Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purba, Ruliando Hasea
"Bleep test telah lama di gunakan untuk memprediksi ambilan oksigen maksimal (VO2maks) pada atlet di Indonesia. Namun hasil pemeriksaan tersebut tidak sebaik hasil yang dilaporkan di luar negeri. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan rumus koreksi yang dapat memberikan hasil yang lebih mendekati hasil pemeriksaan VO2maks baku emas.
Penelitian uji potong lintang ini telah merekrut subjek sejumlah 190 orang. Sebanyak 12 subjek diekslusi karena tidak mengikuti keseluruhan penelitian. Seluruh subjek menjalani pemeriksaan fisis: tanda vital, postur, panjang tungkai dan pemeriksaan laboratorium: treadmill test, asam laktat pre-post treadmill, spirometri, denyut nadi maksimal, serta pemeriksaan lapangan: bleep test, suhu, dan kelembaban ruangan. Data yang diperoleh dianalisis sesuai kaidah yang berlaku menggunakan SPSS.
Hasil analisis mendapatkan pemodelan rumus prediksi baru yaitu rumus Ruli: VO2maks = 49,795 + 0,238 (Total Shuttle) + (-0,173) (BB) + (-0,086) (DNM_Lap) + 0,229 (Suhu_Lap). Uji validitas internal dan uji reliabilitas menggunakan Bland-Altman menunjukkan rumus ini cukup baik dan dapat digunakan, namun uji validitas eksternal masih diperlukan sebelum rumus ini dapat digunakan secara luas pada atlet junior laki laki.

The bleep test has long been used to predict maximal oxygen uptake (VO2max) in Indonesian athletes. However, the results of these examinations are not as good as the results reported abroad. This research was conducted to obtain a correction formula that can provide results closer to the gold standard VO2max examination results.
This cross-sectional study recruited 190 subjects. Twelve subjects were excluded because they did not follow the whole study. All subjects underwent a physical examination: vital signs, posture, leg length, and laboratory tests: treadmill test, pre-post treadmill lactic acid, spirometry, a maximum pulse, and field examinations: Bleep test, temperature, room humidity. The data obtained were analyzed according to the proper method using SPSS.
The results of the analysis obtained a new predictive modeling formula, namely the Ruli formula: VO2max = 49.795 + 0.238 (Total Shuttle) + (-0.173) (BW) + (-0.086) (HRmax Field) + 0.229 (Field Temp). Internal validity and reliability tests using Bland-Altman show that this formula is quite good and can be used. However, an external validity test is still needed before this formula can be widely used in male junior athletes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Adhia Garina
"Obstructive sleep apnea adalah salah satu komorbid asma yang saat ini menjadi perhatian karena menyebabkan hipoksia intermiten akibat OSA sehingga terjadi kerusakan lapisan endotel, terbentuknya mikropartikel, dan inflamasi. Penurunan arus puncak ekspirasi (APE) dan kualitas hidup (PAQLQ) juga berkaitan dengan asma sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh inflamasi terhadap APE dan PAQLQ pada anak asma disertai komorbid OSA.
Penelitian cross-sectional komparatif dilakukan di Banding pada anak asma usia 7–15 tahun disertai dan tanpa OSA, pada bulan Agustus 2020 sampai Juni 2021. Penjaringan asma klinis berdasarkan gejala dan riwayat pengobatan dilakukan berdasarkan kuesioner ISAAC, diagnosis asma dengan peak flow meter, dan diagnosis OSA dengan polisomnografi. Sitokin pro-inflamasi diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan mikropartikel endotel diperiksa menggunakan flow cytometer. Data diolah menggunakan program SPSS 20.0 dan diuji dengan uji t tidak berpasangan, uji Mann-Whitney, uji korelasi Pearson dan Spearman Rho. Uji path analysis (Structural Equation Modeling, SEM) menggunakan program JASP versi 0.16.1.
