Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Endriana Svieta
Abstrak :
Latar Belakang : Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja yang disebabkanoleh reaksi simpang pada kulit epidermis dan dermis akibat pajanan bahan yang berhubungan dengan bahan kimia, faktor fisik (panes), dan faktor mekanik (gesekan, tekanan, trauma) dan faktor riwayat atopi juga merupakan penyebab tidak langsung. Salah satu bahan kimia yang berisiko terhadap dermatitis kontak adalah debu semen. Pekerja yang berisiko terhadap pajanan debu semen adalah tenaga keja bongkar muat sak semen di pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Metode : Penelitian dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta pada September 2009. Desain penelitian ini cross sectional dengan analitik internal komparatif dan pemilihan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Populasi penelitian seluruh buruh tenaga kerja bongkar muat pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta yang berjumlah 402 orang, dan jumlah sampel 140 responden. Cara pengumpulan data dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan observasi pelaksanaan pekerjaan. Analisis data dengan program SPSS versi 15, dengan interpretasi analisis univariat , analisis bivariat (Odds Ratio dan 95% Confidence Interval) dan analisis multivariat (metode Enter pada Binary Logistic Regression). Hasil : Tenaga kezja bongkar muat Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta sebanyak 24,3% mengalami dermatitis kontak. Hasil analisis multivariat terdapat hubtmgan bermakna antara tingkat pajanan debu semen tahunan (p=0,041 ; OR=2,35; 95%Cl=0,99»S,56) dengan dermatitis kontak. Umur pekeija, status gizi, pendidikan, iiwayat atopi dan higiene diri buruk tidak mempunyai hubungan statistic bcmiakna dengan dermatitis kontak. Suhu lingkungan dan kelembaban dengan alat ukur Hear Stress Monitor (WBGTO tertingi 29,1°C dan RH tertinggi 62%) diduga mernpunyai kontribusi nntuk terjadinya dermatitis kontak. Kesimpulan dan saran : Prevalensi dermatitis kontak pada tenaga kerja bongkar muat Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta sebanyak 24,3%. Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya dennatitis kontak adalah tingkat pajanan debu semen tahunan (p=0,04l;0Ra¢§ =2,35).Tingginya suhu lingktmgan dan kelembaban diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya. dermatitis kontak. Pekerja perlu diajarkan pengetahuan akan bahaya debu semen, pentingnya alat pelindung diri dan menjaga kebersihan diri untuk mencegah teij adinya dermatitis kontak pada pekeija angkut semen. ......Background: Contact dermatitis is the one of a skin disease due to work caused by adverse reaction in the epidermis and dennis of skin exposure related materials, chemical, physical factors (heat), and mechanical factors (friction, pressure, trauma) and history of atopy factor is also an indirect cause. One of the chemicals that are at risk for contact dermatitis is cement dust, Workers at risk of exposure to cement dust is labor cement loading and unloading bags of Sunda Kelapa Port in Jakarta. Methods: This research was conducted at the port of Sunda Kelapa Jakarta in September 2009. The design was cross-sectional study with an intemal analytical comparative sample selection is done by simple random sampling. This study population is all the labor workers unloading port of Sunda Kelapa Jakarta totaling 402 people, based on the calculation of the number of samples of 140 respondents. Dara collection is done by filling status of research, which consisted of anarrmcsis, physical examination and observation of the implementation work. Data analysis using SPSS program version 15, with the interpretation of the univariate analysis (table distributions), bivariate analysis (calculating Odds Ratio 95% Confidence Interval) and multivariate analysis (enter method the binary logistic regression). Results: Prevalence of contact dermatitis among labor loading and unloading at the port of Sunda Kelapa Jakarta is 24.3% . There is signiicant statistic relationship between the cement dust exposure rating (p = 0.041; OR = 2,35; 95% CI == 0,19-5,56) to contact dermatitis, The age, work duration, nutritional status, education, poor self-hygiene and history of atopy had no significant statistic relationship to contact dermatitis. Temperature and humidity environment with the Heat Stress Monitor (29.l° C highest WBGTo and the highest 62% RH) have contributed to the occurrence of contact dermatitis Conclusions and sugestions: The prevalence of contact dermatitis in workers loading and imloading port of Sunda Kelapa Jakarta is 24.3%. The most related factors to the occmrence of contact dermatitis is cement dust exposure rating chronic (p = 0.04l; OR adj =2,3 5).The highly environmental temperature and humidity could be intiuence to contact dermatitis. Workers need to be taught to maintain personal hygiene and knowledge of the hazards of cement dust on the health of workers, including skin health.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32346
