Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Athaza Wanandy
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Diabetes Melitus Tipe 1 DM tipe 1 merupakan salah satu jenis diabetes yang menyerang usia anak. Diabetes tipe ini dicirikan dengan riwayat ketoasidosis diabetikum KAD dan penggunaan insulin seumur hidup. Penderita DM tipe 1 rentan terhadap komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Atherosklerosis merupakan komplikasi makrovaskular yang dapat dideteksi secara dini dengan melihat penebalan tunika intima dan media dari pembuluh darah. Sampai saat ini, belum ada data mengenai prevalensi penebalan pembuluh darah pada pasien diabetes melitus tipe 1 dan apakah penebalan tersebut berhubungan dengan riwayat kejadian KAD di Indonesia. Metode: Terdapat 30 pasien kontrol diabetes melitus tipe 1 yang mengikuti penelitian dengan desain potong lintang ini. Pemeriksaan penebalan Arteri Karotis Komunis AKK yang dilakukan menggunakan alat ultrasonografi resolusi tinggi dengan 2 operator. Dilakukan pula pemeriksaan tekanan darah dan pengukuran antropometri. Riwayat KAD, kadar HbA1c terakhir, dan durasi sakit ditentukan melalui rekam medis. Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Pearson, uji Spearman, dan Uji Chi-Square untuk mendapat nilai kemaknaan. Hasil: Prevalensi Penebalan AKK pada pasien anak dengan DM Tipe 1 sebesar 43,3 IK95 0,343-0,523. Tidak terdapat hubungan antara penebalan AKK dengan riwayat KAD p=0,64 dan frekuensi KAD p= 0,499, r=0,128. Dilakukan pengujian 4 variabel independen yakni durasi sakit p=0,249, nilai IMT p=0,944, nilai Sistolik p=0,077, dan kadar HbA1c terakhir p=0,249 dengan hasil tidak ada hubungan bermakna secara statistik. Kesimpulan: Prevalens penebalan AKK pada pasien anak dengan DM Tipe 1 sebesar 43,3. Durasi sakit,Riwayat KAD, Frekuensi KAD, kadar HbA1c terakhir, nilai sistolik, dan nilai IMT belum dapat disimpulkan karena keterbatasan sampel. K
ABSTRACT
Introduction Type 1 Diabetes Mellitus T1DM is one of the kind of diabetes whom common in childhood. The characteristics of this disease are the event of Diabetics Ketoacidosis DKA and permanently dependent on insulin therapy. There are several microvascluar and macrovascular complications associated with diabetes mellitus. Atherosclerosis is the macrovascular complications that the progression of plaque from Atherosclerosis can be detected early by knowing the thickness of intima and media layer of vascular. Until now, there is no data about the prevalence of Carotid Intima media thickness CIMT and its relationship with DKA history in Indonesia. Methods thirty consecutive patients with T1DM were registered into this cross sectional study. High resolution ultrasonography scanner performed by 2 operator was used to examine CIMT. There were examination on blood pressure and measurement on BMI. The history of DKA, the last HbA1c, and duration of DM were determined by medical record. Pearson, Spearman, and Chi Square test were used for the statistical analysis. Results the prevalence of the CIMT in patients with T1DM was 4.,3 IK95 0.343 0.523. There was no correlation between CIMT and the history of DKA p 0.64 as well as the frequency of DKA p=0.499, r 0.128. After analyzed the duration of diabetes p 0.249, BMI p 0.944, HbA1c p 0.249, Systolic value p 0.077, the results was not significantly correlated. Conclusion The Prevalence of CIMT in patients with T1DM is 43.3. The history of DKA, duration of diabetes, BMI, Systolic value, HbA1c are not yet concluded due to samples limitiation.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Wicaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia tergolong dalam negara sabuk thalassemia yang memiliki prevalensi thalassemia yang tinggi. Thalassemia β mayor dan β-HbE merupakan dua jenis thalassemia yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Studi-studi sebelumnya menemukan bahwa thalassemia menyebabkan gangguan pertumbuhan, di antaranya berupa perawakan pendek dan abnormalitas proporsi tubuh. Belum ada penelitian di Indonesia yang mencari perbedaan kejadian perawakan pendek dan proporsi tubuh antara anak thalassemia β mayor, β-HbE, dan normal usia prepubertal. Penelitian ini dilakukan dengan desain potong-lintang dengan menyertakan sampel berusia 5-12 tahun sebanyak 130 orang. Prevalensi perawakan pendek pada anak thalassemia β mayor ditemukan sebesar 34,0, pada anak thalassemia β-HbE sebesar 24,3, dan pada anak normal sebesar 9,4. Tidak terdapat perbedaan rasio segmen atas terhadap segmen bawah pada anak thalassemia β mayor, β-HbE, dan kontrol. Rerata rasio rentang lengan terhadap tinggi badan lebih pendek pada anak thalassemia β mayor dan β-HbE dibanding pada anak normal. Jenis kelasi, usia diagnosis, durasi sakit, frekuensi transfusi, rerata Hb pretransfusi dalam 6 bulan terakhir, dan rerata ferritin dalam 6 bulan terakhir tidak berbeda antara anak thalassemia yang pendek dan yang tidak pendek.
