Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susanaria Alkai
"Perjalanan penyakit Neoplasma Ovarium Kistik (NOK) disebut sillent killer karena seringkali terdeteksi saat sudah membesar. Kista ovarium seringkali muncul sepanjang
siklus hidup perempuan. Kelainan ginekologis dianggap sebagai kondisi yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan sehari-hari perempuan, hubungan sosial, seksualitas dan kesehatan psikologis. Penatalaksaan NOK meliputi tindakan konservatif dan suportif dengan pemberian asuhan keperawatan yang komprehesif. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan fokus penerapan teori adaptasi Roy dan teori ketidakpastian Mishel. Aplikasi teori adaptasi Roy dan teori ketidakpastian Mishel efektif diterapkan pada kelima kasus yang berfokus pada kemampuan klien untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan fisik maupun psikologis, serta melihat penilaian yang muncul dari kondisi penyakit dan tindakan yang dilakukan serta mampu mengeksplorasi bagaimana mekanisme koping yang digunakan serta respon adaptif yang digunakan oleh klien dengan menggunakan intervensi keperawatan yang sesuai.

Cystic Ovary Neoplasm (NOK) disease is called the sillent killer because it is detected when it is enlarged. Ovarian cysts appeaed throughout the life cycle of women. Gynecological abnormalities are considered a condition that significantly affects women's daily lives, social relations, sexuality and psychological health. NOK's
management includes conservative and supportive interventions by providing comprehensive nursing care. The method used is a case study with a focus on applying Roy's adaptation theory and Mishel's uncertainty theory. The application of Roy's adaptation theory and Mishel's uncertainty theory is effectively applied to the five cases that focus on the client's ability to adapt to various physical and psychological changes, as well as see the evaluations that arise from disease conditions and actions and are able to explore how coping mechanisms are used and adaptive responses used by clients by using appropriate nursing interventions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Kelvin Ruslim
"ABSTRAK
Tujuan : Untuk melihat karakteristik dan kesintasan pasien kanker serviks
stadium IB-IIA yang mendapat terapi radiasi definitif dan terapi operasi radikal
diikuti radiasi adjuvan serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan
Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien kanker serviks IBIIA,
yang mendapat terapi radiasi definitif dan radiasi adjuvan pasca histerektomi
radikal, yang memenuhi kriteria inklusi, dan berobat di Departemen Radioterapi
RSCM periode Januari 2007-Desember 2009, dilihat karakteristik pasien dan
kesintasan 3 tahun pasca terapi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan
dari masing-masing terapi.
Hasil : Didapatkan 25 pasien yang menjalani radiasi definitif dan 60 pasien yang
mendapat radiasi adjuvan pasca operasi. kesintasan pasien yang mendapat terapi
radiasi adjuvan pada 1, 2 dan 3 tahun sebesar 96,7%, 95% dan 93,3%. Faktor
metastasis KGB negatif memiliki asosiasi sedang dengan kesintasan (p<0.2).
kesintasan pasien yang mendapat terapi radiasi definitif 1, 2 dan 3 tahun sebesar
96%, 92% dan 92%. Faktor kadar Hb pre radiasi >12 g/dl memiliki asosiasi
sedang dengan kesintasan (p<0.2). Kesintasan pasien pada kedua kelompok terapi
tidak berbeda secara signifikan dalam tiga tahun masa pengamatan (p=0,138)
Kesimpulan : Penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
kesintasan kelompok terapi radiasi definitif dan radiasi adjuvan pasca operasi.
Faktor metastasis KGB negatif memiliki kecenderungan mempengaruhi
kesintasan pada pasien yang mendapat terapi radiasi adjuvan pasca operasi dan
Faktor kadar Hb pre radiasi >12 g/dl memiliki kecenderungan kesintasan pasien
yang mendapat terapi radiasi definitif.

