Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Elips Project, 1996
346.066 UNI t (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Ismail Suny
"Era perdagangan babas mengharuskan Pemerintah Republik Indonesia untuk bertindak lebih profesional dalam menjalankan roda pemerintahan dan menjauhkan dirt dart kepentingan individu atau kelompok tertentu, termasuk di dalamnya dalam rangka menjalankan roda perekonomian. Melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pemerintah berusaha untuk menjadi penggerak sekaligus sebagai contoh yang baik bagi rakyatnya dalam melakukan kegiatan bisnis. semi mengejar keuntungan yang sebesarbesarnya, Pemerintah memilih model perseroan terbatas sebagai kendaraan dalam menjalankan usahanya yang diimplementasikan dalam bentuk BUNN Persero.
BUMN Persero sebagai badan hukum memiliki hak dan tanggung jawab pribaoi sebagaimana telah diatur dalam doktrin-daktrin perseroan terbatas, UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara. Untuk menunjang cita-cita luhur menjadi penggerak perekonomian yang baik, pemerintah berusaha senantiasa mengikuti aturan-aturan yang baik dan benar dalam menjalankan kegiatan usahanya, salah satunya adalah dengan mengimplementasikan doktrin pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) dalam BUN Persero. Doktrin tersebut menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh demi menciptakan ikliin usaha yang baik.
Namun di Indonesia seringkali pandangan mengenai kepentingan negara seolah merupakan alasan pembenar untuk menempuh jalan apapun, termasuk di dalamnya jalan yang melanggar asas-asas yang sebelumnya dijunjung tinggi dan dijadikan acuan. Urusan negara, urusan perusahaan dan korupsi semakin lama semakin dicampuradukkan pengertiannya sehingga menimbulkan kekacauan sistem peradilan dan iklim usaha di tanah air yang senyata nyatanya telah mengakibatkan kesimpangsiuran dalam putusan pengadilan.

Free-trade era requires the government of the Republic of Indonesia to act more professionally and distance itself from individual and group interest, especially in economic matters. The government hopes to utilize state owned enterprise to drive the economy and to act as a good model for other domestic enterprises. For greater profits, the government has chosen a limited company model as a vehicle to run its business organization in the form of limited state owned company (BUMN Persero).
State owned limited enterprise as a legal entity has its own rights and obligation as specified by limited liability company doctrine, law of Limited Liability Company and law of the State Owned Enterprise. The government in order to fulfill its role as economic driver always attempts to abide by the regulations such as implementing the principles of good corporate governance in the state owned limited enterprise. Such doctrine determines measures that need to be taken in order to ensure favorable business climate.
Nevertheless in Indonesia, state interest frequently is being used as a reason to justify measures that violate sound legal doctrines. For example, misunderstanding in regard to public and private realm of law, as well as incorrect interpretation of the definition of corruption has led to confusion in upholding the law.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Widyastuti
"Pembentukan Holding Company BONN merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan kinerja BUMN yang mulai dirintis pada tahun 1990-an dengan menyatukan BUMN-BUMN dengan industri sejenis. BUMN-BUMN holding yang ada sekarang ini, sebagian besar dibentuk dengan tujuan membuat satu BUMN menjadi Pemegang Sahara bagi BUMN lain dengan Industri sejenis dengan cara mengalihkan saham Negara RI pada BUMN yang ditunjuk tersebut.
Karakteristik khusus BUMN holding sebagai badan usaha mink Negara pada kenyataannya tidak tercover dengan aturan yang cukup memenuhi kebutuhan akan "aturan main" yang jelas perihal hubungan antara holding company dengan subsidiary company/anak perusahaan-nya. Peraturan perundangan yang ada sekarang ini hanya mengatur perusahaan sebagai "single company". Khususnya untuk BUMN, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur bahwa BUMN menundukkan diri pada UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan aturan-aturan lain yang terkait dengan bentuk BUNN sebagai perusahaan, dan tak satupun dari peraturan ini mengatur secara jelas hubungan-hubungan hukum antara holding company dengan subsidiary companylanak perusahaan serta konsekuensikonsekuensi dari bentuk holding company tersebut.