ABSTRACT
Indonesia belongs to thalassemia belt countries which has high prevalence of thalassemia. major and HbE thalassemia are the two most common types of thalassemia found in Indonesia. Previous studies have found that thalassemia causes growth disorders, including short stature and abnormalities of body proportions. There have been no studies in Indonesia that looked for differences in the incidence of short stature and body proportion between β major and β-HbE thalassemia and normal children in prepubertal age. This research was conducted as cross sectional study towards 130 children with age of 5 12. The prevalence of short stature was found to be 34.0 in major thalassemia, 24.3 in HbE thalassemia, and 9.4 in normal children. There was no difference in upper segment to lower segment ratio between major and HbE thalassemia and control. Arm range to stature ratio is shorter in β major and β-HbE thalassemia than control. Types of chelating agent, age of diagnosis, duration of sickness, frequency of transfusion, mean pretransfusion Hb in the last 6 months, and mean ferritin in the last 6 months did not differ between short and not short thalassemia children.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Iman Nilam Sari
Abstrak :
Latar belakang: Artritis idiopatik juvenil (AIJ) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan sendi kronis. Anak dengan AIJ akan mengalami hambatan pertumbuhan tulang yang disebabkan beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 40-50 % pasien AIJ memiliki densitas mineral tulang yang rendah pada tulang belakang lumbal dan panggul. Densitas mineral tulang yang rendah dipengaruhi beberapa faktor yaitu klasifikasi penyakit, lama sakit, indeks masa tubuh, status pubertas, aktivitas penyakit, aktivitas fisik, kadar 25(OH)D, dosis kumulatif kortikosteroid, dan dosis metotreksat. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas mineral tulang pada pasien AIJ dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 32 pasien AIJ. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan data registri pasien AIJ di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM dan RSAB Harapan Kita tahun 2014-2019. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) dengan melihat skor Z. Dilakukan analisis bivariat untuk mencari hubungan antara variabel terhadap densitas mineral tulang. Hasil: Densitas mineral tulang total rerata adalah 0,86 g/cm2. Sebanyak 22 subjek mempunyai densitas mineral tulang rendah (osteopenia) dengan nilai skor-Z L1-L4 ≤-2 sedangkan 10 subjek menunjukkan hasil normal. Tidak ditemukan fraktur tulang belakang pada seluruh subjek. Osteopenia banyak ditemukan pada anak dengan dosis kumulatif metotreksat yang lebih banyak (p=0,016). Faktor-faktor lainnya tidak terbukti berhubungan dengan densitas mineral tulang yang rendah. Simpulan: Sebagian besar pasien AIJ mengalami gangguan densitas mineral tulang. Dosis metotreksat yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya osteopenia. ......Background: Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) is an autoimmune disease characterized by chronic inflammatory arthritis. The disease will affect bone development in children with JIA through direct and indirect mechanisms. About 40-50 % patient with JIA have low bone mineral density in the spine. The low bone mineral density is associated with disease classification, disease duration, body mass index, puberty status, disease activity, physical activity, 25(OH)D level, cumulative doses of corticosteroid and methotrexate. Objective: This study aimed to investigate bone mineral density in children with JIA and its associated factors. Method: A cross-sectional study involving 32 children with JIA. Patients were selected based on registry data in the outpatient clinic, subdivision of Allergy and Immunology, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Harapan Kita Women and Children Hospital between 2014-2019. Bone mineral density was measured using Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) and reported using Z score. Bivariate analysis was used to identify factors associated with bone mineral density. Result: The mean bone mineral density was 0,86 g/cm2. Low bone mineral density (osteopenia) occurred among 22 patients (Z score ≤-2 at L1-L4). 10 patients have normal bone mineral density. No vertebral fracture was seen on x-ray. Osteopenia was mainly found in patients with higher cumulative doses of methotrexate (p=0,016). The other factors were not associated with low bone mineral density. Conclusion: Most patients with JIA have low bone mineral density. Low bone mineral density tends to occur among patients with higher cumulative doses of methotrexate treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Amanda Hatibie
