Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairunnisa Imaduddin
"Latar Belakang : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) menjadi pandemi pada Maret 2020. Luaran penyakit ini sangat bervariasi, hingga mengakibatkan kematian. Mortalitas COVID-19 dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan radiografi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada COVID-19 untuk skrining, diagnosis, menentukan derajat keparahan penyakit dan memantau respons pengobatan. Foto toraks merupakan modalitas yang banyak tersedia di berbagai fasilitas layanan kesehatan, murah, mudah, dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien. Skor Brixia merupakan salah satu sistem penilaian derajat keparahan foto toraks yang mudah dan cepat.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik awat inap RSUP Persahabatan yang dipilih secara acak sistematis. Subjek penelitian adalah pasien COVID-19 yang dirawat pada Maret hingga Agustus 2020. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : Pada penelitian ini didapatkan total 313 subjek dengan pasien yang memiliki luaran meninggal sebanyak 65 subjek dan yang hidup sebanyak 248 subjek. Nilai tengah skor Brixia 8 dengan nilai paling rendah 0 dan paling tinggi 18. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 185 subjek (59,1%). Sebanyak 79 subjek (25,2%) merupakan pasien berusia lanjut (> 60 tahun). Status gizi subjek terdiri atas gizi cukup (53,7%), gizi lebih (42,5%), dan gizi kurang (3,8%). Pasien yang memiliki komorbid sebanyak 143 subjek (45,7%) dengan jenis komorbid terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus. Pada titik potong 7,5, skor Brixia memiliki nilai sensitivitas 61,5% dan spesifisitas 50%. Terdapat hubungan bermakna skor Brixia dengan status gizi (p < 0,001) dan ada tidaknya komorbid (p 0,002). Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia (p 0,420), jumlah komorbid (p 0,223) dan mortalitas (p 0,121) dengan skor Brixia. Skor Brixia 16-18 memiliki risiko mortalitas 3,29 kali lebih besar daripada skor Brixia 0-6.

Background : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) became a pandemic in March 2020. The outcome of this disease varies widely, including death. There are many risk fators for mortality in COVID-19. Imaging is one of the supporting examinations that can be performed on COVID-19 for screening, diagnosis, determining the severity of the disease and monitoring response to treatment. Chest X-ray is a modality that is widely available in various health care facilities, is cheap, easy, and can be done bedside patient. The Brixia score is an easy and fast chest radiograph severity rating system.
Methods : The design of this study was a retrospective cohort using medical records of inpatients at Persahabatan General Hospital which were selected systematically random sampling. The research subjects were COVID-19 patients who hospitalized from March to August 2020. The study subjects were selected according to the inclusion and exclusion criteria.
Results : In this study, a total of 313 subjects were obtained with 65 died and 249 survived. The median of Brixia score was 8 with the lowest score 0 and the highest score 18. The male population was 185 subjects (59.1%). Total of 79 subjects (25.2%) were elderly patients (> 60 years). The subjects are grouped into three categories nutritional status based on body mass index. There were normal (53.7%), overweight (42.5%), and malnutrition (3.8%). Patients who had comorbidities were 143 subjects (45.7%). The most frequent comorbidities were hypertension and diabetes mellitus. At the cut point of 7.5, the Brixia score has a sensitivity value 61.5% and a specificity 50%. There is a significant relationship between the Brixia score and nutritional status (p < 0.001) and the presence or absence of comorbidities (p 0.002). There was no significant relationship between age (p 0.420), number of comorbidities (p 0.223) and mortality (p 0.121) with the Brixia score. Brixia score of 16-18 has a mortality risk 3.29 times higher than Brixia score of 0-6.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Angasreni
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan kanker terbanyak kedua yang terdiagnosis dan menjadi penyebab terbanyak kematian akibat kanker. Pemberian afatinb sebagai terapi target Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI saat ini telah menjadi terapi standar untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di Indonesia, termasuk di RSUP Persahabatan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemberian terapi afatinib pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli Onkologi RSUP Persahabatan, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib pada Januari 2018-Desember 2021 di Poli Onkologi RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 116 subjek penelitian, pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib di RSUP Persahabatan dengan karakteristik lebih banyak laki-laki (52,6%), kelompok usia <65 tahun (80,2%), suku Jawa (81,9%), tanpa faktor risiko keganasan di keluarga (82,8%). Saat terdiagnosis subjek penelitian lebih banyak dengan stage IVA (75%), metastasis pleura (59,5%), mutasi EGFR delesi ekson 19 (53,4%) status tampilan 0-1 (75,9%) dan metastasis otak didapatkan pada 19% subjek. Nilai median progression free survivival (PFS) subjek penelitian yang mendapat afatinib adalah 13 bulan (95%IK 10,5-15,5 bulan), dan nilai median overall survival (OS) adalah 17 bulan (95%IK 14,9-19,1 bulan). Angka tahan hidup satu tahun yang didapat 65,1% dan Objective Respons Rate (ORR) adalah 36,1%. Sebanyak 35,3% subjek mendapatkan penurunan dosis afatinib 20 mg atau 30 mg. Toksisitas nonhematologi tersering pada pada penelitian ini adalah diare (74,1%), diikuti oleh stomatitis (61,2%), ruam kulit (59,5%) dan paronikia (49,1%).