ABSTRACT
Aim : To evaluate characteristic and overall survival in early stage cervical
cancer (FIGO IB-IIA) who receive therapy between definitive radiation and
adjuvan radiation postoperative, and factors analysis that affecting overall survival
in both group of therapy
Methods : The medical records of 85 patients with cervical cancer FIGO IB-IIA
who were treated in Department Radiotherapy RSCM between January 2007-
December 2009 were reviewed and analyzed by their overall survival and factors
affecting it between two groups of therapy, definitive radiation group and
adjuvant radiation postoperative groups.
Results : There were 25 patients in definitive radiation and 60 patients in adjuvant
radiation group. Overall survival in adjuvant radiation group in year 1, 2 and 3 are
96,7%, 95% dan 93,3%. Negative node metastasis is the factor with average
association with overall survival (p<0.2). Overall survival in definitive radiation
group in year 1, 2 and 3 are 96%, 92% dan 92%. Hb level >12 G/dl is the factor
with average association with overall survival (p<0.2) overall survival of these
both group of therapy is not statistically significant (92% vs 93.3%; p=0,138).
Conclusion: This study did not show any statistically significant overall survival
in cervical cancer FIGO stage IB-IIA who receive definitive radiation and
adjuvant radiation postoperative. Negative node metastasis is a factor that have
tendency to affect overall survival in adjuvant radiation postoperative group,
while pre-radiation Hb level >12 g/dl is a factor that have tendency to affect
overall survival in definitive radiation group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Amelia
"Latar Belakang: Persalinan preterm adalah penyebab kematian perinatal terbesar di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Persalinan preterm adalah penyebab utama sepsis neonatus awitan dini dan juga morbiditas jangka pendek dan jangka panjang lainnya. Sayangnya, tidak ada kepustakaan yang mendukung salah satu manajemen lebih unggul daripada lainnya dalam menurunkan kematian perinatal sekaligus morbiditas lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mencari manajemen persalinan preterm yang dapat memberikan luaran maternal dan neonatal terbaik, terutama di RSCM.
Methode: Dari kohort total sampling menggunakan data rekam medik pasien persalinan preterm yang masuk RSCM antara tanggal 1 januari hingga 31 Desember 2014, didapatkan 300 subjek yang terdiri dari 132 subjek persalinan preterm dengan ketuban intak dan 168 subjek ketuban pecah dini preterm. Masing-masing kategori lalu dibagi lagi berdasarkan perlakuan yang diberikan, yakni tanpa manajemen, manajemen konservatif, dan manajemen aktif. Luaran utama yang diteliti adalah kejadian sepsis neonatus.
Hasil: Prevalensi persalinan preterm di RSCM antara 1 Januari hingga 31 Desember 2014 adalah 32,9 . Pada subjek persalinan preterm tanpa ketuban pecah di usia kehamilan preterm dini, manajemen konservatif menunjukkan penurunan bermakna kejadian sepsis neonatus dibandingkan tanpa manajemen [14 vs 43 , p=0,004, RR 0,65 IK 95 0,48-0,88 ]. Tidak ada perbedaan kejadian sepsis neonatus yang bermakna pada kelompok lainnya. Namun, manajemen aktif pada kelompok ketuban pecah dini preterm tampak menurunkan kematian perinatal secara bermakna dibandingkan tanpa manajemen [0 vs 23 , p=0,038, RR 0,77 IK 95 0,67-0,88 ].
Diskusi: Pada pasien persalinan preterm dengan ketuban intak, manajemen konservatif disepakati merupakan tatalaksana terpilih. Sementara, tatalaksana bagi pasien ketuban pecah dini preterm masih diperdebatkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen aktif dapat menurunkan kematian perinatal dan dapat dijadikan tatalaksana terpilih.