Abstrak :
Deteksi dini keterlambatan perkembangan merupakan hal yang penting, agar anak tidak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan intervensi dini. Sayangnya, hanya 23% dokter anak yang konsisten menggunakan instrumen penapisan terstandar. Faktor penghambat yaitu keterbatasan sumber daya, kurangnya konsensus mengenai instrumen yang paling cocok digunakan, serta kurangnya kepercayaan diri seorang dokter karena pelatihan yang kurang memadai. WHO merekomendasikan kriteria uji penapisan berbasis keluarga, memiliki kesahihan dan keandalan, dapat digunakan oleh beragam kultur, ringkas, serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Penelitian ini bertujuan menciptakan instrumen penapisan perkembangan anak khususnya usia 12 bulan yang tervalidasi, berupa kuesioner orangtua, daring, berbahasa Indonesia. Proses penelitian terbagi menjadi dua, yaitu tahap penyusunan kuesioner (perumusan pertanyaan, diskusi panel ahli, putaran Delphi, wawancara kognitif) dan tahap validasi. Metode Delphi dua putaran melibatkan ahli di bidang tumbuh kembang anak. Kuesioner awal berjumlah 100 pertanyaan tereduksi menjadi total 35 pertanyaan dari 5 ranah perkembangan; diujikan kepada 110 subjek orangtua yang memiliki anak usia 9-15 bulan. Kesahihan kuesioner tiap ranah berada dalam rentang kuat dan sangat kuat (r= 0,663-0,860). Nilai alfa Cronbach untuk tiap ranah perkembangan berkisar 0,479- 0,838; sedangkan untuk seluruh ranah yaitu 0,827. Studi ini menunjukan bahwa kuesioner terbukti sahih dan andal sebagai alat penapisan perkembangan anak usia 12 bulan. ......Early detection of developmental delays is crucial for a child, so as not to lose the opportunity to get early intervention. Unfortunately, only 23% of pediatricians consistently use standardized screening instruments. The obstacles are limited resources, lack of consensus on the most suitable instrument to use, and lack of confidence in a doctor due to inadequate training. WHO recommends criteria for screening tests that are family based, have validity and reliability, can be used by various cultures, are concise, and use perceptible language. This study aims to develop a validated screening tool for child development, especially 12 months of age, in the form of an online parent-based questionnaire, written in Bahasa. There are two stages; generating item questionnaire (question formulation, expert panel discussion, Delphi rounds, cognitive interviews) and tool validation. Two rounds Delphi involves experts in child development. The initial questionnaire consists of 100 questions which reduced to a total of 35 questions from 5 development domains; tested on 110 subjects who have children aged 9-15 months. The validity for each domain ranged strong and very strong (r = 0.663-0.860). Cronbach's alpha values for each domain ranged from 0.479 to 0.838; while for the entire domain, it is 0.827. This study shows that the questionnaire is valid and reliable as a screening tool for the development of children aged 12 months.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulki Angela
