Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chairul Rijal
"ABSTRAK
Tujuan: untuk mengetahui prevalensi inkontinensia urin, sebaran tipe inkontinensia urin dan faktor-faktor risiko yang berhubungan pada wanita yang berusia diatas 50 tahun.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang. Sebanyak 278 wanita berusia diatas 50 tahun yang tinggal di panti werdha, telah dilakukan wawancara secara terpimpin menggunakan kuesioner Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID) yang telah diterjemahkan dan divalidasi. Hasil prevalensi inkontinensia urin disajikan dalam bentuk proporsi/persentase, sedangkan hubungan antara faktor risiko dengan kejadian inkontinensia urin dianalisa dengan uji chi square atau uji Fisher bila syarat uji chi square tidak terpenuhi, dan juga dilakukan uji multivariat.
Hasil: dari 278 subyek penelitian, didapatkan sebanyak 95 orang (34,2%) menderita inkontinensia urin. Dengan sebaran tipenya adalah sebagai berikut: inkontinensia urin tipe campuran 67 orang (70,5%), inkontinensia urin tipe tekanan 17 orang (17,9%) dan inkontinensia urin tipe desakan 11 orang (11,6%). Indeks massa tubuh (IMT) berlebih dan obesitas tidak memiliki hubungan dengan kejadian inkontinensia urin (p> 0,05), mungkin pada penelitian ini jumlah subyek dengan IMT berlebih dan obesitas jumlahnya terlalu kecil. Sedangkan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan inkontinensia urin adalah: usia diatas 60 tahun (OR 7,79, p= 0,021), menopause >10 tahun (OR 5,08, p=0,004), dan multipara (OR 1,82, p=0,019). Pada saat dilakukan uji multivariat, faktor risiko usia diatas 60 tahun didapatkan menjadi tidak berhubungan dengan kejadian inkontinensia urin (p> 0,05). Hal ini disimpulkan bahwa faktor usia diatas 60 tahun bukan merupakan faktor tunggal akan terjadinya inkontinensia urin melainkan multifaktor.
Kesimpulan: penelitian ini mendapatkan angka prevalensi inkontinensia urin pada wanita yang tinggal di panti werdha adalah sebesar 34,2%. Sedangkan sebaran tipe inkontinensia urin adalah: inkontinensia urin tipe campuran 67 orang (70,5%), inkontinensia urin tipe tekanan 17 orang (17,9%) dan inkontinensia urin tipe desakan 11 orang (11,6%). Faktor-faktor risiko inkontinensia urin adalah: menopause >10 tahun dan multipara.

ABSTRACT
Aim: to identify the prevalence of urinary incontinence, the distribution of the type of urinary incontinence and and related risk factors in women older than 50 years.
Method: this is a descriptive study with cross sectional design. Two hundred and seventy eight women older than 50 years old living in nursing house were interviewed using the Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID) that has been translated and validated previously. The prevalence result will be presented in the form of percentage; while the relationship between risk factors and the incidence or urinary incontinence will be analyzed using chi square test or Fisher’s exact test if the requirement for chi square test is not met, and multivariate analysis.
Result: Of 278 research subjects, we obtain 95 subjects (34,2%) suffering from urinary incontinence. And the distribution of the type is as follow: 67 subjects (70,5%) with mixed urinary incontinence, 17 (17,9%) with stress urinary incontinence and 11 subjects (11,6%) with urge incontinence. Overweight and obesity body mass index (BMI) are not related with the prevalence of urinary incontinence (p> 0,05), probably in this research the number of subjects with overweight and obesity is too small. While factors related to urinary incontinence are age older than 60 years (OR 7,79, p = 0,021), menopause ≥10 years (OR 5,08, p=0,004) and multiparity (OR 1,82, p = 0,019). When multivariate analysis was done, the risk factor age older than 60 years becomes not related to urinary incontinence (p>0,05). Thus it can be inferred that age older than 60 years is not a singular factor of urinary incontinence but rather a multifactor.
Conclusion: This study shows that the prevalence of urinary incontinence in women living in nursing home is 34,2%; while the distribution of the urinary incontinence is: 67 subjects (70,5%) with mixed urinary incontinence, 17 subjects with stress urinary incontinence (17,9%) and 11 subjects (11,6%) with urge urinary incontinence. Risk factors for urinary incontinence are: menopause ≥10 years and multiparity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Maesadatu Syaharutsa
"Latar belakang: Preeklampsia masih menjadi penyumbang angka kesakitan dan kematian maternal dengan insidens sekitar 8,6 di Indonesia. Pola asuhan antenatal dengan melakukan penapisan awal menggunakan faktor maternal dan biofisik terhadap kejadian preeklampsia diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian maternal dan janin.