Kesimpulan: Afatinib sebagai terapi lini pertama memberikan luaran yang cukup baik untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan dengan efek samping samping nonhematologi yang dapat dikelola. Riwayat penurunan dosis afatinib tidak memengaruhi angka kesintasan.

Background: Lung cancer is the second most diagnosed cancer and the most common cause of death from cancer. Afatinib as targeted therapy with Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) has now become standard therapy for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations in Indonesia, including at RSUP Persahabatan. This study was conducted to analyze the administration of afatinib therapy in lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital.
Metode: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records at Oncology Clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of lung adenocarcinoma patients with EGFR mutation and received afatinib therapy by January 2018- December 2021 which met the inclusion criteria.
Results: There were 116 subjects of lung adenocarcinoma with EGFR mutation and received afatinib at Persahabatan Hospital, with predominant of male (52,6%), age <65 years old (80,2%), Javanese (81,9%), without history of cancer in family (82,8%). Most of subjects are diagnosed as lung adenocarcinoma at stage IVA (75%), with most of them have pleural metastases (59,5%), EGFR mutation with exon 19 deletion (53,4%), performa status 0-1 (75,9%), and brain metastases were found in 19% of subject. The median progression free survival (PFS) of subjects was 13 months (95% CI 10.5-15.5 months), and the median overall survival (OS)was 17 months (95% CI 14.9- 19.1 months). The one-year survival rate was 65.1% and the Objective Response Rate (ORR) was 36,1%. As many as 35.3% of subjects had adjustment dose of afatinib to 20 mg or 30 mg The most common non-hematological toxicity found was diarrhea (74.1%), followed by stomatitis (61.2%), skin rash (59.5%) and paronychia (49.1%).
Conclusion: Afatinib as a first-line therapy provides a good outcome for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital with manageable non-hematological adverse events. History of adjustment dose of afatinib did not affect survival rate.
"
2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigih Setiawan
"Latar Belakang: Salah satu jenis kelompok kanker paru yaitu neoplasma neuroendokrin dikelompokan berdasarakan gambaran histopatologi dengan pervalens 20-25% dari seluruh kanker paru. Karsinoid atipikal adalah tumor derajat menengah yang bersifat lebih agresif dari karsinoid tipikal. Karsinoma neuroendokrin paru sel besar dan karsinoma neuroendokrin paru sel kecil (KPKSK) adalah karsinoma derajat tinggi dengan prognosis yang sangat buruk dan memiliki ekspresi PD-L1. Ekspresi PD- L1 pada karsinoma neuroendokrin berhubungan dengan angka tahan hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi ekspresi PD-L1 pada neoplasma neuroendokrin paru di RSUP Persahabatan
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong lintang menggunakan data rekam medis pasien neoplasma neuroendokrin paru yang terdiagnosis secara histopatologi di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan. Seluruh status rekam medis pasien neoplasma neuroendokrin paru dari januari 2019 hingga mei 2023 didata. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan januari 2023 hingga agustus 2023. Setelah itu dilanjutkan pemeriksaan imunohistokimia (IHK) PD-L1 menggunakan antibodi 22C3 pada sampel yang memenuhi kriteria inkulsi, lalu dilanjutkan analisis data menggunakan SPSS versi 25.
Hasil: Pada penelitian ini terdapat tujuh sampel atau 14% sampel yang memiliki memiliki ekspresi PD-L1 positif dari 50 total sampel. Tendensi karakteristik pasien neoplasma neuroendokrin paru pada penelitian ini yaitu jenis kelamin laki-laki, kelompok usia ≥60 tahun, memiliki riwayat merokok dengan indeks brinkman berat, tidak memiliki riwayat pajanan di lingkungan kerja, tidak memiliki riwayat pengobatan TB paru, tidak memiliki riwayat kanker keluarga dan stage lanjut. Proporsi jenis histopatologi neoplasma neuroendokrin paru dari empat kelompok tersebut yaitu dua sampel (4%) karsinoid tipikal, enam sampel (12%) karsinoid atipikal, 31 sampel (62%) karsinoma neuroendokrin paru sel kecil dan 11 sampel (22%) karsinoma neuroendokrin paru sel besar. Ekspresi PD-L1 positif ditemukan pada 3 kelompok yaitu 1 sampel (16,7%) pada kelompok karsinoid atipikal, 4 sampel (12,9%) pada kelompok karsinoma neuroendokrin paru sel besar dan 2 sampel (18,2%) pada sel kecil. Nilai median overall survival untuk kelompok PD-L1 negatif yaitu 9 bulan (IK 95% 3,9-14 bulan) sedangkan pada kelompok PD-L1 positif median OS 8,5 bulan (IK 95% 4,9-12 bulan) dengan p 0,228.
Kesimpulan: Ekspresi PD-L1 positif ditemukan sebesaar 14% dari 50 sampel. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi ekspresi PD-L1.