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit Kawasaki adalah penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak, yang merupakan suatu vaskulitis sistemik akut. Penyakit ini berhubungan dengan luaran aneurisme arteri koroner, yang dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin intravena (IGIV). Terapi baku emas pada penyakit Kawasaki adalah IGIV dosis tinggi (2 g/kgBB). Namun, IGIV dosis medium (1 g/kgBB) merupakan terapi berbiaya lebih rendah dan mungkin memiliki efikasi yang sama. Melalui penelitian ini, kami mengevaluasi keberhasilan terapi IGIV dosis 1 g/kgBB. Metode: Studi kohort retrospektif multisenter dari data rekam medis dengan total 507 pasien dengan penyakit Kawasaki komplit. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Kawasaki Center, Indonesia dari Januari 2012 hingga Januari 2022. Pasien yang mendapatkan terapi IGIV dengan dosis 1 g/kgBB didefinisikan sebagai grup A, dan pasien yang mendapatkan terapi IGIV dengan dosis 2 g/kgBB didefinisikan sebagai grup B. Karakteristik dasar subjek dibandingkan antar-kelompok tersebut; demografi, hasil laboratorium, keterlibatan mukokutan, hari demam saat diberikan IGIV, durasi demam pasca-IGIV, lama rawat, dan temuan aneurisme arteri koroner dari ekokardiografi pada periode follow-up. Hasil: Sebanyak 24 pasien (grup A), mendapatkan IGIV dosis medium (1 g/kgBB). Sementara itu, sebanyak 483 pasien (grup B) mendapatkan IGIV dosis tinggi (2 g/kgBB). Distribusi usia dan jenis kelamin, nilai leukosit dan trombosit, hari demam saat diberikan IGIV, durasi demam pasca-IGIV, dan lama rawat tidak berbeda bermakna antar-kelompok (p >0,05). Semua pasien mengalami keterlibatan mukokutan. Berat badan menurut umur (WAZ) dan nilai CRP antar-kelompok bermakna secara statistik (p <0,05). Aneurisme arteri koroner tidak ditemukan pada pasien di grup A dan pada 9 pasien (1,9%) di grup B pada periode follow-up (p >0,05). Simpulan: Terapi dengan dosis inisial IGIV 1 g/kgBB untuk pasien dengan penyakit Kawasaki menunjukkan keberhasilan yang sama dengan IGIV dosis tinggi (2 g/kgBB). Hal ini dapat menjadi opsi terapi bagi negara berkembang. ......Background: Kawasaki disease (KD), the leading cause of acquired heart disease in children, is an acute childhood systemic vasculitis. It is associated with coronary artery aneurysms (CAA), that could be prevented by intravenous immunoglobulin (IVIG) administration. High-dose IVIG (2 g/kg) is usually given in the treatment of Kawasaki disease (KD). However, medium-dose IVIG (1 g/kg) is a low-cost treatment and may have the same efficacy. We aim to determine whether the treatment with IVIG at an initial dose of 1 g/kg is effective for preventing CAA. Methods: A multicenter retrospective cohort study was conducted. A total of 507 patients with complete KD who were treated with high-dose and medium-dose immunoglobulin at Cipto Mangunkusumo Hospital and Kawasaki Center, Indonesia from January 2012 to January 2022 were enrolled. Patients treated with a single infusion of medium-dose IVIG (1 g/kg) were defined as group A, and patients treated with high-dose IVIG (2 g/kg) were defined as group B. Patient characteristics were compared between the two groups; demographic features, laboratory findings, mucocutaneous involvement, day of fever, duration of fever after treatment, length of stay, and rates of CAA from echocardiography during the follow-up period. Results: Medium-dose IVIG was given in 24 patients (group A). High-dose IVIG was given in 483 patients (group B). Age and gender distributions, white blood cell and platelet counts, day of fever when IVIG was administered, duration of fever after IVIG treatment, and length of stay did not differ significantly between the two groups (p >0.05). All patients had mucocutaneous involvement. Median of WAZ was higher in group A (+0,35 vs -0,26; p <0.05). Median of concentrations of C-reactive protein was higher in group B (59,5 mg/L vs 81 mg/L; p <0.05). Coronary artery aneurysms were not found in group A and in 9 patients (1.9%) in group B during the follow-up period (p >0.05). Conclusion: Treatment of KD with IVIG at an initial dose of 1 g/kg could show the same effectiveness as the high-dose IVIG (2 g/kg) and might be an option for low- and middle-income country.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diadra Annisa Setio Utami