Background Preterm labor is the largest direct or indirect cause of perinatal death in Indonesia and in the world. Preterm labor is the main cause of early onset neonatal sepsis and also other short term and long term morbidities. Unfortunately, there are no evidence that support single management to be superior than others in reducing perinatal death and preventing short term and long term morbidities altogether. This study was aimed to find which preterm labor management that give the best maternal and neonatal outcome, especially in RSCM.
Methods A total sampling historical cohort was conducted using medical record of preterm labor patient admitted in RSCM from Januari 1st until December 31st, 2014. From 300 subjects included, 132 of it was preterm labor with intact membrane, and 168 was preterm premature rupture of membrane. From each arm we categorize further based on one of three management given no management, conservative management, or active management. The primary outcome studied is neonatal sepsis.
Results The preterm labor rate from any cause in RSCM from January 1st until December 31st 2014 was 32,9 . On subjects with preterm labor with intact membrane in early preterm gestational age, conservative management showed significant reduction of neonatal sepsis compared to no management. 14 vs 43 , p 0,004, RR 0,65 CI 95 0,48 0,88 . No significant reduction was observed among other managements, gestational age category, or amniotic membrane status. However, active management showed mildly significant reduction of perinatal death compared to no management 0 vs 23 , p 0,038, RR 0,77 CI 95 0,67 0,88.
Discussion In preterm labor patients with intact membrane, conservative management was unquestionably the treatment of choice. In the other hand, management for patients with preterm premature rupture of membrane is still largely debatable. This study showed that active management seems to be beneficial in reducing perinatal mortality, thus can be the treatment of choice in preterm premature rupture of membrane patients."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Pangestu
"Di Indonesia,kanker serviks merupakan keganasan ginekologi terbanyak yang terjadi pada wanita.Hal ini disebabkan kurangnya program skrining.Di Indonesia program deteksi dini dengan inspeksi visual asam asetat (IVA) telah dimulai,Kementerian Kesehatan memiliki program VIA untuk deteksi dini, dengan target 50% perempuan usia 30-50 tahun pada tahun 2019.Untuk mencapai target tersebut,Kementerian Kesehatan Indonesia telah melakukan pelatihan IVA untuk dokter dan bidan.Penelitian ini akan mengkaji evaluasi pelatihan IVA yang telah dilaksanakan pada bidan dan membandingkan antara bidan di Jakarta Pusat dan bidan di Tangerang Selatan.Dari 39 bidan di Jakarta Pusat dan 24 di Tangerang Selatan yang sudah dilatih IVA hingga tahun 2019,kami mengambil data jumlah pemeriksaan IVA,jumlah kasus positif dan jumlah kasus yang dirujuk bidan selama tahun 2017-2019.Dari penelitian ini didapatkan,bidan di Jakarta Pusat pada tahun 2019 melakukan pemeriksaan IVA 6.622 dari target 83.500 (7,9%) dan ditemukan 105 kasus positif dan seluruh kasus dirujuk untuk dilakukan krioterapi, sedangkan bidan di Tangerang Selatan melakukan 1805 pemeriksaan IVA dari target 113415 (1,59%) dan ditemukan 12 kasus positif dengan 4 kasus dilakukan krioterapi dan 8 kasus dirujuk ke RS.Dari keduanya ditemukan peningkatan kinerja pemeriksaan IVA dari tahun 2017 hingga 2019.Pelaksanaan IVA oleh bidan di Jakarta Pusat dan Tangerang Selatan masih rendah,meskipun meningkat dari tahun 2017 hingga 2019.