Tujuan: Memperolah kalkulasi risiko dari faktor maternal dan biofisik terhadap kejadian preeklampsia.
Metode: Studi ini merupakan kohort prospektif dengan melakukan consecutive sampling pada setiap ibu hamil dengan janin tunggal hidup dan tak terdapat kelainan kongenital anomali. Telah dilakukan penapisan pada 878 sampel dengan 8,7% mengalami preeklampsia. Setiap faktor maternal dan biofisik dilakukan analisis bivariat dan yang bermakna dilanjutkan dengan analisis multivariat. Variabel yang bermakna hingga analisis multivariat akan menghasilkan persamaan regresi logistik yang nantinya dapat menghitung a priori risk seorang perempuan mengalami preeklampsia.
Hasil: Faktor maternal berupa riwayat hipertensi kronik dan riwayat preeklampsia di keluarga meningkatkan risiko preeklampsia. Faktor biofisik berupa indeks massa tubuh > 26 kg/m2, tekanan arteri rerata > 95 mmHg, dan indeks pulsatilitas arteri uterina yang tinggi juga meningkatkan risiko preeklampsia. AU-ROC dengan menggunakan faktor maternal dan kombinasi faktor maternal dan biofisik sebesar 63% dan 75%.
Kesimpulan: Kombinasi faktor maternal dan biofisik dapat digunakan untuk menapis seorang ibu hamil untuk mengalami kejadian preeklampsia.

Background: Preeclampsia still contributes for maternal morbidity and mortality with incidence around 8,6% in Indonesia. Antenatal care with screening by using maternal and biophysical factors in predict the preeclampsia event is expected can reduce the number of maternal and fetal morbidity and mortality.
Aim: Obtain the calculation risk from maternal and biophysical factors in predicting preeclampsia.
Methods: We conducted a prospective cohort by performing consecutive sampling in every pregnant woman with singleton live intrauterine with no congenital anomaly. We screened 878 subjects with 8,7% became preeclampsia. Every maternal and biophysical factors were performed bivariate analysis and if statistically significant it continued to multivariate analysis of logistic regression. The equation of the logistic regression model will be performed to calculate the a priori risk of a pregnant woman becoming preeclampsia.
Results: Maternal factors such as chronic hypertension and family history with preeclampsia will increase the risk of preeclampsia. Biophysical factors such as body mass index > 26 kg/m2, mean arterial pressure > 95 mmHg, and high value of pulsatility index of uterine artery will increase the risk or preeclampsia. The AU-ROC value by using maternal factor and combining maternal and biophysical factors were 63% and 75%, respectively.
Conclusion: By combining the maternal and biophysical factors, it can be performed to screen a pregnant woman in preeclampsia event."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marendra Mahathir
"Latar Belakang: Banyak keluhan subjektif yang timbul pada kehamilan trimester III seperti gatal, edema tungkai, rasa baal, kesemutan dan nyeri pada pergelangan tangan. Keluhan tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup ibu hamil. Selama kehamilan dapat terjadi perubahan kadar albumin yang cukup masif yang diduga berhubungan dengan timbulnya keluhan subjektif tersebut.
Objektif: Mengetahui hubungan kadar albumin dengan keluhan subjektif (gatal, edema tungkai, rasa baal, kesemutan dan nyeri pada pergelangan tangan) pada kehamilan trimester III.
Metode: Ibu hamil trimester III tanpa penyakit penyerta yang kontrol kehamilan di poliklinik antenatal care (ANC) RSCM dan RSIA Anggrek Mas (n=78). Sampel tersebut di kelompokan menjadi sampel dengan keluhan subjektif (n=50) dan tanpa keluhan subjektif (n=28). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar serum albumin pada semua subjek penelitian di labolatorium dan dilakukan analisis untuk mencari hubungan variabel tersebut.
Hasil dan Kesimpulan: Kadar albumin di bawah 3.51 g/dl berhubungan bermakna secara statistik dengan keluhan kesemutan (P=0.025) dan edema tungkai (P=0.001) dengan sensitifitas & spesifisitas masing-masing 76% & 55% dan 47% & 92%. Perubahan kadar albumin tidak berhubungan dengan keluhan gatal (mean 3.60 g/dl), rasa baal (mean 3.61 g/dl) dan rasa nyeri pada pergelangan tangan (mean 3.60 g/dl)

Background: There was many of subjective complaints arise in the third trimester of pregnancy such as itching, leg edema, numbness, tingling, and pain in the wrist. These complaints can cause a decrease in the quality of life for pregnant women. During pregnancy, changes in albumin levels are quite massive which is thought to be related to subjective complaints that arise.