Jumlah subjek adalah 32 anak asma disertai OSA dan 48 anak asma tanpa OSA. Terdapat perbedaan bermakna pada indeks masa tubuh/IMT (p = 0,01), hipertrofi tonsil (p = 0,009), persentase APE (p = 0,02), semua domain nilai PAQLQ, dan kadar mikropartikel endotel antara kedua kelompok. Eosinofil dan neutrofil berpengaruh pada APE, sedangkan interleukin-6, eosinofil, neutrofil, CD62E+/CD31- mikropartikel, dan APE berpengaruh pada penurunan nilai PAQLQ pada kelompok anak asma disertai OSA. Disimpulkan mikropartikel endotel berperan pada patomekanisme asma dengan komorbid OSA.

Obstructive sleep apnea is comorbid of asthma causes intermittent hypoxia due to damage the endothelial layer, release of microparticles, and inflammation. Decreased peak expiratory flow rate (PEFR) and quality of life (PAQLQ) are also associated with asthma. The aim of this study was to evaluate the influence of inflammation on PEFR and PAQLQ in asthmatic children with comorbid OSA.
A cross-sectional study was conducted in asthmatic children aged 7–15 years with and without OSA, from August 2020 to June 2021. Asthma symptoms and therapeutic history were carried out using the ISAAC questionnaire, diagnosis of asthma by a peak flow meter, and diagnosis of OSA by polysomnography. Pro-inflammatory cytokines were examined using the ELISA method and endothelial microparticles were examined using a flow cytometer. Statistical analysis using SPSS program v.20.0 and analyzed by unpaired t-test, Mann-Whitney U-test, Pearson and Spearman Rho test. Path analysis test (Structural Equation Modeling, SEM) using JASP v.0.16.1.
The number of subjects was 32 asthmatic children with OSA and 48 asthmatic children without OSA. There were significant differences in body mass index/BMI (p = 0.01), tonsil hypertrophy (p = 0.009), PEFR percentage (p = 0.02), all domains of PAQLQ values, and endothelial microparticle levels between the two groups. Eosinophils and neutrophils have an effect on PEFR, whereas interleukin-6, eosinophils, neutrophils, CD62E+/CD31- microparticles, and PEFR have an effect on decreasing PAQLQ values ​​in the group of asthmatic children with OSA. It is concluded that endothelial microparticles have an influence on the pathomechanism of asthma with comorbid OSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathul Jannah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) di Indonesia masih menempati urutan ke-3 di dunia.
Anak dengan tuberkulosis umumnya mengalami defisiensi zinc dan vitamin A. Defisiensi
zinc dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh dan mengganggu sintesis
retinol binding protein sehingga dapat menghambat proses penyembuhan TB.
Penambahan zinc dan vitamin A dapat membantu meningkatkan respon kekebalan tubuh
pada penderita TB.
Tujuan: Membuktikan pengaruh suplementasi zinc dan vitamin A dalam meningkatkan
status gizi dan perbaikan gejala klinis pada anak usia 5-10 tahun dengan tuberkulosis
paru.
Disain: Penelitian adalah kuasi eksperimen dengan pre post design dengan kontrol.
Sebanyak 84 anak yang telah diseleksi dan terdiagnosis TB Paru yang berada di empat
wilayah Puskesmas Kecamatan di Jakarta Pusat diambil menjadi subyek penelitian.
Kelompok perlakuan dibagi secara acak menjadi dua kelompok yakni kelompok I yang
mendapatkan Obat anti Tuberkulosis Standar DOTS dan suplemen (berisi 20 mg zinc
elemental dan vitamin A asetat 1500 IU) dan kelompok II yang hanya mendapatkan OAT
saja. Obat dan suplemen diminum setiap hari selama pengobatan TB. Respon
kesembuhan dapat diukur dari membaiknya gejala klinis dan status gizi dibandingkan
pada saat awal sebelum pengobatan. Analisis untuk melihat perbedaan dua kelompok
menggunakan uji T-Test. Gejala klinis diukur dengan chi-square.
Hasil: 84 Subyek terdiri atas kelompok intervensi (n=38) dan kelompok kontrol (n=46).
