Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agusalam Budiarso
"Fotografi merupakan bagian terintegrasi standard prosedur pemeriksaan forensik dan dapat berperan sebagai petunjuk, keterangan pengganti barang bukti maupun sebagai barang bukti itu sendiri. Dokumentasi fotografi forensik memiliki tujuan menghasilkan gambar yang berkualitas dan akurat. Akurasi gambar dapat dinilai dari kesesuaian antara keadaan sebenarnya (atau setidaknya mendekati) saat pengambilan gambar dan pemeriksaan dilakukan oleh dokter pemeriksa dengan interpretasi orang lain yang melihatnya di waktu yang berbeda. Hasil studi observasional potong lintang menggunakan 55 sampel penelitian gambar digital kamera DSLR didapatkan panjang fokal lensa 50mm memiliki hubungan bermakna (p < 0,05). Sedangkan rentang nilai bukaan lensa (f7,1-f8,0), kecepatan rana (1/100 detik-1/125 detik) dan sensitivitas sensor (ISO = 800-1600) dengan penggunaan cahaya tambahan flashlite dapat dijadikan acuan dasar settingan kamera digital pada pemeriksaan genitalia kasus kekerasan seksual pada anak saat ini. Selain itu, didapatkan kesesuaian keseluruhan interpretasi sedang antara dua ahli forensik (k = 0,457), kesesuaian interpretasi pada area labia minor masih dapat diterima (k = 0,238) dan fourchette posterior (k = 0,230), serta kesesuaian interpretasi kuat pada area hymen (k = 0,643).

Photography is an integrated part of standard forensic examination procedures and can act as a guide, substitute information for evidence as well as evidence itself. Forensic photography documentation aims to produce quality and accurate images. Image accuracy can be assessed from the conformity of the actual situation (or at least approaching) when shooting an image and doctors examinations with the interpretation of other people who see it at different times. The results of a cross-sectional observational study using 55 DSLR camera digital image research samples obtained that 50mm lens focal length had a significant relationship (p <0.05). While the range of lens aperture (f7,1-f8,0), shutter speed (1/100 seconds-1/125 seconds) and sensor sensitivity (ISO = 800-1600) with additional use of flashlite can be used as a basic reference for digital camera settings on child sexual violence cases examination. In addition, it was found that the overall interpretation conformity was moderate between two forensic experts (k = 0.457), interpretation conformity could still be fair in the minor labia (k = 0.238) and posterior fourchette (k = 0.230), also substantial in the hymen (k = 0.643)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novitasari
"Pendahuluan: Estimasi usia dan jenis kelamin yang akurat memiliki peran penting dalam upaya identifikasi individu yang tidak dikenal terutama pada kasus-kasus forensik, baik pada individu yang masih hidup maupun sudah meninggal. Tulang belakang segmen dada dan iga merupakan tulang yang tidak banyak diteliti dalam penentuan usia dan jenis kelamin, namun tulang-tulang tersebut sering ditemukan pada saat pemeriksaan identifikasi dilakukan. Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dan analitik dengan desain potong lintang menggunakan 300 sampel radiografi toraks dari pasien rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdiri dari 150 laki-laki dan 150 perempuan dengan rentang usia antara 18 hingga 65 tahun. Pengukuran dilakukan pada tulang belakang segmen dada ke-1 hingga ke-12 dan tulang iga ke-2 hingga ke-7. Penelitian ini disetujui oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang lemah dan sangat lemah pada tulang belakang segmen dada yang signifikan (p<0,05) dan korelasi yang sangat lemah namun tidak signifikan (p>0,05) pada tulang iga terhadap estimasi usia kronologis. Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran lebar, tinggi, diagonal pada seluruh tulang belakang segmen dada dan semua iga yang diperiksa, dimana 14 parameter yang bermakna pada tulang belakang segmen dada ke-2, ke-3 dan ke-8; tulang iga ke-2, ke-3, dan ke-7; serta Y total secara bersama-sama memberikan nilai akurasi 70,7% terhadap estimasi jenis kelamin.
Kesimpulan: Radiografi toraks untuk menilai tulang belakang segmen dada dan iga-iga merupakan metode yang sangat berguna untuk upaya identifikasi usia dan jenis kelamin. Namun, penelitian lebih lanjut tetap diperlukan untuk mendapatkan estimasi yang lebih akurat.