Objective: Knowing the asociation beetween albumin serum levels and subjective complaints (itching, leg edema, numbness, tigling and pain in the wrist) during the third trimester of pregnancy
Methods: Third trimester pregnant mother without complication that control their pregnancy in the clinic RSCM and RSIA Anggrek Mas (n=78). These samples are grouped into samples with subjective complaints (n=50) and without subjective complaints (n=28). Furthermore, albumin serum level examination of all subject were performed on laboratory and all the result were analyze to obtain the association between these variables.
Results and Conclusions: Albumin serum levels below 3.51 g/dl were statistically significantly related to numbness complaints (P=0.025) and leg edema (P=0.001) with sensitivity & specificity of 76% & 55% and 47% & 92%, respectively. Changes in albumin levels were not associated with complaints of pain tingling (mean 3.60 g/dl), numbness (mean 3.61 g/dl) and pain in the whirst (mean 3.60 g/dl ).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Gladys Puspita
"ABSTRAK
Kejadian inkontinensia alvi pasca salin di Asia lebih rendah dibandingkan di Afrika
maupun Eropa. Primipara diketahui lebih sulit menghadapi gangguan ini sehingga
ikatan Ibu dengan bayi berkurang, kesejahteraan bayi baru lahir menurun hingga terjadi
pembatasan interaksi sosial dan depresi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
inkontinensia alvi pasca salin multifaktorial dan bersifat kontroversial, antara lain;
indeks massa tubuh, cara persalinan, durasi kala dua, berat lahir bayi, episiotomi, dan
cedera sfingter ani. Akan tetapi, data maupun faktor-faktor yang mempengaruhi
inkontinensia alvi pasca salin belum terekam dengan baik di Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui insidens inkontinensia alvi pada primipara dan
faktor-faktor yang mempengaruhi saat persalinan serta menentukan kemungkinan
terjadinya inkontinensia alvi pasca salin. Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada primipara yang bersalin sejak
Januari hingga Desember 2017. Sebanyak 279 perempuan dengan kehamilan tunggal
dan cukup bulan diikuti dan dinilai kejadian inkontinensia alvi menggunakan kuesioner
Wexner pada enam minggu dan tiga bulan pasca salin. Insidens inkontinensia alvi
sebesar 4.3 persen pada enam minggu dan menurun menjadi 2.5 persen pada tiga bulan pasca
salin. Berat lahir ≥ 3.097,5 gram (p=0,033; RR=6,5, IK95 persen 1,19-19,76), persalinan
dengan alat (p= 0,01; RR=6,5; IK95 persen 1,96-24,99), dan cedera sfingter ani (p kurang dari 0,001;
RR=58,50; IK95 persen 10,6-322,48) memiliki peran terhadap inkontinensia alvi pasca salin.
Sebaliknya, indeks massa tubuh, episiotomi dandurasi kala dua tidak mempengaruhi.
Kemungkinan terjadinya inkotinensia alvi pasca salin dibagi menjadi rendah (0,67 persen-4,44 persen), sedang (20,15 persen-26,12 persen) dan tinggi (65,77 persen-92,97 persen) bergantung dari tiga
variabel yang berperan tersebut. Inkontinensia alvi pasca salin pada primipara sebesar
4.3 persen akan menurun pada tiga bulan pasca salin. Cedera sfingter ani, persalinan
pervagina, dengan alat dan berat lahir lebih dari 3097,5 gram merupakan faktor yang
dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan terjadinya inkontinensia alvi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S70368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adia Triyarintana
"Latar Belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan suatu penonjolan atau penurunan dinding vagina berserta organ-organ pelvis (uterus, kandung kemih, usus dan rektum) kedalam liang vagina atau keluar dari introitus vagina. Terdapat beberapa teknik operasi rekonstruksi POP dengan berbagai luaran operasi, salah satu teknik operasi rekonstruksi yang sering digunakan adalah Sacrospinosus Fixation (SSF). Sampai saat ini belum ada penelitian tentang gambaran luaran anatomis operasi Sacrospinosus Fixation (SSF) pada pasien prolaps organ panggul ataupun angka rekurensi prolaps organ panggul pascaoperasi. Tujuan: Untuk mengetahui luaran anatomis operasi teknik Sacrospinous Fixation
