Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Garry Anthony
"Menurut Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan otoritas penerbangan Indonesia,pilot DM yang mendapat terapi insulin dianggap tidak layak terbang karena risiko hipoglikemia. Beberapa negara seperti Kanada, Inggris, Irlandia, Austria, dan Amerika Serikat memberikan sertifikasi aeromedis pilot tersebut. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah meninjau risiko hipoglikemiapada pilot DM yang diterapi insulin.Pencarian literatur dilakukan melalui Cochrane, PubMed, Scopus dan Ingentaconnect. Kriteria inklusi adalah studi pada pilot sipil dengan DM yang diterapi insulin dalam bentuk studi case report studies, case series, systematic reviews, case controls, cohorts, and randomized control trials. Literatur dinilai secara kritis menggunakan kriteria Oxford Center for Evidence-based Medicine.Terdapat 2 literatur sesuai kriteria inklusi.Studi kohort oleh Mitchell, dkk (2017) menunjukkan tidakada perubahan signifikan kadarglukosa darah pada pilot DM dengan insulin sebelum dan sesudah mendapat sertifikasi aeromedis,studi kasus-kontrol oleh Mills, dkk (2017) menyatakan pilot DM dengan insulin yang diberikan sertifikasi aeromedis tidak signifikan menjadi penyebab kecelakaanpesawat.Hasil studi terdapat risiko inkapasitasi pada pilot DM yang diterapiinsulin karena efek samping hipoglikemianamun risiko dapat dihindari dengan menerapkan protokol khusus seperti pemeriksaan kesehatan berkala oleh dokter spesialis penyakit dalam dan pemeriksaan glukosa darah sebelum dan selama menerbangkan pesawat.

According to International Civil Aviation Organization and Indonetian national aviation authorities, diabeticpilots withinsulin are considered unfit due to risk of hypoglycemia. Several countries such as Canada, UK, Ireland, Austria, and the US provide aeromedical certification to these pilots. The purpose of this evidence-based case report is to review the risk of hypoglycemia in insulin-treated DM pilots.Literature search was conducted through Cochrane, PubMed, Scopus and Ingentaconnect. Inclusion criteria were studies of insulin treated diabetic civilian pilots in the form of case report, case series, systematic reviews, case controls, cohorts, and randomized control trials. Literature is critically appraised using Oxford Center for Evidence-based Medicine criteria.Twoliterature selected according to the inclusion criteria. Cohort study by Mitchell, et al (2017) showed no significant changes inblood glucose levels before and after receiving aeromedical certification, case-control study by Mills, et al (2017) stated that diabetic pilots with insulin who were given aeromedical certification were not the cause of aircraft accidents.Study results show there arisk of incapacitation in insulin-treated DM pilots because of hypoglycemia, risk can be avoided by implementing special protocols such as periodic medical examinations by internal medicine specialists and blood glucose checks before and during flight."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman
"ABSTRAK
Stroke iskemik merupakan salah satu komplikasi penting dan berdampak negatif pada operasi jantung yang menggunakan MPJP. Faktor intraoperatif dianggap berpengaruh terhadap kejadian stroke iskemik diantaranya mean arterial pressure (MAP), kecepatan rewarm, kadar glukosa darah, durasi bypass, durasi klem silang aorta, hemoglobin dan hematokrit. Penelitian ini merupakan studi analitik retrospektif dengan disain kasus-kontrol. Subjek dengan komplikasi stroke pascaoperasi jantung dengan MPJP selama periode januari 2016 sampai desember 2018 sebagai kelompok kasus dan pasien tanpa stroke iskemik pada periode yang sama sebagai kontrol. Jenis kelamin, usia, diabetes melitus dan hipertensi tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p >0,05). Hematokrit (p = 0,015, OR 0,939 [0,885-0,996]) dan durasi bypass (p = 0,027, OR 1,011 [1,001-1,021]) merupakan faktor intraoperatif yang berpengaruh terhadap kejadian stroke pascaoperasi. Prosedur operasi katup (p = 0,024, OR 3,127 [1,161-8,427]) dan aorta (p = 0,038, OR 3,398 [1,070-10,786]) memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stroke pascaoperasi. Disimpulkan bahwa faktor intraoperatif yang memengaruhi kejadian stroke iskemik pascaoperasi jantung dewasa yang menggunakan MPJP di RSJPDHK adalah durasi bypass dan nilai hematokrit. Prosedur operasi aorta dan katup memiliki risiko lebih tinggi terhadap kejadian stroke dibandingkan prosedur operasi jantung lain.

