DDD/100 bed-days value in 2020 and 2021 was ascorbic acid, with values of 826.83 and 1437.21 DDD/100 bed-days, respectively. Meanwhile, in 2022, the drug with the highest DDD/100 bed-days value was folic acid, with a value of 279.67 DDD/100 bed-days. The appropriateness of drug use with Fornas during the years 2020-2022 was 66.17%, 63.25%, and 69.09%, respectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rulaa Azzah Amalia
"Tablet donepezil hidroklorida merupakan salah satu sediaan farmasi untuk terapi Alzheimer yang cukup sering dialami oleh geriatri. Namun, kesulitan menelan tablet pada pasien geriatri seringkali menjadi kendala terapi yang menyebabkan ketidakpatuhan obat. Oleh karena itu, pada penelitian ini dibuat formulasi tablet cepat hancur (TCH) donepezil hidroklorida yang segera hancur di rongga mulut sehingga lebih mudah ditelan. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan formula TCH donepezil hidroklorida dengan metode molding. Formula TCH donepezil hidroklorida dibuat dengan beberapa konsentrasi sodium starch glycolate (SSG), yaitu 0 % (F1), 2 % (F2), dan 4% (F3) dengan metode molding. TCH donepezil hidroklorida yang dihasilkan dievaluasi yang meliputi pengujian organoleptis, waktu hancur, waktu pembasahan, disolusi, penetapan kadar, dan scanning electron microscopy (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa TCH donepezil hidroklorida terbentuk bulat sempurna, berwarna putih, dan memiliki rasa manis, waktu pembasahan sekitar 1,22 - 5,13 menit, nilai perolehan kembali sekitar 94 - 115%, rata-rata jumlah obat terdisolusi sekitar 81,65% - 99,73%, hasil SEM menujukkan tablet yang berongga. Selain itu, TCH donepezil hidroklorida formula 2 dan 3 yang dibuat memenuhi persyaratan, karena memberikan hasil uji waktu hancur 5,13 menit ± 0,88 (F1), 1,26 menit ± 0,74 (F2), dan 1,22 menit ± 0,52 (F3). Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa TCH F3 menunjukkan hasil terbaik dalam pengujian.

Donepezil hydrochloride tablet is one of the pharmaceutical dosage form for Alzheimer's therapy which is quite common in geriatrics. However, difficulty swallowing tablets in geriatric patients is often an obstacle to therapy that causes drug non-adherence. Therefore, in this study a formulation of donepezil hydrochloride fast disintegrating tablets (FDT) was prepared which disintegrates immediately in the oral cavity so that it is easier to swallow. The aim of this study was to develop a donepezil hydrochloride TCH formula using the molding method. The donepezil hydrochloride FDT formula was prepared with several concentrations of sodium starch glycolate (SSG), namely 0% (F1), 2% (F2), and 4% (F3) by molding method. The donepezil hydrochloride FDT produced was evaluated which included organoleptic tests, disintegration time, wetting time, dissolution, assay, and scanning electron microscopy (SEM). The results showed that the donepezil hydrochloride FDT formed was perfectly spherical, white in color, and had a sweet taste, wetting time was around 1.22 - 5.13 minutes, the recovery value was around 94 - 115%, the average amount of drug dissolved was around 81.65% - 99.73%, the SEM results showed the tablet was porous. In addition, donepezil hydrochloride FDT formula 2 and 3 complied with the requirements, because it gave disintegration time test results of 5.13 minutes ± 0.88 (F1), 1.26 minutes ± 0.74 (F2), and 1.22 minutes ± 0.52 (F3). From the results of this study, it was concluded that FDT F3 showed the best results in the test."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Lioner
"Hidrogel adalah pembalut luka modern yang dapat menangani eksudat luka sekaligus mempertahankan kelembaban yang optimal. Hidrogel yang hanya mengandung satu polimer memiliki kekuatan mekanik, elastisitas, dan stabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, penggabungan dua jenis polimer dalam pembuatan hidrogel banyak diterapkan dalam aplikasi biomedik saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengarakterisasi dan membandingkan hidrogel yang dibentuk dari polimer kitosan dan gelatin yang ditaut silang menggunakan glutaraldehid dan genipin untuk pembalut luka. Kedua hidrogel dibuat menggunakan metode yang sama yaitu menggunakan agen penaut silang kimia. Morfologi, identifikasi gugus fungsi, pola difraksi sinar-X, stabilitas termal, sifat mekanik, kemampuan mengembang, dan evaporasi air dari hidrogel diuji. Hasil karakterisasi dari kedua hidrogel serupa karena glutaraldehid dan genipin memiliki mekanisme taut silang yang serupa terhadap polimer kitosan dan gelatin. Kemampuan mengembang metode taut silang glutaraldehid (63,07%) lebih tinggi daripada genipin (58,25%). Hasil uji sifat mekanik metode taut silang glutaraldehid lebih rendah yaitu 0,0061 MPa (mengembang) dan 0,0517 MPa (kering) dibandingkan genipin yaitu 0,0087 MPa (mengembang) dan 0,1187 MPa (kering). Laju evaporasi air metode taut silang glutaraldehid lebih tinggi (27,21%) daripada genipin (24,85%). Berdasarkan hasil karakterisasi dan evaluasi, hidrogel yang ditaut silang dengan genipin dapat menggantikan hidrogel ditaut silang glutaraldehid sebagai pembalut luka.