(SSF) Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif, archival study. Data diambil dari data sekunder rekam medis untuk evaluasi luaran operasi berupa titik C (POP-Q) pascaoperasi Sacrospinosus Fixation (SSF). Sebanyak 34 pasien yang masuk ke kriteria inklusi dilakukan analisis terhadap titik C praoperasi dan pascaoperasi. Analisis menggunakan Uji T berpasangan pada variabel dengan distribusi normal, dan Uji Wilcoxon-Sign Rank pada variabel distribusi tidak normal. Hasil: Dari 34 pasien yang dilakukan analisis, usia rerata pasien adalah 55,1 tahun, serta memiliki median IMT 25.2 kg/m2, derajat prolaps praoperasi 3-4 (67.6%), multiparitas 67.6%, dan riwayat histerektomi 17.6%. Pengukuran skor POP-Q dilakukan sebelum dan sesudah operasi, dengan rerata titik C praoperasi sebesar 3,62 ±1,12, sedangkan median 3,0 dengan nilai minimum -1 dan maksimum +9. Pada pengukuran pascaoperasi didapatkan rerata -4,56 ±0,82, sedangkan median sebesar -5,0 dengan nilai minimum -8 dan nilai maksimum +4. Analisis perbedaan nilai titik C praoperasi dan pascaoperasi didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Kesimpulan: Teknik Sacrospinous Fixation (SSF) memiliki luaran yang cukup baik dan bermanfaat dalam memperbaiki kasus prolaps organ panggul, terutama kompartemen apikal dengan angka keberhasilan 14/16 (87.5%).

Background: Pelvic organ prolapse (POP) is a protrusion or the fall of vaginal wall along with the pelvic organs (uterus, bladder, intestine and rectum) into the vagina or out of vaginal introitus. There are several reconstructive surgery with various operating outcomes, but the most often used is Sacrospinosus Fixation (SSF). To this day, there is a lack of study regarding the anatomical outcome of Sacrospinosus Fixation (SSF) surgery or the recurrence of pelvic organ prolapse after SSF, especially in Indonesia. Objective: To determine the anatomical outcome of Sacrospinous Fixation (SSF) technique.
Method: This study uses a retrospective cohort design with archival study. Data was taken from secondary medical record for evaluation of operating outcomes of Sacrospinosus Fixation, in the form of POP-Q scores of pre and post-operative. 34 patients who have gone through inclusion and exclusion criteria were analyzed by their C-point position pre and post-operatively. Paired T-test was used for normally distributed variable while Wilcoxon-Sign Rank test was used for abnormally distributed variable. Result: From 34 patients, we found that the average age is 55,1 years old, with median BMI of 25.2 kg/m2, multiparity 66.7%, prolapse stage III-IV (67.6%), previous Hysterectomy(17.6). The measurement of POP-Q Score were conducted before and after the operative procedure, with average C-point score of 3,62 ±1,12, median 3,0, minimum score -1 and maximum score of +9. In measurement postprocedure, we found average C-point score of -4,56 ±0,82, with median -5,0, minimum score -8, and maximum score +4. From comparative analysis of pre and post-operative procedure it is found to be statistically significant (p<0,001). Conclusion: The Sacrospinous Fixation (SSF) has a good operating outcome especially for the improvement of the apical compartment with succesfull rate
14/16 (87.5%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rinaldi
"ABSTRAK
Latar belakang:Berdasarkan International Continence Society(ICS), inkontinensia urin merupakan keluhan dari kebocoran urin sebagai hasil dari abnormalitas fungsi saluran kemih bagian bawah atau sekunder dari penyakit tertentu yang dapat mengganggu kehidupan perempuan secara fisik, psikologis, dan sosial. Pada tahun 2003, prevalensi inkontinensia urin pada perempuan di seluruh dunia sebesar 17-50% dengan jenis yang paling sering adalah jenis tekanan (50%). Hipermobilitas leher kandung kemih merupakan salah satu dasar patologi dari inkontinensia tipe tekanan. Kondisi hipermobilitas leher kandung kemih dan uretra dapat membantu lebih memahami patofisiologi dari inkontinensia urin tipe tekanan yang terjadi. Penelitian ini ditujukan untuk menilai hubungan profil pergerakan leher kandung kemih dengan prolaps kompartemen anterior vagina pada pasien dengan inkontinensia urin jenis tekanan pada pasien dengan prolaps organ panggul.
Metode:Studi ini memiliki desain potong lintang pada 112 subjek dengan riwayat POP yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang diambil pada penelitian ini adalah bladder neck descent(BND), retrovesical angle(RVA), Rotational urethra(RoU), funneling, titik Aa dan Ba pada POP-Q.