In Indonesia,cervical cancer is the most gynecology malignancy that occurs in women.This is due to lack of a screening program.In Indonesia,an early detection program with visual inspection of acetic acid (VIA) has begun.The Ministry of Health has VIA for early detection program with target 50% women aged 30-50 years on 2019.To achieve this,The ministry of Health Indonesia has conducted VIA training for doctors and midwives.This study would examine the evaluation of the VIA training that has been conducted for midwives.This evaluation would also assess and compare the VIA training evaluation on midwives in Central Jakarta and midwives in South Tangerang.39 midwives in Central Jakarta and 24 in South Tangerang already trained for VIA until 2019.We took data on the number of VIA examinations,the number of positive cases and the number of cases referred by midwives during 2017-2019.From this study,we found that midwives at Central Jakarta on 2019 performed 6.622 VIA examination from 83.500 target (7.9%) and found 105 positive cases and all the cases were referred to performed cryotherapy.Meanwhile midwives at South Tangerang performed 1805 VIA examination from 113415 target population (1.59%) and found 12 positive cases:4 cases was already performed cryotherapy and 8 cases were referred to hospital.From both of them, we found increased of performance of VIA examination from 2017 until 2019. VIA implementation by midwives in Central Jakarta and South Tangerang still low, although increase from 2017 until 2019."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Mardhatillah Syafitri
"Kanker serviks merupakan kanker ketiga tersering di seluruh dunia dengan angka kasus baru, morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kesintasan lima tahun pasca radioterapi pasien KSS serviks stadium IIB-IIIB dan hubungannya dengan infeksi HPV serta faktor lain yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan penelitian kohort. Populasi terjangkau adalah pasien karsinoma serviks stadium IIB dan IIIB dengan hasil biopsi serviks KSS yang telah menjalani radioterapi di RSCM dan dilakukan pemeriksan DNA HPV pre dan pasca radiasi pada penelitian terdahulu. Analisis statistik digunakan dengan uji prognostik Kaplan Meier. Dari 31 sampel penelitian pendahuluan, hanya 27 subjek yang dapat didata. Angka kesintasan lima tahun adalah sebesar 35,5%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kesintasan dengan infeksi HPV, infeksi HPV yang menetap, lama radiasi, LVSI, stadium, diferensiasi, ukuran tumor dengan masing-masing nilai p 0,921, 0,586, 0,718, 0,65, 0,139, 0,78, dan 0,139. Terdapat hubungan yang bermakna antara respon radiasi dengan kesintasan, dengan median time survival 2 tahun (p 0,016).

Cervical cancer is the third most common cancer in the world with high number of new cases, morbidity and mortality rates. The objective of this research is to know the proportion of five year survival rate after radiation of cervical cancer stage IIB-IIIB patient and its relationship with HPV infection and other influencing factors. This research method was cohort study. Research population was patients with biopsy result squamous cell carcinoma stage IIB-IIIB who underwent radiation therapy and have been examined for HPV DNA before and after radiation on previous study. Overall survival was assessed and the relationship between prognosis with HPV infection and other factors was calculated. Statistical analysis was calculated using Kaplan Meier to determine prognostic factors of cervical cancer, as well as the median survival rate. From 31 samples on previous study, only 27 patients has been documented. The five year overall survival rate was 35,5%. There were no statistically significant relationship between cervical cancer survival rate with HPV infection, HPV persistence after radiation, duration of radiation, LVSI, staging, grading, tumor size with p result 0,921, 0,586, 0,718, 0,65, 0,139, 0,78, and 0,139 respectively. There was significant relationship between radiation response and survival rate with median 2-year survival (p 0,016)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Octaviani
"

Latar Belakang: Radioterapi merupakan tatalaksana utama kanker serviks, baik dalam bentuk Concurrent Cisplatin-based Chemoradiation Therapy (CCRT) maupun Radiation Therapy (RT). Radioterapi dapat menyebabkan toksisitas terutama pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius. Namun, belum ada data mengenai insidensi, derajat, durasi, dan keluhan tersering toksisitas, serta faktor risiko yang mendasarinya di Indonesia.

Tujuan: Mengevaluasi insidensi, derajat, keluhan terkait, dan durasi toksisitas radioterapi pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius, serta faktor risiko yang mendasarinya.

Metode: Studi kohort retrospektif ini dilakukan pada subjek kanker serviks stadium lanjut (stadium FIGO ≥IIB) yang menjalani radioterapi, baik CCRT maupun RT, selama tahun 2018. Data dikumpulkan secara randomisasi rekam medis Departemen Radioterapi selama berlangsungnya radioterapi. Uji prevalensi dilakukan untuk mendapatkan angka insidensi, derajat, durasi, dan keluhan tersering toksisitas. Uji Chi-Square dilakukan untuk mendapatkan hubungan faktor risiko dengan terjadinya toksisitas, serta perbedaan toksisitas antara penerima perlakuan CCRT dan RT.

