Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Munawarah
"Depok berbatasan langsung dengan Jakarta dan menjadi daerah penyangga untuk diarahkan sebagai kota pemukiman, pendidikan, perdagangan, dan pariwisata, Bertambahnya sarana pendidikan dan sarana umum, seperti sekolah, universitas, mal, pertokoan, dan hotel, juga memberikan dampak yang signifikan dalam hubungan komunikasi antardaerah. Struktur demografi Depok yang disertai dengan semakin banyaknya alat transportasi memungkinkan tingkat interaksi yang tinggi bahkan hingga ke pelosok. Beberapa perguruan tinggi dan hotel berbintang telah menjadikan Depok sebagai tujuan urbanisasi. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana situasi kebahasaan di Depok dengan latar belakang perkembangan Kota Depok tersebut. Penelitian ini mengungkapkan distribusi dan variasi bahasa di Depok—sebagai daerah urban—yang terjadi akibat kontak bahasa antarpenutur bahasa di kota tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berancangan sosiodialektologi, yaitu ancangan penelitian yang menggabungkan sosiolinguistik dengan dialektologi. Data bahasa dijaring dengan menggunakan kuesioner yang berisi 235 daftar tanyaan, yang dikumpulkan dari 63 kelurahan di Depok sebagai titik pengamatan (TP) dengan menggunakan metode pupuan lapangan dengan teknik bersemuka dan perekaman, lalu dianalisis dengan menggunakan metode berkas isoglos penghitungan jarak kosakata dengan menggunakan metode dialektometri melalui teknik segitiga antardesa dan etima. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kajian dialektologi terdapat dua bahasa yang berbeda digunakan di Depok, yaitu bahasa Betawi dan bahasa Sunda. Selain itu, ditemukan tiga daerah pakai bahasa di Depok, yaitu bahasa Sunda, bahasa Betawi Pinggiran, dan bahasa Betawi, dengan daerah pakai terluas bahasa Betawi Pinggiran. Namun, berdasarkan penghitungan dialektometri, perbedaan bahasa hanya ditemukan pada kosakata kata ganti, sapaan, dan acuan dengan hasil penghitungan dialektometri mencapai 70%, Sementara itu, pada kosakata dasar Swadesh, kosakata sistem kekerabatan, dan kosakata secara keseluruhan hanya ditemukan perbedaan dialek. Hasil penghitungan dialektometri tertinggi pada kosakata dasar Swadesh sebesar 55%. Adapun hasil penghitungan dialektometri tertinggi pada kosakata sistem kekerabatan ditemukan sebesar 48%. Sementara itu, hasil penghitungan dialektometri keseluruhan tertinggi sebesar 53%. Dengan demikian, rumusan persentase dialektometri yang diajukan Lauder, yaitu di atas 70%, tidak semuanya tercapai, padahal mereka mengaku berbahasa yang berbeda sebagai masyarakat penutur bahasa Betawi dan penutur bahasa Sunda. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi pembuktian adanya kontak bahasa yang intens antarpenutur bahasa di Depok. Berdasarkan analisis sosiodialektologi, dapat disimpulkan bahasa Betawi Pinggiran yang secara definitif memakai kata ora sudah mulai luntur dan tidak banyak digunakan pada masyarakat Depok, namun bahasa Betawi Pinggiran yang memakai kata khas, seperti nomina umum (common noun) yang merujuk pada sebutan orang berdasarkan jenis kelamin dan usia (wadon, lanang, bocah), menempati areal pemakaian terluas di Depok. Temuan sosiodialektologi lainnya memperlihatkan adanya saling meminjam kata sapaan antara bahasa Betawi dan bahasa Sunda akibat kontak bahasa.