Background: One type of lung cancer group, namely neuroendocrine neoplasms, is grouped based on histopathological features with a prevalence of 20-25% of all lung cancers. Atypical carcinoids are intermediate grade tumors that are more aggressive than typical carcinoids. Large cell lung neuroendocrine carcinoma and small cell lung neuroendocrine carcinoma (SCLC) are high-grade carcinomas with a very poor prognosis and PD-L1 expression. PD-L1 expression in neuroendocrine carcinoma is associated with patient survival. This study aims to determine the proportion of PD-L1 expression in pulmonary neuroendocrine neoplasms at Persahabatan General Hospital.
Method: This study was a cross-sectional descriptive study using medical records of patients with lung neuroendocrine neoplasms diagnosed histopathologically at the oncology polyclinic of Persahabatan General Hospital. All medical records status of lung neuroendocrine neoplasm patients from January 2019 to May 2023 were recorded. The data collection process was carried out from January 2023 to August 2023. After that, the PD-L1 immunohistochemistry examination was continued using the 22C3 antibody on samples that met the inclusion criteria, then continued data analysis using SPSS version 25.
Result: there were seven samples or 14% of the samples had positive PD-L1 expression out of 50 total samples. Characteristics tendency of patients in this study are male, age group ≥60 years, have a history of smoking with a severe Brinkman index, have no history of exposure in the work environment, have no history of pulmonary TB treatment, have no family history of cancer and advanced stage. The proportion of histopathological types of neuroendocrine neoplasms of the lung from the four groups were two samples (4%) typical carcinoid, six samples (12%) atypical carcinoid, 31 samples (62%) small cell lung neuroendocrine carcinoma and 11 samples (22%) lung neuroendocrine carcinoma large cell. Positive PD-L1 expression was found in 3 groups, namely 1 sample (16.7%) in the atypical carcinoid group, 4 samples (12.9%) in the large cell lung neuroendocrine carcinoma group and 2 samples (18.2%) in a small cell. The median overall survival value for the negative PD-L1 group was 9 months (95% CI 3.9-14 months) while in the positive PD-L1 group, the median OS was 8.5 months (95% CI 4.9-12 months) with p 0.228.
Conclusion: Positive PD-L1 expression was found 14% from 50 samples. There was no statistically significant difference between the factors influencing PD-L1 expression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Yovansyah Putera
"Latar Belakang: Gawat napas merupakan kondisi di saat sistem pernapasan tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Diperlukan suatu metode atau skala penilaian untuk menilai gawat napas secara lengkap. Pada tahun 2018, Menaldi Rasmin mengembangkan sistem penilaian untuk menilai derajat keparahan keluhan sesak napas yang dinamakan Klasifikasi Klinis Gawat Napas yang terdiri dari tiga variabel pemeriksaan fisis: kesadaran, frekuensi nadi dan saturasi oksigen dari pulse oxymetry. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi instrumen penilaian Klasifikasi Klinis Gawat Napas dan kaitannya dalam menilai abnormalitas Analisis Gas Darah (AGD) pada pasien IGD RS Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain cross sectional yang dilakukan di IGD RS Persahabatan pada bulan April 2023 – Agustus 2023. Subjek penelitian ini adalah pasien yang menjalani pengobatan di IGD KSM Paru RS Persahabatan serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada setiap subjek dilakukan penilaian derajat gawat napas menggunakan Klasifikasi Klinis Gawat Napas dan instrumen penilaian Respiratory Distress Observation Scale (RDOS) sebagai pembanding. Dikumpulkan juga data AGD dan karakteristik tiap subjek.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 189 subjek penelitian. Jenis abnormalitas AGD yang paling banyak ditemukan adalah hipoksemia pada 31 pasien (16.4%). Derajat gawat napas berat memiliki risiko lebih tinggi untuk AGD abnormal dibandingkan gawat napas ringan (OR 26.0 (CI95% 6.3 - 106.7), p=0.005). Penilaian menggunakan Klasifikasi Klinis Gawat Napas memiliki nilai terbaik pada cut-off skor ≥ 5 dengan sensitivitas 53.6 %, spesifitas 95.7% dan Youden Index 0.493, serta nilai AUC sebesar 0.77 dalam menilai abnormalitas AGD. Sedangkan penilaian dengan RDOS memiliki nilai terbaik pada cut-off skor ≥ 4 dengan sensititivitas 75.3%, spesifitas 53.3% dan Youden Index 0.286 serta nilai AUC sebesar 0.67.
Kesimpulan: Klasifikasi Klinis Gawat Napas menunjukkan manfat dalam aplikasi klinis sebagai penilaian awal derajat keparahan gawat napas serta dapat digunakan untuk mendeteksi abnormalitas AGD.

Background: Respiratory distress is a condition when the respiratory system is unable to carry out normal gas exchange without assistance. A method or assessment scale is needed to assess respiratory distress completely. In 2018, Menaldi Rasmin developed a scoring system to assess the severity of respiratory distress called the Clinical Classification of Respiratory Distress which consist from three variable : consciousness, respiratory rate and oxygen saturation from pulse oxymetry. This study aims to determine the level of accuracy of Clinical Classification of Respiratory Distress assessment instrument and its relation in assessing Arterial Blood Gas (ABG) abnormalities in emergency room patients at Persahabatan Hospital.