Pada fase inisial (bulan ke dua) perubahan nilai zinc, retinol dan IMT-U pada kelompok
intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, grup I dengan nilai p=0,087;
p=0,002; p=0,449 berturut-turut. Perubahan kadar albumin dan hemoglobin kelompok
kontrol lebih tinggi dibanding kelompok intervensi denan nilai p=0,000; p=0,142. Pada
bulan ke enam terjadi kenaikan pada retinol, hemoglobin, IMT-U, kelompok intervensi
lebih tinggi dari kelompok kontrol dengan p=0,879; p=0,142; p= 0,216. Perubahan kadar
albumin lebih tinggi pada kelompok kontrol p=0,005. Kadar zinc mengalami penurunan
pada kedua kelompok p=0,153. Perbaikan gejala klinis lebih cepat terjadi pada kelompok
intervensi dan bermakna secara klinis namun tidak bermakna secara statisik.
Simpulan: Pemberian suplemen disarankan pada anak TB yang mendapat OAT hingga
bulan ke dua, karena dapat meningkatkan status gizi dan perbaikan gejala klinis.

ABSTRACT
Background: Indonesia is the 3rd in the world on Tuberculosis (TB). Most children with
tuberculosis commonly have zinc and vitamin A deficiency. Zinc deficiency caused
immune system disorders and disturb the synthesis of retinol binding protein, it inhibited
the healing process of TB. Supplementation of zinc and vitamin A helped to improve the
immune response in TB patients.
Objective: To prove the effect of zinc and vitamin A supplementation in improving the
clinical symptoms and nutritional status in children 5-10 years of tuberculosis.
Design: This study was quasi experimental, was conducted in a pre post design. A total
of 84 children who were selected and diagnosed with pulmonary TB in the four districts
of the Public Health Center in Central Jakarta were invited as research subjects. Subjects
were divided into two groups. Group I received the standard DOTS ATT and supplement
(containing 20 mg zinc element, as a zinc sulfate and acetate vitamin A 1500 IU), while
group II only received ATT. These drugs and supplements are taken daily during TB
treatment. The recovery response can be measured by observing the improvement in
clinical symptoms and nutritional status compared to the time before treatment. The
analysis used to see the differences between the two groups is the T-Test. Clinical
symptoms are measured by chi-square.
Results: There are 84 subjects taken in the intervention group (n = 38) and the control
group (n = 46). In intensive phase, delta of zinc, retinol, BMI/A on intervention group
was higher than control ( p=0,087; =0,002; =0,449, respectively). Delta albumin and Hb
were higher ol control than intervention (p=0,000; =0,142). On the 6th mo, delta of
retinol, Hb increased higher than control (p=0,879; =0,142; =0,216, respectively). But
zinc level decreased on both groups (p=0,153). Clinical symptoms provide good results
and are clinically meaningful but not significant.
Conclusion: Supplementation was valueable with ATT treatment up to two months due
to it could improve nutritional status and clinical symptoms.

"
2019
D2622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Meily Kurniawidjaja
"Pendahuluan: Silikosis adalah penyakit paru interstitial yang diakibatkan oleh proses inflamasi kronik dan fibrosis jaringan paru. Terjadinya perubahan struktur patologik dan timbulnya gangguan fungsi para. TNF-α merupakan salah satu faktor yang berperanan dalam proses inflamasi. Kepekaan tubuh terhadap produksi TNF-α yang dipicu oleh inflamasi kronik, salah satunya, ditentukan oleh variasi genetik gen TNF-α pada posisi -308. Faktor lain yang ikut menentukan respons inflamasi sebagai akibat dan pajanan debu adalah kadar IL-10 yang merupakan sitokin anti-inflamasi, yang dikeluarkan setelah terjadi proses inflamasi. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian imunogenetik terhadap terjadinya silikosis pada pekerja pabrik semen, dengan mengkaji variasi genetik gen TNF-α pada posisi -308, dan dinamika interaksi sitokin proinflamasi TNF-α dengan sitokin anti-inflamasi IL-10.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan mengikutsertakan 6.069 orang yang merupakan pekerja yang sudah bekerja dan terdaftar di bagian personalia pada tanggal 31 Desember 1990, ditambah pekerja yang diterima pada tahun-tahun berikutnya sampai dengan 31 Desember 2003, di salah satu pabrik semen di Jawa Barat. Kontribusi variasi genetik terhadap kerentanan silikosis dilakukan melalui studi prospektif dengan desain tested case control pada 336 pekerja. Diagnosis silikosis menggunakan standar ILO kategori 0/1 atau lebih. Studi laboratoris pemeriksaan gen DNA dilakukan dengan teknik PCR-RFLP, dengan menggunakan enzim Ncol untuk melihat variasi genetik pada posisi -308. Kadar TNF-α dan IL-10 diperiksa dengan menggunakan teknik ELISA. Analisis statistik dengan komputer menggunakan perangkat Stata 7.0. Penilaian peranan faktor-faktor risiko terhadap terjadinya silikosis dan pembuatan model penskoran, dilakukan dengan analisis kesintasan dan analisis multivariat dengan regresi cox.