Hasil: Dari 106 subjek, didapatkan 58% insidensi toksisitas, dengan sebaran 42% toksisitas gastrointestinal, 5% toksisitas genitourinarius, dan 12% keduanya. Dari 54% toksisitas gastrointestinal, terdapat 45% toksisitas derajat 1 dan 9% toksisitas derajat 2, dengan keluhan 34% mual-muntah, 34% diare, 11% diare berdarah, serta 2% diskezia. Seluruh toksisitas genitourinarius merupakan derajat 1, dengan keluhan 86% disuria dan 14% hematuria. Toksisitas mulai timbul pada hari ke-17 (95% IK; 5-84 hari) dan dirasakan selama 15 hari untuk toksisitas gastrointestinal (95% IK; 5-65 hari) dan selama 13 hari untuk toksisitas genitourinarius (95% IK; 2-65 hari). Toksisitas radioterapi lebih tinggi pada subjek dengan IMT ³18 kg/m2 (p 0,378), pendidikan SMP ke bawah (p 0,065), pekerjaan usaha kecil/ibu rumah tangga (p 0,366), dan paparan rokok (p 0,027). Toksisitas muncul terutama pada CCRT dibandingkan dengan RT (75% vs 56%, p 0,265) dengan adanya korelasi kuat antara terjadinya kedua toksisitas (Sperman’s Rho 1,0 vs 0,264; p 0,006).

Kesimpulan:  Insidensi toksisitas radioterapi pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius adalah 56% yang bersifat sementara dan tidak berat. Besar IMT, status ekonomi rendah, dan paparan rokok meningkatkan terjadinya toksisitas. Tindakan CCRT memiliki toksisitas lebih tinggi dibandingkan RT. 

Key Words: CCRT, RT, toksisitas gastrointestinal, toksisitas genitourinarius, faktor risiko toksisitas, kanker serviks


Background: Regardless the toxicity effect of radiotherapy (CCRT/RT) mainly to gastrointestinal and genitourinary system, there is no data of the toxicity in Indonesia.

Objective: Evaluate the incidence, degree, duration, and most frequent complaints, as well as the contributing risk factors. 

Methods: This retrospective cohort study was conducted on FIGO stage ≥IIB) cervical cancer, who underwent radiotherapy in 2018. Data were randomly collected from the Radiotherapy Department's medical records. 

Results: From 106 subjects, there was 58% toxicity. Of the 54% gastrointestinal toxicity, there are 45% grade 1 and 9% grade 2, with 34% complaint of nausea and vomiting, 34% diarrhea, 11% hematochezia, and 2% dyschezia. All of genitourinary toxicity was grade 1, with 86% complaint of dysuria and 14% hematuria. Toxicity occured on the 17th day (95% CI; 5-84 days) and disappeared in 15 days for gastrointestinal toxicity (95% IK; 5-65 days) and 13 days for genitourinary toxicity (95% IK; 2- 65 days). Toxicity was more exist in subjects with BMI ³18 kg/m2 (p 0.378), low education (p 0.065), entrepreneur/housewife (p 0.366), and cigarette exposure (p 0.027). Toxicity appeared mainly in CCRT compared to RT (75% vs 56%, p 0.265) with a strong correlation between the occurrence of the two toxicities (Sperman’s Rho 1.0 vs 0.264; p 0.006).

Conclusion: The incidence of radiotherapy toxicity in the gastrointestinal and genitourinary systems was 56%, which was temporary and light. Large BMI, low economic status, and cigarette exposure increased the incidence of toxicity. Toxicity of CCRT treatment would be greater that RT alone.

Key Words: CCRT, RT, gastrointestinal toxicity, genitourinary toxicity, risk factors for toxicity, cervical cancer