Methods: This research is an observational study using a cross-sectional design which was conducted in the emergency room at Persahabatan Hospital in April 2023 – August 2023. The subjects of this study were patients at pulmonology emergency room at Persahabatan Hospital and met the inclusion and exclusion criteria. Each subject was assessed for the degree of respiratory distress using the Clinical Classification of Respiratory Distress and Respiratory Distress Observation Scale (RDOS) assessment instrument as a comparison. ABG data and characteristics of each subject were also collected.
Result: In this study, there were 189 research subjects. The most common type of ABG abnormality found was hypoxemia in 31 patients (16.4%). Severe respiratory distress had a higher risk of abnormal ABG than mild respiratory distress (OR 26.0 (CI95% 6.3 - 106.7), p=0.005). Assessment using the Clinical Classification of Respiratory Distress has the best value at a cut-off score ≥ 5 with sensitivity of 53.6%, specificity of 95.7% and Youden Index of 0.493, as well as an AUC value of 0.77 in assessing ABG abnormalities. Meanwhile, assessment with RDOS has the best value at a cut-off score ≥ 4 with a sensitivity of 75.3%, specificity of 53.3% and a Youden Index of 0.286 and an AUC value of 0.67.
Conclusion: Clinical Classification of Respiratory Distress can be useful in clinical practice as an initial assessment for the severity of respiratory distress and can be used to detect ABG abnormalities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Bahri
"Latar Belakang: Tuberkulosis dan HIV merupakan beban utama penyakit menular di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya. Di sisi lain, hipertensi pulmoner yang merupakan komplikasi akibat TB-HIV sering terabaikan meskipun angka kematiannya tinggi karena gejala tidak khas. Hipertensi pulmoner pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV berhubungan dengan kerusakan parenkim paru dan inflamasi sistemik kronik yang mengakibatkan remodeling vaskular pulmoner. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi probabilitas hipertensi pulmoner pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV secara ekokardiografik.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV yang berobat di RSUP Persahabatan. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan di poliklinik Jantung RSUP Persahabatan. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dari Mei hingga Agustus 2023.
Hasil: Terdapat 54 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini, 9 subjek dieksklusi sehingga tersisa 45 subjek. Jenis kelamin subjek mayoritas laki-laki sebanyak 86,7%, usia terbanyak adalah 18-45 tahun sebanyak 77,8%, status TB terbanyak adalah TB klinis sebanyak 42,2% dan lama menderita HIV terbanyak adalah kurang dari atau sama dengan 1 tahun sebanyak 51,1%. Proporsi probabilitas hipertensi pulmoner secara ekokardiografik didapatkan probabilitas rendah sebesar 91,1% dan probabilitas sedang- tinggi sebesar 8,9%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara demografik dan karakteristik klinis subjek dengan probabilitas hipertensi pulmoner.
Kesimpulan: Proporsi probabilitas hipertensi pulmoner secara ekokardiografik pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV sebesar 91,1% untuk probabilitas rendah dan 8,9% untuk probabilitas sedang-tinggi.

Background: Tuberculosis and HIV represent the main burden of infectious diseases in resource-limited countries. On the other hand, pulmonary hypertension, which is a complication of TB-HIV, is often overlooked even though the death rate is high because the symptoms are not typical. Pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV is associated with lung parenchymal damage and chronic systemic inflammation which results in pulmonary vascular remodeling. The aim of this study was to determine the proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV.
Method: The method used in this study was cross sectional on TB and former TB patients with HIV who were treated at Persahabatan Central General Hospital. Echocardiography examination was carried out at the Cardiology polyclinic of Persahabatan Central General Hospital. Sampling was carried out by consecutive sampling from May to August 2023.
Results: There were 54 subjects who met the inclusion criteria in this study, 9 subjects were excluded, leaving 45 subjects. The majority of subjects‘ gender was male at 86.7%, the majority age was 18-45 years at 77.8%, the highest TB status was clinically TB at 42.2% and the majority had suffered from HIV for less than or equal to 1 year at 51.1%. The proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension showed a low probability of 91.1% and a medium-high probability of 8.9%. There was no significant relationship between the demographic and clinical characteristics of the subjects and the probability of pulmonary hypertension.