BENTUK HOLDING COMPANY BUMN MELALUI PENGALIHAN SAHAM NEGARA (STUDI PT PUSRI DAN ANAK-ANAK PERUSAHAAN) adalah judul tesis kami yang kami susun untuk mengkaji lebih dalam bentuk holding BUMN yang terbentuk dengan pengalihan saham Negara pada salah satu BUMN, baik perihal konsekuensi maupun permasalahan yang dihadapi berdasar peraturan perundangan dan kenyataan di lapangan.
Pada akhirnya kami menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun besar harapan kami bahwa tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum ekonomi khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan BUNN berbentuk holding company."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Mutia Rahmah
"Penafsiran suatu perjanjian atau kontrak yang didalam KUHPerdata diatur melalui Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 masih diperlukan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, mengingat perbedaan penafsiran dalam menjalankan isi perjanjian atau kontrak dapat berakibat pemenuhan prestasi sebagaimana telah dirumuskan dalam perjanjian atau kontrak tersebut menjadi berjalan tidak lancar atau terhambat. Dengan adanya penafsiran perjanjian atau kontrak diharapkan maksud para pihak yang terlibat dalam perjanjian atau kontrak tersebut dapat dipertemukan, sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam pemenuhan isi perjanjian. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif.
Hasil penelitian menyarankan agar dalam merumuskan perjanjian atau kontrak hendaknya para pihak yang terlibat harus memperhatikan kata-kata dan maksud yang tersirat didalam perjanjian atau kontrak tersebut sehingga perjanjian atau kontrak yang dibuat isinya jelas, mudah dipahami serta tidak menimbulkan perbedaan penafsiran. Akan tetapi, apabila masih terdapat perbedaan penafsiran diantara para pihak yang terlibat didalam perjanjian atau kontrak hendaknya penafsiran terhadap isi perjanjian atau kontrak tersebut tetap dilakukan secara adil dan berpedoman pada peraturan yang ada sehingga pelaksaan isi perjanjian atau kontrak tersebut dapat terlaksana dengan baik.

The interpretation of agreement or contract in Civil Code which have been set in Article 1342 until Article 1351 still be needed for parties involved. In view of the differences in interpretation of the contents in the contract or agreement this can cause misunderstandings and obstructing the fulfillment of achievements which have been formulated in that agreement or contract. The agreement or contract interpretation can give a good meaning for the parties in that agreement or contract so there will be a clear understanding to fulfill the agreement. This research is using literature study of juridical-normative.
The result of this research needs to be that the parties has to know carefully the meaning of the words or content of the agreement or contract in order to be clearly or easily understood and could not have any different interpretation. But, if there still are different interpretations between parties involved in that agreement or contract, it should be fair and guided by the existing rules in the interpretation of the agreement or contract content so the implementation of the agreement or contract content can be concluded properly.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014;2014
T42704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Yulianita
"Tesis ini membahas tanggung jawab kontraktual penjual gas bumi terhadap pembeli dalam Perjanjian Jual Beli Gas Bumi (PJBG) terkait asas proporsionalitas. Penerapan asas proporsionalitas dalam pengaturan tanggungjawab kontraktual penjual gas bumi terhadap pembeli menjadi sangat penting karena penjual seolah-olah berkedudukan lebih ?tinggi? dibandingkan pembeli, dimana pada umumnya penjual gas bumi sekaligus juga mengelola lapangan gas bumi sehingga penjual mempunyai kemampuan pengendalian terhadap gas bumi yang dijualnya, sedangkan pembeli tidak. Selain itu dalam satu PJBG Penjual dapat menjual gas bumi bagiannya sendiri sekaligus bagian pihak ketiga (termasuk bagian negara).
Penulis menganalisis tanggung jawab kontraktual PT Pertamina EP sebagai penjual gas bumi terhadap PT PLN Tarakan sebagai pembeli berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas Bumi No. 2006/EP0000/2012-S0 Tanggal 20 Desember 2012 (PJBG PEP). Pembahasan mengacu pada peraturan perundang-undangan dibidang minyak dan gas bumi, prinsip-prinsip hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak dan asas proporsionalitas. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan data bersumber dari studi kepustakaan yang disajikan secara deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian, Penulis menyarankan agar dalam PJBG PEP ditambahkan: (i) klausul yang menyatakan bahwa penjual wajib memberikan kepada pembeli salinan sertifikasi cadangan gas bumi yang diterbitkan oleh lembaga independen sesuai peraturan yang berlaku di bidang migas untuk memberikan gambaran yang lebih pasti kepada pembeli mengenai ketersediaan jumlah volume dan spesifikasi cadangan gas bumi yang akan disalurkan oleh penjual kepada pembeli (ii) klausul yang mengatur adanya ruang negosiasi ulang (re-negosiasi) antara penjual dan pembeli jika penjual tidak mampu atau gagal memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menyalurkan gas bumi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian.

