Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aprilita Rina Yanti Eff
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Glukokortikoid memiliki efek penting terhadap proses seluler dan metabolik yang berperan dalam respon imun dan inflamasi. Masalah utama dalam penggunaan glukokortikoid adalah dalam timbulnya efek samping yang sering terjadi pada pemberian jangka panjang dengan dosis menengah. Penggunaan liposom sebagai pembawa obat, dalam hal ini metilprednisolon palmitat (MPLP) diharapkan dapat menurunkan efek samping yang ditimbulkan. Metilprednisolon palmitat adalah senyawa yang berhasil diinkorporasi ke dalam membran liposom, membentuk L-MPLP. Penelitian ini bertujuan: 1) menilai efek biologik L-MPLP sebagai senyawa Baru, yaitu dengan menilai secara kuantitatif kadar TNF a yang diperoleh dari kultur limpa mencit jantan galur C3H menggunakan ELISA, setelah 48 jam pemberian MPLP intravena dengan dosis 2 mg/kg BB, 8mg/kg BB dan 16 mg/kg BB dan pemberian L-MPLP ke dalam kultur secara in vitro dengan konsentrasi 5x 10"3 mM, 5 x10`2 mM dan 5 x104 mM, dibandingkan dengan kontrol metilprednisolon (MPL). 2) Mengetahui apakah MPLP atau metabolitnya akan terdistribusi di hepar dan limpa dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan MPL pada jangka waktu dan pemberian yang sama, yang diukur dengan menggunakan TLC. Perhitungan kadar diiakukan menggunakan grogram Presto Page Manager dan Adobe Photo Shop 5.0. Hasil dan Kesimpulan : Pada kultur in vivo, L-MPLP dengan dosis 8 nag/kg BB dan 16 mg/kg BB setelah 48 jam pemberian, menyebabkan hambatan proliferasi limfosit (penekanan kadar TNF a), yang berbeda bermakna (pc-0,05) dibandingkan kontrol MPL. Sedangkan pada kultur in vitro, L-MPLP dengan konsentrasi 5 x 10-1 mM menyebabkan hambatan proliferasi limfosit (penekanan kadar TNF a) yang berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kontrol MPL . Distribusi MPLP atau metabolitnya di hepar dan limpa, walaupun tidak bermakna secara statistik (p>0,05), tetapi menunjukkan kecenderungan terdistribusi di hepar dan limpa dengan kadar yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol MPL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effi Setiawati
Abstrak :
Dehidroepiandrosteron (DHEA) dan konjugat sulfatnya (DHEAS) adalah hormon steroid adrenal yang paling banyak diproduksi di dalam tubuh manusia. DHEA merupakan salah satu prekursor utama pads biosintesis hormon steroid endogen. Zat ini walaupun diklasifikasikan sebagai androgenik lemah dapat membentuk androgenik kuat sesuai jalur metabolismenya melalui androstenedion menjadi testosteron dan 5a-dihidrotestosteron (5a-DHT). Oleh sebab itu, maka mulai Januari 1997 penggunaan DHEA eksogen ini dimasukkan ke dalam daftar anabolik steroid androgenik sebagai doping bagi atlet oleh International Olympic Committee (IOC). Di Indonesia steroid ini dapat dibeli secara babas tanpa resep dokter sebagai suplemen atau health food. Untuk mengetahui pengaruh pemberian DHEA eksogen terhadap beberapa hormon steroid androgenik dan untuk melihat apakah terdapat suatu perubahan yang signifikan dan konsisten pada rasio metabolit setelah pemberian DHEA eksogen, dilakukan penelitian terhadap pengaruh pemberian DHEA terhadap beberapa metabolit hormon steroid androgenik dalam urine yaitu konjugat glukuronat dari testosteron (T), epitestasteron (Epi-T), 5a-androstan-3a,1713-dio1 (5a-diol), 5¢-androstan-3a-17P-dio1 (50-dio1), androsteron (A), etiokolanolon (Elio), DIVA dan konjugat sulfat dari DHEA (DHEAS), yang ditunjukkan pads perubahan rasio yang terjadi pada metabolit tersebut. Rasio metabolit yang diteliti adalah rasio TfEpiT, AJEtio, 5a-dio1J5~3-dial, DHEASIDHEA glukuronat dan AIT. Penelitian ini melibatkan 13 sukarelawan pria, bangsa Indonesia, memenuhi kriteria inidusi yaitu berbadan sehat, berumur 20 - 30 tahun, tidak minuet obat atau vitamin apapun serta makanan yang diduga mengandung hormon minimal dua minggu sebelum penelitian dilaksanakan dan selama penelitian berlangsung serta bersedia menandatangani informed consent. Kriteria sehat didasarkan pada tidak dijumpainya kelainan selama anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT), hematologi rutin (kadar hemoglobin, jumlah lekosit, hitung jenis lekosit dan laju endap darah), dan foto toraks. Pengambilan sampel urine baseline dilakukan 1 hari sebelum pemberian obat yaitu pada pukul 08.00, 12.00, 16,00, dan pukul 20.00. Setelah itu kapsul DHEA 50 mg diberikan setiap pukul 08.00 pagi selama lima hari berturut-turut dengan 200 ml air putih. Sampel urine diambil pada hari kelima setelah minum obat yang dilakukan pada jam ke-0 (pukul 8.00), 1 (9.00), 2 (10.00), 4 (12.00), 5 (13.00), 7 (15.00), 8 (16,00), 10 (18.00), 12 (20.00), 14 (22.00) dan 24 (pukul 8.00 hari berikutnya). Urin dikumpulkan dan diuji terhadap kadar masing-masing hormon steroid dengan menggunakan metode Gas Chromatography./Mass Selective Detector (GCIMSD). HASIL DAN KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan rasio TIEpiT baseline pada pukul 8.00 sebesar 1,07 ± 1,15, mencapai puncak pada pukul 16.00 yaitu 1,18 ± 1,21, dan setelah pemberian DIVA eksogen pada pukul 8.00 sebesar 1,03 ± 1,15 dan mencapai puncaknya pada pukul 16.00 : 2,11 ± 2,53. Seorang sukarelawan yang mempunyai rasio TIEpiT baseline sebesar 3,4 pada pukul 8.00, menunjukkan peningkatan yang berarti setelah pemberian DHEA eksogen yaitu pada pukul 15.00, 16.00 dan 18.00 berturut-turut sebesar 9,71; 9,13 dan 8,55. Rasio AlEtio baseline pada pukul 8.00 sebesar 1,45 ± 0,54, mencapai puncak pada pukul 20.00 : 1,82 ± 0,68 ; setelah pemberian DHEA eksogen pada pukul 8.00 : 0,77 ± 0,49, mencapai puncak pads pukul 12.00: 1,51 ± 0,67. Kurva AlEtio sebelum pemberian DHEA (baseline) berada di atas nilai yang diperoleh setelah pemberian DHEA eksogen. Kurva rasio 5or-diol15 G3-diol sedikit berubah setelah pemberian DHEA eksogen dibandingkan dengan baseline, tetapi secara statistik tidak signifikan. Rasio DHEASIDHEA glukuronat setelah pemberian DHEA eksogen meningkat signifikan dibandingkan dengan baseline pada semua semua sukarelawan, rasio DHEASIDHEA glukuronat mencapai nilai maksimum pada pukul 16.00 sebesar 158,03 ± 95,63 setelah pemberian DHEA eksogen, berbeda bermakna dengan baseline pada jam yang sama yaitu: 18,49 ± 16,32 (p < 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian DHEA eksogen secara oral dengan dosis 50 mg per hari selama 5 hari (1) mengubah rasio-rasio metabolit TIE, AlEtio dan DHEASIDHEA glukuronat ; (2) Seorang sukarelawan yang mempunyai rasio TIEpiT baseline relatif tinggi yaitu sebesar 3,4 mengalami peningkatan rasio T/EpiT menjadi 9,7. Angka ini melebihi batas rasio TIEpiT yang diperbolehkan oleh IOC yaitu 6 : 1 ; (3) Rasio DHEASIDHEA glukuronat meningkat signifikan setelah pemberian DHEA eksogen.