Depok City, bordered to the north by Jakarta, serves as its buffer and is intended to be residential, educational, commercial, and tourism areas. The increase in educational and public facilities (schools, universities, malls, shops, and hotels) in Depok also has a significant impact on its interregional communication relations. The demographic structure of Depok and the growing number of transportation modes allow high levels of interactions even to its remote areas. Also, top universities and starred hotels have made Depok an urbanization destination. This background has triggered the interest to study the linguistic situation in Depok City by considering its development. This study reveals the variations and distribution of languages in Depok emerging as the results of language contacts between speakers of the languages in this urban area. This study used the qualitative research method with a sociodialectological design, combining sociolinguistics with dialectology. Using the field survey method (with face-to-face and recording techniques), the data were collected from questionnaires containing 235 questions, distributed to 63 subdistricts as the observation points. The data were analyzed by using the isogloss bundle method to calculate the vocabulary distance by utilizing the dialectometry method, specifically the inter-village triangles and etyma technique. The findings on the dialectological study indicate that there are two languages ​​used in Depok: Betawi and Sundanese. In addition, three language-speaking areas in Depok were identified: Sundanese, Peripheral Betawi, and Betawi, in which the Peripheral Betawi language occupies the largest area of use. However, with a dialectometry calculation reaching 70%, the language differences were only found in pronouns, address terms, and references, whereas, only dialect differences were found in the Swadesh basic vocabulary, kinship system vocabulary, and overall vocabulary. The highest dialectometry calculation of the basic Swadesh vocabulary reached 55%, whereas the highest dialectometry calculation result in the kinship system vocabulary stood at 48%. Furthermore, the highest overall dialectometry calculation was 53%. Thus, the dialectometric percentage formula (>70%) proposed by Lauder (2007) is not entirely proven in Depok although the inhabitants claim to speak different languages as members of Betawi-speaking and Sundanese-speaking community. This can also prove that there have been intense language contacts between speakers of the languages in Depok. The results of the sociodialectological analyses concluded that the definitive use of the word ora by the speakers of Peripheral Betawi language has begun to fade and is not widely used in Depok; however, the Peripheral Betawi language using distinctive words, such as common nouns or address terms based on gender and age (wadon, lanang, bocah) has occupied the largest area of ​​use. Finally, another sociodialectological finding shows there is a mutual borrowing of address terms between Betawi and Sundanese due to the language contacts."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wuri Syaputri
"Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan pemertahanan bahasa Lampung pada masyarakat multilingual di wilayah perkotaan. Hal itu didapatkan melalui pilihan bahasa responden di lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah yang dikelompokkan berdasarkan tingkat usia dan pendidikan responden di wilayah perkotaan Provinsi Lampung. Wilayah penelitian ini adalah Kota Bandar Lampung dan kota Metro. Populasi penelitian ini adalah seluruh penutur bahasa Lampung yang berada di provinsi Lampung. Sampel penelitian didapatkan dengan menggunakan metode stratified pusposive sampling dengan jumlah responden 218 orang dari delapan satuan tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi di wilayah perkotaan provinsi Lampung dengan empat satuan pendidikan di masing-masing wilayah perkotaan. Dari temuan ini tergambarkan bahwa kelompok usia memengaruhi penggunaan bahasa Lampung sebagai alat komuunikasi dan tingkat persentase yang berbeda pada setiap usia membuktikan bahwa kondisi wilayah atau perkotaan juga memengaruhi keberadaan dari pemertahanaan pemakaian bahasa Lampung.

The purpose of this study explain the Lampung language maintenance in multilingual communities in urban areas. The research objective was obtained through the respondent's language choice in the family environment and school environment which was grouped based on the respondent's age and education level in urban areas of Lampung Province. The research area is Bandar Lampung City and Metro City. The population of this study were all Lampung language speakers in the province of Lampung. The research sample was obtained using the stratified pusposive sampling method with a total of 218 respondents from 8 elementary-college education levels in the urban area of ​​Lampung province with four education units in each urban area. This finding illustrates that age group affects the use of the Lampung language as a means of communication, a different percentage level at each age proves that regional or urban conditions also affect the existence of maintaining the use of the Lampung language. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puspita
"