Introduction: Accurate age and sex determination holds important role in determining the identity of unknown individuals in forensic science for both living and remains. Vertebrae are one of the least studied bones for chronologica age and sex identification; however, eventhough its presence at a death scene is the most common of all.
Methodology: This research was an observational descriptive and analytic study using cross-sectional research design with 300 chest radiograph as its sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, with 150 males and 150 females taken for T1-T12 thoracic vertebras and second-seventh ribs. All the procedures for this study were approved by the ethical committee of Faculty of Medicine, Universitas Indonesia.
Results: In this study, weak and very weak significant correlation was calculated from thoracic vertebras calculation and very weak correlation but no significant of ribs related to chronological age. There were significant correlation between width, height, and diagonal size in all thoracic vertebras and all ribs, which have 14 significant parameters of 2nd, 3rd and 8th thoracic vertebras; 2nd, 3rd and 7th ribs; and total height of thoracic vertebras with an accuracy value of 70.7% for sex determination.
Conclusion: Chest radiograph of thoracic vertebrae and ribs is a useful method for sex and chronological age identification of unknown bodies; however, further studies are still needed to develop examinations with higher accuracy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suripto
"Data yang baik adalah data bebas bias kognisi. Keterangan ahli bebas bias kognisi harus mampu menjawab perkembangan keilmuan dan perubahan dinamis dan terbaru sehingga mampu memberikan informasi dan keahlian berbasis bukti terhadap kasus Forensik dan Medikolegal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta mengetahui penyebab terjadinya bias kognisi pada Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di Indonesia. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan terhadap 24 orang Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal terkait potensi bias kognisi yang dapat terjadi, kemudian dianalisis dengan menghubungkan antara potensi bias kognisi dengan Taksonomi Bloom serta Standar Kompetensi dan Subkompetensi Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal. Hasil penelitian didapatkan 763 skenario unik yang teridentifikasi. Taksonomi Bloom dengan tingkatan paling banyak yang berhubungan dengan bias kognisi teridentifikasi pada tingkat Apply, Analyze, dan Remember. Kompetensi dan Subkompetensi yang banyak berhubungan dengan bias kognisi teridentifikasi pada Kompetensi 1 tentang Etika Profesi dan Profesionalitas Luhur Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Kompetensi 2 tentang Mawas Diri, Pengembangan Pribadi dan Belajar Sepanjang Hayat, dan Kompetensi 5 tentang Landasan Ilmiah Kedokteran Forensik. Potensi bias kognisi yang telah teridentifikasi dapat menjadi masukan bagi para pihak yang berhubungan dengan proses pembentukan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal, khususnya Fakultas Kedokteran serta Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia, dalam menyusun materi pembelajaran, pelatihan, serta penilaian untuk membentuk Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal yang menghindari menyampaikan keterangan ahli yang bias kognisi.

Optimal data are free from cognitive biases. Cognitive biases-free expert testimony must be able to answer the challenge of knowledge development, dynamical changes and latest updates to be able to provide evidence-based expert testimonies in Forensic and Medicolegal cases. This research aims to identify and to find out the cause of cognitive biases in Forensic Medicine and Medicolegal field in Indonesia. Research was conducted through interviews on 24 board-certified Forensic and Medicolegal Specialists with topics of potential cognitive biases, and further analyzed through associating with Bloom’s Taxonomy, and Competency and Subcompetency of Forensic and Medicolegal Specialist in Indonesia. There was 763 unique scenarios identified from interviews. Cognitive domain of Bloom’s Taxonomy with highest association identified are Apply, Analyze, and Remember. Competency and Subcompetency with highest association identified are 1st competency about Profession ethics and Professionalism in Forensic Medicine and Medicolegal (Etika Profesi dan Profesionalitas Luhur Kedokteran Forensik dan Medikolegal), 2nd competency about Self-introspection, personal development and long-life learning (Mawas Diri, Pengembangan Pribadi dan Belajar Sepanjang Hayat), and 5th competency about Scientific-based forensic medicine (Landasan Ilmiah Kedokteran Forensik). Identified potential cognitive biases can be given as input for stakeholders in forming Forensic and Medicolegal Specialists, specifically Faculty of Medicine and Indonesian College of Forensic Medicine and Medicolegal (Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia), to compose learning materials, trainings, and assessments to form Forensic and Medicolegal Specialists that avoids giving biases in expert testimonies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Denys Putra Alim
"Latar Belakang: Pembuktian identitas jenazah harus secara ilmiah guna memenuhi tanggung jawab profesi dan keadilan hak asasi manusia karena diatur oleh UU Indonesia. Ada potensi tinggi dari tulang sternum untuk menjadi acuan baru identifikasi forensik.