SCOPE AND METHODS : Dehydroepiandrosterone (DHEA) and its sulfate ester dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) are quantitatively the largest products of adrenal cortex and the most abundant steroids in peripheral blood. DHEA is one of the major precursors for the biosynthesis of the endogenous steroids. It is classified as having weak androgenic activity, but it can be converted in peripheral tissues via androstenedione to testosterone and 5a-dihydrotestosterone (5a-DHT), both are classified as having strong androgenic activity. Exogenous DHEA is considered to be a doping drug and listed in the class of prohibited anabolic agents by International Olympic Committee since January 1997. In Indonesia, this steroid can be purchased legally as healthfood and over the counter product. In the present study, we investigate the effects of DIVA oral administration to the urinary excretion of some DHEA metabolites in healthy volunteers. Thirteen volunteers, 20 - 30 years old, all men, fulfilled the inclusion criteria (healthy, no previous or chronic disease), passed the medical examination (physical exams, blood chemistry determination, chest X-ray), and signed a letter of informed consent. All volunteers had undergone 2 weeks wash-out periode of free medicines, vitamines and all kind of food that influence hormonal level. Each volunteer took 50 mg of exogenous DHEA orally in the morning at h. 8.00 for 5 days. Baseline urine value was collected a day before exogenous DHEA at hour 8.00, 12.00, 16.00 and 20.00 and at h. 8.00, 9.00, 10.00, 12.00, 13.00, 15.00 16.00 18.00, 20.00, 22.00 and 8.00 (next day) respectively after exogenous DHEA. Urinary excretion glucuronide (and free) metabolites of testosterone (T), epitestosteron (E), androsterone (A), etiocholanolone (Elio), 5a-androstane-3a, 173-diol (5a-dial), 5¢-androstane-3a,170-dio1 (50-diol) and DHEA, and also sulfate metabolite of DHEA was determined by Gas Chromatography/Mass Selective Detector (GCIMSD). RESULTS AND CONCLUSION : The results showed that the TIE ratio at h. 8.00 was 1.07 ± 1.15, peaked at h. 16.00: 1.18 ± 1.21 before and at 8.00: 1.03 ± 1.15, peaked at h. 16.00 :2.11 ± 2.53 after exogenous DHEA. One volunteer had a high baseline TIE ratio of 3.4 at h. 8.00 before and at h. 15.00, 16.00, and 18.00 respectively were 9.71; 9.13 and 8.55 after exogenous DHEA. The AfEtio ratio at h. 8.00 was 1.45 ± 0.54; peaked at h. 20.00 : 1.82 ± 0.68 before and at h. 8.00 : 0.77 ± 0.49, peaked at h. 12.00 : 1.51 ± 0.67 after exogenous DHEA. The AJEtio curve before exogenous DHEA was entirely above the value obtained after exogenous DHEA. Although the curve of ratio of 5a-dio11513-dial after exogenous DHEA was slightly different from that of the curve before exogenous DHEA, it was not statistically significant. The DHEASIDHEA glucuronide at various time points after exogenous DHEA was significantly higher than that before exogenous DHEA; the ratio of DHEASIDHEA glucuronide reached a maximum value of 158.03 ± 95.63 after exogenous DHEA in comparison with 18.49 ± 16.32 at h. 16.00 before exogenous DHEA (p < 0,05). To conclude, oral administration of exogenous DHEA of 50 mg once daily for 5 days (1) alter ratios TIE, AlEtio and DHEASIDHEA glucuronide; (2) One volunteer had a high baseline TIE ratio of 3.4 and after receiving exogenous DHEA the ratio was further increased to 9.71, significantly exceeding the limit value permitted by IOC 6:1 ; (3) The ratios of DHEASIDHEA glucuronide after receiving exogenous DHEA in comparison with those before exogenous DHEA were significantly increased at various time points.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T8260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Vitasyana
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian :
Keadaan hipoksia pada berbagai macam organ menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel tubuh. Pemberian oksigen kembali (reoksigenasi) pada jaringan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari sel tersebut, yang berat ringannya tergantung dari lamanya terjadi hipoksia. Baik pada kondisi hipoksia maupun reoksigenasi terjadinya kerusakan pada sel diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species=ROS). Adanya ROS tersebut akan menyebabkan perubahan pada kadar dan aktivitas beberapa antioksidan dalam tubuh seperti glutation (GSH) dan enzim glutation reduktase (GR). Kurkumin yang merupakan zat aktif berwarna kuning yang terdapat pada rimpang suku temu-temuan telah diteliti memiliki efek sebagai antioksidan. Efek antioksidan kurkumin akan dilihat dengan mengukur kadar glutation (GSH) dan aktivitas enzim glutation reduktase pada mitokondria jantung marmut yang mengalami hipoksia dan reoksigenasi. Hasil dan kesimpulan : Kemurnian mitokondria yang diisolasi dari jantung marmut cukup baik dengan RSA untuk enzim suksinat dehidrogenase (SDH) berkisar antara 7,89 dan 12,72 pada semua kelompok (6 sampel per kelompok). Keadaan hipoksia dan reoksigenasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar glutation (GSH) dari rata-rata (SD) 4,06 (1,09) nmol/mg protein menjadi 2,89 (1,07) nmol/mg protein (p<0,05) dan 1,43 (0,43) nmol/mg protein (p<0,05). Penurunan aktivitas enzim glutation reduktase (GR) juga terjadi pada keadaan hipoksia dan reoksigenasi yaitu dari 0,0796 (0,0157) µmol/menit/mg protein menjadi 0,0253 (0,0135) µmol/menit/mg protein (p>0,05) dan 0,0065 (0,0030) µmol/menit/mg protein (p<0,05). Kurkumin 0.25 µM dan 0.5 µM mengubah kadar glutation pada hipoksia dari 2,29 (1,07) nmol/mg protein menjadi 1,95 (0,71) dan 2,32 (0,70) nmollmg protein tetapi perubahan ini tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Kurkumin 0.25 µM dan 0.5 µM menurunkan aktivitas glutation reduktase pada hipoksia dari 0.0253 (0.0138) µmol/menit/mg protein menjadi 0,0146 (0,0107) dan 0,0140 (0,0063) µmol/menit/mg protein tetapi penurunan ini tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kurkumin baik pada dosis 0,25 maupun 0,5 µM tidak dapat meningkatkan kadar GSH dan aktivitas enzim GR pada keadaan hipoksia. Pemberian kurkumin dengan dosis 0,25 µM meningkatkan kadar GSH menjadi 2,70 (1,12) nmol/mg protein (p<0,05) dan aktivitas enzim GR menjadi 0,0087 (0,0040) µmol/menit/mg protein (p>0,05) pada keadaan reoksigenasi. Pemberian kurkumin dosis 0,5 µM meningkatkan kadar GSH dan aktivitas enzim GR menjadi 2,83 0,80) nmol/mg protein (p<0,05) dan 0,0193 (0,0092) µmol/menit/mg protein (p<0,05) pada keadaan reoksigenasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kurkumin memiliki efek proteksi terhadap kerusakan mitokondria pada reoksigenasi yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar GSH dan aktivitas GR baik dengan dosis 0.25 µM maupun 0.5 µM.