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irvan Desrizal
"Latar belakang: Krioterapi adalah salah modalitas terapi yang sering dilakukan pada lesi IVA positif di Indonesia. Selain memiliki angka kesembuhan yang cukup tinggi, krioterapi tergolong murah dan mudah dilakukan dengan sumber daya yang terbatas. Namun, efek samping pasca krioterapi seperti keputihan, perdarahan bercak, dan nyeri adalah hal yang tidak bisa dihindari. Beberapa penelitian mengaitkan adanya hubungan derajat dan luas lesi prakanker dengan angka kesembuhan pasca krioterapi. Jenis krioterapi (single-freeze atau double-freeze) juga dihubungkan dengan luas area nekrosis pasca krioterapi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan luas lesi IVA positif dan jenis krioterapi terhadap efek samping pasca krioterapi
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prosepektif. Populasi terjangkau
adalah pasien dengan IVA positif yang menjalani krioterapi oleh Female Cancer Program dari Juli sampai dengan Oktober 2019 di Jakarta. Evaluasi dilakukan dengan pengisian lembar keluhan efek samping krioterapi selama satu bulan. Analisis data dalam bentuk deskriptif dan analitik.
Hasil: Didapatkan 43 subjek IVA positif, 27 (62,8%) subjek lesi luas, dan 16 (37,2%) subjek lesi sempit, jenis krioterapi dibagi menjadi 33 (76,7%) subjek double-freeze, 10 (23,3%) subjek single-freeze, setelah sebulan didapatkan keluhan keputihan sebanyak 88,4%; perdarahan bercak 51,2%, nyeri 58,1%; tidak didapatkan hubungan bermakna antara luas lesi IVA positif dengan keputihan (nilai-p 0,63), perdarahan bercak (nilai-p 0,61), dan nyeri (nilai-p 0,54), krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan efek samping perdarahan bercak (RR 0,5; nilai-p 0,0032; CI 0,3-0,9).
Kesimpulan: krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan efek samping perdarahan bercak pasca krioterap.

Background: Cryotherapy is a procedure often performed in positive VIA lesions in Indonesia. Not only having a high cure rate, but cryotherapy is also relatively cheap and easy to perform with limited resources. However, side effects such as vaginal discharge, spotting, and pain are unavoidable. Several studies have linked the degree and width of precancerous lesions with cure rate after cryotherapy. Type of cryotherapy (single-freeze or double-freeze) is also related with amount of necrosis area produced after cryotherapy.
Objective: To determine the association of positive VIA area and the type of cryotherapy with post-cryotherapy side effects.
Method: This is a prospective cohort study. The population are women with positive VIA result who underwent cryotherapy by the Female Cancer Program from July to October 2019 in Jakarta. Evaluation was performed by filling out the patients complaint sheet for one month. Data was analysed descriptively and analytically.
Results: There were 43 women with positive VIA results, grouped into 27 (62.8%) large lesion, and 16 (37.2%) small lesion, types of cryotherapy was grouped into 33 (76.7%) double-freeze, 10 (23,3%) single-freeze, after one month follow-up there were complaints of vaginal discharge 88.4%; spotting 51.2%, pain 58.1%; found unsignificantly association between width of positive VIA area with vaginal discharge (p-value 0.63), spotting (p-value 0.61), and pain (p-value 0.54), double-freeze cryotherapy was significantly associated with side effect of spotting (RR 0.5; p-value 0.0032; CI 0.3-0.9).
Conclusion: double-freeze cryotherapy is significantly related with side effect of spotting.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cantik Putri Pratiwi Ningrum Djaen
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sekitar 9-33% pasien penyakit trofoblas maligna (PTM) yang diobati dengan kemoterapi agen tunggal akan membutuhkan terapi multi agen karena adanya resistensi terhadap obat lini pertama, termasuk metotreksat (MTX), atau efek samping toksisitas. Hingga saat ini, resistensi terapi lini pertama masih menjadi masalah akibat tingkat identifikasi yang masih rendah. Sebelumnya, belum pernah dilakukan penelitian mengenai kadar Beta-HCG sebagai prediktor resistensi pada pasien PTM risiko rendah.
Tujuan: Mengetahui nilai prediktif kadar Beta-HCG untuk risiko resistensi metotreksat pada PTM risiko rendah.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik potong lintang menggunakan data rekam medis dari 58 subjek. Subjek adalah semua pasien yang terdiagnosis dengan PTM risiko rendah dan diberikan terapi MTX pada bulan Januari 2011 hingga Desember 2016 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan subjek dilakukan secara konsekutif. Subjek dengan data yang tidak lengkap atau adanya riwayat PTM sebelumnya dieksklusi dari penelitian ini.
Hasil: Prevalensi resistensi MTX yaitu 32,8%. Tidak ditemukan asosiasi bermakna antara karakteristik demografik (usia, paritas, pekerjaan, dan pendidikan) ataupun karakteristik klinis (riwayat kehamilan, interval antara kehamilan terakhir dan awal kemoterapi, ukuran tumor, riwayat gagal kemoterapi, lokasi dan jumlah metastasis) dengan resistensi MTX. Ditemukan perbedaan bermakna pada kadar Beta-HCG antara kelompok resistensi dan tidak resistensi pada siklus 4 (p<0,001), 6 (p<0,001), dan 8 (p<0,001). Perbedaan bermakna juga ditemukan pada perubahan kadar Beta-HCG dari awal hingga minggu kedua (p<0,001, AUC 0,8). Cut-off penurunan Beta-HCG sebesar 23% memiliki sensitivitas sebesar 78,9% dan spesifisitas sebesar 74,4% untuk memprediksi resistensi MTX.