Hydrogels are modern wound dressings which have the ability to absorb wound exudates while providing an optimum moist environment for the wound. Hydrogels made up of just one polymer have poor mechanical properties, low elasticity, and thermal instability. Therefore, two or more different types of polymers were usually used in the fabrication of hydrogels for applications in biomedical areas. The purpose of this study is to prepare chitosan/gelatin hydrogels crosslinked with glutaraldehyde and genipin as well as to characterize and study their properties as a wound dressing. Both hydrogels were fabricated by chemical crosslinking using a crosslinker. Morphology, FT-IR analysis, X-ray diffraction, thermal stability, mechanical properties, swelling capability, and water evaporation were tested. Characterization of both hydrogels showed similar results because they have similar crosslinking mechanisms when added to chitosan and gelatin. Glutaraldehyde-crosslinked hydrogel has higher swelling capability (63.07%) than genipin (58.25%). Glutaraldehyde-crosslinked hydrogel has lower tensile strength which are 0.0061 MPa (swelling) and 0.0517 MPa (dried) than genipin which are 0.0087 MPa (swelling) and 0.1187 MPa (dried). Glutaraldehyde- crosslinked hydrogel has higher water evaporation rate (27.21%) than genipin (24.85%). Based on overall characteristics and evaluation, genipin-crosslinked hydrogel can be used to replace glutaraldehyde-crosslinked hydrogel as a wound dressing."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michicho Citra Zhangrila
"Pembalut luka yang ideal tidak hanya menutupi dan melindungi area yang terdampak, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang optimal di lokasi luka untuk memfasilitasi penyembuhan. Hidrogel merupakan kandidat pembalut luka yang ideal karena kemampuannya untuk menyerap air sehingga mampu menjaga lingkungan lembap di sekitar luka dan membantu menyerap eksudat dari permukaan luka. Pada penelitian ini, dibuat hidrogel menggunakan dua polimer alami, yaitu kitosan dan natrium alginat yang diketahui memiliki biokompatibilitas yang baik dan biodegradabilitas yang tinggi. Hidrogel kitosan/alginat dibuat menggunakan dua cara berbeda, yaitu dengan taut silang fisik menggunakan CaCl2 dan taut silang kimia menggunakan genipin. Untuk melihat perbedaan antara kedua hidrogel yang dibuat, dilakukan karakterisasi morfologi, struktural, pola difraksi sinar-X, dan stabilitas termal masing-masing menggunakan SEM, FTIR, XRD, dan DSC. Selain itu, juga dilakukan uji kemampuan mengembang, kecepatan evaporasi air, dan evaluasi sifat mekanis dari hidrogel. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa hidrogel kitosan/alginat berhasil ditaut silang dengan dua cara berbeda, serta menunjukkan kompatibilitas yang baik. Hasil evaluasi sifat mekanis menunjukkan kekuatan peregangan yang lebih rendah untuk hidrogel dengan taut silang fisik dibandingkan hidrogel dengan taut silang kimia. Nilai evaporasi air setelah 24 jam yaitu 12,12 ± 0,46% untuk hidrogel dengan taut silang fisik, dan 11,78 ± 1,33% untuk hidrogel dengan taut silang kimia. Sedangkan indeks mengembang maksimum berada pada nilai 105,71 ± 8,78% untuk hidrogel dengan taut silang fisik, dan 46,91 ± 8,49% untuk hidrogel dengan taut silang kimia. Meskipun terdapat perbedaan pada hasil karakterisasi dan evaluasi, baik hidrogel kitosan/alginat dengan taut silang fisik maupun kimia memiliki potensi sebagai pembalut luka yang baik.