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan salah satu penyebab kematian kardiovaskular pada anak yang dapat dicegah. Indonesia merupakan salah satu negara endemis PJR. Data mengenai kesintasan, perbaikan katup, dan faktor-faktor yang memengaruhi pada populasi anak masih terbatas. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesintasan dan perbaikan katup lima tahun setelah terdiagnosis pada anak dengan PJR serta faktor-faktor yang memengaruhi. Metode: Penelitian ini merupakan studi prognostik dengan rancangan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis pasien yang terdiagnosis dengan PJR sebelum Desember 2018 dan diikuti selama lima tahun, paling akhir Desember 2023. Subjek yang diteliti adalah anak berusia kurang dari 18 tahun saat terdiagnosis dengan PJR. Faktor yang diteliti untuk kesintasan dan perbaikan katup adalah status gizi, kepatuhan profilaksis penisilin, kelas gagal jantung New York Heart Association (NYHA), fraksi ejeksi, derajat katup, jumlah katup, dan operasi katup. Hasil: Sebanyak 100 anak yang terdiagnosis PJR dengan rerata usia 11,29 (8,42-14,16) tahun dan proporsi jenis kelamin 1:1 dimasukkan dalam analisis. Rerata pengamatan adalah 47,96 bulan (simpang baku 20 bulan). Keterlibatan katup terbanyak adalah regurgitasi mitral (32%). Sebagian besar pasien terdiagnosis dengan derajat katup berat (58%). Kesintasan 5 tahun didapatkan 90% dengan prediktor independen kematian yaitu fraksi ejeksi <55% saat terdiagnosis dengan HR 6,34 (IK95% 1,72-23,46; p = 0,006) dan kelas NYHA III-IV saat terdiagnosis dengan HR 5,33 (IK95% 1,05-27,11; p = 0,04). Proporsi anak dengan PJR yang mengalami perbaikan katup 5 tahun setelah terdiagnosis adalah 60% dengan faktor yang memengaruhi yaitu operasi katup dengan RR 1,40 (IK95% 1,05-1,88; p=0,02). Analisis subgrup pada subjek yang tidak operasi mendapatkan bahwa kelas NYHA I-II dan fraksi ejeksi >55% saat tediagnosis secara signifikan berpengaruh terhadap perbaikan katup dengan RR 3,05 (IK95% 1,33-7,03; p = 0,01) dan RR 1,62 (IK95% 1,28-2,04; p<0,01) secara berturut-turut. Kesimpulan: Kesintasan lima tahun anak dengan PJR adalah 90% dengan faktor yang memengaruhi yaitu fraksi ejeksi <55% dan kelas gagal jantung NYHA III-IV saat terdiagnosis. Sebanyak 60% subjek mengalami perbaikan katup dengan faktor yang memengaruhi adalah operasi katup. ......Background: Rheumatic heart disease (RHD) is a major contributor of preventable cardiovascular disease in children. Indonesia is one of the most endemic countries with RHD. However, data on clinical outcomes and prognostic factors are still lacking. Objective: This study aimed to evaluate the five year survival rate, proportion of valve improvement, and prognostic factors of both outcomes. Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital which included patients aged below 18 years at diagnosis before December 2018. Subjects were followed for 5 years up to December 2023. Factors analyzed for both mortality and valve improvement were nutrition status, adherence to penicillin prophylaxis, New York Heart Association (NYHA) class, ejection fraction, valve severity, number of valve involved, and valve surgery. Results: One hundred patients with RHD were included with mean age of 11.29 (8.42-14.16) years. The proportion of female : male was 1:1. Mean duration of follow up was 47.96 (SD 20) months). The majority of valve abnormality was mitral regurgitation (32%). As many as 58% were diagnosed with severe valve disease. Five year survival rate was 90%. Significant prognostic factors for mortality were ejection fraction <55% at diagnosis with HR 6.34 (95%CI 1.72-23.46; p=0.006) and NYHA class III-IV at diagnosis with HR 5.33 (95%CI 1,05-27.11; p=0.04. The proportion of subjects with valve improvement after 5 years was 60%. Multivariate analysis revealed that valve surgery was the only significant factor for valve improvement with RR 1.40 (95%CI 1.05-1.88; p=0.02). Subgroup analysis in subjects who did not undergo surgery showed that NYHA class I-II and ejection fraction >55% at diagnosis significantly affected valve improvement with RR 3,05 (95% CI 1,33-7,03; p = 0,01) dan RR 1,62 (95% CI 1,28-2,04; p<0,01) Conclusion: The five year survival rate of children with RHD was 90%. Mortality predictors were ejection fraction <55% and NYHA class III-IV at diagnosis. Sixty percent of patients had valve improvement with valve surgery as a predictor.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Siska Mayasari
Abstrak :