ABSTRACT
Background: Approximately 9-33% patients with gestational trophoblastic neoplasia (GTN) treated with single agent chemotherapy would need multi agent chemotherapy, whtether due to resistance to first-line therapy, including methotrexate (MTX), or toxic side effect. Currently, resistance to first-line therapy is still a problem due to low identification rate. To this date, there are no studies regarding Beta-HCG level as a MTX resistance predictor for low risk GTN.
Purpose: Identify the predictive value of Beta-HCG level for the risk of MTX resistance in low risk GTN.
Methods: This was an analytical cross-sectional study using medical records of 58 subjects. Subjects were all patients diagnosed with low risk GTN and given MTX therapy during the period of January 2011 to December 2016 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Consecutive sampling was done. Subjects with incomplete data or history of previous GTN were excluded from this study.
Results: The prevalence of MTX resistance was 32,8%. No significant association was found between demographic characteristics (age, parity, job, and education) or clinical characteristics (gestational history, interval between last pregnancy and the start of chemotherapy, tumor size, history of chemotherapy failure, location and number of metastasis) and MTX resistance. A significant difference in the level of Beta-HCG between resistance and non-resistance groups were found on cycle 4 (p<0,001), 6 (p<0,001), and 8 (p<0,001). A significant difference was also found in the change of Beta-HCG from the start to the second week of therapy (p<0,001, AUC 0,8). Beta-HCG decrease cut-off of 23% had the sensitivity of 78,9% and specificity of 74,4% to predict MTX resistance.
Conclusions: The prevalence of MTX resistance was 32,8% in this study. The decrease in Beta-hCG level from the start to the second week of therapy could be used as a MTX resistance predictor in low risk GTN patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Dewi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sekitar 6-7% kehamilan disertai trauma, yang berkontribusi menyebabkan kematian maternal hingga 46%, namun jarang dibicarakan karena bersifat non-obstetrik. Komplikasi maternal meliputi ketuban pecah, solusio plasenta, cedera organ intraabdomen, perdarahan, terminasi seksio sesarea, bahkan kematian. Morbiditas dan mortalitas janin bahkan dapat terjadi tanpa cedera signifikan pada ibu. Hingga saat ini, belum ada publikasi mengenai trauma pada kehamilan di Indonesia.

 

Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui profil trauma pada kehamilan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD Dok II Jayapura.

 

Metode: Penelitian bersifat deskriptif observasional. Semua ibu hamil dengan trauma yang memeriksakan dirinya ke RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dok II tahun 2016-2018 dimasukkan sebagai subyek penelitian. Data demografis, obstetrik, karakteristik trauma, gejala dan temuan klinis, serta luaran ibu dan janin dianalisa secara deskriptif.