This thesis discusses seller's contractual responsibility of natural gas to the buyer in the Gas Sales and Purchase Agreement (GSPA) related to the proportionality principle. The implementation of the proportionality principle to govern seller's contractual responsibilities to the buyer is very important because the seller as though has a "higher" position than the buyers, which generally the seller also manage the gas field therefore it has the ability to control the natural gas, while the buyer does not. In addition to the GSPA, the Seller may sell its natural gas commingled with third party's gas and the state-owned gas.
The author analyzes the contractual responsibility of PT Pertamina EP as the seller of natural gas to PT PLN Tarakan as the Buyer under the Gas Sales and Purchase Agreement No. 2006/EP0000/2012-S0 Date December 20, 2012 (GSPA PEP). The discussion refers to the laws and regulations of oil and gas field, the principles of contract law, the principle of freedom of contract and the proportionality principle. This research is a normative legal perspective based on the library research and presented by descriptive analysis.
Based on the results of the study, the Author suggests that in GSPA PEP shall be added: (i) a clause which stated that the Seller shall provide to the Buyer a copy of natural gas reserve certification issued by an independent agency pursuant to prevailing oil and gas law to describe a more definitife profile about the availability of the total volume and specifications of natural gas reserves which will be delivered by the Seller to the Buyer (ii) a clause that governs renegotiation between the seller and the buyer if the seller is unable or fails to fulfill its obligations and responsibilities to distribute natural gas in accordance with the terms of the agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustandi
"Dalam praktek kedudukan Para Pihak dalam suatu kontrak kerja konstruksi masih belum seimbang, antara lain disebabkan oleh: begitu banyaknya jumlah Penyedia Jasa yang mengakibatkan penawaran jauh lebih besar daripada permintaan, tidak adanya standar baku kontrak kerja konstruksi di Indonesia yang dipakai umum dan ditaati dalam setiap pekerjaan konstruksi di Indonesia, Penyiapan kontrak kerja konstruksi yang disiapkan oleh Pengguna Jasa, Penyedia Jasa hanya memiliki waktu yang relatif singkat untuk mempelajari kontrak kerja konstruksi, budaya yang menganggap Pengguna Jasa lebih berkuasa daripada Penyedia Jasa, dan latar belakang perseorangan dari pelaku pekerjaan konstruksi yang kurang memahami hukum. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengupayakan kedudukan yang lebih seimbang antara para pihak dalam kontrak kerja konstruksi di Indonesia, dapat dibagi berdasarkan urutan waktunya, yaitu: Pertama, dalam Masa Pra-Kontrak, dengan mempelajari kontrak serta menegosiasikan pada saat aanwijzing. Namun hal ini terkendala permasalahan jangka waktu yang relatif singkat, ditambah lagi budaya yang menganggap kontrak kurang penting. Kedua, Dalam Masa Kontrak, yaitu dengan melakukan Negosiasi, dan jika menjadi sengketa, maka diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati. Selain itu, LKPP mempunyai fungsi advokasi, dengan memediasikan dan memberikan masukan kepada para pihak. Selain itu, terdapat juga asas-asas hukum perjanjian seperti Unidroit Principles dan Lex Mercatoria yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak kerja konstruksi di Indonesia, seperti Freedom of Contract, Sanctity of Contract (Pacta Sunt Servanda), Good Faith and Fair Dealing, Mandatory Laws, mengenai Kekeliruan (Mistake), Penipuan (Fraud), Ancaman dan Paksaan, serta Gross Disparity.