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indina Sastrini Sekarnesia
Abstrak :
Latar belakang: Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat yang disebabkan disfungsi melanogenesis, berupa makula coklat kehitaman simetris, terutama mengenai area wajah. Patogenesis melasma belum diketahui dengan jelas, beberapa faktor yang diduga berperan, di antaranya disfungsi tiroid dan defisiensi seng. Tujuan: Mengetahui kadar seng serum pada pasien melasma dan nonmelasma dengan dan tanpa disfungsi tiroid. Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada September-Desember 2019. Terdapat 60 pasien melasma dan 60 pasien nonmelasma. Kedua kelompok dilakukan matching usia dan jenis kelamin. Atomic absorption spectrophotometry digunakan untuk mengukur kadar seng serum. Laboratorium darah untuk memeriksa fungsi tiroid (TSH dan FT4). Analisis statistik menggunakan software SPSS. Hasil: Rerata kadar seng serum pada kelompok melasma 10,25±1,89 μmol/L dan nonmelasma adalah 10,29±1,46 μmol/L (p <0,901). Rerata kadar seng serum pada pasien melasma dengan disfungsi tiroid 8,77±0,69, melasma tanpa disfungsi tiroid 10,33±1,89, nonmelasma dengan disfungsi tiroid 10,48±2,4, dan nonmelasma tanpa disfungsi tiroid 10,27±1,4 (p <0,184). Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar seng serum pada kelompok melasma dan nonmelasma dengan dan tanpa disfungsi tiroid. ......Background: Melasma is an acquired hyperpigmentation disorder, clinically as asymmetrical blackish brown macules, especially on the facial area. Several factors are thought to play a role, including thyroid dysfunction and zinc deficiency. Objective: To determine serum zinc levels in melasma and non-melasma patients with and without thyroid dysfunction. Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta in September-December 2019. There were 60 melasma patients and 60 non-melasma patients. The two groups were matched for age and sex. Atomic absorption spectrophotometry was used to measure serum zinc levels. Blood laboratory was used to check thyroid function (TSH and FT4). Statistical analysis was done by SPSS software. Results: The mean serum zinc level in the melasma group was 10.25 ± 1.89 μmol / L and non-melasma was 10.29 ± 1.46 μmol / L (p <0.901). The mean serum zinc level in melasma patients with thyroid dysfunction was 8.77 ± 0.69, melasma without thyroid dysfunction 10.33 ± 1.89, non-melasma with thyroid dysfunction 10.48 ± 2.4, and nonmelasma without thyroid dysfunction 10.27 ± 1.4 (p <0.184). Conclusions: There was no significant difference between serum zinc levels in the melasma and non-melasma groups with and without thyroid dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hasanah
Abstrak :
Latar Belakang: Hiperhomosisteinemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular (PKV). Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang berhubungan dengan beberapa penyakit penyerta, misalnya aterosklerosis dan PKV. Defisiensi folat dapat terjadi pada pasien psoriasis, akibat utilisasi yang meningkat di kulit yang mengalami hiperproliferasi dan atau penyerapan oleh usus yang berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah. Penulis meneliti korelasi antara kadar homosistein serum dan derajat keparahan psoriasis vulgaris, yang diukur dengan metode psoriasis area severity index (PASI) dan luas permukaan tubuh (body surface area, BSA). Metode: penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang, pada 36 pasien psoriasis vulgaris. Subyek terdiri dari16 perempuan dan 20 laki-laki. Kadar homosistein serum diukur dengan metode competitive immunoassay dan dikorelasikan dengan derajat keparahan psoriasis. Hasil: pada subyek psoriasis laki-laki, kadar homosistein serum berkorelasi positif dengan derajat keparahan penyakit yang diukur dengan PASI (korelasi Pearson, r = 0.615 , p < 0,05) dan BSA (korelasi Spearman , r = 0,476 , p < 0,05). Tidak ada korelasi antara kadar homosistein serum dengan PASI (korelasi Pearson , p > 0,05 ) dan BSA (korelasi Spearman, p > 0,05) pada subyek psoriasis perempuan. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang signifikan secara statistik antara kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI dan BSA pada subyek psoriasis laki-laki. ......Background: hyperhomocysteinemia is an independent risk factor for the development of cardiovascular disease (CVD). Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease associated with several comorbidities, such as atherosclerosis and CVD. Psoriatic patients often presents low levels of folic acid as a result of an increasing vitamin utilization in the skin and/or reduced gut absorption. This may result in raised levels of homocysteine. The authors investigated the correlation between serum homocysteine levels and the severity of psoriasis vulgaris measured by psoriasis area and severity index (PASI) and body surface area (BSA). Method: we performed a cross-sectional study in 36 patients with psoriasis vulgaris. The subjects comprised 16 women and 20 men. The serum levels of homocysteine were measured by competitive immunoassay method and were correlated with the severity of psoriasis (PASI and BSA). Result: in male psoriasis subjects, serum homocysteine levels positively correlated with disease severity as measured by PASI (Pearson's correlation; r = 0.615, p < 0.05) and BSA (Spearman's correlation; r = 0.476, p < 0.05). There was no correlation between serum homocysteine levels with PASI (Pearson's correlation, p > 0.05) and BSA (Spearman's correlation, p > 0.05) in female psoriasis subjects. Conclusion: a significant correlation between serum homocysteine levels with disease severity measured by PASI and BSA in male psoriasis subjects was evidenced.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis
ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eliza Miranda
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T57661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
Abstrak :
Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia. Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik. Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D. ......Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia. Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients. Methods: This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire. Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031). Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinadewi Astriningrum
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko vaginosis bakterial pada populasi wanita penjaja seks di Tangerang. Faktor risiko vaginosis bakterial pada WPS penting diketahui untuk dapat menyusun strategi pencegahan terhadap vaginosis bakterial. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan studi potong lintang. Subyek penelitian adalah wanita penjaja seks di kabupaten Tangerang, provinsi Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi vaginosis bakterial di Tangerang tergolong tinggi (131 dari 189 subyek didiagnosis vaginosis bakterial; 69.31%). Semakin banyak jumlah pasangan, tindakan bilas vagina, dan semakin muda usia wanita penjaja seks meningkatkan risiko vaginosis bakterial. ......This study aim to determine the prevalence of bacterial vaginosis and analyze risk factors of bacterial vaginosis in female sex workers in Tangerang. Knowledge about risk factor of bacterial vaginosis in high-risk population is important to formulate prevention strategies against bacterial vaginosis. The study design is analytical cross-sectional study. The study subjects are female sex workers in Tangerang district, Banten province. Result shows that prevalence of bacterial vaginosis in Tangerang is high (131 out of 189 subjects were diagnosed as bacterial vaginosis; 69.31%). The higher the number of sexual partners, vaginal douching, and the younger the age group of female sexual workers increase the risk of bacterial vaginosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anjani Ramadhan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Penderita diabetes melitus tipe 2 diprediksi akan semakin bertambah di seluruh dunia. Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi di berbagai organ tubuh manusia, termasuk kulit. Kulit kering adalah komplikasi yang sering ditemukan pada penderita diabetes melitus dan berpotensi sebagai faktor predisposisi terjadinya luka yang dapat berkembang menjadi gangren. Terdapat beberapa teori yang diajukan, salah satunya adalah neuropati autonom perifer sebagai faktor etiologi kulit kering diabetes tipe 2. Belum ada penelitian mengenai hubungan antara neuropati autonom perifer dengan kulit kering diabetes melitus tipe 2.