Penelitian etimologi ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya kamus etimologi bahasa Indonesia dengan entri kosakata asal bahasa ini, yaitu bahasa Melayu Nusantara. Kamus etimologi bahasa Indonesia yang ada hingga saat ini lemanya merupakan kosakata serapan asing dan hanya berupa daftar asal usul kata. Sesungguhnya, etimologi juga berurusan dengan perubahan bentuk dan makna. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan informasi mengenai perubahan makna yang terjadi dalam kosakata Melayu ranah kekerabatan, memperkirakan waktu terjadinya perubahan makna kosakata tersebut, memberi penjelasan tentang faktor sosial, budaya, dan kognisi yang melatarbelakangi perubahan makna kosakata tersebut, dan merumuskan pola atau keteraturan dalam perubahan makna kosakata Melayu. Ranah kekerabatan dipilih karena kosakata Melayu Nusantara dalam ranah ini masih lebih banyak daripada kosakata serapan. Kosakata dari ranah ini diseleksi berdasarkan metode populasi dan sampel. Lima kosakata yang terpilih adalah bini, laki, ibu, bapak, dan nenek. Kelima kata itu dianalisis berdasarkan fungsinya sebagai nama acuan atau terms of reference dan sebagai sapaan atau terms of address. Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis. Metode pertama adalah analisis kamus untuk membandingkan makna yang tertera pada setiap kamus yang terbit mulai dari tahun 1800-an hingga tahun 2017. Metode kedua adalah analisis konkordansi dan kolokasi dari empat korpus yang disusun secara diakronis. Analisis korpus dilakukan untuk mengetahui penggunaan kata dalam konteks dan untuk melihat kapan kata itu mulai berubah. Analisis terakhir adalah analisis kognitif untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perubahan makna. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis perubahan makna yang terjadi pada kosakata Melayu Nusantara ranah kekerabatan adalah peyorasi, metafora, perluasan makna, dan penyempitan makna. Sebagian besar perubahan makna itu terjadi pada abad ke-19 dan abad ke-20, yaitu pada masa bahasa Melayu Baru. Faktor penyebab perubahan makna dari kosakata kekerabatan adalah faktor kedudukan bahasa Melayu terhadap bahasa asing, faktor sejarah, dan faktor situasional. Berdasarkan proses perubahan makna yang terjadi pada kelima sampel, diperoleh tiga pola. Pola ini berbeda dengan pola perubahan makna yang sudah ada sebelumnya. Ketiga pola itu diberi nama pola pengambilalihan asing, pola perluasan acuan dan sapaan, dan pola penjantinaan. Dalam data, pola pengambilalihan asing terjadi pada kata bini dan laki; pola perluasan acuan dan sapaan terjadi pada kata ibu, bapak, dan nenek; dan pola penjantinaan terjadi pada kata nenek.

 


This etymological research is motivated by the absence of an Indonesian etymology dictionary with entries of the native words of this language, namely Malay. The Indonesian etymology dictionary entries that exist to date are all loanwords and only in the form of a list of word origins. Etymology deals not only with the origin of words, but also with changes in form and meaning. This study aims to present information on changes in meaning that occur in Malay kinship words, to estimate the time of change in meaning, to explaine the social, cultural, and cognitive factors underlying the changing meaning of those words, and to formulate patterns or regularities in change the meaning of the Malay words. Kinship vocabulary was chosen because there are more Malay words in this domain than loan-words. Based on population and sample selection methods, five kinship vocabulary are selected. They are bini, laki, ibu, bapak, and nenek. The five words are analyzed based on their function as terms of reference and terms of address. Three analytical methods are used. The first is a dictionary analysis to compare the meanings of each dictionary published from the 1800s to 2017. The second method is the concordance and collocation analysis of four corpora arranged diachronically. A corpus analysis is carried out to determine the use of words in context and to see when they begin to change. The final analysis is cognitive analysis to find out what lies behind the change in meaning. The results of the analysis show that the types of changes in meaning that occur in the Malay vocabulary of kinship are pejoration, metaphor, expansion of meaning, and narrowing of meaning. Most of the changes in meaning occurred in the 19th and 20th centuries, namely in the era of New Malay language. Factors causing changes in the meaning are Malay language position towards foreign languages, historical factors, and situational factors. Three patterns of the meaning change process experienced by the five samples were obtained. This pattern is different from the pattern of changes in meaning that already existed. The three patterns are named foreign-takeover patterns, patterns of reference and address expansion, and patterns of genderization. In the data, foreign-takeover patterns are experienced by the words bini and laki; patterns of reference and address expansion experienced by the word ibu, bapak, and nenek; and the pattern of genderization experienced by the word nenek.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhammad Isnaeni
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan bahasa Sunda yang hidup dan berkembang di luar wilayah asalnya. Dengan menggunakan metode pupuan lapangan di 60 titik pengamatan, penelitian ini menjaring data dengan daftar tanyaan 200 kosakata dasar Swadesh, 52 medan makna bagian tubuh, 25 medan makna sistem kekerabatan, dan 98 medan makna gerak dan kata kerja. Dari perhitungan dialektometri dapat disimpulkan bahwa ada 6 bahasa yang ada di Lampung, yaitu bahasa Lampung-Komering, bahasa Jawa-Jaseng, bahasa Bugis, bahasa Bali, bahasa Semendo-Ogan-Basemah dan bahasa Sunda. Berdasarkan perhitungan dialektometri, bahasa Lampung dapat dikelompokkan ke dalam dua dialek yaitu dialek A dan dialek O. Status bahasa Komering pada penelitian ini juga menunjukkan hubungan masih dalam tataran beda dialek jika dibandingkan dengan bahasa Lampung dan termasuk ke dalam kerabat dialek A dalam bahasa Lampung. Sementara itu, bahasa Ogan, bahasa Semendo, dan bahasa Basemah menunjukkan pada status perbedaaan (sub)dialek sehingga ketiganya dikelompokkan ke dalam bahasa yang sama. Begitu juga dengan bahasa Jaseng (Jawa Serang), isolek tersebut juga masih menunjukkan bukan bahasa yang berbeda dengan bahasa Jawa.