An ideal wound dressing covers and protects the affected area and creates an optimal environment at the wound site to facilitate wound healing. Hydrogel is an ideal wound dressing candidate because of its ability to absorb water which can help maintain a moist environment around the wound and absorb exudate from the wound surface. In this study, hydrogels were made using two natural polymers, chitosan, and sodium alginate, which are known to have good biocompatibility and high biodegradability. Chitosan/alginate hydrogels were made using two different methods: physical crosslinking using CaCl2 and chemical crosslinking using genipin. To observe the differences between the two hydrogels, morphological, structural, X-ray diffraction patterns, and thermal stability characterization was conducted using SEM, FTIR, XRD, and DSC, respectively. In addition, the swelling ability test, water evaporation rate, and the evaluation of the mechanical properties of the hydrogel were also carried out. The characterization results showed that the chitosan/alginate hydrogel was crosslinked in two different ways and showed good compatibility. The evaluation of the mechanical properties showed that the tensile strength was lower for hydrogels with physical crosslinks compared to hydrogels with chemical crosslinks. The value of water evaporation after 24 hours was 12.12 ± 0.46% for hydrogels with physical crosslinks and 11.78 ± 1.33% for hydrogels with chemical crosslinks. Meanwhile, the maximum swelling index was 105.71 ± 8.78% for hydrogels with physical crosslinks and 46.91 ± 8.49% for chemical crosslinks. Although there are differences in the results of the characterization and evaluation that have been done, both chitosan/alginate hydrogels with physical and chemical crosslinks have potential as good wound dressings."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Della Aprilia
"Stomatitis aphthous rekuren (SAR) adalah lesi yang umum terjadi pada mukosa mulut yang ditandai dengan gejala inflamasi dan ulkus berwarna putih kekuningan dengan bentuk bulat atau oval. Banyak obat antiseptik, anestesi lokal, dan kortikosteroid telah digunakan sebagai terapi SAR. Namun, penggunaan yang berulang dapat menyebabkan efek samping dan resistensi obat. Berdasarkan penelitian sebelumnya, kurkumin dan brazilin memiliki efek sebagai antiinflamasi dan antioksidan, tetapi belum ada penelitian terkait kombinasi keduanya sebagai terapi SAR. Film hidrogel dirancang sebagai pembalut untuk memisahkan lesi mukosa dari lingkungan mulut, sehingga dapat meningkatkan efektivitas terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan film hidrogel berbasis alginate-kitosan dengan zat aktif kurkumin dan ekstrak kayu secang untuk SAR. Film hidrogel dibuat menjadi 3 formulasi, dengan perbedaan konsentrasi CaCl2 0,3%(F1); 0,4%(F2); dan 0,5%(F3). Film yang dihasilkan dievaluasi pH permukaan, ketahanan pelipatan, kekuatan tarik, indeks mengembang, profil pelepasan obat, kekuatan dan durasi mukoadhesif. Film memiliki ketebalan 0,01 mm, dengan pH permukaan berada pada rentang 6,9. Indeks mengembang film F1 merupakan yang tertinggi. Kekuatan mukoadhesif film berada pada rentang 4,72 N/cm2 (F3) hingga 4,88 N/cm2 (F1) serta memiliki waktu mukoadhesif tertinggi 11 menit (F1). Pelepasan kurkumin dari film antara 67-70% dan brazilin mencapai 100% selama 2 jam. Film F1 dengan konsentrasi CaCl2 0,3% menunjukkan karakteristik fisik yang paling baik

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is a common lesion of the oral mucosa characterized by inflammatory symptoms and yellowish-white ulcers with a round or oval shape. Many antiseptic drugs, local anaesthetics, and corticosteroids have been used as RAS therapies. However, repeated use can cause side effects and drug resistance. In previous studies, curcumin and brazilin exhibit anti-inflammatory and antioxidant action, but there have been no study regarding the combination of them as RAS therapies. The hydrogel film is designed as a dressing to separate the mucosal lesions from the oral environment, thereby increasing the effectiveness of therapy. The purpose of this study is to develop an alginate-chitosan-based hydrogel film with the active substances curcumin and sampan