Tujuan: Mengetahui peranan tulang dada dari gambaran CT-scan populasi dewasa untuk proses identifikasi forensik di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 95 laki-laki dan 110 perempuan populasi Indonesia yang berusia antara 20-70 tahun dan menjalani pemeriksaan CT scan dada di Departemen Radiologi RSCM secara konsekutif. Data klinis mencakup usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan suku sedangkan data radiologis mencakup skor osifikasi sternum dan iga, morfometrik sternum, dan variasi anatomis xiphoid. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear maupun logistik serta kurva AUROC untuk memprediksi luaran penelitian. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil: Skor total osifikasi tulang dada berkorelasi kuat dengan usia (rs = 0,541) dengan persamaan prediksi usia secara umum = 20,417 + 4,927*LOS (osifikasi iga ujung sternal kiri) + 2,667*LOF (osifikasi iga pertama kiri) + 2,098*FX (fusi xiphisternal) (aR2 = 41,9%, SEE 9,95 tahun). Seluruh parameter morfometrik sternum berhubungan dengan jenis kelamin (p<0,05). Gabungan parameter panjang korpus, lebar sternebra 1, dan indeks sternum memiliki nilai prediksi jenis kelamin sebesar 87,3%. Terdapat korelasi panjang tulang dada dengan tinggi badan (r = 0,712) dengan persamaan tinggi badan = 97,422 + 0,466*CL (panjang sternum) (aR2 = 50,5%, SEE 5,84 cm). Tidak terdapat hubungan antara morfometrik sternum dengan daerah asal suku. Variasi anatomis sternum yang paling langka adalah ujung xiphoid trifid, terdapat suprasternal bones dan iga bifid.
Kesimpulan: Sternum dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik untuk penentuan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.

Background: The process of personal identification must be conducted scientifically in order to fulfill the professional responsibility and human rights justice as regulated by the Indonesian Law. There is a high potential for the sternal bone to become a new reference in forensic identification.
Aim: To know the role of sternal bone from CT-scan images of adult population for the forensic identification process in Indonesia.
Method: This cross-sectional study was carried out on 95 males and 110 females of Indonesian population aged between 20-70 years who undergo a chest CT-scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta consecutively. Clinical data include age, sex, stature, and tribes while radiological data include sternal and rib ossification scores, sternal mrophometrics, and xiphoid anatomical variations. Data were analysed using IBM SPSS version 20.0 with unpaired t-test, Pearson or Spearman correlation test, linear or logistic regression and AUROC to estimate age and height and also determine sex. All p values < 0.05 were considerd statistically significant.
Result: Total ossification score was positively correlated with age (rs = 0.541) with the regression formula for age estimation is 20.417 + 4.927*LOS (ribs ossification at left sternal end) + 2.667*LOF (left first rib ossification) + 2.098*FX (fusion of xiphisternal) which yielded aR2 of 41.9% and SEE 9.95 years. All sternal morphometrics parameters were related to sex determination (p < 0.05). The combination of parameters sternal body length, sternebrae 1 width, and sternal index has a correct gender prediction rate of 87.3%. There is a positive correlation between sternal length and height (r = 0.712) with the regression formula for stature estimation is 97.422 + 0.466*CL (combined sternal length) which yielded aR2 of 50.5% and SEE 5.84 cm. There is no relationship between sternal morphometrics and the origin of tribes. The rarest sternal anatomical variations are trifid xiphoid ends, suprasternal bones, dan bifid ribs.
Conclusion: The sternal bone can be used as a reference for forensic identification in estimating the age and height and also determining sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library