ABSTRACT
Ischemic stroke is one of the important complications and has a negative impact on cardiac surgery with cardiopulmonary bypass. Intraoperative factors were considered to have an effect on ischemic stroke events including mean arterial pressure (MAP), rewarm speed, blood glucose levels, bypass duration, aortic cross clamp duration, hemoglobin and hematocrit. The study was a retrospective analytic study with case-control design. Subjects with stroke complications following cardiac surgery with cardiopulmonary bypass during January 2016 to December 2018 as a case group and patients without stroke in the same period as controls. Gender, age, diabetes mellitus and hypertension did not have a significant difference between the case and control groups (p> 0.05). Hematocrit (p = 0.015, OR 0.939 [0.885-0.996]) and bypass duration (p = 0.027, OR 1.011 [1,001-1,021]) were an intraoperative factors that influences the incidence of postoperative stroke. Valve surgery (p = 0.024, OR 3.127 [1,161-8,427]) and aorta (p = 0.038, OR 3.398 [1,070-10,786]) had a significant association with postoperative stroke. It was concluded that intraoperative factors affecting the incidence of postoperative cardiac ischemic stroke using cardiopulmonary bypass in RSJPDHK were duration of bypass and hematocrit. Aortic and valve surgery procedures have a higher risk of stroke than other cardiac surgery procedures."
[, , ]: 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ihza Fachriza
"

Kanker payudara di Indonesia merupakan kanker dengan prevalensi tertinggi dengan jumlah kasus baru dan kematian terkait kanker yang semakin meningkat. Kanker payudara tripel negatif (KPTN) memiliki angka rekurensi, kesintasan, dan overall survival  yang lebih buruk. Penelitian ini diharapkan menjadi penelitian dasar mengenai KPTN di Indonesia. Metode penelitian ini adalah analisis kesintasan berdasarkan klinikopatologisnya pada 112 kasus KPTN di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia yang didiagnosis pada tahun 2009-2019. Analisis kesintasan menggunakan Kaplan-Meier dan log-rank test. Analisis bivariat dan multivariat menggunakan Cox regression untuk mendapatkan Hazard Ratio (HR). Didapatkan hasil bahwa mayoritas pasien didiagnosis pada stadium lanjut lokal (40,2%) dibandingkan dengan stadium dini (33%) dan stadium metastasis (17,9). Kesintasan lima tahun KPTN adalah 81,2% dengan nilai HR 1,372 (p = 0,239) dibandingkan dengan Luminal A. Analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok umur, ukuran dan ekstensi tumor (T), keterlibatan KGB regional (N), metastasis jauh (M), invasi limfovaskular, dan jenis operasi secara signifikan mempengaruhi kesintasan KPTN (p < 0,05). Pada analisis multivariat didapatkan bahwa bahwa satu-satunya faktor yang memperburuk kesintasan adalah tidak dioperasi dengan HR 6,175 (p = 0,001). Kesimpulan pada penelitian ini yaitu kesintasan pasien KPTN dalam lima tahun adalah 81,2%. Tidak dioperasi adalah faktor klinikopatologis yang memperburuk kesintasan KPTN.

 

Kata Kunci: Kanker payudara; Tripel Negatif; Klinikopatologis; Kesintasan


Breast cancer in Indonesia is a cancer with the highest prevalence with an increasing number of new cases and cancer-related deaths. Triple negative breast cancer (TNBC) has a worse rate of recurrence, survival, and overall survival. This research is expected to become a basic research on TNBC in Indonesia. The method of this research is the survival analysis based on its clinicopathology in 112 cases of TNBC at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia which were diagnosed in 2009-2019. The survival analysis used the Kaplan-Meier and log-rank test. Bivariate and multivariate analysis using Cox regression to obtain the Hazard Ratio (HR). It was found that the majority of patients were diagnosed at the locally advanced stage (40.2%) compared to the early stage (33%) and the metastatic stage (17.9). The five-year survival of the TNBC was 81.2% with an HR value of 1.372 (p = 0.239) compared to Luminal A. Bivariate analysis showed that age group, tumor size and extension (T), regional lymph node involvement (N), distant metastases (M), lymphovascular invasion, and type of surgery significantly affected the survival of the KPTN (p <0.05). In the multivariate analysis it was found that the only factor that worsened the survival was not having surgery with HR 6.175 (p = 0.001). The conclusion in this study is that the survival of KPTN patients in five years is 81.2%. Not having surgery is a clinicopathological factor that worsens the survival of the KPTN.