Conclucion: The proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV was 91.1% for low probability and 8.9% for medium-high probability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dini Azika
"Latar Belakang: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Tahun 2020 secara global terdapat 157.903 kasus TB Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant (MDR/RR) terdeteksi dan ternotifikasi, 95% dilakukan enrollment, namun angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR sebesar 59% dan TB XDR sebesar 52%, sedangkan di Indonesia terdapat 8.268 kasus TB RR/MDR, 52% dilakukan enrollment namun angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR sebesar 47% dan TB XDR 30%. Tahun 2020, Klofazimin (CFZ) merupakan salah satu bagian grup B pengobatan TB RO tanpa injeksi pada paduan jangka pendek dan jangka panjang. Terdapat beberapa efek samping dalam penggunaan CFZ salah satunya adalah hiperpigmentasi kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerapan, karakteristik subjek, awitan, durasi, dan derajat hiperpigmentasi kulit akibat CFZ serta faktor apa saja yang berhubungan pada pengobatan TB RO di RSUP Persahabatan. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien, dilakukan di Poli TB RO RSUP Persahabatan Juli 2021-Mei 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien TB RO yang mendapatkan CFZ di Poli TB RO di RSUP Persahabatan yang memulai enrollment pada tahun 2019-2020 yang memenuhi kriteria penelitian. Hiperpigmentasi kulit dinilai dari anamnesis bulanan setiap pasien kontrol. Hasil: Didapatkan 429 subjek penelitian dengan kekerapan hiperpigmentasi kulit pada 48 subjek (11,18%). Karakteristik subjek usia 41 (18−78) tahun, 58% laki-laki, 48% dengan gizi kurang dan normal, 25,2% komorbid DM tipe 2 dan 2,8% komorbid HIV, durasi pengobatan 285 (1−860) hari, kasus terbanyak TB RR/MDR sebesar 89,3%, dan luaran sembuh sebesar 47%. Efek samping hiperpigmentasi kulit didapatkan dengan median awitan 31 (28−168) hari pengobatan dan hingga pengobatan selesai efek samping hiperpigmentasi kulit masih didapatkan (belum reversibel). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara efek samping hiperpigmentasi kulit dengan durasi pengobatan (p=<0,001)m yakni hari ke 344 (70−769) dan paduan jangka pendek oral dan jangka pendek injeksi (p=<0,001)f dengan RR 10,100 (5,059−20,166). Kata kunci: efek samping, hiperpigmentasi kulit, klofazimin, tuberkulosis resistan obat.

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR TB) is still a major health problem in the world. In 2020 globally there were 157,903 cases of Multi Drug Resistant/Rifampin Resistant (MDR/RR) TB detected and notified, 95% were enrolled, but the treatment success rate for RR/MDR TB was 59% and XDR TB was 52%, while in Indonesia there were Of the 8,268 cases of RR/MDR TB, 52% underwent enrollment but the success rate of RR/MDR TB treatment was 47% and 30% XDR TB. In 2020, Clofazimine (CFZ) is part of group B RO-TB treatment without injection in short-term and long-term combinations. There are several side effects in using CFZ, one of which is skin hyperpigmentation. This study aims to determine the frequency, subject characteristics, onset, duration, and degree of skin hyperpigmentation due to CFZ and what factors are related to the treatment of DR TB at Persahabatan Hospital. Methods: The design of this study was a retrospective cohort using patient medical record data, carried out at the DR TB clinic Persahabatan Hospital from July 2021-May 2022, with a total sampling technique. The research subjects were DR TB patients who received CFZ at the DR TB clinic at the Persahabatan Hospital who started enrollment in 2019-2020 who met the research criteria. Skin hyperpigmentation was assessed from the monthly history of patient. Results: There were 429 subjects who received CFZ with frequent skin hyperpigmentation in 48 subjects (11.18%). Subject’s characteristics are 41 (18−78) years old, 58% male, 48% with malnutrition and normal, 25.2% comorbid type 2 DM and 2.8% comorbid HIV, duration of treatment 285 (1−860) days, the most cases of RR/MDR TB were 89.3%, and the outcome recovered was 47%. The side effect of skin hyperpigmentation was obtained with a median onset of 31 (28−168) days of treatment and until the end of treatment the side effect of skin hyperpigmentation was still found (not reversible). Conclusion: There is a relationship between side effects of skin hyperpigmentation with treatment duration (p=<0.001)m i.e. day 344 (70−769) and short-term oral and short-term injection (p=<0.001)f with RR 10.100 (5.059−20.166)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dini Azika
"Latar Belakang: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Tahun 2020 secara global terdapat 157.903 kasus TB Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant (MDR/RR) terdeteksi dan ternotifikasi, 95% dilakukan enrollment, namun angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR sebesar 59% dan TB XDR sebesar 52%, sedangkan di Indonesia terdapat 8.268 kasus TB RR/MDR, 52% dilakukan enrollment namun angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR sebesar 47% dan TB XDR 30%. Tahun 2020, Klofazimin (CFZ) merupakan salah satu bagian grup B pengobatan TB RO tanpa injeksi pada paduan jangka pendek dan jangka panjang. Terdapat beberapa efek samping dalam penggunaan CFZ salah satunya adalah hiperpigmentasi kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerapan, karakteristik subjek, awitan, durasi, dan derajat hiperpigmentasi kulit akibat CFZ serta faktor apa saja yang berhubungan pada pengobatan TB RO di RSUP Persahabatan. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien, dilakukan di Poli TB RO RSUP Persahabatan Juli 2021-Mei 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien TB RO yang mendapatkan CFZ di Poli TB RO di RSUP Persahabatan yang memulai enrollment pada tahun 2019-2020 yang memenuhi kriteria penelitian. Hiperpigmentasi kulit dinilai dari anamnesis bulanan setiap pasien kontrol. Hasil: Didapatkan 429 subjek penelitian dengan kekerapan hiperpigmentasi kulit pada 48 subjek (11,18%). Karakteristik subjek usia 41 (18−78) tahun, 58% laki-laki, 48% dengan gizi kurang dan normal, 25,2% komorbid DM tipe 2 dan 2,8% komorbid HIV, durasi pengobatan 285 (1−860) hari, kasus terbanyak TB RR/MDR sebesar 89,3%, dan luaran sembuh sebesar 47%. Efek samping hiperpigmentasi kulit didapatkan dengan median awitan 31 (28−168) hari pengobatan dan hingga pengobatan selesai efek samping hiperpigmentasi kulit masih didapatkan (belum reversibel). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara efek samping hiperpigmentasi kulit dengan durasi pengobatan (p=<0,001)m yakni hari ke 344 (70−769) dan paduan jangka pendek oral dan jangka pendek injeksi (p=<0,001)f dengan RR 10,100 (5,059−20,166).