Latar belakang: Hipertensi bukan merupakan manifestasi klinis pasien hiperplasia adrenal kongenital defisiensi enzim 21-hidroksilase (HAK 21-OHD), oleh karena itu perlu diketahui angka kejadian hipertensi pada pasien HAK 21-OHD serta kemungkinan penyebabnya. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar aktivitas renin plasma (PRA) dengan hipertensi pada anak HAK 21-OHD. Metode: Suatu studi analitik observasional dengan rancangan penelitian potong lintang. Sampel penelitian adalah anak HAK 21-OHD yang berusia >6 bulan-18 tahun, dipilih secara consecutive sampling, kemudian dibandingkan antara 2 kelompok, hipertensi dan tidak hipertensi. Hasil: Sebanyak 40 anak dianalisis, 20 subjek di kelompok hipertensi dan 20 subjek tidak hipertensi. Hipertensi ditemukan pada 16 dari 27 subjek (59,3%) HAK tipe salt wasting dan 4 dari 13 subjek (30,8%) HAK tipe simple virilizing. Diperoleh perbedaan rerata yang bermakna kadar PRA antara kelompok hipertensi dengan tidak hipertensi pada tipe salt wasting p=0,016). Risiko mengalami hipertensi pada pasien HAK tipe salt wasting dengan kadar PRA rendah adalah 1,09 kali setelah dikontrol variabel jenis kelamin, kadar 17-OHP, dan dosis terakhir fludrokortison. Dosis terakhir hidrokortison memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian hipertensi pada pasien HAK tipe salt wasting. Kesimpulan: Kejadian hipertensi pada pasien HAK 21-OHD saat penelitian berlangsung adalah 32%. Risiko hipertensi pada pasien HAK tipe salt wasting dengan kadar PRA rendah adalah 1,09 kali setelah dikontrol variabel jenis kelamin, kadar 17-OHP awal, dan dosis terakhir fludrokortison. ......Background: Hypertension is an uncommon manifestation of congenital adrenal hyperplasia due to 21-hydroxylase enzyme deficiency (21-OHD CAH), therefore it is necessary to estimate the incidence of hypertension in 21-OHD CAH patients and the possible causes. Objective: To evaluate the association between plasma renin activity levels (PRA) with hypertension in children with 21-OHD CAH. Methods: An observational analytic study with a cross sectional study design. The subjects were 21-OHD CAH children, aged >6 months to 18 years, selected by consecutive sampling and then compared between 21-OHD CAH with hypertension and non hypertension groups. Results: A total of 40 subjects were analyzed, 20 subjects in the hypertension and 20 subjects in non hypertension groups. There were 16 from 27 (59.3%) and 4 from 13 subjects (30.8%) with hypertension in CAH salt wasting and simple virilizing types, respectively. There was significant mean difference in PRA levels between hypertension and non hypertension groups in CAH salt wasting patients (p=0,016). The risk of hypertension in CAH salt wasting patients with low PRA levels was 1,09 times after controlling for sex variables, 17-OHP levels, and the last dose of fludrocortisone. The last dose of hydrocortisone had a significant relationship with the incidence of hypertension in CAH salt wasting type patients. Conclusion: The incidence of hypertension in 21-OHD CAH patients during the study period was 32%. The risk of hypertension in CAH salt wasting patients with low PRA levels was 1.09 times after being controlled by sex, 17 OHP level, and the last dose of fludrocortisone.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kwari Januar
Abstrak :
Pendahuluan: Osteogenesis imperfecta(OI) merupakan penyakit langka dengan dampak yang luas. Anak dengan OI mengalami gangguan mobilitas dan deformitas karena fraktur multipel dan berulang, memiliki masalah psikososial, masalah mental emosional juga masalah ekonomi (finansial) sebagai dampak tidak langsung, hingga akhirnya berpengaruh terhadap kualitas hidup. Klasifikasi OI berdasarkan keparahan klinis yakni ringan-sedang dan berat. Keparahan klinis OI berkorelasi dengan beratnya penyakit. Sejauh ini belum ada penelitian yang fokus terhadap aspek holistik dan korelasinya dengan QoL OI. Metode: Penelitian potong lintang secara daring dilaksanakan dari Agustus 2020 hingga Desember 2020 menggunakan berbagai kuesioner (PEDS QL 4.0 untuk QoL, SDQ untuk masalah mental emosional, PSC untuk masalah psikososial dan World Bank untuk evaluasi masalah finansial) pasien OI umur 4-18 tahun. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui faktor mana yang lebih berpengaruh. Hasil: Lima puluh subjek ikut serta dalam penelitian ini. Kualitas hidup berhubungan dengan keparahan penyakit berdasarkan laporan orangtua p=0.029 PR=5.474, kepatuhan terapi bisfosfonat memengaruhi QoL berdasarkan laporan anak p=0.043 PR=3.167 sementara keparahan OI tidak memengaruhi masalah mental emosional, psikososial dan ekonomi. Penurunan QoL berhubungan dengan masalah fisik dan psikososial menurut laporan anak dan laporan orangtua. Kesimpulan: Keparahan klinis OI berhubungan dengan QoL yang rendah, tidak ditemukan masalah psikososial, mental emosional dan ekonomi. ......Introduction: Osteogenesis Imperfecta (OI) is a rare disease with multiple impact. Children with OI have mobility disorder and deformity due to multiple and recurrent fractures, psychosocial problems, mental emotional problems and also socioeconomic problem (financial) as indirect results, which could affect Quality of Life (QoL). OI classification according to clinical severity level mild-moderate and severe. Clinical severity of OI correlate with disease burden. No research focus on holistic aspect and it correlation with OI QoL. Methods: We conducted a cross sectional research via daring from August 2020 to December 2020 using multiple questionnaires (PEDS QL 4.0 for QoL, SDQ for mental emotional problems, PSC for psychosocial problems and World Bank for assessing financial problems) to OI patients age 4-18 years. After obtain the QoL value, we conducted analysis to reveal most influencing factors. Results: Fifty subjects participated in this research. QoL have association with severity of disease according to parent report p=0.029 PR=5.474, bisphosphonate compliance according to children report p=0.043 PR=3.167), OI severity has no association with mental emotional, psychosocial and economic. QoL decrease associated with physical and psychosocial problems. Conclusion: Osteogenesis imperfecta severity associate with low QoL, without affect mental emotional, psychosocial and economic.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Rinitis alergi RA merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi tinggi pada anak. Akhir-akhir ini, kekurangan vitamin D pada anak dipercaya berhubungan dengan disregulasi sistem imun, yang berujung pada makin beratnya RA. Analisis hubungan antara kadar vitamin D dan keparahan RA diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Tujuan: 1 Mengetahui rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi; 2 Membandingkan rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi dan anak pada populasi normal; 3 Mengetahui rerata kadar 25 OH D serum sesuai dengan tingkat keparahan rinitis alergiMetode: Penelitian potong lintang pada 60 anak usia 6-18 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan berkunjung ke RSCM dan RSI Pondok Kopi. Seluruh subyek dibagi menjadi kelompok rinitis alergi n=30 dan kontrol n=30 . Kemudian, dilakukan pemeriksaan kadar 25 OH D serum dengan cara CLIA chemiluminescence immunoassay . Kadar 25 OH D serum normal, insufisiensi, dan defisiensi lalu dihubungkan dengan RA berdasarkan lama gejala yaitu intermiten dan persisten. Hasil: Rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi didapatkan 17,75 SB 5,60 ng/mL. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar vitamin D di kelompok RA 17,75 5,60 ng/mL dengan kelompok kontrol 19,22 6,11 ng/mL , p=0,336. Didapatkan hubungan bermakna antara rerata kadar vitamin D pada rinitis intermiten 22,82 4,59 ng/mL dengan rinitis persisten 15,22 4,19 ng/mL , p
ABSTRACT Background. Allergic rhinitis AR was a global health problem with high prevalence in children. Recently, vitamin D deficiency in children was found to have a correlation with immune system dysregulation, which leads to more severe symptoms of AR. Association between vitamin D serum level and AR incidence is needed to prevent further complications.Aim. 1 to recognize mean vitamin D serum level in children with AR 2 to compare mean vitamin D serum level in children with AR and normal children population 3 to find out mean vitamin D serum level according to severity level of AR.Methods. A cross sectional study was performed in 60 children aged 6 18 years old, who meet the inclusion criteria and visit CM hospital and Islamic Pondok Kopi hospital. All subjects were divided into 