The state of hypoxia in different organs causes damage to cells. Reoxygenation to the tissues causes further damage to the cells; the degree of damage depends on the duration of hypoxia. In both hypoxia and reoxygenation, the damage is suspected to be caused by the formation of reactive oxygen species (ROS). The presence of ROS will cause changes in the concentration and activity of some antioxidant in the body such as glutathione (GSH) and glutathione reductase enzyme (GR). Curcumin, a yellow active component found in curcuma, has been found to have an antioxidant property. The protective effect of curcumin will be investigated by measuring the cellular parameters such as glutathione (GSH) concentration and the activity of glutathione reductase enzyme (GR) in isolated heart mitochondria of guinea pig undergoing hypoxia and reoxygenation. Results and conclusions The mitochondria isolated from guinea pig had enough purity, as shown by the relative specific activity (RSA) of succinate dehydrogenize (SDH) for all groups which ranged from 7.89 to 12.72 (6 per group). Hypoxia and reoxygenation decreased the glutathione content from mean (SD) 4.06 (1.09) nmol/mg protein to 2.89 (1.07) nmol/mg protein (p<0.05) and 1.43 (0.43) nmol/mg protein (p<0.05). The activity of glutathione reductase also decreased during hypoxia and reoxygenation from 0.0796 (0.0157) µmol/min/mg protein to 0.0253 (0.01353) µmol/min/mg protein (p>0.05) and 0.0065 (0.0030) µmol/min/mg protein (p<0.05). Curcumin 0.25 µM and 0.5 µM changed the glutathione content during hypoxia from 2.29 (1.07) nmol/mg protein to 1.95 (0.71) and 2.32 (0.70) nmol/mg protein, but these changes were not statistically significant (p>0.05). Curcumin 0.25 µM and 0.5 µM decreased the activity of glutathione reductase during hypoxia from 0.0253 (0.0138) µmol/min/mg protein to 0.0146 (0.0107) and 0.0140 (0.0063) µmol/min/mg protein, but these decreases were also not statistically significant (p>0.05). These results showed that curcumin did not have any effect on the glutathione content and the glutathione reductase activity during hypoxia either with 0.25 µM or 0.5 µM dose. Curcumin 0.25 µM increased the glutathione content to 2.70 (1.12) nmol/mg protein (p<0.05) and glutathione reductase activity to 0.0086 (0.0040) µmol/min/mg protein (p>0.05) during reoxygenation. With curcumin 0.5 µM the glutathione content increased to 2.83 (0.80) nmol/mg protein (p<0.05) and the glutathione reductase activity to 0.0193 (0.0092) µmol/min/mg protein (p<0.05) during reoxygenation. These results showed that curcumin had a protective effect on the mitochondria injury during reoxygenation as it increased on the glutathione content and the activity of glutathione reductase with both 0.25 µM and 0.5 µM doses.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T9592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Estuningtyas
Abstrak :
Keadaan hipoksia pada berbagai macam organ dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel tubuh. Pemberian oksigen kembali pada jaringan yang telah mengalami hipoksia ternyata dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari sel tersebut, yang berat ringannya tergantung dari lamanya terjadi hipoksia. Baik pada kondisi hipoksia maupun reoksigenasi terjadinya kerusakan pada sel diduga disebabkan oleh terbentuknya radikal bebas. Adanya radikal bebas tersebut akan menyebabkan perubahan pada aktivitas antioksidan dalam tubuh seperti glutation peroksidase dan peningkatan kadar MDA. Kurkumin yang merupakan zat aktif berwarna kuning yang terdapat pada rimpang suku temu-temuan telah diteliti memiliki efek sebagai antioksidan. Efek proteksi kurkumin akan dilihat dengan mengukur aktivitas glutation peroksidase dan kadar MDA dari mitokondria jantung marmut. Kemurnian mitokondria yang diisolasi dari jantung marmut cukup baik dengan RSA untuk enzim suksinat dehidrogenase (SDH) dari masing-masing kelompok adalah > 2,5. Keadaan hipoksia dan reoksigenasi menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) dibandingkan dengan kondisi normoksia yaitu dari 0,3235 ± 0,1153 µmol/menit/mg protein menjadi 0,3916 ± 0,1498 µmol/menit/mg protein dan 0,8256 ± 0,2684 µmol/menit/mg protein. Peningkatan kadar MDA juga terjadi pada keadaan hipoksia dan reoksigenasi dibandingkan dengan kondisi normoksia yaitu dari 17,8453 ± 2,7852 nmol/mg protein menjadi 21,2371 ± 3,5319 nmol/mg protein dan 29,5232 ± 9,4673 nmol/mg protein. Pemberian kurkumin dosis 0,25 pM pada keadaan reoksigenasi dapat menurunkan aktivitas GPx dan kadar MDA yang bermakna secara statistik dibandingkan tanpa pemberian kurkumin menjadi 0,4975 ± 0,0441 µmol/menit/mg protein dan 16,4707 ± 1,9896 nmol/mg protein. Penambahan dosis kurkumin menjadi 0,5 µM pada keadaan reoksigenasi dapat menurunkan aktivitas GPx dan kadar MDA menjadi 0,6654 ± 0,2186 µmollmenitlmg protein dan 24,4532 ± 3,2411 nmo1/mg protein dibandingkan tanpa pemberian kurkumin, namun secara statistik tidak bermakna. Pada keadaan hipoksia kurkumin dosis 0,25 µM maupun 0,5 µM justru menyebabkan peningkatan aktivitas GPx menjadi 0,5131 ± 0,0589 µmol/menit/mg protein dan 0,6642 ± 0,2061 µmol/menit/mg protein dibandingkan tanpa pemberian kurkumin, sedangkan kadar MDA turun namun secara statistik tidak bermakna. Analisa statistik yang digunakan untuk uji parametrik adalah Anova satu arah sedangkan untuk uji non parametrik adalah Kruskal Wallis.