 

Keywords: Breast cancer; Triple negative; Clinicopathology; Survival

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umayah Asnandri
"Pendahuluan: Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan untuk mengetahui pengaruh tekanan darah sistolik dan diastolik terhadap maturasi arteriovenous fistula (AVF) pada pasien gagal ginjal kronis stadium akhir dengan diabetes melitus tipe 2, sehingga nantinya dapat dijadikan pertimbangan dalam pembuatan akses AVF di divisi Bedah Vaskular RSCM.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain historical cohort di Divisi Vaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM, Jakarta. Dengan dilakukan consecutive sampling, semua penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir dengan diabetes melitus tipe 2 yang direncanakan untuk hemodialisis dengan akses vaskular AVF brakiosefalika.
Hasil: Didapatkan 64 subjek gagal ginjal kronik dengan diabetes melitus tipe 2 menjalani prosedur pemasangan akses brakiosefalika. Sebanyak 75% yang matur dari keseluruhan subjek yang diikutsertakan. Rerata tekanan sistolik pra bedah antar kedua kelompok menunjukan angka maksimal berada di 165,15 mmHg dan minimum 123.19 mmHg pada kelompok matur dan angka maksimal berada di 164,65 mmHg dan minimum 125,26 mmHg pada kelompok tidak matur dengan nilai p = 0,922. Rerata tekanan diastolik prabedah antar kedua kelompok dimana angka maksimal berada di 93,04 mmHg dan minimum 72,6 mmHg pada kelompok matur dan angka maksimal berada di 90,34 mmHg dan minimum 75,78 mmHg pada kelompok tidak matur. Sehingga secara statistik tidak memberi kemaknaan (p = 0,982).
Kesimpulan: Tekanan darah sistolik-diastolik pra bedah tidak memiliki kemaknaan terhadap maturitas AVF brakiosefalika pada penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir dengan dibetes melitus tipe 2.
Kata Kunci: tekanan darah sistolik-diastolik, maturitas AV fistula, brakiosefalika, diabetes melitus.

Introduction: This study is a preliminary study to see the effect of systolic and diastolic blood pressure on arteriovenous fistula maturation (AVF) in end-stage chronic renal failure patients with type 2 diabetes melitus, in the future this study can be considered as reference in making AVF access in the Vascular Surgery division of RSCM.
Methods: This study was conducted with a historical cohort design at the Division of Vascular Surgery Department of the Faculty of medicine University Indonesia- Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We are using consecutive sampling, all patients with end-stage chronic kidney disease with type 2 diabetes melitus that have planned for hemodialysis with brachiocephalic AVF vascular access.
Result: There were 64 subjects with chronic renal failure with type 2 diabetes melitus undergoing brachiocephalic access insertion procedures. There are 75% of mature subjects were enrolled. The mean preoperative systolic pressure between the two groups showed the maximum number was 165.15 mmHg and minimum was 123.19 mmHg for the mature group, and we also found the maximum number is 164.65 mmHg and the minimum 125.26 mmHg for the immature group with P value 0.922 (P=0.922). The mean preoperative diastolic pressure between the two groups, where the maximum number was 93.04 mmHg and the minimum 72.6 mmHg for the mature group and the maximum number is 90.34 mmHg and the minimum 75.78 mmHg for the immature group. The result was statistically not significant with P value 0.982 (P=0.9820). Conclusion: Preoperative systolic-diastolic blood pressure has no significance meaning on the maturity of the brachiocephalic AVF in patients with end-stage chronic kidney disease with type 2 diabetes melitus.
Keywords: Systolic-diastolic blood pressure, AV fistula maturity, brachiocephalica, end-stage chronic kidney disease, diabetes melitus.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Salim
"Kurangnya pemahaman mengenai makanan sehat dan gaya hidup saat ini telah menjadi faktor yang mengarah pada penyakit metabolik, seperti hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis dan sering disebabkan oleh asupan makanan, terutama konsumsi tinggi lemak dan asam lemak jenuh saturated fatty acids, SFA sedangkan asam lemak tidak jenuh tunggal monounsaturated fatty acid, MUFA dan asam lemak tidak jenuh jamak polyunsaturated fatty acid, PUFA diketahui memiliki korelasi negatif terhadap risiko penyakit kardiovaskular. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk mencari hubungan antara asupan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan kadar kolesterol LDL dan apolipoprotein B apoB darah pada karyawan laki-laki hiperkolesterolemia berusia 19-49 tahun. Penelitian ini diikuti oleh 52 subjek, pengumpulan data asupan makanan menggunakan metode food recall 24 jam dan semi-quantitative food frequency questionnaire SQFFQ , pemeriksaan antropometri untuk mendapatkan indeks massa tubuh IMT dan lingkar pinggang, dan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar kolesterol LDL dan apoB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kolesterol LDL memiliki korelasi yang bermakna dengan asupan SFA tetapi tidak dengan asupan lemak total, MUFA, dan PUFA. Kadar apoB memiliki korelasi yang bermakna dengan kadar kolesterol LDL tetapi tidak dengan asupan lemak total, SFA, MUFA, dan PUFA.