Telitian: Temuan penting dari penelitian ini adalah berikut: (1) di pabrik semen ditemukan silikosis/pneumokoniosis. Insiden kumulatif selama 13 tahun, jika digunakan kriteria ILO kategori >0/1, yaitu 2,899%; jika >1/1, yaitu 2,043%; tidak ditemukan kasus kategori >1/1; dengan densitas insiden, setiap tahun dan 10.000 orang pekerja sekitar 16 orang akan terkena silikosis/pneumokoniosis; (2) foto serial meningkatkan ketelitian diagnosis silikosis/pneumokoniosis; (3) bentuk klinis silikosis/ pneumokoniosis yang ditemukan adalah bentuk simpleks, yang menimbulkan bronkitis kronik simpleks, tanpa disertai sesak napas, tidak berhubungan dengan penyakit tuberkulosis paru, berhubungan dengan penurunan VEP, dan KVP yang lebih cepat; (4) penurunan VEP, (38,38±25,31 ml/thn.) dan KVP (36,76±26,37 ml/thn.) pekerja pabrik semen lebih cepat daripada orang Indonesia normal; (5) proporsi variasi genetik gen TNF-α pada posisi -308 di Indonesia lebih besar pada kasus silikosis (13,45%); (6) rasio TNF-αIL-10 temyata memegang peranan paling penting dalam terjadinya silikosis; TNF-α:IL-10>1 merupakan faktor risiko terhadap terjadinya silikosis di pabrik semen; pekerja dengan rasio >1 berisiko tiga kali lebih sering terjadi silikosis jika dibandingkan dengan yang <1; (7) umur pertama kali masuk kerja merupakan faktor yang ikut berperanan dalam terjadinya silikosis: umur >31 tahun mempunyai risiko dua kali lebih sering terkena silikosis jika dibandingkan dengan umur <31 tahun; (8) rasio TNF-αIL -I0 >I mengakibatkan penurunan fungsi paru KVP lebih cepat jika dibandingkan dengan nilai rasio <1; (9) dari temuan di atas dapat dibuat sistem penskoran untuk melakukan prediksi terjadinya silikosis pada pekerja semen.
Simpulan: Mekanisme terjadinya silikosis pada pabrik semen temyata sangat kompleks; terjadi interaksi antara variasi genetik, sistem imun, dan faktor lingkungan. Variasi genetik gen TNF-α pads posisi -308 menyebabkan risiko seseorang mendapatkan silikosis/pneumokoniosis lebih besar daripada orang yang tidak mempunyai variasi genetik tersebut. Rasio TNF-αIL-10 >1 mengakibatkan reaksi inflamasi yang berlebihan dan berakhir dengan fibrosis, kemudian ini akan mempengaruhi terjadinya penurunan fungsi paru yang lebih cepat. Diperlukan penelitian lebih lanjut, terutama analisis cost-benefit, untuk melihat bagaimana temuan ini dapat diterapkan di dalam pengambilan kebijakan di bidang kesehatan kerja. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gen, sitokin, dan debu fibrogenik lain yang diduga turut berperanan dalam terjadinya silikosis/pneumokoniosis pada pekerja semen.