The Effects of Curcumin toward Glutathion Peroxidase Activity and MDA Concentration in Hypoxia/Reoxygenation Isolated Working Heart Guinea Pig MitochondriaThe state of hypoxia on different kinds of organ can cause damage to the cell. Giving the oxygen back to the tissues which have experienced hypoxia turns out causing further damage to the cell, whose degree of damage depends on the duration of hypoxia. Both on hypoxia and reoxygenation, the reason for the damage is thought to be caused by the formation of reactive oxygen species. The presence of reactive oxygen species will cause changes activity of some antioxidant in the body such glutathion peroxidase (GPx) and increase in MDA concentration. Curcumin, a yellow active component found in the curcuma, has been found to have antioxidant property. The protective effect of curcumin will be investigated by measuring the cellular parameters such as glutathione peroxidase activity (GPx) and MDA concentration in the heart mitochondria of guinea pig. The isolation of mitochondria from guinea pig was doing good, indicated with the relative specific activity of sucinate dehydrogenase for all groups greater than 2,5. Hypoxya and reoxygenation conditions increased the activity of glutathione peroxydase from 0,3235 ± 0,1153 µmol/menit/mg protein to 0,3916 ± 0,1498 µmol/menit/mg protein and 0,8256 ± 0,2684 µmol/menit/mg protein compared with normoxia condition. The MDA concentration was also increased during hypoxia and reoxygenation from 17,8453 ± 2,7852 nmol/mg protein to 21,2371 ± 3,5319 nmol/mg protein and 29,5232 ± 9,4673 nmol/mg protein. Curcumin 0,25 µM during reoxygenation decreased the activity of glutathione peroxidase to 0,4975 ± 0,0441 µmol/menit/mg protein and the MDA concentration to 16,4707 ± 1,9896 nmol/mg protein. With curcumin 0,5 p.M the activity of glutathione peroxidase decreased to 0,6654 ± 0,2186 µmol/menit/mg protein and MDA concentration to 24,4532 ± 3,2411 nmol/mg protein during reoxygenation. During hypoxia curcumin 0,25 p.M and 0,5 µM increased the activity of glutathione peroxidase to 0,5131 ± 0,0589 µmol/menit/mg protein and 0,6642 ± 0,2061 µmol/menit/mg protein. Curcumin decreased the 1VIDA concentration during hypoxia with the 0.25 µM and 0,5 µM dose, although the changes are not statistically significant. curcumin, glutathione peroxidase, MDA, hypoxia/reoxygenation, mitochondria.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risdawati Djohan
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Kurkumin adalah salah satu zat aktif dari tanaman kurkuma yang banyak terdapat di Indonesia dan sudah lama digunakan sebagai obat, diantaranya untuk penyakit hati. Penelitian kurkumin sebagai hepatoprotektor sudah banyak dilakukan, namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Beberapa hasil penelitian in vivo pada tikus dan mencit maupun in vitro dengan menggunakan mikrosom hati dan hepatosit tikus, menunjukkan bahwa kurkumin efektif sebagai antioksidan, menghambat enzim sitokrom P450, siklooksigenase dan lipooksigenase serta menghambat proses peroksidasi lipid. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme kerja kurkumin sebagai hepatoprotektor, dengan mempelajari efek kurkumin pada mitokondria hati tikus (galur Wistar) terisolasi, menggunakan t-BuOOH sebagai model untuk menimbulkan cedera oksidatif. Isolasi mitokondria dilakukan dengan cara sentrifugasi bertingkat. Fraksi mitokondria yang diperoleh dibagi 4 bagian, masing-masing untuk pengukuran aktivitas enzim suksinat dehidrogenase (SDH) dan sitokrom c oksidase (CCO), kadar glutation (GSH) dan malondialdehid (MDA). Tiap bagian dibagi 9 kelompok. Dalam pengukuran tersebut mitokondria diinkubasi pada suhu 37° C selama 30 menit, dengan atau tanpa penambahan t-BuOOH, dan dengan atau tanpa pemberian kurkumin. Pengukuran ke empat parameter dilakukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang 600 nm (untuk SDH), 550 nm (untuk CCO), 412 nm (untuk GSH), dan 530 nm (untuk MDA). Hasil dan kesimpulan: Mitokondria diisolasi cukup baik (RSA untuk SDH = 32.59 dan untuk CCO = 72.18). Penambahan t-BuOOH pada mitokondria terisolasi mengakibatkan deplesi GSH (78 %) yang diikuti oleh peningkatan kadar MDA (125 %), penurunan aktivitas SDH (20 %), dan CCO (22 %). Perubahan ini dapat dihambat oleh kurkumin pada dosis berbeda. Pada dosis 500 RM, kurkumin dapat meningkatkan kadar GSH (50 %) disertai dengan penurunan kadar MDA (45 %), namun tidak diikuti oleh peningkatan aktivitas SDH dan CCO, mungkin dosis ini merupakan dosis toksik untuk enzim SDH dan CCO. Peningkatan aktivitas SDH (23 %) dan CCO (20 %) terlihat pada dosis 5 RM. inkubasi mitokondria mengakibatkan penurunan aktivitas SDH dan CCO dan peningkatan kadar GSH dan MDA, dimana kurkumin tidak mampu melindungi perubahan tersebut, kecuali untuk MDA. Meskipun GSH tidak terlibat langsung pada kegiatan respirasi mitokondria, namun GSH sangat berperan dalam mengontrol ststus redoks di mitokondria serta memelihara integritas membran melalui perlindungan gugus SH protein di membran. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kurkumin dapat mencegah kerusakanl gangguan fungsi mitokondria pada rentang dosis 5 - 500 W.
