Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Sunaryo
"ABSTRAK
Latar Belakang. Gangguan Fungsi paru dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau benda ndash;benda asing yang masuk ke dalam saluran napas, diantaranya debu. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan proporsi gangguan fungsi paru dan gejala klinis akibat pajanan debu hyget poliester di dalam dan di luar ruangan serta faktor-faktor risiko yang berhubungan pada pengrajin kasur lantai.Metode. Penelitian ini menggunakan Desain Comparative Cross Sectional untuk melihat proporsi penurunan fungsi paru para pengrajin yang terpajan debu hyget poliester di dalam dan di luar ruangan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, pengamatan langsung, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri menggunakan alat spirometri dan pengukuran kadar debu total dengan menggunakan Low Volume Dust Sampler LVS di lapangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS 20. Terhadap semua variabel dilakukan uji bivariat, kemudian variabel yang mempunyai nilai p < 0.25 dilakukan uji multivariat. Hasil. Karakteristik pengrajin kasur lantai di wilayah desa X Kabupaten Purbalingga didominasi oleh pengrajin dengan usia <44,4 tahun (52%), IMT tidak normal (51%), berpendidikan sekolah dasar (96%), masa kerja >11 tahun (56%), lama kerja <7,8 jam (73%), menggunakan APD (69%), kebiasaan berolah raga yang tidak baik (82%), tidak memiliki gangguan fungsi paru (81%), memilik tekanan darah tidak normal (71%) serta mayoritas tidak memiliki riwayat sesak napas dan bronkitis kronik (99%). Berdasarkan uji kesetaraan didapatkan hasil bahwa IMT (ρ=0,065), umur (ρ=0.689). Kadar debu di dalam dan di luar ruangan dibawah nilai ambang batas 10 mg/m3.. Sedangkan untuk umur, masa kerja, lama kerja, penggunaan APD dan gangguan fungsi paru, tidak ada hubungannya dengan tempat kerja baik di dalam maupun di luar ruangan. Faktor yang paling dominan yang memiliki hubungan dengan gangguan fungsi paru obstruksi adalah pendidikan, sedangkan faktor lain (umur, IMT, penggunaan APD, masa kerja, lama kerja, kebiasaan berolahraga) tidak memiliki hubungan dengan gangguan fungsi paru baik di dalam maupun di luar ruangan.
Kesimpulan. Proporsi gangguan fungsi paru 18 (18%) orang. Restriksi 16 orang; 6 orang pengrajin di dalam ruangan (restriksi ringan), 10 orang pengrajin di luar ruangan ( 7 orang restriksi ringan dan 3 orang restriksi sedang). Gangguan fungsi paru obstruksi 1 orang di luar ruangan. Serta campuran (restriksi ringan dan obstruksi ringan) berjumlah 1 orang yang bekerja di dalam ruangan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pajanan debu hyget di dalam dan di luar dengan faktor risiko sosiodemografi (umur, IMT dan pendidikan) dan faktor risiko okupasi (masa, lama kerja dan APD). Faktor yang paling dominan yang memiliki hubungan dengan obstruksi saluran napas adalah pendidikan.

ABSTRACT
Background. Pulmonary function disorder may be caused by several diseases or foreign materials entering the respiratory tract, including dust. This study is aimed at identifying the difference in proportion of pulmonary function disorder and clinical symptoms caused by exposure to hyget polyester dust between craftswomen working indoors and outdoors, as well as risk factors associated with floor mattress workers.Method. This study uses Comparative Cross Sectional design to see the proportion of decrease in pulmonary function disorders in craftswomen exposed to hyget polyester dust working indoors and outdoors. Data collection was conducted using questionnaires, direct observations, physical examinations, spirometry tests, and measuring total dust levels using Low Volume Dust Sampler LVS in the field. The collected data was then analyzed using SPSS version 20. All variables were tested for bivariat analysis, and those with p value<0.25 were tested for multivariate analysis.