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR TB) is still a major health problem in the world. In 2020 globally there were 157,903 cases of Multi Drug Resistant/Rifampin Resistant (MDR/RR) TB detected and notified, 95% were enrolled, but the treatment success rate for RR/MDR TB was 59% and XDR TB was 52%, while in Indonesia there were Of the 8,268 cases of RR/MDR TB, 52% underwent enrollment but the success rate of RR/MDR TB treatment was 47% and 30% XDR TB. In 2020, Clofazimine (CFZ) is part of group B RO-TB treatment without injection in short-term and long-term combinations. There are several side effects in using CFZ, one of which is skin hyperpigmentation. This study aims to determine the frequency, subject characteristics, onset, duration, and degree of skin hyperpigmentation due to CFZ and what factors are related to the treatment of DR TB at Persahabatan Hospital. Methods: The design of this study was a retrospective cohort using patient medical record data, carried out at the DR TB clinic Persahabatan Hospital from July 2021-May 2022, with a total sampling technique. The research subjects were DR TB patients who received CFZ at the DR TB clinic at the Persahabatan Hospital who started enrollment in 2019-2020 who met the research criteria. Skin hyperpigmentation was assessed from the monthly history of patient. Results: There were 429 subjects who received CFZ with frequent skin hyperpigmentation in 48 subjects (11.18%). Subject’s characteristics are 41 (18−78) years old, 58% male, 48% with malnutrition and normal, 25.2% comorbid type 2 DM and 2.8% comorbid HIV, duration of treatment 285 (1−860) days, the most cases of RR/MDR TB were 89.3%, and the outcome recovered was 47%. The side effect of skin hyperpigmentation was obtained with a median onset of 31 (28−168) days of treatment and until the end of treatment the side effect of skin hyperpigmentation was still found (not reversible). Conclusion: There is a relationship between side effects of skin hyperpigmentation with treatment duration (p=<0.001)m i.e. day 344 (70−769) and short-term oral and short-term injection (p=<0.001)f with RR 10.100 (5.059−20.166)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmila Sari
"Latar belakang : Kanker paru adalah kanker yang berasal dari epitel bronkus. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pola kuman dari bilasan bronkus dan faktor-faktor yang memengaruhi pada pasien terduga kanker paru di RS Persahabatan pusat Respirasi Nasional. Metode : Jenis penelitian potong lintang. Jumlah sampel 226 pasien. Kriteria inkusi yaitu pasien terduga kanker paru, usia > 18 tahun, tidak menggunakan antibiotik satu minggu sebelum tindakan bronkoskopi. Hasil : Karakteristik pasien terduga kanker paru antara lain laki-laki (63,7%), rerata usia 60 ± 11,45 tahun. Keluhan respirasi batuk (78,3%) dan sesak napas (65,5%). Sebagian besar perokok berat (30,5%). Indeks massa tubuh normal (43,8%). Nilai leukosit normal (53,5%), neutrofil normal (66,4%), neutrofil limfosit rasio meningkat (67,3%). Data histopatologis terbanyak adalah adenokarsinoma (50,9%), EGFR tidak ada mutasi (34%) dan ALK negatif (29%). Foto toraks tampak lesi sentral (84,5%), > 3 mm (89,9%) dan konsolidasi (64,2%). CT scan toraks ada keterlibatan kelenjar getah bening (67,7%) dan ada metastasis (71,2%). Gambaran bronkus tampak massa infiltratif (27,9%) dan mukosa edematous (15,9%). Diagnosis terbanyak yaitu kanker paru (71,7%), T4 (85,2%), N2 (37,7%), M1a (42,6%), metastasis efusi pleura (54,9%), stage IV A (64,2%) dan PS 1 (49,4%). Bakteri terbanyak pada bilasan bronkus adalah Pseudomonas aeruginosa (13,7%) dan Klebsiella pneumoniae(11,1%). Kesimpulan : Bakteri terbanyak pada bilasan bronkus adalah Pseudomonas aeruginosadan Klebsiella pneumoniae. Batuk, nilai leukosit, letak anatomi foto toraks, letak anatomi CT scan toraks dengan kontras, ground glass opacity dan efusi pleura pada CT scan toraks dengan kontras memengaruhi ada atau tidak bakteri pada bilasan bronkus pasien terduga kanker paru.