Hasil:Data penelitian menunjukan inkontinensia tipe tekanan terjadi pada 50% subjek dengan POP. Pada analisis data didapatkan perbedaan yang signifikan antara funneling, sudut RVA dan sudut RoU dengan kejadian inkontinensia urin. Cutoff sudut RVA didapatkan bernilai 130.570dengan sensitivitas 64,3% dan spesifisitas 55.4%. Cutoff sudut RoU didapatkan bernilai 41.560dengan sensitivitas 76,8% dan spesifisitas 67,9%. Hasil yang didapatkan menunjukan hubungan yang bermakna pada analisis multivariat.
Kesimpulan:Terdapat perbedaan yang bermakna antara sudut RVA, sudut RoU, dan riwayat funneling terhadap inkontinensia urin tipe tekanan pada perempuan dengan POP. Tidak terdapat perbedaan nilai penurunan Titik Aa, titik Ba, dan penurunan leher kandung kemih antara perempuan kontinensia dengan inkontinensia jenis tekanan. Sudut RVA, sudut RoU, dan riwayat funneling dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya inkontinensia tipe tekanan pada subjek dengan POP.

ABSTRACT
Background:Stress type urinary incontinence is a pressure induced urinary leakage caused by functional abnormality of lower urinary tract or other disease that cause physical, psychological, and social disturbance in female. The prevalence of urinary incontinence is 17-50% around the world with 50% of them are stress type urinary incontinence. Bladder neck mobility is one of the main pathology of stress type urinary incontinence. Observation of bladder neck mobility and urethra in stress type incontinence may increase the understanding of the urinary incontinence pathophysiology. This study is aimed to quantify the relation between bladder neck mobility profile and anterior compartment vaginal prolapse with stress-type urinary incontinence in patient with pelvic organ prolapse.
Method:The study is a cross-sectional study with 112 subjects with history of pelvic organ prolapse and suits inclusion and exclusion criteria. Data obtained in this study are bladder neck descent (BND), retrovesical angle (RVA), rotational urethra (RoU), funneling, point Aa and Ba from POP-Q.
Results:This study found stress-type urinary incontinence in 50% subjects with POP. In this study, significant difference found in funneling, RVA, and RoU between female with and without urinary incontinence. Cutoff of RVA obtained from this study are 130.570with 64.3% sensitivity and 55.4% specificity. Cutoff of RoU obtained from this study are 41.560with 76,8% sensitivity and 67,9% specificity. Cutoff result shows significant correlation with stress type urinary incontinence on multivariate analysis.
Conclusion:There are significant difference in RVA, RoU, and funneling between female with and without stress type urinary incontinence. There are no significant difference in point Aa, point Ba, and bladder neck descent between female with and without urinary incontinence. Funneling, RVA, and RoU can predict incidence of stress type urinary incontinence in female with POP. "
[, , ]: 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Quamila Fahrizani Afdi
"Latar Belakang: Respon ovarium setelah stimulasi ovarium terkendali (SOT) merupakan salah satu langkah penting untuk menentukan kesuksesan Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) terutama Fertilisasi In Vitro (FIV). Melalui SOT dapat terlihat seberapa banyak oosit yang dapat digunakan dalam TRB. Kelompok perespon buruk memiliki respon ovarium yang tidak normal dan memiliki angka kegagalan kehamilan yang tinggi terkait dengan penurunan kualitas dan juga kuantitas oosit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai faktor (usia, IMT, endometriosis, dan riwayat pembedahan di daerah ovarium) terhadap respon ovarium pada FIV, sehingga konseling untuk pencegahan serta pertolongan secepatnya dapat diberikan pada kelompok yang berisiko menjadi perespon buruk. Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan desain cross sectional retrospektif yang menggunakan data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang memengaruhi respon ovarium di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam 5 tahun (2013 sampai dengan 2017). Dipakai dua definisi perespon buruk, setelah suatu prosedur SOT, dalam penelitian ini yaitu berdasarkan jumlah oosit (kriteria Bologna) dan kriteria Poseidon. Hasil: Dari tahun 2013-2017 terdapat 749 pasien yang memenuhi kriteri inklusi. Berdasarkan jumlah oosit yang dihasilkan terdapat 188 pasien (25%) perespon buruk dan 561 pasien (75%) perespon normal. Faktor usia, endometriosis, riwayat operasi di daerah ovarium secara signifikan berhubungan dengan kelompok perespon buruk (p< 0,001), walaupun dalam analisis multivariat hanya usia yang secara signifikan memprediksi perespon buruk (p= 0,004). Berdasarkan kriteria Poseidon, terdapat 262 orang subyek (35%) termasuk dalam kelompok non Poseidon (perespon normal). Terdapat 7 