Field and methodology : Curcumin is an active substances of Curcuma, a plant which is abundantly found in Indonesia. and has traditionally been used as herbal medicine, for instance for liver diseases. There have been many studies carried out on cm-cumin as a hepatoprotective agent. However, the mechanism underlying the protective effects are not known. Some in vivo studies on rate and mice as well as in vitro studies using rat liver microsomes and hepatocytes, showed that cu-cumin is an effective antioxidant, that it causes inhibition of cytochrom P450, cyclooxygenase and lipooxygenase activities and lipid peroxidation . The present study was performed to find out some information on the mechanism of action of curcumin as a hepatoprotective agent, using isolated mitochondria from rat (Wistar) liver as a model and t BuOOH as an oxidative inducing --- agent. The liver mitochondria were isolated using differential cenirifiugatien_.On the isolated mitochondria. was determine the activities of succinate dihydrogenase (SDH) and cytochrome a oxidase (CCO) and the contens of reduced glutatione (GSH) and malondialdehyde (MDA). In each determination mitochondria) fractions were incubated at 37°C for 30 min, in the presence and absence of t-BuOOH, and with or without cm-cumin. The biochemical parameters were determined spectrophtometrically at 600 nm (SDH), 550 um (CC 0), 412 nm (GSH), 530 um (MDA). Results and conclusion : The mitochondria was purified to high degree (RSA for SDH and CCO, respectively were 33 and 72). The protein yield was 43 mgfg liver wet weight. The addition of t-BuOOH on isolated mitochondria caused GSH depletion (78 %) and increase MDA (125 %) and decrease activites of SDH (20 %) and CCO (22 %). The biochemical alteration could be inhibited by cm-cumin at various concentrations. At 500p.M, cm-cumin could increase GSH level (50 %) and decrease MDA (45 %), but could not increase the activities of SDH and CCO; it appeared that at the concentration cm-cumin was toxic for SDH and CCO. Increase activity of SDH (23 %) and CCO (20 %) was found at the concentration of 51A.M of curcumin. Incubation of mitochondria alone cause decrease activities of SDH and CCO and increase of level GSH and MDA, whereas cm-cumin had no protection, except on MDA level. Although GSH is not directly involved in the activity of mitochondria! respiration, this peptide play a significant role in controlling the redox status of the mitochondria and preserving the membrane integrity through maintaining the thiol contents in the membrane protein. This study demonstrates the protective effects of curcurnin wind oxidative damage of the liver mitochondria in the range of 5 - 500 µM
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T1489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Gitawati
Abstrak :
Ruang Lingkup Penelitian: Mekanisme terjadinya cedera sel akibat iskemia masih belum jelas, namun ada petunjuk kuat bahwa radikal bebas merupakan salah satu penyebab cedera sel ireversibel. Salah satu cara untuk meneliti peran radikal bebas adalah melalui suatu pendekatan tidak langsung, dengan melihat efek suatu obat yang pernah diteliti terhadap iskemia. Beberapa penelitian telah menunjukkan cedera sel akibat induksi iskemialreperfusi dapat dicegah dengan menghambat influks masif Ca++ ke dalam sel; hal ini mungkin terkait dengan netralisasi radikal bebas oksigen. Belum diketahui dapatkah verapamil juga mencegah kerusakan sel hati akibat iskemia global yang dilanjutkan reperfusi. Penelitian ini bermaksud mengamati efek verapamil terhadap pengaruh iskemia global pada model perfusi hati ex vivo, menggunakan tikus W i s t a r (galur "P3M - BPPK" ), 21 ekor, dibagi acak dalam tiga kelompok: kontrol (K); iskemik tanpa verapamil (IS ); iskemik dengan verapamil (IV). Perfusi ( resirkulasi) menggunakan medium Krebs-Henseleit, dijenuhkan dengan gas karbogen (95% 02 : 5% C02), suhu 370 C dan pH 7,4 selama 15 menit, dilanjutkan iskemia global 60 menit dengan reperfusi 30 menit; verapamil (2.4 mg) dimasukkan ke dalam perfusat (300 ml) 15 menit sebelum iskemia. Viabilitas sel hati dinilai dengan mengukur aktivitas GPT perfusat pada menit ke- 15, 75, 105 dan histopatologi sel hati dengan melihat derajat penyerapan trypan biru pada akhir eksperimen. Hasil dan Kesimpulan: Verapamil 0.008 mg/ml perfusat dapat mencegah cedera sel ireversibel setelah iskemia global selama 60 menit, yang ditunjukan dengan tidak adanya peningkatan aktivitas GPT yang bermakna (p<0.05) pada kelompok IV dibandingkan kontrol dan derajat penyerapan trypan biru minima!. Tetapi setelah 30 menit reperfusi tampaknya verapamil tidak dapat mencegah peningkatan aktivitas GPT (p<0.05), walaupun sel-sel hati masih relatif normal. Peningkatan aktivitas GPT agaknya lebih disebabkan perubahan permeabilitas membran daripada adanya kerusakan sel yang nyata. Mekanisme proteksi verapamil terhadap kerusakan sel hati tidak diketahui, mungkin tidak melalui penghambatan influks Ca++ berlebihan, karena medium digunakan bebas Ca++ ; kemungkinan mekanisme melalui penetralan radikal bebas oksigen masih perlu dibuktikan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T1936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawaimuli Arozal
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Glukokortikoid telah lama digunakan sebagai antiinflamasi dan untuk menekan respon imun. Pada penggunaanjangka panjang, dengan dosis besar glukokortikoid memiliki efek samping yang cukup serius. Dewasa ini, telah banyak dikembangkan berbagai penelitian tentang pembawa obat, yaitu suatu sediaan yang dibuat agar obat dapat langsung atau mempennudah obat masuk ke dalam organ atau reseptor sasaran. Dengan memasukkan obat ke dalam bahan pembawa obat misalnya liposom, efek samping sistemik dapat ditekan. Purwanigsih, dkk14 berhasil mensintesis suatu senyawa baru yaitu metilprednisolon palmitat yang kemudian berhasil diinkorporasikan ke dalam membran liposom menjadi liposom-metilprednisolon palmitat (L-MPLP). Penelitian di bawah ini bertujuan, melanjutkan penelitian tentang aspek farmakodinamik L-MPLP sebagai senyawa baru, yaitu efek antiinflamasi. Penilaian besarnya efek antiinflamasi L-MPLP dilakukan