Lack of understanding about healthy food and today lifestyle have been issues towards metabolic diseases, such as hypercholesterolemia. Hypercholesterolemia is one of the risk factors in atherosclerosis and often caused by dietary intake, especially consumption of high fat and high saturated fatty acids SFA while monounsaturated fatty acids MUFA and polyunsaturated fatty acids PUFA intake are known inversely correlated with cardiovascular disease CVD risks. This cross sectional study was aimed to determine the correlation between saturated and unsaturated fatty acids intake with serum low density lipoprotein cholesterol LDL C and apolipoprotein B apoB levels in hypercholesterolemic male employees aged 19 to 49 years. The study was conducted using 52 subjects, data collection of food intake using 24 hour food recall and semi quantitative food frequency questionnaire SQFFQ , anthropometric measurements for body mass index BMI and waist circumference WC , and blood examination for serum LDL C and apoB levels. The result of this study showed that LDL C levels was correlated with SFA intake but not with total fat, MUFA and PUFA intake. ApoB levels was correlated with LDL C levels but not with total fat, SFA, MUFA and PUFA intake."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Prabowo Wirjodigdo
"Latar belakang: Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes akan mengalami diabetic foot ulcer (DFU) dalam masa hidupnya. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perawatan konvensional. NPWT menciptakan lingkungan luka yang lembab, peningkatan aliran darah lokal dan merangsang jaringan granulasi sehingga mempercepat penyembuhan luka. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang memengaruhi lama rawat DFU dengan NPWT.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain cross sectional analitik pada 105 subjek yang dirawat pada Januari 2016 sampai Desember 2018 di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Karakteristik dan demografi pasien dan faktor risiko diambil dari rekam medik. Durasi perawatan dari aplikasi pertama NPWT hingga luaran sebagai hasil, kemudian dianalisis terhadap faktor risiko yang memengaruhinya.
Hasil Penelitian: Lama rawat DFU dengan NPWT adalah 19,9 ± 19,3 hari. Faktor risiko yang mempengaruhi lama rawat adalah riwayat ulkus (r = 0,01; p = 0,034), kedalaman luka (r = 0,292; p = 0.003), Hb (r = 0,05; p = 0,039), HbA1c (r = 0,06; p = 0,033), albumin (r = 0,06; p = 0,017), PCT (r = 0,10; p = 0,035), dan lama menderita DM (r = 0,193; p = 0,009).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa lama rawat DFU dengan NPWT dipengaruhi oleh faktor sitemik (lama menderita DM, Hb, HbA1c, albumin, dan PCT) dan faktor lokal (riwayat ulkus sebelumnya dan kedalaman luka). Kedalaman luka merupakan faktor yang paling berhubungan positif terhadap lama perawatan DFU pasca NPWT (r = 0,292, p = 0,003). Intervensi pada faktor risiko yang dapat diperbaiki sebelum penggunaan NPWT patut dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan NPWT dan mengurangi lama perawatan.

