Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Hamdani Hamid
"Latar Belakang: Sebagian besar pendenita Bell's palsy sembuh sempurna, sisanya tetap mengalam paralisis atau sembuh dengan cacat Secara klinis kecepatan penyembuhan Bell's palsy berbeda-beda, bila terjadi perbaikan yang nyata dalam 3-4 minggu, maka dalam beberapa minggu kemudian akan tercapai kesembuhan sempurna Pemeriksaan Elektrofisiologis antara lain MLP (masa laten proksimal) dan CMAP (compound muscle action potential) diharapkan dapat memprediksi kemungkinan kesembuhan lebih dini Namun terdapat perbedaan mengenai waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan Elektrofisiologis Pada penelitian ini akan dilihat apakah terdapat korelası antara derajat kelumpuhan dengan MLP dan CMAP minggu pertama maupun minggu ke 5. Metodologi: Dilakukan pemeriksaan elektrofisiologıs yakni masa laten proksimal dan compound muscle action potential dengan menggunakan alat EMG Medelec Sapphire pada 55 orang penderita Bell's palsy di laboratorum EMG bagian Neurologi RSUPNCM, yang derajat kelumpuhan otot fasialisnya telah ditentukan menurut metode modifikasi House Brackmann Evaluasi klinis, pemenksaan MLP dan CMAP pada sisi sakit dan sehat dilakukan 2 kali yakni pada minggu pertama dan minggu ke 5 Selanjutnya diadakan uyi statistik untuk menilai adakah perbedaan antara sisi sakit dan sehat pada minggu pertama maupun minggu ke 5 dan dinilai pula adakah hubungan antara derajat kelumpuhan klinis dengan MLP dan CMAP dengan tingkat kemaknaan p 0.05 Dinilai pula korelasi antara gambaran MLP dan CMAP minggu pertama dengan kesembuhan dalam 1 bulan. Hasil Penelitian: Bell's palsy sedikit lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria dan lebih sering ditemukan pada usia 20-29 tahun dibanding usia lebih tua Tidak tedapat perbedaan kekerapan timbulnya Bell's palsy pada sisi kin dengan sisı kanan Umumnya didahului kontak udara dingin beberapa han sebelum timbulnya Bell's palsy Terdapat perbedaan bermakna antara MLP dan CMAP sisi sakit dengan sisi schat Nilai CMAP sisi sakit dengan sisi sehat minggu pertama maupun minggu ke 5 berhubungan dengan derajat kelumpuhan secara klinis sedang MLP tidak Terdapat korelasi secara statistik baik antara derajat kelumpuhan klinis, MLP maupun CMAP dengan kesembuhan dalam 1 bulan. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara derajat kelumpuhan dengan CMAP minggu pertama maupun minggu ke 5 sedangkan MLP tidak Terdapat korelasi antara derajat kelumpuhan klinis maupun gambaran MLP dan CMAP minggu pertama dengan kesembuhan penderita dalam 1 bulan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Basuki
"Tujuan penelitian : Mendapatkan nilai rerata orang dewasa normal tentang (1) n peroncus dan n.tibialis serta PAST n.suralis, (2). Mengamati apakah usia, jenis kelamm dan panjang tungkai mempengaruhi nilai rerata yang didapat, (3). Mengamati apakah terdapat perbedaan antara tungkai kanan dan kiri. Subyek penelitian : Meliputi 50 orang yang terdiri dari 26 orang pria dan 24 orang wanta di lingkungan bagian ilmu penyakit saraf FKUI-RSUPNCM, Jakarta; usia 16-50 tahun, dalam keadaan normal dan schat. Tempat penelitian : Laboratonum EMG-Evoked potential bagian ilmu penyakit saraf FKUI RSUPNCM, Jakarta, data dikumpulkan dari Desember 1997 s./d. Mei 1998. Pemeriksaan : Dilakukan terhadap (1). N.peroneus, n.tibialis dan n.suralis dengan alat EMG Medelec MS-6 II, (2). Data yang didapat dicatat secara manual kemudian diolah dengan komputer di bagian statistik ilmu kesehatan masyarakat FKUI-RSUPNCM. Hasil: Dari analisa statistik didapatkan (1). Pengaruh jenis kelamin