Result. The characteristics of floor matress craftswomen in X village of Purbalingga distric are dominated by craftswomen of age <44,4 years (52%), abnormal IMT (51%), education level of primary school (96%), employment length >11 years (56%), work duration <7,8 hours (73%), using Personal Protective Equipment (PPE) (69%), non-optimal exercise habits (82%), no pre- existing pulmonary function disorders (81%), abnormal blood pressure (71%), and no history of breathing difficulties and chronic bronkitis (99%). Based on homogenity test, age ( p = 0.689) and BMI (p=0.065) in found to be homogenous. Indoor and outdoor dust level is above recommended limit ( < 10 mg/m3). However for age, education, employment length, work duration, PPE usage and pulmonary function disorder , there were no associations with working place both indoors and outdoors. The most dominant factor which had an association with pulmonary function disorder was education, while other factors (age, IMT, PPE usage, employment length, work duration, exercise habits) did not show associations with pulmonary function disorders for craftswomen both indoors and outdoors.
Conclusion. Proportion of pulmonary function disorder was discovered in 18 people (18%). Restriction of 16 craftswomen; 6 craftswomen working indoors (mild restrictions), 10 craftswomen working outdoors (7 mild restrictions and 3 medium restrictions). Impaired lung function obstruction 1 craftswomen working outdoors. As well as the mixture (mild restriction and mild obstruction) amounted to 1 craftswomen working indoors. There was no significant association between hyget®polyester dust exposure (both indoors and outdoors) with the sociodemographic risk factors (age, BMI, and education) as well as occupational risk factors (work duration, employment length, PPE). The most dominant factor which had an association with airway obstruction was education.
"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Corry Agustine Nias
"ABSTRAK
Latar belakang: Diagnosis cepat efusi pleura eksudatif harus mampu mengesampingkan TB sebagai agen penyebab. Cancer ratio, rasio antara serum laktat dehidrogenase (LDH) dan cairan pleura adenosin deaminase (ADA), >20 diprediksi untuk efusi pleura ganas. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati nilai diagnostik dan untuk menetapkan titik potong diagnostik cancer ratio untuk EPG di negara dengan beban TB yang tinggi seperti di Indonesia.
Metode: Penelitian prospektif potong lintang ini melibatkan 65 subjek dari pasien dengan efusi pleura eksudatif yang diduga keganasan yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Indonesia.
Hasil: Cancer ratio> 20 memiliki sensitivitas 61,82%, spesifisitas 80%, nilai duga positif (NDP) 94,44% dan nilai duga negatif (NDN) 27,59%. Nilai titik potong cancer ratio >26 menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 0,43 (IK 95% 0,31-0,55) dan 0,9 (IK 95% 0,82-0,97). Luas AUC 0,76 menunjukkan akurasi yang baik. Rasio kemungkinan positif adalah 4,36 (IK 95% 3,43-5,29) sedangkan rasio kemungkinan negatif pada titik potongini adalah 0,22 (IK 95% 0,13-0,33). Nilai duga positif adalah 0,96 (IK 95% 0,91-1) sedangkan nilai duga negatif pada titik potong ini adalah 0,22 (IK 95% 0,12-0,32).
Kesimpulan: Nilai titik potong cancer ratio >26 sangat prediktif untuk keganasan pada pasien dengan efusi pleura eksudatif di negara dengan beban TB tinggi berdasarkan nilai spesifisitas, nilai duga positif dan rasio kemungkinan positif yang tinggi.

ABSTRACT
Background: Rapid diagnostics of exudative pleural effusion should able to rule-out tuberculosis (TB) as the causative agent. Cancer ratio, a ratio between serum lactate dehydrogenase (LDH) and pleural fluid adenosine deaminase (ADA), of >20 were predictive for malignant pleural effusion. This study was aimed to observe the diagnostic values and to set the cut-off diagnostic level of cancer ratio for MPE in a country with a high burden of TB such in Indonesia.