orang (0,9%) sesuai dengan grup  Poseidon 1a, 64 orang (8,5%) termasuk dalam grup Poseidon 1b, 30 orang (4%) dalam kelompok grup Poseidon 2a, 113 orang (15,1%) sesuai dengan grup Poseidon  2b, 73 orang (9,7%) sesuai dengan grup Poseidon 3, dan 200 orang sisanya (26,7%) sesuai dengan grup Poseidon 4. Masing-masing faktor memiliki pengaruh tersendiri terhadap grup Poseidon. Endometriosis merupakan determinan yang signifikan untuk grup Poseidon 1 dan 4. Riwayat operasi merupakan determinan signifikan untuk grup Poseidon 2 dan 3, sedangkan peningkatan IMT justru menurunkan risiko seorang wanita masuk kedalam grup Poseidon 3. Endometriosis dan riwayat operasi daerah ovarium tidak dapat dikatakan memiliki hubungan langsung terhadap kelompok Poseidon 1 dan 2 karena adanya variasi individu yang mendasari pembagian kelompok Poseidon tersebut. Kesimpulan: Berdasarkan temuan diatas maka faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam memprediksi respon ovarium seorang wanita setelah SOT pada FIV, karena memiliki pengaruh yang signifikan. Hal tersebut penting sebagai pertimbangan untuk melakukan konseling dan menentukan tatalaksana yang lebih jauh.

Background: The ovarian response after a controlled ovarian stimulation (COS) is one important step to determine the success of assisted reproductive technology (ART), especially In Vitro Fertilization (IVF). Through COS, it can be seen how much oocytes can be used in ART. Poor responders have a bad ovarian response and have a high rate of pregnancy failure associated with a decrease in quality and also oocyte quantity.
Objective: This study aims to see the effect of various factors (age, BMI, endometriosis, and history ovarian surgery) on the ovarian response in IVF, therefore counseling for prevention and management can be given for those who has the risk to become a poor responder.

Methods: This is a retrospective cross-sectional research that uses secondary data with the aim to determine the relationship of factors that affecting ovarian response at Yasmin Clinic, Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 5 years (2013 to 2017). Two definitions of poor response were used (after a COS procedure) in this study; based on the number of oocytes (Bologna criteria) and Poseidon criteria. Results: From 2013-2017 there were 749 patients who met the inclusion criteria. Based on the number of oocytes produced there were 188 patients (25%) poor responder and 561 patients (75%) normo responder. Age, endometriosis, and history of ovarian surgery were significantly associated with a poor response group (p <0.001), although in the multivariate analysis only age that significantly predicted poor response (p = 0.004). Based on Poseidon criteria, there were 262 subjects (35%) included in the non Poseidon group (normo responder). There were 7 people (0.9%) according to the Poseidon 1a group, 64 people (8.5%) included in the Poseidon 1b group, 30 people (4%) in the Poseidon 2a group, 113 people (15.1%) according with the Poseidon 2b group, 73 people (9.7%) according to the Poseidon 3 group, and the remaining 200 people (26.7%) in accordance with the Poseidon group 4. Each factor has its own influence on the Poseidon group. Endometriosis is a significant determinant for the Poseidon group 1 and 4. The surgical history is a significant determinant for the Poseidon group 2 and 3, while an increase in BMI actually decreases the risk of a woman entering the Poseidon group 3. Endometriosis and surgical history cannot be said to have a direct relationship with the group Poseidon 1 and 2 because of individual variations underlying the division of the Poseidon group.

Conclusions: on the findings above, these factors become important in predicting a woman's ovarian response after SOT on IVF, due to their significance effect. This becomes important as a consideration for counseling and deciding better management.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arresta Vitasatria Suastika
"ABSTRAK
Latar Belakang : Sejak dimulai penyelenggaraan sistem Jaminan Kesehatan Nasional, pemerintah menerapkan sistem rujukan berjenjang. Namun, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan mengalami peningkatan jumlah pasien, khususnya di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi. Peneliti ingin mengetahui perbandingan pola kasus rujukan sebelum dan setelah era JKN di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode : Penelitian ini adalah observasional potong lintang dengan menggunakan data rekam medis pasien yang dirujuk ke Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama tahun 2013 dan 2014. Analisis dilakukan dengan analisis bivariat dengan chi square untuk membedakan ketepatan diagnosis rujukan, ketepatan asal fasyankes perujuk, dan kesesuaian diagnosis rujukan sebelum dan setelah pelaksanaan JKN.