berdasarkan hambatan pembentukan granuloma yang ditimbulkan setelah penyuntikan senyawa tersebut selama tiga hari berturut turut secara intra peritoneal pada tikus jantan galur Sprague Dawley, dibandingkan obat standar metilprednisolon (MPL). Parameter lain yang dinilai adalah kemampuan L-MPLP dalam menekan kadar interferon gamma yang dihasilkan dari kultur limfosit T yang distimulasi oleh concanavalin A secara in vitro maupun in vivo, dibandingkan obat standar MPL. Kadar interferon gamma diukur menggunakan metode ELISA. Hasil dan kesimpulan: Didapatkan aktivitas antiinflamasi berupa penekanan berat granuloma yang berbeda bermakna antara pemberian L-MPLP dan MPL dibandingkan dengan kontrol. Pada dosis yang sama, yaitu 8 mg/kgBB dan 16 mg/kgBB, L-MPLP menekan pembentukan granuloma yang berbeda bermakna secara statistik dibandingkan MPL. Pada pengukuran kadar interferon gamma secara kuantitaf pada kultur in vivo, L-MPLP dengan dosis berturut turut 2 mg/kgBB, 8 mg/kgBB dan 16 mg/kgBB, menunjukkan penekanan kadar yang bermakna secara statistik dibandingkan kontrol tanpa obat. Sedangkan, ke tiga kelompok MPL tidak menunjukkan efek penekanan kadar IFN y. Hasil yang diperoleh pada kultur in vitro, baik kelompok MPL dan kelompok L-MPLP pada kadar 5.10 "3, 5.10"2 dan 5.10"1 mM, keduanya mampu menekan produksi interferon gamma, dan L-MPLP mampu menekan produksi IFN y lebih baik dibandingkan MPL yang berbeda secara bermakna.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Nurbani
Abstrak :
Ruang lingkup dan metode penelitian: Alcoholic liver disease (penyakit hati alkoholik, ALD) merupakan salah satu komplikasi utama dari penyalahgunaan alkohol. Konsumsi alkohol kronik dapat menginduksi stres oksidatif pada jaringan hati dan ekstrahati karena ketidakseimbangan antara pro-oksidan dan antioksidan, menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak komponen selular dan menyebabkan peroksidasi lipid yang mengakibatkan steatosis (perlemakan hati), steatohepatitis (hepatitis alkoholik) sampai sirosis. Penelitian sebelumnya memperlihatkan pemberian likopen sebelum etanol kronik memberikan efek perlindungan pada kerusakan mitokondria hati tikus in vivo. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa likopen yang diberikan bersamaan dengan alkohol kronik dapat melindungi kerusakan hati tikus akibat alkohol. Untuk menilai efek proteksi likopen sehubungan dengan stres oksidatif yang ditimbulkan alkohol, dilakukan pengukuran kadar peroksida lipid (malondiatdehid, MDA), glutation (GSH), glutamat piruvat transaminase (GPT) jaringan hati dan plasma, serta pemeriksaan histopatologi jaringan hati. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih galur Sprague-Dawley, yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak, masing-masing terdiri dari 5 ekor. Kelompok I (kontrol), diberikan CMC (Carboxy Methyl Celulose) 1% (b/v) 1 ml/100 gBB/hari; kelompok II diberikan etanol 25% (b/v) 1 ml/gBB (2,5 g/kgBB)/hari; kelompok III, 1V, dan V, masing-masing diberikan etanol (2,5 g/kgBB/hari) dan likopen 50; 100; 200 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Seluruh hewan coba diterminasi dengan cara dekapitasi pada hari ke-28, sebelumnya tikus dipuasakan selama 24 jam. Darah diambil untuk pengukuran kadar MDA, GSH,dan GPT had dan plasma. Selain itu hati lobus kiri diambil untuk pemeriksaan histopatologis, sisanya untuk pengukuran MDA, GSH, dan GPT. Nilai rerata data ± SD kadar MDA, GSH, dan GPT dianalisis dengan uji Anova satu arah dan bila bermakna, dilanjutkan dengan analisa antar kelompok dengan uji Bonferroni. Skor patologi diuji dengan uji Kruskal-Wallis, dan bila bermakna dilanjutkan dengan perbandingan antara kelompok dengan uji Mann-Whitney. Seluruh uji statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS. Hasil - Pertambahan berat badan kelompok EtOH lebih kecil dibandingkan kelompok lainnya (kontrol dan likopen 200 mg/kg BB/hari, p<0.01; likopen 100 mg/kgBB/hari, p<0.05; likopen 50 mg/kgBB/hari p>0.05). - Kadar MDA hati dan plasma meningkat lebih dari 2x lipat pada kelompok EtOH secara bermakna (0.001) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Likopen berbagai dosis dapat menurunkan peningkatan kadar MDA hati dan plasma ini secara bermakna (p<0.001). Di samping itu, likopen dosis sedang dan tinggi dapat menurunkan kadar MDA hati dan plasma sampai setara dengan kontrol. - Penurunan kadar GSH hati dan plasma pada kelompok EtOH (p<0.001) dibandingkan dengan kelompok kontrol, dapat ditingkatkan oleh likopen berbagai dosis secara bermakna (p<0.001). Likopen dosis sedang dan tinggi meningkatkan penurunan ini mencapai nilai kelompok kontrol. - Penurunan kadar GPT hati pada kelompok EtOH (p<0.001) dibandingkan dengan kelompok kontrol, dapat ditingkatkan oleh likopen berbagai dosis (p<0.001), likopen dosis tinggi dapat mengembalikan kadar GPT hati setara dengan kelompok kontrol. Peningkatan kadar GPT plasma pada kelompok EtOH walaupun secara klinik tidak bermakna (<3x lipat nilai normal), tapi secara statistik bermakna (p<0.001) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Likopen dosis sedang dan tinggi dapat mengembalikan kadar GPT hati setara dengan nilai kelompok kontrol. - Pemberian etanol kronik menyebabkan akumulasi lemak sedang-berat dan nekrosis pada hati (skor patologi 3±0), perubahan patologi ini dicegah secara bermakna oleh likopen dosis rendah (skor patologi 2±0, p<0.01); likopen dosis sedang (skor 1.6± 0.55, p<0.005), dan dosis tinggi (1.4±0.55, p<0.005). Hanya likopen dosis sedang dan tingi yang dapat mengembalikan nilai skor patologi setara dengan kontrol. Kesimpulan 1. Likopen dapat mencegah cedera hati akibat alkohol melalui aktivitas antioksidannya (scavenger radikal peroksida dan quenching oksigen singlet) yang diperlihatkan oleh adanya penurunan stres oksidatif dan perbaikan fungsi hati. 2. Suplementasi likopen dosis sedang (100 mg/kgBB/hari) dan tinggi (200 mg/kgBB/hari) dapat mengembalikan fungsi hati kembali setara dengan kelompok kontrol. Suplementasi likopen dosis kecil (50 mg/kgBB/hari) walaupun sudah dapat memberikan perlindungan dibandingkan dengan kelompok EtOH, tetapi belum dapat mengembalikan fungsi hati kembali setara dengan kelompok kontrol.