Method: This prospective cross-sectional study involved 65 subjects from the patients with exudative pleural effusion suspected of malignancy treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia
Result: The cancer ratio at >20 possessed a sensitivity of 61.82%, a specificity of 80%, positive predictive value (PPV) of 94.44%, and negative predictive value (NPV) of 27.59%. The cancer ration set at >26 cut-offs showed sensitivity and specificity of 0.43 (95%CI 0.31-0.55) and 0.9 (95%CI 0.82-0.97), respectively. The area under the curve (AUC) of 0.76 suggested good accuracy. The positive likelihood ratio (PLR) was 4.36 (95%CI 3.43-5.29), while the negative likelihood ratio (NLR) at this cut-off was 0.22 (95 % CI 0.13-0.33). The PPV was
0.96 (95% CI 0.91-1), while the NPV at this cut-off was 0.22 (95% CI 0.12-0.32).
Conclusion: The cancer ratio set at >26 cut-offs was highly predictive for malignancy in patients with exudative pleural effusion at high TB burden country based on its high specificity, PLR, and PPV."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yetty Fariaty
"ABSTRAK
Latar belakang: Tuberkulosis TB menempati peringkat kedua penyebab kematian akibat infeksi setelah human immunodeficiency virus HIV di dunia. Tanpa pengobatan, angka kematian TB tinggi. Selama pengobatan TB, dapat terjadi hepatitis imbas obat HIO . Kejadian ini dapat menyebabkan pasien mendapat perubahan paduan obat antituberkulosis OAT . Perubahan paduan obat mungkin akan berakibat pada angka konversi.Metode: Lima puluh dari 72 sampel dengan TB paru bakteriologis kasus baru dengan HIO yang tercatat di dalam rekam medik diambil datanya secara retrospektif. Data usia, jenis kelamin, status gizi, hasil pemeriksaan batang tahan asam BTA , waktu timbulnya HIO, faktor komorbid HIV dan DM , riwayat merokok, alkohol, OAT yang dihentikan, jenis OAT yang digunakan saat HIO dan parameter hematologi dicatat untuk kemudian dianalisis.Hasil penelitian: Angka konversi TB paru kasus baru yang mendapat perubahan paduan OAT akibat HIO adalah 70 . Kami dapatkan 26 pasien dengan usia > 50 tahun, 60 status gizi kurang dan 26 dengan DM. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, status gizi, komorbid DM dan HIV serta jenis OAT yang digunakan saat HIO terhadap terjadinya konversi namun didapatkan responden HIO dengan status gizi kurang sebesar 60 mengalami konversi yang rendah 67 . Obat anti tuberkulosis yang digunakan saat HIO terbanyak adalah kombinasi RHES 76 dengan angka konversi 65,7 .Kesimpulan: Angka konversi TB paru kasus baru yang mendapat perubahan paduan OAT akibat HIO adalah 70 . Pasien TB paru dengan usia tua, status gizi kurang dan DM perlu mendapat pemantauan selama pengobatan. Perlu penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar serta diikuti secara prospektif untuk mendapatkan data yang lebih detail sehingga faktor lain yang berpengaruh terhadap angka konversi dapat diketahui.