2 groups AR group n 30 and control group n 30 . Blood were taken for 25 OH D serum level examination with CLIA method. Association between 25 OH D serum level normal, insufficiency, deficiency and severity level of AR intermittent and persistent was then being analyzed.Results. Mean vitamin D serum level in children with AR was 17,75 SD 5,60 ng mL. There was no significant difference between mean vitamin D serum level in AR group 17,75 5,60 ng mL and control group 19,22 6,11 ng mL , p 0,336. Association was found between mean vitamin D serum level in intermittent rhinitis 22,82 4,59 ng mL and persistent rhinitis 15,22 4,19 ng mL , p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam
Abstrak :
Latar belakang: Artritis idiopatik juvenil (AIJ) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan sendi kronis. Anak dengan AIJ akan mengalami hambatan pertumbuhan tulang yang disebabkan beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 40-50 % pasien AIJ memiliki densitas mineral tulang yang rendah pada tulang belakang lumbal dan panggul. Densitas mineral tulang yang rendah dipengaruhi beberapa faktor yaitu klasifikasi penyakit, lama sakit, indeks masa tubuh, status pubertas, aktivitas penyakit, aktivitas fisik, kadar 25(OH)D, dosis kumulatif kortikosteroid, dan dosis metotreksat. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas mineral tulang pada pasien AIJ dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 32 pasien AIJ. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan data registri pasien AIJ di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM dan RSAB Harapan Kita tahun 2014-2019. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) dengan melihat skor Z. Dilakukan analisis bivariat untuk mencari hubungan antara variabel terhadap densitas mineral tulang. Hasil: Densitas mineral tulang total rerata adalah 0,86 g/cm2. Sebanyak 22 subjek mempunyai densitas mineral tulang rendah (osteopenia) dengan nilai skor-Z L1-L4 ≤-2 sedangkan 10 subjek menunjukkan hasil normal. Tidak ditemukan fraktur tulang belakang pada seluruh subjek. Osteopenia banyak ditemukan pada anak dengan dosis kumulatif metotreksat yang lebih banyak (p=0,016). Faktor-faktor lainnya tidak terbukti berhubungan dengan densitas mineral tulang yang rendah. Simpulan: Sebagian besar pasien AIJ mengalami gangguan densitas mineral tulang. Dosis metotreksat yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya osteopenia. ......Background: Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) is an autoimmune disease characterized by chronic inflammatory arthritis. The disease will affect bone development in children with JIA through direct and indirect mechanisms. About 40-50 % patient with JIA have low bone mineral density in the spine. The low bone mineral density is associated with disease classification, disease duration, body mass index, puberty status, disease activity, physical activity, 25(OH)D level, cumulative doses of corticosteroid and methotrexate. Objective: This study aimed to investigate bone mineral density in children with JIA and its associated factors. Method: A cross-sectional study involving 32 children with JIA. Patients were selected based on registry data in the outpatient clinic, subdivision of Allergy and Immunology, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Harapan Kita Women and Children Hospital between 2014-2019. Bone mineral density was measured using Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) and reported using Z score. Bivariate analysis was used to identify factors associated with bone mineral density. Result: The mean bone mineral density was 0,86 g/cm2. Low bone mineral density (osteopenia) occurred among 22 patients (Z score ≤-2 at L1-L4). 10 patients have normal bone mineral density. No vertebral fracture was seen on x-ray. Osteopenia was mainly found in patients with higher cumulative doses of methotrexate (p=0,016). The other factors were not associated with low bone mineral density. Conclusion: Most patients with JIA have low bone mineral density. Low bone mineral density tends to occur among patients with higher cumulative doses of methotrexate treatment.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>