Alcoholic liver disease is one of the main complications of alcohol abuse. Consumption of chronic alcohol may induce oxidative stress in liver and extra hepatic tissues because of imbalance between pro-oxidant and antioxidant, this would result in free radical accumulation which destroy cellular component and lipid per oxidation leading to steatosis (fatty liver), steatohepatitis (alcoholic hepatitis), and sirosis. Previous studies showed that lycopene supplementation giving prior to chronic ethanol administration gave protection of liver mitochondria damage in rats in vivo. This study was designed to investigate the effects of lycopene on liver damage in rats given at the same time with chronic alcohol by measuring the MDA, GSH, and GPT of liver tissue and plasma, as well as pathological change of liver tissue. Twenty-five Sprague-Dawley rats were divided randomly into five groups. The first group received CMC 1%, 1ml/100 gBW daily (control); the second group received etanol 25%, 1 ml/gBW (2.5 g/kgBW) daily; the third, fouth, and fift group received ethanol and likopen 50; 100; 200 mg/kgBW daily respectively for 4 weeks. All rats were scarified by decapitation at day 28, after over night fasting. Blood samples were used for measuring MDA, GSH, and GPT. The left lobe of liver was used for histopathological analysis and the remaining liver tissues were used for measuring MDA, GSH, and GPT. One-way ANOVA with Bonferroni's posthoc tests were used for the determination of statistical significance as appropriate; data represented as mean SD. For comparison of pathological scores, the Kruskal-Wallis rank sum test and Mann-Whitney's posthoc test were used. A p value less than 0.05 was selected before the study as the level of significance. All statistical tests were carried out by means of SPSS. Result - Body weight gains in EtOH group was the smallest compared to other groups (control vs lycopene 200 mg/kgBW/d, p<0.01; lycopene 100 mg/kgBW/d, pe0.05; lycopene 50 mg/kgBW/d, p>0.05). - Liver and serum MDA levels in EtOH group were increased significantly (p<0.001) more than 2-fold over control value; various doses of lycopene blunted this increase significantly. Moderate and high doses of lycopene ecreased liver and serum MDA levels, which were not significantly different from that of control values. - Liver and serum GSH levels in EtOH group were decreased significantly (p<0.001) compared to control value; various doses of lycopene blunted this decrease significantly (p<0.001). Moderate and high doses of lycopene increase liver and serum GSH levels, which were not significantly different from that of control values. - Liver GPT levels in EtOH group were decreased significantly (p<0.001) compared to control group; lycopene in various doses blunted this decrease significantly (p<0.001), lycopene high dose blunted this decrease which were not significantly different from that of control values. Serum GPT levels in EtOH group were increased significantly (p<0.001) compared to control group, although not clinically significant (less than 3-fold over control value). Moderate and high doses of lycopene blunted this increase which was not significantly different from that of control values, - Chronic ethanol consumption caused moderate-severe fatty liver and necrosis (pathology score: 3 ± 0). These pathological changes were blunted significantly by small dose (pathological score 2±0, p<0.01); moderate dose (pathological score 1.6± 0.55, p<0.005) and high dose (pathological score 1.4±0.55, p<0.005) of lycopene. Only moderate and high doses of lycopene reversed pathologcal score which were not significantly different from that of control values. Conclusions: 1. Lycopene prevented liver injury induced by alcohol through its antioxidant activities (scavenging peroxide radical and quenching singlet oxygen), showed by decreased oxidative stress and improvement of liver function. 2. Lycopene of moderate dose (100 mg/kgBW daily) and high dose (200 mg/kgBW daily) supplementation reversed liver functions which were not significantly different from that of control values. Although low dose of lycopene (50 mg/kgBW daily) gave protection compare to EtOH group, but it couldn't reverse liver functions which were not significantly different from that of control values.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Priyatni Waluyatiningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Cedera reperfusi adalah kerusakan yang bertambah parah pada jaringan yang iskemik karena dilakukan reperfusi. Mekanisme cedera reperfusi yang telah banyak diketahui adalah akumulasi kalsium sitosol dan pembentukan radikal bebas yang berlebihan. Sejauhini belum banyak diketahui peranan sistem renin-angiotensin pada cedera reperfusi, walaupun beberapa penelitian telah membuktikan bahwa angiotensin II memperberat kerusakan jaringan yang iskemik serta menimbulkan apoptosis pada penderita infark jantung akut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH (kaptopril dan benazepril) dan penyekat reseptor angiotcnsin II (valsartan) pada cedera reperfusi. Untuk melihat peranan gugus SH efeknya dibandingkan dengan N-asetil sistein (NAC), suatu antioksidan gugus SH.