ABSTRACT
Background Tuberculosis TB ranks as the second leading cause of death from an infectious disease worldwide after the human immunodeficiency virus HIV . Without treatment, the mortality rates of TB are high. Drug induced hepatotoxicity can occure during TB treatment which is leading to non standard antituberculosis drugs use. Modification of therapy might influence the conversion rate.Method Data collected from medical records retrospectively, 50 0f 72 samples with newly diagnosed pulmonary tuberculosis and drug induced hepatitis who received modified regimen included in this study. Age, gender, nutritional status, sputum smear, time to occurance of hepatotoxicity, comorbid, smoking history, antituberculosis drug used after hepatotoxicity and hematology parameter are written for analysed.Results Conversion rate in newly diagnosed pulmonary TB patients with drug induced hepatitis who received modified regimen was 70 . We found 32 patients with age 50 years old, 60 poor nutritional status and 26 with DM. No significant assosiation found between age, gender, nutritional status, comorbid DM, HIV and antituberculosis drug used after hepatotoxicity to conversion. Subjects with poor nutritional status are 60 with less sputum conversion 67 . Combination of RHES were more frequence used of antituberculosis drugs 76 with conversion rate 65,7 .Conclution Conversion rate in newly diagnosed pulmonary TB patients with drug induced hepatitis who received modified regimen was 70 . Pulmonary tuberculosis patients with older age, poor nutritional status and DM need evaluation during treatment. Further research with large samples and prospective design are needed for getting more information and find other factors that influence sputum conversion."
2016
T55586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arriz Akbar
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi asma dan hubungannya dengan pajanan amonia pada pekerja informal peternak ayam.Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Pemeriksaan 69 responden dengan menggunakan kuesioner, pengamatan langsung, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri menggunakan alat spirometer, pengukuran Arus Puncak Ekspirasi APE menggunakan peak flowmeter dan pengukuran kadar amonia di udara lingkungan peternakan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS. Terhadap semua variabel dilakukan uji bivariat, kemudian variabel yang mempunyai nilai p

ABSTRACT
Objective To determine the prevalence of asthma and its corelation with ammonia exposure among informal workers of poultry farmers.Method This study design was a cross sectional analytic to 69 respondents using questionnaires, field observation, physical examination, spirometry measurement, and peak flowmeter test to diagnose work related asthma and measurement of ammonia level in air environment of farm. All variable were bivariate tested by using Chi square test or Fischer test. The variables which have p value "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Prawira Putra
"Latar Belakang: Bronkoskopi adalah prosedur yang umum digunakan sebagai tindakan membantu penegakkan diagnosis kasus tumor paru. Hipoksemia disebut sebagai salah satu komplikasi yang sering terjadi pada bronkoskopi diagnostik oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan dampak klinis yang ditimbulkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi diagnostik dan dilakukan selamaJanuari-April 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Nasional (RSUPRRN) Persahabatan Jakarta. Total 195 pasien diikutsertakan dan dilakukan pengamatan terhadap nilai saturasi oksigen pada tahap premedikasi, durante, pascatindakan. Hipoksemia adalah subjek dengan saturasi oksigen<90% dan diamati berbagai faktor yang dianggap berpengaruh dan dampak klinis yang terjadi.
Hasil:Jumlah kejadian hipoksemia pada bronkoskopi diagnostik sebanyak 40 kasus (20,5%). Waktu kejadian hipoksemia paling banyak pada tahap durante tindakan (20%) dengan median lama hipoksemia berlangsung 15 detik. Proporsi waktu muncul hipoksemia terjadi paling banyak pada 10 menit pertama tindakan (11,3%). Faktor demografi yang bermakna terhadap kejadian hipoksemia adalah jenis kelamin (p=0,04) dan riwayat merokok (p=0,005). Faktor yang dianggap berpengaruh dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoksemia antara lain lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi (p<0,05). Total 5 pasien dirawat pascatindakan di ruang intensif dan tidak ada kasus kematian yang dilaporkan.
Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan jenis kelamin, riwayat merokok, lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipoksemia pada tindakan bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru. Hipoksemia yang muncul pada bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru tidak menimbulkan dampak klinis yang fatal seperti kematian pada penelitian ini.

Background: Bronchoscopy is a commonly medical procedure perfomed for diagnose lung tumor cases. Hypoxemia often appear as complication related diagnostic bronchoscopy. Therefore, there is a need of research data to knowing related factors and clinical consequences may occur ahead.