terhadap (a) PAOT n.peroneus didapatkan perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita pada latensi proksimal tungkai kanan dan tungkai kiri, sedangkan KHS dan latensi F pada tungkai kiri, (b) PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna antara pra dan wanita pada amplitudo F tungkai kanan, (c). PAST n.suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna baik pada tungkai kanan maupun tungkai kini. (2) Pengaruh usia terhadap (a). PAOT n.peroncus tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai, (b). PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna pada amplitudo tungkai kiri, (c) PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai. (3). Pengaruh panjang tungkai terhadap PAOT nperoneus, n.tibialis dan PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada semua parameter. Kesimpulan : Secara umum (1). PAOT n peroncus dari subyek yang diteliti dipengaruhi oleh (a). Jenis kelamin latensi proksimal tungkai kanan dan kin pada pria lebih panjang daripada wanita KHS pria lebih cepat daripada wanita, (b). usia dan panjang tungkai tidak mempengaruhi nilai yang didapat (2). PAOT n tibialis, (a) Jenis kelamin : amplitudo F pada pria lebih tinggi daripada wanita, (b). Usia : amplitudo dipengaruhi oleh usia, yaitu makin tua usia amplitudo makin rendah, (3). Panjang tungkai : tidak mempengaruhi nilai yang didapat. (3). Pada penelitian ini PAST n suralis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan panjang tungkai. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono
"Latar belakang : Angka kejadian dan kematian penderita cedera kranio-serebral cukup tinggi. Dalam upaya memperkecil angka kematian dan kecacatan penderita cedera kranio-serebral diperlukan sarana untuk memprediksi keluaran pada cedera kranio-serebral. Berbagai penelitian untuk memprediksi ke1uaran telah dilakukan, diantaranya pemeriksaan neuro-fisiologis seperti PCAB (potensial cetusan auditori batang otak). Metodologi : Pemeriksaan PCAB dilakukan dengan menggunakan alat peme riksaan potensial cetusan Mede1ec ER 94a1sensor dengan stimulasi Mede1ec ST 10 sensor di laboratorium EMG bagian Neurologi RSUPNCM terhadap 58 penderita cedera kranio-serebral dengan SKG 5-10 usia 20-50 tahun yang dirawat di bagian Neurologi RSUPNCM dalam waktu 6-72 jam pertama dengan memperhatikan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Dilakukan klasifikasi gambaran PCAB dan keluaran (contracted scale Glasgow Outcome Scale) dalam 10 hari perawatan dan dilakukan uji statistik korelasi PCAB dengan keluaran dengan tingkat kemaknaan p=0,05. Basil penelitian: PCAB normal didapatkan pada 53,45% penderita dan PCAB abnormal didapatkan pada 46,55% penderita. Pemanjangan latensi antar ge10m bang unilateral didapatkan pada 32,76%, pemanjangan bilateral pada 3,450/0, dan hanya timbul gelombang I unilateral pada 10,34% penderita. Tidak didapatkan penderita dengan hanya timbul gelombang I bilateral. Sebagian besar penderita (74,08%) mengalarni pemanjangan latensi antar gelombang Ill-V, 3,7% penderita dengan pemanjangan latensi antar gelombang I-V. Keluaran baik terjadi pada 43,4% dan keluaran buruk. terjadi pada 56,6% penderita. keluaran baik terjadi pada 76,42% penderita dengan PCAB normal dan keluaran buruk terjadi pada 88,890/0 penderita dengan PCAB abnormal. Secara statistik terdapat perbedaan bennakna antara keluaran penderita dengan PCAB normal dan PCAB abnormal dan makin berat ke1ainan PCAB maka kemungkinan keluaran buruk lebih besar (p<0,05). Kesimpu/an Kata kuoci PCAB dapat memprediksi keluaran buruk. pada penderita cedera kranio-serebral dengan akurat.