In practice the position of the Parties in a construction contract is still not balanced, this can be caused by: the large number of construction companies which resulted in much greater offer than the demand, the lack of standards for construction contracts in Indonesia that is commonly used and adhered to in each Indonesian construction projects, preparation of construction contract that is prepared by the Owner, the relatively limited time to learn the construction contract by the contractors, a culture that considers the owner has more power than the contractor, and the background of the individual actors in the construction business who do not understand the construction law. Efforts should be made to seek a more balanced position between the parties in a construction contract in Indonesia, can be divided in order of time, which are: First, in the precontract period, to study the contract and negotiate the clauses at the clarification time. However, it is constrained problems of relatively short period of time, plus a culture from the contractor that considers the less concern of the contract. Secondly, in the contract period, efforts can be made by negotiations, and if it becomes a dispute, then resolved through the agreed dispute resolution mechanism. In addition, Indonesia already has the National Public Procurement Agency (Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah/LKPP) that has advocacy function, through mediate and provide input to the parties. In addition to that, there are also the principles of contract law as in Lex Mercatoria and UNIDROIT Principles that can be applied to solve the problems of imbalance position of the parties in a construction contract in Indonesia, such as the Freedom of Contract, Sanctity of Contract (Pacta Sunt servanda), Good Faith and Fair Dealing, Mandatory Laws, Mistake, Fraud, Threats and Coercion, as well as the Gross Disparity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trophysiani Mauren
"Perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan karena setiap orang membuat perjanjian terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut.Hukum yang mengatur tentang perjanjian merupakan bidang hukum yang sangat penting di era globalisasi terutama mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional.Para pelaku bisnis yang hendak melaksanakan perjanjian harus memahami tentang aturan hukum pelaksanaan perjanjian bukan hanya itu saja,melainkan para pihak harus memahami dengan seksama pentingnya asas-asas yang berkaitan dengan perjanjian diantaranya asas kebebasan berkontrak,asas pacta sunt servanda,konsesualisme dan itikad baik, diharapkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan mencegah adanya permasalahan,kesewenang-wenangan yang akan terjadi. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Sengketa mengenai permasalahan perjanjian salah satunya pembatalan perjanjian pengaturan pembatalan perjanjian hukum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terutama dalam Pasal 1266 KUH Perdata syarat-syarat pembatalan harus terpenuhi yaitu perjanjian tersebut harus bersifat timbal balik,adanya wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dan pembatalan tersebut harus dimintakan kepada hakim,Pengenyampingan Pasal 1266 KUH Perdata masih menjadi kontroversi dikalangan ahli hukum maupun praktisi hukum karena terdapat beberapa alasan mengenai prosedur pengadilan,mengenai wanprestasi dianggap syarat batal suatu perjanjian.Perkara pembatalan perjanjian secara sepihak dapat digugat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum karena tidak memenuhi perjanjian,tidak didasari dengan alasan yang dibenarkan menurut kesepakatan yang merupakan perbuatan yang melanggar kewajiban hukum. Perkara-perkara mengenai pembatalan perjanjian secara sepihak sebagai perbuatan melawan hukum hendaknya dapat dijadikan yurisprudensi sehingga dapat menciptakan kekonsistenan hakim dalam menerapkan hukum,dan dalam membuat perjanjian para pihak memahami dan menetapkan asas-asas yang terikat dalam perjanjian diantaranya asas kebebasan berkontrak,konsesualisme,pacta sunt servanda,dan itikad baik agar terciptanya kepastian hukum dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh para pihak.