Background: It is estimated that around 15% of diabetic patients will experience diabetic foot ulcer (DFU) in their lifetime. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) is proven to be more effective than conventional treatments. NPWT creates a moist wound environment, increases local blood flow and stimulates tissue granulation thereby accelerating wound healing. This study was conducted to determine the risk factors that affect the length of stay of DFU with NPWT. Knowing this risk factors may be helpful for optimizing management strategy.
Methods: This research is a retrospective study with a cross-sectional analytic design in 105 subjects treated in January 2016 to December 2018 at RS. dr. Cipto Mangunkusumo. Patient characteristics, demographics and risk factors were taken from medical records. The length of stay of the patient from the first application of NPWT to its outcomes was the main result, then the correlation to the risk factors that influence it was analyzed.
Results: The length of stay of DFU with NPWT was 19.9 ± 19.3 days. Risk factors affecting the length of stay were history of ulcers (r = 0.01; p = 0.034), wound depth (r = 0.292; p = 0.003), Hb (r = 0.05; p = 0.039), HbA1c (r = 0.06; p = 0.033), albumin (r = 0.06; p = 0.017), PCT (r = 0.10; p = 0.035), and duration of DM (r = 0.193; p = 0.009).
Conclusions: This study showed that the length of stay of DFU with NPWT was influenced by systemic factors (duration of DM, Hb, HbA1c, albumin, and PCT) and local factors (history of previous ulcers and wound depth). The depth of the wound was the most positively related factor to the length of stay in DFU post NPWT (r = 0.292; p = 0.003). Interventions on the risk factors that can be corrected before the application of NPWT may amplify the result of NPWT and reduce the length of treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Prabowo Wirjodigdo
"Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes akan mengalami diabetic foot ulcer (DFU). Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perawatan konvensional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang memengaruhi lama rawat DFU dengan NPWT. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain cross sectional analitik pada 105 subjek yang dirawat pada Januari 2016 sampai Desember 2018 di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Lama rawat DFU dengan NPWT adalah 19,9 ± 19,3 hari. Faktor risiko yang mempengaruhi lama rawat adalah riwayat ulkus (r = 0,01; p = 0,034), kedalaman luka (r = 0,292; p = 0.003), Hb (r = 0,05; p = 0,039), HbA1c (r = 0,06; p = 0,033), albumin (r = 0,06; p = 0,017), PCT (r = 0,10; p = 0,035), dan lama menderita DM (r = 0,193; p = 0,009). Penelitian ini menunjukkan bahwa lama rawat DFU dengan NPWT dipengaruhi oleh faktor sitemik (lama menderita DM, Hb, HbA1c, albumin, dan PCT) dan faktor lokal (riwayat ulkus sebelumnya dan kedalaman luka). Kedalaman luka merupakan faktor yang paling berhubungan positif terhadap lama perawatan DFU pasca NPWT (r = 0,292, p = 0,003). Intervensi pada faktor risiko patut dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan NPWT dan mengurangi lama perawatan.