Background: The morbidity and mortality rate of craniocerebral injury patients is quite high. An adequate equipment is needed to predict the outcome of craniocerebral injury to reduce the mortality and prevent more disability. Several researches for predicting the outcome have already been done, such as neurophy siological studies like BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potentials). Method : BAEP studies have been done, using Medelec ER 94a / ST 10 equip ment at the EMG-EP laboratory of the Department of Neurology of the Cipto mangunkusumo Hospital, in 58 craniocerebral injured patients with a Glasgow Coma Scale between 5-10, age 20-50, who were admitted to the Neurology ward of the Ciptomangunkusumo Hospital within the first 6-72 hours by looking at the inclusion and exclusion criteria. Statistic evaluation have been done to classify the correlation of BAEP abnonualities with the 10 days outcome (contracted scale of Glasgow Outcome Scale) with a significance ofp = 0.05. Result : Normal BAEP are found in 53.45% patients and abnormal ones are found in 46.55% patients. A unilateral extended interpeak latency was found at 32.76% and 3.45% had a bilateral prolongation and 10.34% only had a unilateral first peak. Most of the patients (74.08%) had a prolongation of the III-V interpeak latency, 3.7% patients had a prolongation of the I-V interpeak latency. 43.4% patients had a good outcome and 56.6% a bad outcome. Good outcome occurred at 76.42% patients with normal BAEP and bad outcome occurred at 88.89% patients with abnormal BAEP. Statistically, there is a significant difference between the outcome of patients with normal and abnormal BAEP, and the probability for a bad outcome was more in the presence of severe BAEP abnormalities (p<0.05). Conclusion: BAEP is able to predict the outcome of craniocerebral injury patients acurately.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Tjen
"LATAR BELAKANG DAN TUJUAN : Potensial cetusan somatosensorik telah banyak digunakan dalam penelitian strok. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan korelasi antara derajat kekuatan motorik dan potensial cetusan somatosensorik pada penderita dengan serangan pertama strok iskemik. METODOLOGI : Telah diteliti 44 penderita (usia rerata 52 tahun) strok iskemik. Evaluasi klinis mencakup penentuan derajat kekuatan motorik dan perekaman potensial cetusan somatosensorik dilakukan pada waktu bersamaan dalam kurun waktu 3-5 hari setelah saat serangan. Penentuan kekuatan motorik menggunakan skala Medical Research Council. HASIL : Kelainan potensial cetusan somatosensorik ditemukan pada 36,36% penderita strok iskemik. Analisis statistik menunjukkan adanya pemanjangan masa konduksi sentral yang bermakna pada sisi lesi(t=2,17; p=O,037). Korelasi yang bermakna ditemukan antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik(p=O,00157). KESIMPULAN : Hasil penelitian ini menunjukkan cukup banyak kelainan potensial cetusan somatosensorik pada penderita strok iskemik. Ada korelasi yang bermakna antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik.

BACKGROUND AND PURPOSE; Somatosensory evoked potentials have been widely applied in the study of stroke. The aim of this study is to detennine the correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials in patients with first attack of ischemic stroke. METHODS; Forty four patients (average age 52 years) were evaluated within 3-5 days after symptom onset. In the clinical assessment a quantitative evaluation of motor paresis using the Medical Research Council scale was included. Somatosensory evoked potentials were recorded once at the same time. RESULTS ; Somatosensory evoked potential abnormalities were found in 36,36% of the patients. The statistical analysis indicated a significant prolongation of the central conduction time of the affected side compared with that of the unaffected side (t=2,17; p=O,037). There was a significant correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials (p=O.00157). CONCLUSIONS; Our study demonstrates that somatosensory evoked potential abnonnalities are common in patients with ischemic stroke and that somatosensory evoked potential abnormalities correlate with the severity of motor paresis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58341
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library