An agreement is the part of the law of contract since every single entities who conclude the agreement are bound to execute the clauses written thereunder. Nowadays contract law is considered as an important and vital part of law in this globalization era, especially in supporting commercial activities and international business transactions. Tradesmen and businessmen who seek to engage in business activities are intimately associated with ?agreements? or ?contracts? therefore these people should be familiar with laws and regulations in making contract. Not merely that, also they should understand thoroughly the principles in making contracts such as the freedom of contract principle, pacta sunt servanda principle, concensualism and good faith principles. These principles should be performed when making contract to ensure that the legal certainty is uphold as well as to avoid legal disputes and/or arbitrariness that may arise. The research method used here is a library research method which has the normative ? juridical nature.The dispute that may arises from a contract / agreement includes the termination of agreement matter. This matter is regulated under Article 1266 of Indonesian Civil Code where it is written that the requirements to terminate an agreement includes: it has to be reciprocal, a party does not fulfill his obligation and the termination should be requested to the Court. The application of Article 1266 of Indonesian Civil Code is still controversial amongst law experts and law practitioners since there are certain constraints concerning Court procedure and also practice shows people only consider unfulfillment of obligation / wanprestasi as the sole requirement to terminate an agreement. An unilateral termination of agreement may be disputed on the basis of unlawful act / tort pursuant to Article 1365 of Indonesian Civil Code since it is not based on the reasons agreed by the parties within the agreement that they consider against the law. To create a consistency in applying the law, disputes concerning unilateral termination of agreement as anunlawful act / tort should be regarded as a jurisprudence in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marqie Setianto
"Tesis ini membahas untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap Negara ? Negara ASEAN terutama Negara Indonesia berkaitan dengan tarif yang diberlakukan dalam bidang perdagangan yang terdapat dalam Common Effective Preferential Tarriff Agreement. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif karena penelitian hukum ini menggunakan data dari bahan-bahan pustaka (data sekunder) yang berkaitan dengan skema CEPT-AFTA. Spesifikasi penulisan adalah deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran secara rinci, menyeluruh, dan sistematis mengenai kenyataan yang terjadi, yaitu mengenai pelaksanaan serta perlindungan hukum terhadap Negara ? Negara anggota ASEAN yang menyetujui CEPT Agreement. Hasil penelitian menggambarkan bahwa Skema CEPT yang diterapkan dalam AFTA, sudah cukup banyak memberikan keuntungan, namun masih belum secara maksimal dapat diterapkan oleh Negara ? Negara anggota ASEAN karena masih kurangnya pengawasan terhadap barang yang masuk yang berkaitan dengan bidang perdagangan.

This thesis discusses the implementation to know the legal protection of the States of ASEAN countries especially Indonesia relating to the tariffs in force in the field of trade contained in the Common Effective Preferential Tarriff Agreement. The methods used in the writing of this thesis is the juridical normative approach method due to this legal research using data from library materials (secondary data) with regard to the scheme of the CEPT-AFTA. Descriptive writing is analytical specifications, which give an overview in detail, thorough, and systematic about the fact happened, which regarding the implementation of legal protection against the States of ASEAN member countries that approved the CEPT Agreement. The results illustrate that the CEPT Scheme applied in AFTA, already pretty much give you an advantage, but still not optimally can be applied by the States of ASEAN member countries because of lack of supervision of incoming goods related to the field of trade."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aura Akhman
"Dalam dunia bisnis, waktu 90 (sembilan puluh) hari, yang terdapat pada pengaturan Masa Stay dalam kepailitan bukanlah waktu yang pendek. Dalam praktik, biasanya yang mempunyai atau yang memegang hak tanggungan sangat membutuhkan percepatan perputaran modal. Percepatan perputaran modal ini akan berakibat pada keuntungan dan kerugian yang akan dialami oleh pihak bersangkutan. Semakin lama kredit yang seharusnya kembali tetapi tidak terbayar kepada kreditor separatis pemegang hak tanggungan, akan berdampak semakin besar pula kerugian Kreditur Separatis atas keuntungan yang harus diterimanya. Olehkarena itu penting bagi kita memahami Peranan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan serta kedudukan Kreditur Separatis sebagai pemegang hak tanggungan dalam kepailitan. Penulisan ini bersifat deskriptif - analitis. Deskriptif maksudnya bahwa diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang fakta yang berhubungan dengan permasalahan. Analitis dimaksudkan bahwa berdasarkan gambaran-gambaran, fakta-fakta dan uraian yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat mengenai Peran asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan serta kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan dalam kepailitan. Sehingga akan diperoleh pemahaman bagi para akademisi dan praktisi hukum bahwa Asas Lex Specialis Derogat Lex Generali , dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan memiliki peran untuk melengkapi (aanvullend) bukan untuk menyimpangi ( uitzondering)