 

Hasil: Didapatkan 100 kasus trauma dari 7130 ibu hamil dalam penelitian ini. Berdasarkan ISS (Injury Severity Score), 76% subyek termasuk trauma derajat ringan, 20% derajat sedang, dan 4% derajat berat. Tiga mekanisme trauma terbanyak adalah jatuh (61%), kecelakaan lalu lintas (24%), dan kekerasan domestik (9%) dengan jenis trauma kontusio (82%) dan trauma superfisial (60%). Gejala klinis meliputi nyeri abdomen (60%), perdarahan pervaginam (13%), dan ketuban pecah (8%). Didapatkan 1 kasus syok, 2 kasus solusio plasenta, dan 2 kasus gawat janin. Luaran ibu baik, dengan 3% abortus, 3% seksio sesarea, 9% induksi pervaginam, dan 85% konservatif (di mana 91,8% kehamilan berhasil dipertahankan, 7,0% lahir prematur dan 1,2% abortus spontan). Luaran janin menunjukkan 1% lahir mati, 4% abortus, 10% lahir prematur, 7% lahir aterm, dan 78% konservatif.

 

Kesimpulan: Insidens trauma pada kehamilan pada penelitian ini sebesar 1.4%. Sebagian besar subyek termasuk kategori trauma derajat ringan (76%), disebabkan mekanisme jatuh (61%), dengan jenis trauma kontusio (82%) dan klinis nyeri abdomen (60%). Didapatkan 1% kasus syok, 2% solusio plasenta, 2% gawat janin, 4% abortus, dan 1% lahir mati, tanpa adanya mortalitas ibu. ISS (Injury Severity Score) dapat diterapkan untuk menilai derajat trauma ibu hamil, namun tidak menggambarkan luaran ibu maupun janin.


ABSTRACT
Background: Trauma complicates 6-7% pregnancies and causes up to 46% maternal deaths. Yet, it is rarely taken into consideration because of its non-obstetric origin. Maternal complications include membrane rupture, placental abruption, internal organ injury or hemorrhage, caesarean section termination, even maternal death. Fetal morbidity and mortality can even occur without significant maternal injuries. So far, there is no publication regarding trauma in pregnancy in Indonesia.

 

Objectives: This study aimed to determine the profile of trauma in pregnancy at RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta and RSUD Dok II Jayapura.

 

Methods: This was a descriptive observational study. All pregnant women with trauma went to RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUD Dok II during 2016-2018 were included. Demographic and obstetrics datas, trauma characteristics, clinical findings, and all maternal and fetal outcomes were analysed.

 

Results: Of all 7130 pregnant women included, there were 100 trauma cases. Using ISS (Injury Severity Score), 76% subjects had mild trauma, 20% moderate trauma, and 4% severe trauma. Three main trauma mechanisms were fall (61%), motor vehicle accidents (24%), and domestic assaults (9%), with contusion (82%) and superficial trauma (60%). Clinical symptoms included abdominal pain (60%), vaginal bleeding (13%), and water broke (8%). There were 1 hypovolemic shock and 2 placental abruption cases, with 2 fetuses showing fetal distress. Maternal outcomes were good; with 3% abortion, 3% caesarean-section, 9% vaginal induction, and 85% conservative cases (of which 91.8% managed to continue the pregnancy, 7.0% had preterm labor, and 1,2% had spontaneous abortion). Fetal outcomes showed 1% stillbirth, 4% abortion, 10% preterm birth, 7% term birth, and 78% conservative pregnancy.

 

Conclusions: Incidence of trauma in pregnancy in this study is 1.4%. Most subjects have mild trauma (76%), caused by fall (61%), presented mostly with contusion (82%) and abdominal pain (60%). We reported no maternal mortality, 1% hypovolemic shock, 2% placental abruption, 2% fetal distress, 4% abortion rate, and 1% stillbirth. ISS can be applied to assess maternal trauma degree, but does not represent maternal or fetal outcomes.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
"Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer.
Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks yang dilakukan pembedahan primer di RSCM
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak
Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43 subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek (37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19 subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar. Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4 musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan histologi musinosum.
Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium lanjut.

Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring. Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment, accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive random sampling were used. Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%) has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesn't have metastasis to the appendix. From eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I subjects has mucinous histology. Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be considered done on surgery whether in early or late stadium."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>