Tiga puluh ekor tikus putih jantan galur Wistar dibagi secara acak menjadi 5 kelompok (tiap kelompok 6 ekor tikus). Kelompok tersebut adalah: K-IR , kelompok kontrol yang mengalami iskemi 30 menit dilanjutkan reperfusi 30 menit. Kelompok perlakuan diberikan obat (kaptopril, benazepril., valsartan, dan NAC) 3 hari bertunrt-turut sebelum tindakan iskemi-reperfusi adalah: KAP, BEN, VAL, dan NAC. Sebelum iskcmi dan scsudah reperfusi diambil l ml darah untuk penentuan kadar SGPT dan SCOT. Sctelah reperfusi sebagian hati diambil untuk penetapan peroksidasi lipid (malonaldehid=MDA) clan maim supemksid dismutase (SOD).

Hasil dan Kesimpulan: Radar SGPT dan SCOT path kelompok knntrol (iskemi reperfusi mengalami kenaikan 13 kali untuk SGPT dan 7 kali untuk SGOT dibandingkan kondisi basal (p<0,01). Pada studi pendahuluan dengan perlakuan iskemi 30 menit, didapatkan kenaikan SGPT dan SGOT 3 kali. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang lebih berat terjadi pada fase reperfusi. Kadar SGPT dan SGOT pads kelompok KAP, BEN, VAL, dan NAC tidak mengalami perubahan yang berarti setelah iskemi-reperfusi dibandingkan dengan keadaan basal (p>0,05).

Kadar MDA hati pada kelompok kontrol lebih besar dibanding KAP, BEN, VAL, dan NAC. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p,0,05), kecuali dengan NAC. Kadar SOD hati pada kelompok kontrol lebth besar dibanding KAP, BEN. VAL, dan NAC. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05), kecuali dengan VAL.

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH, penyekat reseptor angiotensin II Berta antioksidan dengan gugus SH dapat mencegah cedera reperfusi. Lick proteksi cedera reperfusi oleh penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH serta penyekat reseptor angiotensin II diduga dilangsungkan melalui hambatan Angiotensin Il dan/atau efek antioksidan.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oentarini Tjandra
Abstrak :
ABSTRAK Ruang lingkup dan cara penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan adanya hubungan aktivitas dan struktur butirilkolinesterase varian C5+ dengan varianC5- pada 152 populasi suku Jawa yang tinggal di Jakarta. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama, aktivitas butirilkolinesterase ditentukan dengan menggunakan substrat alfa natlil asetat dan benzoilkolin, sedangkan inhibitor yang digunakan adalah dibukain, natrium fluorida, Ro2-0683, dan propranolol. Tahap kedua, distribusi varian C5- ditentukan dengan pemeriksaan elektroforesis agar dan elektroforesis gel poliakrilamid Tahap ketiga, hubungan struktural antara pita C5- dan pita-pita butirilkolinesterase dianalisis dengan pemeriksaan imunologi dan pemetaan peptida. Hasil dan kesimpulan : Dari 152 sampel yang diteliti, rata-rata ± SD aktivitas butirilkolinesterase dengan substrat alfa nand asetat adalah 0,671 ± 0,122 U/ml, dengan angka Ro 85 ± 2.6 dan angka propranolol 74 ± 4,5. Aktivitas butirilkolinesterase dengan substrat benzoilkolin adalah 1,08 ± 0,25 U/ml, dengan angka dibukain 79 ± 3,6 dan angka fluorida 67 ± 6. Sebanyak 141 individu (92,8%) menunjukkan aktivitas normal, sedangkan 7 individu (4,6%) di bawah normal (<0,690 U/ml) dan 4 ii'idividu (2.6%) dengan aktivitas > 1,560 U/ml. Dari 152 sainpel yang diteliti, ditemukan 1 individu dengan fenotip UA (aktivitas butirilkolinesterase 0,310 U/ml, DN ; 62, dan FN: 50). Frekuensi varian C5-yang dapat dideteksi dengan elektroforesis agar 25 individu (16,45%) dan elektroforesis gel poliakrilamid dapat mengidenlitikasi 28 individu (18,42%). Antibodi poliklonal yang dibangkitkan pada kelinci direaksikan dengan pita protein butirilkolinesterase dan pita C5+ menunjukkan reaksi yang sama. Pemetaan peptida dari tiap pita protein butirilkolinesterase dan pita C5+ menunjukkan pola yang sama. Hasil ini menunjukkan bahwa varian C5- secara fenotip berasal dari gen butirilkolinesterase yang sama.
ABSTRACT Relationship Activity And Structure Of C5+ Variant With C5- Variant Butyrylcholinesterase Among a Javanese Population In JakartaScope and Method of study : The purpose of this study is to find out structural-functional relationship of C5- variant butyrylcholinesterase among one hundred and fifty two Javanese population residing in Jakarta. The study was done into 3 steps. In the first step, the activity of butyrylcholinesterase was determined using substrates alpha naphthyl acetate and benzoylcholine and the inhibitors Ro2-0683, propranolol, dibucaine and sodium fluoride. In the second step, the distribution of C5' variant was determined using agar and polyacylamide gel electrophoresis. Finally in the third step, the structural relationship between the C5- extraband and the protein bands of butyrylcholinesterase was analyzed using peptide mapping and immunological studies. Results and Conclusions : The results show that from 152 sample studied the total activities of butyrylcholinesterase assayed using alpha naphthyl acetate as substrate are 0.671± 0.122 U/ml, the RoN 85± 2.6 and the PN 74 ± 4.5. The total activities of assayed using benzoylcholine as substrate are 1.08 ± 0.25 U/ml. As many as 141 individuals (92.8%)show normal activities, whereas 7 individuals (4.6%) are below normal (< 0.690 U/ml) and 4 subjects (2.6%) with activity of more than 1.560 U/ml.The mean ± SD of dibucaine number of the population is 79 ± 3.6 and the fluoride number is 67 ± 6. From this population we identify one individual of UA phenotypes (total activity of butyrylcholinesterase; 0.310 U/ml, DN: 62 and FN: 50),The frequency of C5+variant in the population as detected by agar electrophoresis is individuals (16.45%)and by polyacylamide gel electrophoresis is 28 individuals (18.42%). The activity of butyrylcholinesterase in the C5- is slightly higher than, but not statistically significant with that in C5- variant. Polyclonal antibodies raised in rabbits against each band of the protein band of butyrylcholinesterase and the extra band C5' cross react with protein bands of butyrylcholinesterase, from the C5- and the C5' variants. Peptide mapping analysis of each protein band of the butyrylcholinesterase and the extra band C5' variant show strict similarities. This data indicate that the extra band C5' variant is phenotypically expressed from the same butyryicholinesterase gene.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>