wood extract for RAS. The hydrogel film was made into 3 formulations, with different concentrations of CaCl2 0.3%(F1); 0.4%(F2); and 0.5%(F3). The resulting film was evaluated for folding resistance, tensile strength, swelling index, drug release profile, mucoadhesive strength and duration. The film had a thickness of 0.01 mm, with a surface pH in the range of 6.9. The F1 film swelling index was the highest. The mucoadhesive strength of the film was in the range of 4.72 N/cm2 (F3) to 4.88 N/cm2 (F1) and had the highest mucoadhesive time of 11 minutes (F1). The release of curcumin from the film was between 67-70% and brazilin reached 100% for 2 hours. F1 film with 0,3% CaCl2 concentration exhibited the best physical characteristics"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisi Praista
"Natrium diklofenak merupakan obat golongan NSAID yang sering digunakan untuk mengatasi osteoartritis dengan persentase sebesar 55,88% di Indonesia. Pemberian peroral natrium diklofenak memiliki efek samping gangguan pada saluran cerna dan memiliki waktu paruh singkat. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat sediaan mikroemulsi dengan sistem penghantaran transdermal. Namun, dalam penghantaran sistem transdermal stratum korneum dapat menghalangi absorpsi obat melewati kulit karena stratum korneum tersusun dari sel mati dan pipih yang tersusun dari keratin kaya protein. Mentol merupakan peningkat penetrasi yang dapat meningkatkan absorpsi obat melewati kulit dengan cara meningkatkan permeabilitas kulit. Mikroemulsi merupakan sistem dua fase yang terdiri dari dari minyak dan air serta distabilkan oleh surfaktan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi optimum mentol yang dapat menghasilkan penetrasi yang tinggi. Mikroemulsi natrium diklofenak dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode titrasi fase. Mikroemulsi jernih dan stabil didapatkan dengan konsentrasi tween 80 20%, propilen glikol 30%, minyak 3%, dan mentol (0%, 1%, 3%, dan 5%). Evaluasi sediaan mikroemulsi yang dilakukan adalah pengukuran pH, ukuran globul dan zeta potensial, bobot jenis, viskositas, tegangan permukaan, uji sentrifugasi, uji stabilitas, dan cycling test. Uji penetrasi obat melewati kulit dilakukan secara in vitro dengan metode Sel Difusi Franz. Hasil penelitian menunjukkan persen jumlah kumulatif terpenetrasi pada F1, F2, F3, dan F4 sebesar 9,2581%, 9,5114%, 28,1514%, dan 13,3155% dan keempat formulasi stabil secara fisik selama penyimpanan 12 minggu. Formulasi dengan mentol 3% memiliki penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan formulasi dengan mentol 0%, 1%, dan 5%.

Diclofenac sodium is one of NSAID group often used to treat osteoarthritis with percentage of 55,88% in Indonesia. Oral administration sodium diclofenac gives side effect on gastrointenstinal tract and has short half-life. To overcome this problem, diclofenac sodium was prepared by microemulsion with transdermal administration. However, on transdermal delivery system stratum corneum can inhibit drug absorption because stratum corneum consist of a dead and flatted cells that rich of protein. Menthol is one of penetration enhancer which can increase drug absorption through the skin by increasing skin permeability. Microemulsion is double phase system consisting of water and oil stabilized by surfactant. The aim of this study was to determine optimum concentration of menthol that can produce high penetration. Microemulsion of diclofenac sodium in this study was prepared by phase titration method. Clear and stable microemulsion were obtained with concentration of tween 80 20%, propylene glycol 30%, oil 3%, and menthol (0%, 1%, 3%, and 5%). Evaluation of microemulsion done by measuring pH, diameter of globul and zeta potential, density, viscosity, surface tension, stability testing, and cycling test. In Vitro drug penetration test was conducted using Franz Diffusion Cell menthod. The result show percent cumulative in F1, F2, F3, and F4 were 9,2581%, 9,5114%, 28,1514%, and 13,3155% and four formulation physically stable during storage 12 weeks. The formulation with 3% menthol had higher penetration that the formulation with 0%, 1%, and 5% menthol."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>