Hasil : Terdapat peningkatan jumlah kunjungan Poliklinik Obstetri dan Ginekologi sejak dilaksanakannya program JKN pada tahun 2014, yaitu sebanyak 4.311 pasien. Jumlah subjek adalah sebanyak 222 subjek, terdiri dari 104 subjek pada tahun 2013 dan 118 subjek pada tahun 2014. Dari analisis data, didapatkan tingkat ketepatan diagnosis sebelum JKN adalah 81,7% dan setelah JKN 72,9% (p=0,118), tingkat ketepatan fasyankes perujuk sebelum JKN adalah 63,5% dan setelah JKN 71,2% (p=0,220), serta tingkat kesesuaian diagnosis sebelum JKN adalah 89,4% dan setelah JKN 84,7% (p=0,302).
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara ketepatan diagnosis rujukan, ketepatan fasyankes perujuk, dan kesesuaian diagnosis fasyankes rujukan sebelum dan sesudah pelaksanaan JKN.

ABSTRACT
Background : Since the start of National Health Coverage Program or in Indonesian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), the government has implemented vertical referral system. Even though Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital is the highest referral health facility, there is a growing number of patients, specifically in obstetric and gynacology outpatient clinic.
Objective : To understand the pattern of referral cases (accuracy of referral diagnosis, accuracy of referral health facility and consistency of referral diagnosis) in obstetrics and gynecology outpatient clinic before and after the implementation of JKN.
Methods : This is an observational cross sectional study using medical records of patients who were referred to obstetrics and gynecology outpatient clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital in 2013 and 2014. Data was analyzed with bivariate analysis with chi square, consisting the accuracy of referral cases, accuracy of referral health facility, and consistency of referral cases before and after implementation of JKN.
Results: There is a growing number of patients in obstetrics and gynecology outpatient clinic after the implementation of JKN in 2014, which is 4.311 patients. Subjects were 222 cases, 104 cases from 2013 and 118 cases from 2014. From the analyzed data, the accuracy of referral diagnosis before JKN is 81,7% and after JKN 72,9%. (p=0,118), the accuracy of referral health facility before JKN is 63,7% and after JKN 72,9% (p=0,220), and the consistency of referral diagnosis before JKN is 89,4% and after JKN 84,7% (p=0,302).
Conclusion : There is no statistically significant difference between the accuracy of referral diagnosis, accuracy of referral health facility, and consistency of referral diagnosis before and after the implementation of JKN."
2019
T55574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadrians Kesuma Putra
"Konstipasi merupakan salah satu gangguan di bidang uroginekologi yang sering diabaikan oleh pasien. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul yang dapat menyebabkan prolaps kompartemen posterior merupakan salah satu penyebab konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang genital hiatus, badan perineum dan titik Bp terhadap konstipasi pada pasien dengan prolaps kompartemen posterior dan dampak yang ditimbulkannya terhadap kualitas hidup.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan penderita prolaps kompartemen posterior di poliklinik Uroginekologi Rekonstruksi RSUPN dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q), skor konstipasi Cleveland dan Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). Sampel berjumlah 46 orang terbagi 2 masing-masing 23 sampel yang mengalami konstipasi dan tidak konstipasi.
Didapatkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body memiliki hubungan bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p= 0,005) dan didapatkan titik potong 7,5 cm dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 52,2%. Uji multivariat menunjukkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body paling mempengaruhi terjadinya keluhan konstipasi (OR = 12,07, p = 0,024) dibanding dengan letak titik Bp yang juga bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p = 0,003) pada titik potong -0,5 cm dengan sensitivitas 69,9% dan spesifisitas 65,2% akan tetapi hanya memiliki OR = 6,16 dan nilai p = 0,066. Akibat keluhan konstipasi sebanyak 52% sampel mengaku mengalami gangguan kualitas hidup. Jumlah panjang genital hiatus dan perineal body dan letak titik Bp mempengaruhi terjadinya konstipasi.

Constipation is one of the disorders in the uroginecology field which is often ignored by patients. It is known that pelvic floor muscle weakness which can cause posterior compartment prolapse is one of the causes of constipation. Aim of this study to know relationship among genital hiatus, perineal body and Bp point to constipation in patients with posterior prolapse and the impact it has on quality of life.
This study used a cross-sectional design using posterior compartment prolapse patients at the Uroginecology Polyclinic dr. Ciptomangunkusumo hospital at Jakarta. The data obtained consisted of history results, Quantitative examination of Pelvic Organ Prolapse (POP-Q), Cleveland constipation score and Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). The sample consist of 46 people was divided into 2 each, 23 samples with constipation and were not constipated.