Methods:Design of this study is cross sectional with suspicion lung malignancy population who undergoing diagnostic bronchoscopy from January until april 2019 at National Respiratory Center Persahabatan General Hospital Jakarta. Total 195 consecutive patients participated dan observed for oxygen saturation in premedication, during and post-bronchoscopy. Hypoxemia was defined as an desaturation <90% and reviewed several related factor and clinical consequences may appear
Results:Total hypoxemia events on diagnostic bronchoscopy was 40 cases (20,5%). The most frequent occurrence hypoxemia time is during bronchoscopy (20%) with median duration of hypoxemia is 15 seconds. The proportion of time appears hypoxemia is commonly in first 10 minutes bronchoscopy (11,3%). Demographic factors like gender and smoking history are statistically significant with hypoxemia events (p=0,04 & p=0,005). Other factors may have relation dan statiscally significant are duration of procedure and procedure with complication (p<0,05). Total 5 cases observed in intensive care unit after procedure and no death event have reported in this study
Conclusion:This study suggested gender, smoking history, duration of procedure and procedure with complication were related factors with hypoxemic events in lung tumor cases undergoing diagnostic bronchoscopy. Hypoxemia related diagnostic bronchoscopy in this study was not rise into fatal event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Rizkie Wijayanti
"ABSTRAK
Latar Belakang:Penelitian ini merupakan studi awal untuk menetapkan proporsi pneumonitis radiasi pada pasien kanker paru yang mendapat radiasi di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain retrospektif pada pasien kanker paru yang mendapat radiasi di RSUP Persahabatan antara Juni 2013-Juli 2015. Pengambilan data melalui rekam medik dan dilakukan evaluasi ulang foto toraks 1 bulan pasca radiasi.
Hasil: Terdapat 33 pasien kanker paru yang memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik subyek meliputi usia ≥51 tahun (63,6%), laki-laki (66,7%), riwayat merokok (75,8%), IB sedang (60%), dosis radiasi 300-4000 (60,6%), fraksi radiasi 10-19 (60,6%), tidak mempunyai riwayat kemoterapi (54,5%), kanker paru jenis adenokarsinoma (66,7%) dan stage IV (84,84%). Proporsi pneumonitis radiasi berdasarkan foto toraks sebesar 39,4% yang terdiri dari gambaran hazy ground glass opacities, hazy ground glass opacities dan fibrosis serta fibrosis. Ditemukan perbedaan bermakna antara usia, dosis radiasi dan riwayat kemoterapi dengan kejadian pneumonitis radiasi (p<0,05).
Kesimpulan: Proporsi pneumonitis radiasi berdasarkan foto toraks sebesar 39,4%. Terdapat perbedaan bermakna antara usia, dosis radiasi dan riwayat kemoterapi dengan kejadian pneumonitis radiasi.

ABSTRACT
Introduction: This is a preliminary study to determine proportion radiation pneumonitis in lung cancer patients who got radiaton in Persahabatan Hospital.
Method: This was a retrospective study in lung cancer patients who got radiation in Persahabatan Hospital between June 2013 ? July 2015. Interpretation data were from medical record and did reevaluation chest x ray 1 month after radiation.
Result: There were 33 lung cancer patients were filled inclusion criteria. Subjects characteristic were age ≥51 years (63,6%), male (66,7%), history of smoking (75,8%), moderate IB (60%), radiation doses 3000-4000 (60,6%), radiation fractions 10-19 (60,6%), had no history of chemotheraphy (54,5%), adenocarcinoma (66,7%) and stage IV (84,84%). Proportion radiation pneumonitis based on chest x ray were 39,4% that include hazy ground glass opacities, hazy ground glass opacitiesand fibrosis and only fibrosis. There were significant differences between age, radiation doses and history of chemotheraphy with proportion radiation pneumonitis (p<0,05).
Conclusion: Proportion radiation pneumonitis based on chest x ray are 39,4%. There are significant differences between age, radiation doses and history of chemotheraphy with proportion radiation pneumonitis (p<0,05)."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library