It is estimated that around 15% of diabetic patients will experience diabetic foot ulcer (DFU). Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) is proven to be more effective than conventional treatments. This study was conducted to determine the risk factors that affect the length of stay of DFU with NPWT. This research is a retrospective study with a cross-sectional analytic design of 105 subjects treated in January 2016 to December 2018 at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The average length of stay of DFU with NPWT was 19.9 ± 19.3 days. Risk factors affecting the length of stay were history of ulcers (r = 0.01; p = 0.034), wound depth (r = 0.292; p = 0.003), Hb (r = 0.05; p = 0.039), HbA1c (r = 0.06; p = 0.033), albumin (r = 0.06; p = 0.017), PCT (r = 0.10; p = 0.035), and duration of DM (r = 0.193; p = 0.009). This study showed that the length of stay of DFU with NPWT was influenced by systemic factors (duration of DM, Hb, HbA1c, albumin, and PCT) and local factors (history of previous ulcers and wound depth). Depth of the wound was themost positively related factor to the length of stay in DFU post NPWT (r = 0.292; p = 0.003). Interventions on the risk factors may amplify the result of NPWT and reduce the length of treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diniah Utami
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai prediksi VO2max dan kadar laktat pada uji latih submaksimal menggunakan sepeda Astrand saat menggunakan masker bedah dan N95 pada tenaga medis. Metode penelitian adalah desain experimental. Subjek penelitian adalah tenaga medis usia dewasa muda baik laki-laki atau perempuan dengan IMT normoweight sampai obesitas I. Tingkat aktivitas fisik subjek dinilai dengan kuesioner IPAQ sebelum dimulai uji latih. Total subjek penelitian adalah 54 orang. Subjek penelitian melakukan uji latih submaksimal sepeda Astrand dengan menggunakan masker medis dan masker N95 untuk mengetahui nilai prediksi VO2max. Interval uji latih dengan kedua masker adalah minimal 2 hari dan maksimal 1 minggu. Peningkatan kadar laktat diukur melalui selisih nilai laktat yang diperiksa sebelum uji dan sesaat setelah uji latih selesai. Hasil penelitian menunjukkan terdapat nilai prediksi VO2max yang lebih rendah secara signifikan saat uji latih memakai masker 95 dibandingkan masker bedah (p<0.001). Nilai prediksi VO2max yang lebih rendah secara signifikan juga didapatkan pada kelompok jenis kelamin perempuan, laki-laki, kelompok normoweight dan obesitas I dengan nilai p <0.001, 0.09, <0.001, 0.06 secara berurutan. Peningkatan laktat saat uji latih menggunakan masker N95 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan saat memakai masker bedah dengan nilai p=0.003. Kesimpulan penelitian terdapat perbedaan bermakna pada nilai prediksi VO2max dan peningkatan laktat saat uji latih submaksimal sepeda astrand dengan menggunakan masker bedah dan N95 pada tenaga medis

The objection of this study is to evaluate the difference of VO2max predicted value and blood lactate level in submaximal exercise testing with astrand ergocycle using N95 and surgical mask among physician. The method of this study is experimental design. The subjects are male or female young adult physician with BMI within normo-weight to obesity I. Activity level of the subjects was assessed using IPAQ quisioner before the exercising testing. Total of the subject in this study was 54. The subject performed the submaximal exercise testing with astrand ergocycle using surgical and N95 mask to obtain the VO2max prediction value. The interval between the exercise testing was minimum 2 days and maximum 1 week. The increase of lactate level was measure by subtracting the lactate level post exercise testing with pre-exercise testing level. The result of this study shows that the predicted VO2max from submaximal exercise testing with N95 mask is significantly lower than while using surgical mask (p<0.001). According to the gender, the same result also found in female and male groups using N95 and also according to BMI, the same result also found in normo-weight and obesity I group with p value <0.001, 0.09, <0.001, 0.06 respectively. The increase of blood lactate level also higher significantly in N95 mask group with p 0.003. The conclusion of the study is there are significant difference in predicted VO2max and the increase of blood lactate level from the submaximal exercise testing with N95 and surgical mask among physician"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Yolanda
"Latar belakang: Pada iskemia tungkai kritis (ITK) infrapoplitea, tatalaksana utama bertujuan untuk revaskularisasi. Salah satu teknik revaskularisasi ITK infrapoplitea adalah plain old balloon angioplasty. Namun, masih terdapat re-stenosis yang terjadi setelah prosedur tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai luaran prosedur disertai faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, dengan populasi seluruh pasien ITK infrapoplitea yang menjalani tatalaksana revaskularisasi plain old balloon angioplasty di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2013-Mei 2017. Faktor inklusi yaitu subjek dengan PAP Rutherford derajat ≥ 4 dan kontrol minimal 1 kali pasca prosedur. Pengambilan data dilakukan melalui rekam medis dan registrasi pasien divisi bedah vaskular Departemen Ilmu Bedah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Luaran yang dinilai adalah kejadian re-stenosis, amputasi, dan penyembuhan luka 1 tahun pasca-tindakan. Faktor yang diteliti pada penelitian ini adalah demografi, indeks massa tubuh (IMT),ankle-Brachial Index (ABI) komorbiditas, dan derajat Rutherford.
Hasil: Terdapat 28 pasien subjek dalam penelitian ini. Kejadian re-stenosis terjadi pada 53,6% subjek. Kejadian amputasi terjadi pada 50% subjek. Luka semakin memburuk ditemukan pada 46,4% subjek. Terdapat hubungan antara perburukan luka pasca tindakan dengan derajat Rutherford subjek (p = 0,030). Terdapat hubungan antara riwayat penyakit jantung koroner (PJK) dengan perbaikan luka pasca tindakan (p = 0,014). Tidak didapatkan hubungan faktor lain dengan luaran ITK infrapoplitea yang menjalani plain old balloon angioplasty.
Kesimpulan: Luaran ITK infrapoplitea yang menjalani plain old balloon angioplasty belum baik dilihat dari tingginya luaran re-stenosis, amputasi, dan penyembuhan luka. Derajat Rutherford sebelum tindakan berhubungan dengan luaran penyembuhan luka pasca tindakan.