Background: Lung cancer is cancer that originates from the epithelium of the bronchi. This study aims to determine microbial patterns from bronchial washing and influencing factors in suspected lung cancer patients at Persahabatan Hospital National Respiratory Center. Method: Cross-sectional research. The sample was 226 patients. The inclusion criteria are patients suspected of lung cancer, aged > 18 years, not using antibiotics one week before bronchoscopy Results: The characteristics of patients suspected of lung cancer include male (63.7%), average age 60 ± 11.45 years. Respiratory complaints of cough (78.3%) and shortness of breath (65.5%). Most were heavy smokers (30.5%). Normal body mass index (43.8%). Normal leukocyte values (53.5%), normal neutrophils (66.4%) and neutrophil-lymphocyte ratio increased (67.3%). The most histopathological data were adenocarcinoma (50.9%), EGFR no mutation (34%) and negative ALK (29%). Thoracic photographs appear as central lesions (84.5%), > 3 mm (89.9%) and consolidated (64.2%). Thoracic CT scan there was involvement of lymph nodes (67.7%) and there were metastases (71.2%). The bronchial appears as infiltrative masses (27.9%) and edematous mucosa (15.9%). The most diagnoses were lung cancer (71.7%), T4 (85.2%), N2 (37.7%), M1a (42.6%), metastatic pleural effusion (54.9%), stage  IV A (64.2%) and PS 1 (49.4%). The most common bacteria in bronchial washing are Pseudomonas aeruginosa (13.7%) and Klebsiella pneumoniae (11.1%). Conclusion: The most common bacteria in bronchial washing are Pseudomonas aeruginosa and Klebsiella pneumoniae. Cough, leukocyte value, anatomy location based on thoracic photo and thoracic CT Scan with contrast, ground glass opacity and pleural effusion affect the presence or absence of bacteria in a bronchial wash of suspected lung cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nurman Ariefiansyah
"Latar belakang: Pneumonia terjadi pada sekitar 50-70% pasien kanker paru. Kerentanan pneumonia terjadi akibat gangguan sistem imun dan arsitektur paru yang terjadi karena mekanisme kanker maupun terapi kanker paru. Perubahan imunitas menyeluruh, kaheksia, terapi, perubahan arsitektur paru merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan inflamasi hingga penurunan imunitas yang dapat menimbulkan kejadian pneumonia pada kanker paru. Pasien kanker paru dengan pneumonia memiliki kesintasan satu tahun yang lebih buruk dan mortalitas satu tahun yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pneumonia. Metode: Sampel penelitian merupakan pasien kanker paru tegak jenis yang datag ke IGD RSUP Persahabatan. Jumlah sampel sebanyak 77 pasien diambil secara consecutive sampling periode Januari-Februari 2024. Setiap sampel dilakukan anamnesis serta pemeriksaan fisis untuk mendapatkan data klinis, pemeriksaan laboratorium darah, foto toraks dan pemeriksaan biakan sputum. Pasien dilakukan pengamatan selama perawatan untuk melihat luaran pasien saat keluar rumah sakit. Hasil: Sebanyak 81,1% sampel mengalami pneumonia. Luaran meninggal sebanyak 24,7% dan 30,2% sampel yang mengalami pneumonia memiliki luaran meninggal. Faktor risiko seperti Riwayat merokok, jenis kanker paru, lokasi kanker paru, jumlah leukosit, jumlah neutrofil, RNL dan PCT menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna terhadap kejadian pneumonia (p>0,05). Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii dan Escerichia coli merupakan jenis kuman terbanyak hasil biakan sputum. Kesimpulan: Lebih dari setengah jumlah pasien kanker paru yang masuk ke IGD RSUP Persahabatan mengalami infeksi pneumonia. Tidak terdapat hubungan bermakna faktor risiko terhadap kejadian kanker paru. Klebsiella pneumoniae merupakan jenis mikroorganisme terbanyak penyebab pneumonia berdasarkan hasil biakan sputum pasien kanker paru.