Tujuan: Menguji hubungan neuropati autonom perifer dan kulit kering diabetes mellitus tipe 2.

Metode: Uji potong lintang. Enam puluh subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati dan kelompok diabetes melitus tipe 2 tanpa neuropati. Penilaian neuropati autonom perifer menggunakan skor SSW (stimulated skin wrinkling). Penilaian kekeringan kulit secara subjektif menggunakan specified symptom sum score dan secara objektif menggunakan Scap (skin capacitance) serta TEWL (trans epidermal water loss).

Hasil: Nilai specified symptom sum score kelompok yang tidak mengalami neuropati yaitu 4 (1-8) dan kelompok yang mengalami neuropati yaitu 4 (1-9) dengan nilai p > 0,05. Nilai TEWL pada kelompok neuropati lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati yaitu 10,5 (6,9-55,0) vs 9,3 (7,4-13,2) dengan nilai p < 0,05. Nilai scap lebih tinggi pada kelompok neuropati dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati yaitu 29,5 + 8,6 vs 27,0 + 7,2 dengan nilai p > 0,05. Kekuatan penelitian untuk ketiga parameter status hidrasi kulit dibawah 80%.

Kesimpulan: Tidak ada perbedaan bermakna secara klinis dan statistika terhadap kulit kering pada kelompok pasien diabetes tipe 2 dengan neuropati dan tanpa neuropati dilihat dari penilaian specified symptom sum score. Kelompok pasien diabetes tipe 2 yang mengalami neuropati memiliki nilai TEWL lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati, yang bermakna secara statistika. Nilai scap kelompok pasien diabetes tipe 2 yang mengalami neuropati lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami neuropati, walaupun tidak bermakna secara statistika. Kekuatan penelitian dibawah 80% menunjukkan bahwa secara statistika, hasil dari penelitian ini belum cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antara kulit kering pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati autonom perifer.
ABSTRACT
Background: Prevalence of type 2 diabetes mellitus is predicted to elevate worldwide. Diabetes mellitus cause complications in many organs, including the skin. Dry skin is common in diabetics and potential to predispose wound that could complicate into gangrene. One of the theory which explain the etiology of dry skin in diabetics is peripheral autonom neuropathy. There is not a study that evaluate association of peripheral autonom neuropathy and dry skin in type 2 diabetes mellitus.

Objective: To asses association of peripheral autonom neuropathy and dry skin in type 2 diabetes mellitus.

Methods: A cross sectional study. Sixty subjects are divided into 2 groups, group of diabetics with neuropathy and without neuropathy. Evaluation of peripheral autonom neuropathy was using SSW (stimulated skin wrinkling) scoring system. Subjective tool to evaluate dry skin was the Specified Symptom Sum Score (scaling, roughness, redness, cracks fissures) and the objective tool was using Scap (skin capacitance) and TEWL (trans epidermal water loss).

Result: Specified Symptom Sum Score mean value in group without neuropathy is 4 (1-8) and with neuropathy is 4 (1-9), p value > 0,05. TEWL mean value in group with neuropathy is higher than group without neuropathy 10,5 (6,9-55,0) vs 9,3 (7,4-13,2) and p value < 0,05. Scap value is higher in group with neuropathy than group without neuropathy 29,5 + 8,6 vs 27,0 + 7,2 and p value > 0,05. The calculation shows below 80% for statistical power.