Background: In infrapopliteal critical limb ischemia (CLI), the treatment aimed to re-vascularized the vessel. One of infrapopliteal CLI re-vascularization technique is plain old balloon angioplasty. However, there were re-stenosis reported after that procedure. A study to evaluate the procedure outcome and the factors affecting it.
Methods: The design of this study is retrospective cohort, with population include all infrapopliteal CLI patients underwent plain old balloon angioplasty re-vascularization in Cipto Mangunkusumo General Hospital from Janury 2013-May 2017. Subjects with Rutherford category ≥ 4 and return to hospital to control minimal 1 time after procedure. Data acquired through medical record and Vascular Surgery Division registry. Outcome evaluated including re-stenosis, amputation, and wound healing 1-year post-procedure. Factors analysed in this study were demography, body mass index (BMI), ankle-brachial index (ABI), comorbidity, and rutherford category.
Results: There were 28 patients acquired in this study. Re-stenosis occurred in 53.6% subjects. Amputation occurred in 50% subjects. Wound worsen in 46.4% subjects. There were association of wound worsening and Rutherford category (p = 0.030). There were association of history of coronary artery disease (CAD) with wound healing post-procedure (p = 0.014). There were no association of other factors with infrapopliteal CLI underwent plain old balloon angioplasty.
Discussion: Infrapopliteal CLI outcome underwent plain old balloon angioplasty were not yet favourable from re-stenosis, amputation rate, and wound healing. Rutherford category pre-procedure associated with wound healing after procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Gunardi
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan asianotik yang merupakan sebagian besar dari penyakit jantung bawaan memerlukan operasi bedah jantung terbuka untuk memperbaiki kelainannya. Sindrom curah jantung rendah masih merupakan masalah yang dihadapi pada pasien pediatrik pascabedah jantung terbuka. Deteksi sindrom curah jantung rendah yang ada sekarang menggunakan kriteria klinis dan indikator laboratorik masih belum dirasa cukup, yang terbukti dengan masih adanya angka morbiditas dan mortalitas. Peranan penanda biologis NT-proBNP telah berkembang di gagal jantung dewasa diharapkan dapat digunakan untuk dapat mendeteksi sindrom curah jantung rendah pada pediatrik.
Penelitian cross sectional observasional dengan jumlah 38 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang menjalani operasi jantung bawaan asianotik bulan Oktober-November 2018 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data prabedah, intrabedah dan pascabedah termasuk kejadian sindrom curah jantung rendah dicatat. Kadar NT-proBNP akan diambil prabedah, 4 jam, 24 jam dan 72 jam pascabedah. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascabedah dan 24 jam pascabedah berbeda bermakna dengan kejadian sindrom curah jantung rendah (nilai p <0,05). Kadar NT-proBNP prabedah memiliki perbedaan rerata lebih rendah dibandingkan dengan kadar NT-proBNP 4 jam pascabedah yang juga lebih rendah dibandingkan kadar NT-proBNP 24 jam pascabedah dan hal ini berbeda bermakna (p <0,001). Sedangkan kadar NT-proBNP 72 jam pascabedah memiliki rerata lebih rendah dibandingkan dengan kadar NT-proBNP 24 jam pascabedah yang juga berbeda bermakna (p <0,001). Analisis kadar NT-proBNP dengan variabel lainnya mendapatkan hasil berbeda bermakna dengan variabel usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis PJB, durasi ventilasi mekanik dan durasi ICU.
Kadar NT-proBNP berhubungan dengan kejadian sindrom curah jantung rendah. Kadar NT-proBNP yang tinggi menunjukkan adanya kejadian sindrom curah jantung rendah (pada kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam dan 24 jam pascabedah).

ABSTRACT"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>