Background: Pneumonia occurs in around 50-70% of lung cancer patients. Pneumonia susceptibility occurs due to disorders of the immune system and lung architecture that occur due to cancer mechanisms and lung cancer therapy. Changes in overall immunity, cachexia, therapy, and changes in lung architecture are factors that can cause inflammation and decreased immunity which can lead to pneumonia in lung cancer. Lung cancer patients with pneumonia had worse one-year survival and higher one-year mortality than those without pneumonia. Method: The research sample was lung cancer patients who were confirmed pathologically and came to the emergency room at Persahabatan Hospital. The total number of samples was 77 patients taken by consecutive sampling for the period January-February 2024. Anamnesis and physical examination were carried out for each sample to obtain clinical data, blood laboratory examination, chest x-ray and sputum culture examination. Patients are monitored during treatment to see the patient's outcome when they leave the hospital. Results: As many as 81.1% of the sample experienced pneumonia. The outcome of death was 24.7% and 30.2% of samples who experienced pneumonia had a death outcome. Risk factors such as smoking history, type of lung cancer, location of lung cancer, leukocyte count, neutrophil count, RNL and PCT showed no significant relationship to the incidence of pneumonia (p>0.05). Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, and Escherichia coli are the most common types of germs resulting from sputum culture. Conclusion: More than half of lung cancer patients admitted to the emergency room at Persahabatan Hospital have pneumonia infections. There was no significant relationship between risk factors and the incidence of lung cancer. Klebsiella pneumoniae is the most common type of microorganism resulting from sputum culture of pneumonia patients with lung cancer"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Rianissa Putri
"Latar Belakang: Berbagai polimorfisme gen nitric oxide synthase 2 (NOS2) telah diteliti dalam kaitannya dengan penyakit asma dengan pola yang bervariasi, bergantung pada ras dan negara. Beberapa di antaranya menunjukkan hubungan yang bermakna dengan asma atau penanda hayati asma, misalnya polimorfisme Ser608Leu diketahui berhubungan dengan keparahan asma. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara polimorfisme gen NOS2 Ser608Leu dan fractional exhaled nitric oxide (FeNO) pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol. Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang. Subjek penelitian adalah pasien berusia dewasa di Klinik Asma-PPOK RS Persahabatan Pusat Respirasi Nasional yang direkrut secara total sampling. Kontrol asma dinilai dengan Asthma Control Test (ACT), pengukuran FeNO dilakukan dengan menggunakan alat monitor FeNO dan pemeriksaan polimorfisme dilakukan dengan teknik PCR-RFLP menggunakan DNA dari sampel darah perifer. Hasil: Sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin perempuan (70,9%), tergolong obesitas (50,9%), bukan perokok (60,0%) dan berdomisili di Jakarta Timur (60,0%). Sekitar 49,1% subjek penelitian mendapatkan kortikosteroid inhalasi dengan dosis jika perlu-rendah, diikuti oleh dosis sedang sebesar 41,8% subjek penelitian. Terdapat 40,0% subjek penelitian dengan kepatuhan berobat (adherence) yang baik. Berdasarkan skor ACT, 56,4% tergolong asma terkontrol. Frekuensi nilai FeNO yang tergolong rendah pada asma tidak terkontrol sebesar 12,7% total pasien sedangkan pada asma terkontrol sebesar 20,0% total pasien. Frekuensi nilai FeNO yang tergolong meningkat pada asma tidak terkontrol sebesar 30,9% total pasien sedangkan pada asma terkontrol sebesar 36,4% total pasien. Hasil uji multivariat regresi logistik variabel jenis kelamin, riwayat merokok, kepatuhan penggunaan inhaler, kontrol asma dan polimorfisme gen NOS2 Ser608Leu juga tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara polimorfisme gen NOS2 Ser608Leu dan peningkatan nilai FeNO (p = 0,629, OR 0,741, IK95% 0,219-2,507, aOR 0,971, IK95% 0,232-4,070). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara genotip gen NOS2 dan kategori FeNO pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RS Persahabatan Pusat Respirasi Nasional.

Background: Various polymorphisms of nitric oxide synthase 2 (NOS2) had been studied in asthma which showed varied patterns among race and countries. Several NOS2 polymorphisms showed significant association with asthma or its biomarker, e.g. Ser608Leu polymorphism was associated with asthma severity. This research aims to analyse the relationship of NOS2 Ser608Leu polymorphism and fractional exhaled nitric oxide (FeNO) in controlled and uncontrolled asthma patients. Methods: This was observational research with cross-sectional design. Subjects were adult patients in Asthma-COPD Clinics of Persahabatan Hospital National Respiratory Center who were recruited using total sampling. Asthma control was assessed with Asthma Control Test (ACT), FeNO testing were performed using FeNO monitor and polymorphism testing were performed with PCR-RFLP using DNA from peripheral blood samples. Results: Most subjects were female (70.9%), obese (50.9%), non-smoker (60.0%) and living in East Jakarta (60.0%). About 49.1% subjects were taking as needed-low dose of inhaled corticosteroids (ICS), 41.8% subjects were taking medium dose of ICS. About 40.0% subjects had good adherence. Based on ACT score, 56.4% were controlled asthma. Low FeNO value were found in 12.7% of total patients in uncontrolled asthma and 20.0% of total patients in controlled asthma patients. Increased FeNO value were found in 30.9% of total patients in uncontrolled asthma patients and 36.4% of total patients in controlled asthma patients. Logistic regression of gender, history of smoking, adherence to inhaler, asthma control and Ser608Leu polymorphism of NOS2 did not show significant association between NOS2 polymorphism and increased FeNO (p = 0.629, OR 0.741, 95% CI 0.219-2.507, aOR 0.971, 95% CI 0.232-4.070). Conclusion: Genotypes of NOS2 were not significantly associated with increased FeNO value in controlled and uncontrolled asthma patients of Persahabatan Hospital National Respiratory Center."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>