It was found that the number of genital hiatus and perineal bodies had a significant relationship to constipation (p = 0.005) and obtained 7.5 cm cut with a sensitivity of 87% and a specificity of 52.2%. Multivariate tests showed the number of length of body genital and perineal hiatus most affected the constipation (OR = 12.07, p = 0.024) cm comparing with Bp Point with sensitivity of 69.9% and specificity of 65.2% but only had OR = 6.16 and p = 0.066. As a result of complaints of constipation, as many as 52% of samples claimed to be able to eliminate quality of life. The number of genital hiatus and perineal lengths of the body and location of BP points can constipation.
"
2019
T55556
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Nurmala Rizqi
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan masalah ginekologi dengan insidensi POP 2,04 per 1000 wanita per tahun. Di RSCM, sistokel grade 3 dan 4 terjadi pada 71% wanita dengan POP. Keberhasilan kolporafi anterior sebagai tatalaksana sistokel ditandai dengan rekurensi pasca tindakan, yaitu paling tinggi sebesar 65%. Sehingga perlu dilakukan pengkajian faktor risiko rekurensi tersebut. Tujuan: Untuk mengetahui faktor risiko rekurensi sistokel pasca kolporafi anterior
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan mengambil data sekunder dari rekam medis pasien yang dilakukan tindakan kolporafi anterior, saat preoperatif dan saat pasien kontrol minimal 6 bulan pasca tindakan. Tindakan diambil dari RSCM dan RSF tahun 2012 sampai Juli 2019. Total sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 91 orang. Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji MannWhitney untuk variabel numerik dan uji Fischer untuk kategorik. Beberapa variabel yang dianggap bermakna dilakukan uji multivariat dengan metode regresi logistik.
Hasil: Rekurensi anatomis didapatkan sebesar 24,2% dan rekurensi simptomatik 12,1%. Faktor usia, indeks massa tubuh, status menopause, paritas dan berat lahir terbesar, serta tindakan histerektomi, tidak bermakna terhadap rekurensi sistokel. Total panjang GH dan PB didapatkan bermakna pada uji univariat dengan p = 0,008 namun tidak bermakna pada uji regresi logistik. Sistokel derajat berat didapatkan hasil bermakna dengan p=0,023 dan RR 6,12. Tindakan gantung tidak menunjukkan hasil bermakna, namun bila dipisahkan menjadi antara jenis tindakan, USLS menurunkan kejadian rekurensi sistokel dengan RR 0,25 (p=0,025).
Kesimpulan: Tindakan kolporafi anterior dengan native tissue didapatkan cukup baik dalam menatalaksana sistokel. Adanya data rekurensi dan faktor risiko ini dapat menjadi dasar pemilihan tindakan, dan sebagai informasi yang bermanfaat untuk diinformasikan pada pasien sebelum tindakan.

Background: Pelvic Organ Prolapse (POP) is one of gynecological problem with incidence 2,04 every 1000 women every year. In RSCM, cystocele grade 3 and 4 occured in 71% women with POP. Anterior colporraphy as surgical management of cystocele is evaluated by the recurrence of cystocele after surgery, that reached 65% in the previous study. To decrease this number, we need to evaluate the risk factor of the recurrence.
Objective: To determine the risk factors of cystocele recurrence after anterior colporraphy
Method: This is a retrospective cohort study, using documented data from medical record. Data of patients underwent anterior colporraphy were taken, preoperative and after at least 6 months after surgery. Data were collected in RSCM and RSF from 2012- July 2019. Total sample met the inclusion and exclusion criteria was 91. We analyzed these data using Mann-whitney and Fischer test. Finally, we performed multivariate analysis using logistic regression method.
Result: We found the anatomical recurrence was 24,2% and symptomatic recurrence 12,1%. Age, body mass index, menopausal status, parity, largest birth weight, and hysterectomy was not significantly related to cystocele recurrence. total length of GH and PB found statistically significant by univariate analysis with p =0,008, but not significant by logistic regression test. Preoperative diagnosis of cystocele found statistically significant with p=0,023 and RR 6,12. Apical suspension found not statistically significant, but when we analyzed the types separately, USLS reduce the risk for cystocele recurrence with RR 0,25 (p=0,025).
Conclusion: Colporraphy anterior found to be reliable for cystocele management. Understanding the risk factors for recurrence could help us to decide the best option for management and additional important information to be delivered to the patient before surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>