Introduction: Silicosis is an interstitial lung disease caused by a chronic inflammation and fibrosis, causing a pathological structural alteration and lung function disorder. TNF-α is one of the factors responsible in inflammation. One factor determining body susceptibility toward TNF-α production stimulated by chronic inflammation is the genetic variation on TNF-α locus -308. The other factor that determines the response toward inflammation caused by mineral dust exposure is the IL-10 level that is the anti-inflammation cytokine secreted after the inflammation. The aim of this study is to analyze the immunogenetic factor on silicosis occurrence among cement factory workers, by examining the genetic variation on TNF-α locus -308, and the dynamic interaction of TNF-α as a pro-inflammation cytokine with the IL-10 as an anti-inflammation cytokine.
Method: This study is conducted with 6,069 workers who were registered in the cement factory during the period of 31 December 1990 to 31 December 2003; the factory is located in West Java province. A prospective study with Nested Case Control design is conducted on 336 workers to test the genetic variation contributed to silicosis susceptibility. Silicosis, is diagnosed by using the criteria 0/1 or higher of ILO standard. To examine the DNA, we use the PCR-RFLP technique using the NcoI enzyme to look at the genetic variation on locus -308. The TNFα and IL-10 levels are measured using the ELISA technique. Statistic analytical computation is using Stata 7.0 software. Silicosis's risk factors assessment and scoring model development are conducted by survival analysis and Cox regression multivariate analysis.
Result: The important findings from this study are: (1) the cumulative pneumoconiosis incidence in cement factory for the thirteen years duration, based on ILO criteria >0/1 is 2.899%; if based on > 1/1 the incidence is 2.043%; case of >1/1 was not found. The Incidence density is 16 silicosis cases per 10,000 workers per year; (2) serial photos taken using the ILO standard, improve the diagnosis; (3) the cases found are simple silicosis, causing simple chronic bronchitis, with no shortness of breath, not related to lung tuberculosis, but related to rapid decline of FEV1 and FVC; (4) FEV1 declining (38.38 ± 25.31 ml/year) and FVC declining (36.76 ± 26.37 ml/year) are faster than the Indonesia normal population; (5) the proportion of the genetic variation on TNF-a on locus -308 in Indonesia is higher on silicosis cases (13.45%), lower than the cases among coal-mining workers in South Africa or underground gold-mining workers in North America; (7) TNF-α IL-10 ratio observably plays a significant role in silicosis; the TNF-α IL-10 ratio >1 is a risk factor in silicosis in cement factory. Workers with the ratio of more than 1 have three times probability of silicosis incidence compared to those with less than 1 ratio; (8) the age when first entering the work force is a factor that plays a role in silicosis: the age of >31 years old has twice the risk to be affected by silicosis compared to those who are less than 31 years old. (7) The ratio of TNF-α IL-10> 1 causes a rapid decline of lung function compare to ratio <1. (8) From the above findings, the scoring system for predicting the silicosis among cement factory workers could be made.
Conclusion: The findings of this study prove that silicosis or pneumoconiosis occurs in cement factories in Indonesia with relatively low incidence, previously the data is not available. The mechanism of silicosis in cement factory is evidently very complex; there is the interaction among genetic variation, immune system, and environmental factors. The genetic variation of TNF-α locus -308 causes the risk factor of an individual is higher compared to others without that genetic variation. This happens due to individuals with the genetic variation on TNF-α locus -308 produces more TNF-αcytokine compared to individuals without that genetic variation, when exposed to mineral dust continuously. Thus, more TNF-α cytokine causes the ratio of TNF-α IL-10 (inflammation and anti-inflammation cytokines) is greater than 1, causing an inflammation over reaction and eventually causing fibrosis, and then this will affect a more rapid decline of lung function. A further study is required to consider how the findings from this study can be applied to the policy making in occupational health area by doing the cost-benefit analysis. Besides that, further study on other genes, cytokines and fibrogenic dust, which might play role in cement workers silicosis/pneumoconiosis, are needed to conduct.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
D582
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library