In the business world, a period of 90 (ninety) days, which is found on the Stay Period regulation in bankruptcy is not a short time. The acceleration of capital turnover will result in gains and losses that will be Experienced by the parties concerned. The longer the loan is supposed to return but not paid to the creditor separatist mortgage holders, will impact the greater the loss of benefits Separatist Creditors should receive. Therefore it is important for us to understand the role of Lex Specialist derogat Legi generalist legal principle in overcoming legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage Act (UUHT) regarding the position of Mortgage Lenders and mortgage holders in bankruptcy. This study is a descriptive - analytical. Descriptive means that is expected to obtain a comprehensive and systematic overview of the facts related to the problem. Analytical meant that by the images, facts and descriptions obtained will be analyzed carefully about The role of the legal principle of Lex Specialist derogat Legi generalist in overcoming legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage act (UUHT) regarding Mortgage and the position of creditor who act as mortgage holders in bankcruptcy. So that for academics and legal practitioners will have a better understanding about the principle of Lex Specialist derogat Generali, in dealing with the legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage act (UUHT) regarding Mortgage has a role for complement (aanvullend) not to deviate (uitzondering)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Nasrulloh
"Penelitian ini mengkaji mengenai Badan Usaha Milik Daerah yang berbadan hukum Perseroan Terbatas yakni bagaimana Pendirian, Pembubaran dan Dampak Hukum atas Pembubaran yang tidak ditindaklanjuti dengan likuidasi. Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif dengan studi kasus pembubaran PT Rumah Sakit Haji Jakarta. Sebagai Badan Usaha Milik Daerah maka baik pendirian maupun pembubaran didahului dengan Peraturan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 331 ayat (2) junto Pasal 342 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setelah itu mengikuti ketentuan tentang perseroan terbatas sebagaimana Pasal 339 ayat (2) UU Nomor 23 tahun 2014. Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan, tidak serta merta perseroan tersebut hanya diwacanakan saja; terdapat tahapan-tahapan yang harus dilanjutkan. Pasal 142 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengisyaratkan bahwa Pembubaran Perseroan tersebut wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi. Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur bahwa selama pemberitahuan pembubaran perseroan tidak dilakukan sesuai dengan Pasal 147 UU PT, maka pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga dan pembubaran perseroan tidak mengakibatkan perseroan kehilangan status badan hukumnya sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Akibat dari pembubaran perseroan, maka setiap surat keluar perseroan dicantumkan kata "dalam likuidasi" di belakang nama perseroan tersebut. Namun pada prakteknya, pembubaran Perseroan tidak diikuti dengan penghapusan Badan Hukumnya. Hal ini seperti yang terjadi pada PT Rumah Sakit Haji Jakarta. Langkah seperti ini sebenarnya memiliki implikasi hukum, seperti masih adanya beban pajak yang pada Perseroan tersebut serta belum adanya implikasi hukum pembubarannya pada pihak ketiga. Oleh karenanya menjadi penting untuk melakukan pembubaran Perseroan Terbatas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sehingga Badan Hukum yang ada benar-benar terhapuskan sehingga tidak memiliki dampak yuridis yang negatif.

This research studies regarding the Local Government Owned Enterprise incorporated under the laws of how to Establishment, Dissolution and Liquidation of the impact of the above Law is not followed by liquidation. The research method used is a normative juridical dissolution case studies PT Rumah Sakit Haji Jakarta. As the Local Enterprise both the establishment and dissolution preceded by local regulation as stipulated in Article 331 paragraph (2) jo Article 342 paragraph (1) of Law No. 23 of 2014 on Local Government after it followed the provisions of the limited liability company as Article 339 paragraph ( 2) Act No. 23 of 2014. In the event of dissolution of the Company, it is not only discourse; There are steps that must be followed. Article 142 Paragraph (2) of Law No. 40 of 2007 suggests that the Liquidation of the Company shall be followed by liquidation conducted by a liquidator or curator; and the Company is not able to take legal actions, unless required to clean up all the affairs of the Company in order to liquidation. Limited Liability Company Act provides that during the dissolution of the company's notification is not made in accordance with Article 147 of Company Law, the dissolution of the company does not apply to third parties and the company does not result in the dissolution of the company's loss of legal status until the completion of the liquidation and the liquidator liability is accepted by the RUPS/GMS or court . As a result of the dissolution of the company, then any outgoing mail listed company in liquidation word behind the company name. However, in practice, the dissolution of the Company is not followed by the removal of Legal Entity. It's like that happened at PT Rumah Sakit Haji Jakarta. Such measures have actually had legal implications, such as the persistence of the tax burden on the company as well as the absence of the legal implications of its dissolution on third parties. It is therefore important to perform the dissolution of Limited Liability Company in accordance with applicable laws. So that the legal entity that is completely erased so do not have a negative impact juridical."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>