Distribusi variasi dan status bahasa Sunda di Lampung dapat diketahui melalui berkas isoglos dan perhitungan dialektometri. Dari empat berkas isoglos yang dibuat sesuai dengan medan maknanya, keempatnya menunjukkan pola yang identik dengan penebalan berkas di daerah selatan, utara, dan barat Lampung. Sedangkan status bahasa Sunda di Lampung tidak menunjukkan perbedaan ketika dihitung dengan menggunakan dialektometri dari keseluruhan kosakata. Perbedaan mulai terlihat signifikan ketika dihitung dengan menggunakan kosakata sesuai dengan medan maknanya, bahkan ketika dihitung dengan menggunakan medan makna gerak dan kerja, perbedaan mencapai 63% yang artinya terdapat perbedaan dialek dari 2 TP yang dibandingkan.
Perkembangan bahasa Sunda di Lampung memperlihatkan adanya gejala inovasi, baik itu internal maupun eksternal, dan juga adanya kosakata relik yang sejalan dengan teori kontak bahasa dan peminjaman (lexical borrowing). Selain itu, ditemukan juga kosakata arkais yang sejalan dengan teori gelombang. Dalam hal inovasi, bahasa Sunda di Lampung mengalami inovasi internal, yaitu inovasi yang dipicu dari dalam bahasa sendiri, yang terdiri atas penghilangan suatu fonem, penambahan suatu fonem, dan penggantian suatu fonem. Selain inovasi internal, bahasa Sunda di Lampung juga menunjukkan adanya inovasi eksternal yang disebabkan adanya kontak bahasa dengan bahasa daerah di sekitarnya atau karena peminjaman dari bahasa Indonesia. Melalui proses retensi, bahasa Sunda di Lampung juga memperlihatkan unsur-unsur relik yang masih bertahan hingga saat ini, termasuk ditemukan adanya kosakata arkais yang sudah jarang dipakai di pusat penyebarannya.

This study aims to examine the development of the Sundanese language that lives and develops outside its homeland. Using the field survey method at 60 observation points, this study collected data with a question list of 200 basic Swadesh vocabulary, 52 cultural words for parts of the body, 25 kinship system, and 98 action verbs. From the dialectometric calculations, it can be concluded that there are 6 languages ​​in Lampung, namely Lampung-Komering, Javanese-Jaseng, Bugis, Balinese, Semendo-Ogan-Basemah and Sundanese. Based on dialectometric calculations, the Lampung language can be grouped into two dialects, namely dialect A and dialect O. The status of the Komering language in this study also shows that the relationship is still at a different dialect level when compared to Lampung language and is included in the relatives of dialect A in the Lampung language. Meanwhile, Ogan language, Semendo language, and Basemah language show a different status (sub)dialect so that all three are grouped into the same languages. Likewise, Javanese and Jaseng are identified as different dialects, not laguages.
The distribution of variations and status of Sundanese in Lampung can be recognized through the bundles of isoglosses and dialectometric calculations. Of the four isoglosses, all show an identical pattern to the thickening of the beam in the southern, northern, and western regions of Lampung. Meanwhile, the status of Sundanese in Lampung did not show any difference when calculated using dialectometric of the entire vocabulary. The difference starts to look significant when calculated using cultural vocabularies, the difference reaches 63% which means that there are differences in dialects of the 2 observation points being compared.
The development of the Sundanese language in Lampung shows symptoms of innovation, both internal and external, as well as the existence of a relic vocabulary that is in line with the theory of language contact and language borrowing (lexical borrowing). In addition, archaic vocabulary is also found that is in line with the wave theory. In terms of innovation, the Sundanese language in Lampung experienced internal innovation which consisted of removing a phoneme, adding a phoneme, and replacing a phoneme. In addition to internal innovations, the Sundanese language in Lampung also shows external innovations caused by language contact with the surrounding regional languages ​​or because of borrowing from Indonesian. Through the retention process, the Sundanese language in Lampung also shows some relics that still survive today.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library