Conclusion: There is no clinically and statistically significant difference in type 2 diabetes dry skin with neuropathy and without neuropathy for Specified Symptom Sum Score. TEWL value in group with neuropathy is higher than group without neuropathy, which statistically significant. Scap value in group with neuropathy in higher than group without neuropathy, there is no statistically significant. Below 80% statistical power shows the low strength of this study.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fifi Mifta Huda
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Kandidosis merupakan penyakit infeksi primer atau sekunder yang disebabkan oleh jamur genus kandida terutama C. albicans pada 70-80 kasus. Penelitian yang ada melaporkan pasien rawat inap sebagai kelompok yang berisiko terjadi infeksi kandidosis kutis. Tujuan: Mengetahui proporsi dan identifikasi spesies penyebab kandidosis kutis serta faktor yang berhubungan di Unit Rawat Inap RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Studi ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif dan pemilihan sampel secara consecutive sampling. Hasil: Didapatkan 14 dari 96 SP dengan kandidosis kutis. Spesies penyebab kandidosis kutis adalah C. albicans 61,7 , C. non albicans 17,6 dan C. campuran 20,5 . Subjek dengan imobilisasi memiliki kemungkinan 7,93 kali untuk terjadi kandidosis kutis. Perbedaan kelembapan udara sebesar 0,4 memiliki kemungkinan 1,49 kali untuk terjadi kandidosis kutis di atasnya. Simpulan: Ditemukan proporsi kandidosis kutis adalah 35,4 . Spesies penyebab kandidosis kutis terbanyak adalah C. albicans. Faktor yang meningkatkan kandidosis kutis adalah imobilisasi dan peningkatan kelembapan udara di ruang perawatan.
ABSTRACT
Background Candidiasis is a primary or secondary infection disease caused by the Candida especially C. albicans in 70 80 of cases. Previous research reports inpatients as a group at risk of cutaneous candidiasis infection. Objective To determine the proportion of cutaneous candidiasis, identify candida species, and the related risk factors of infection in Inpatient Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods This is a cross sectional research of descriptive design using consecutive sampling technique. Results The study found that 14 out of 96 SP were 35,4 is cutaneous candidiasis, which caused by C. albicans 61.7 , Candida non albicans 17.6 and mixture candida 20.5 . The probabilty cutaneous candidiasis 7.93 times increased in subjects with immobilization and the difference of level air humidity above 0.4 increased 1.49 times. Conclusion The proportion of cutaneous candidiasis is 35.4 . The most common cause of candidiasis is C. albicans. Related risk factors that probability induce cutaneous candidiasis are immobilization and increasing level of air humidity.
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Teresa
Abstrak :
Latar belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa jumlah akne vulgaris AV perempuan dewasa mengalami peningkatan. Hormon, produksi sebum, p. ance, proses inflamasi menjadi berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis terbentuknya AV dewasa. Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar Dehydroepiandrosterone sulfate DHEAS dan kadar sebum pada pasien AV perempuan dewasa. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada Bulan Juni-Oktober 2017. Sebanyak 50 sampel perempuan dewasa usia 25-49 tahun didapatkan dengan consecutive sampling. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran kadar sebum wajah dan pengukuran kadar hormon DHEAS. Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara kadar DHEAS dengan kadar sebum wajah pada pasien AV p:0.008; r:0.371 . Setiap kenaikan kadar DHEAS diikuti dengan peningkatan kadar sebum wajah. Diskusi: Androgen berikatan dengan reseptor androgen pada sebosit kulit sehingga androgen dapat mengontrol perkembangan kelenjar sebasea dan produksi sebum. Selain diproduksi secara sistemik, hormon androgen juga diproduksi secara lokal di kulit. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya AV dewasa tanpa disertai adanya hiperandrogenisme. ...... Background: Epidemiologic studies have shown that number of adult female acne vulgaris AV increases. Hormone, sebum production, Propionibacterium acne and inflammatory process are factors involved in adult AV development. Objective: The aims of this study is knowing the correlation between Dehydroepiandrosterone sulfate DHEAS and sebum level in adult female acne. Method: This research used cross sectional study, and held from June to October 2017. Fifty samples aged 25 49 years were collected by consecutive sampling. Anamnesis, physical examination, sebum and DHEAS measurement were conducted. Result: There was significantly difference between DHEAS and skin sebum level in AV patients p 0.008 r 0.371. Every increased DHEAS level was followed by increasing of sebum production in AV patient. Discussion: Androgen binds to androgen reseptor in skin sebocyte, so that androgen could control sebaceous gland development and sebum production. Besides being produced by systemic, androgen is also produced locally in the skin. This could explain how adult AV develops without any hyperandrogenism.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>