Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hari Poerwanto
"ABSTRAK
POKOK PERMASALAHAN
Wang Gungwu menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai masalah Cina amat kompleks(1981:261-264) 1. Salah satu dari masalah tersebut adalah erat kaitannya dengan identifikasi diri mereka terhadap negara tempat mereka tinggal 2. Sebagai akibat hal tersebut adalah timbal masalah seperti yang dikemukakan oleh Leo Suryadinata (1986:191-193). Dikatakannya bahwa sekalipun orang Cina di Indonesia telah meninggalkan identitasnya sebagai orang Cina dan mengidentifikasikan dirinya sebagai golongan peranakan, mereka tetap masih dianggap sebagai orang Cina. Di kalangan kebanyakan orang Indonesia, mereka belum dapat diterima sepenuhnya sebagai warga bangsa Indonesia. Banyak di antara pemimpin bumiputera menilai bahwa sebagai bagian dan nasion Indonesia, orang Cina sebagai pendatang masih dirasa perlu untuk dipertimbangkan. Sementara itu Suryadinata juga betpendapat bahwa meskipun orang Cina telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia, berbagai simbol dan identifikasi rasional Indonesia masih sukar diserap dalam kehidupan mereka sehari-harinya. Hal tarsebut disebabkan kuatnya pengaruh kebudayaan negeri leluhur dalam membentuk identitas nasional orang Cina sebagai bangsa Indonesia.
Menurut penilaian Maly G. Tan (1979:vii), posisi orang Cina di Indonesia pada dewasa ini adalah sebagai berikut:
" Tak ada yang bersikap acuh tak acuh terhadap mereka, malahan biasanya sikap itu bersifat ekstrim; membenci atau sebalikaya menyenangi mereka. Sikap ekstrim ini pun tidak konstan pada orang atau kelompok-kelompok tertentu dalam keadaan tertentu bisa disenangi, dalam keadaan lain dibenci. Pendeknya jelas terdapat suatu sikap yang ambivalen terhadap mereka. Hal ini tercermin gala dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak menentu dari satu pemerintah ke pemerintah yang lain, sejak zaman kolonial sampai kini ".
Berdasarkan penilaian Lois(1951:29-35), sifat yang mendua juga dimiliki oleh kebanyakan orang Cina di Indonesia. Oleh karena itu agar mereka dapat menjadi orang Indonesia dalam arti sebenarnya, orang Cina yang telah berstatuskan sebagai warga negara Indonesia harus mampu membuktikan loyalitas dirinya, baik secara politik mau pun ekonomik terhadap negara barunya 3. Selanjutnya Somers Heidhues (1974: 43) juga menganjarkan sesuatu hal penting yang hares diperhatikan oleh orang Cina di Indonesia agar tidak mendapatkan perlakukan 'diskriminatif' , yaitu hendaknya menyadari bahwa status kewarganegaraan Indonesia yang telah dimilikinya sekaligus juga disertai suatu usaha agar bumiputera dapat menerimanya sebagai bagian dari mereka. Selama ini sering muncul pandangan dari kalangan bumiputera bahwa sekalipun telah mempunyai status kewarganegaraan Indonesia tetapi 'sekali Cina tetap Cina' 4. Terdapatnya pandangan seperti itu tidak terlepaskan dari adanya penilaian bahwa status mereka sebagai warganegara Indonesia itu hanya dipergunakan untuk mencari keuatungan dalam sektor perdagangan. Sementara itu uang sebagai hasil keuntungan yang diperolehnya, lebih dipakai untuk berbagai kegiatan yang eksklusif Cina atau dibawa ke luar negeri. Oleh karena itu mereka harus dapat membuktikan dirinya melalui kewajiban yang harus diberikannya kepada negara dimana mereka itu sekarang secara formal menyandang status kewarganegaraan dari negeri itu, ialah Indonesia. Suatu cara pembuktian yang harus dilakukan adalah kesediaan mereka untuk melakukan asimilasi dengan masyarakat atau negara tempat ia tinggal. Era modernisasi yang sedang melanda Indonesia, dapat dipakai sebagai momentum untuk saling berkerja sama sehingga jarak psikologis, sosial, ekonomi dan sebagainya dari kedua golongan tersebut semakin kabur.
Jika berbagai pandangan di atas ditelaah lebih lanjut maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian masalah orang-orang keturunan Cina di Indonesia adalah erat kaitannya dengan proses pembangunan...."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
D257
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Anoegrajekti
"Sejarah gandrung yang panjang menyisakan catatan bahwa kesenian milik komunitas Using ini selalu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Pasar (kapitalisme), birokrasi, dan agama telah sejak larna menjadi kekuatan- kekuatan yang menghegemoni kesenian tradisi ini. Dalam lima tahun terakhir (2000-2005), saat saya melakukan penelitian etnografi untuk disertasi ini, persentuhan gandrung dengan ketiga alctor hegemoni tersebut mencapai puncak intensitasnya.
Disertasi ini membahas pertarungan antar kekuatan-kekuatan hegemoni gandrung tersebut dalam kerangka memperebutkan representasi identitas Using. Pembahasan saya mulai dengan terlebih dahulu menelaah hubungan antara gandrung dengan komunitas Using dan deskripsi mengenai pertunjukan gandrung. Ada dua kategori pertarungan yang meskipun saling berkaitan saya sajikan terpisah dalam disertasi. Pertama, pertarungan dalam menentukan teks pertunjukan menyangkut lagu, musik, tari, pembabakan, dan struktur pertunjukan. Kedua, pertarungan memperebutkan makna representasi identitas Using yang berpengaruh pada penentuan teks pertunjukan.
Dari seluruh bahasan tentang pertarungan tersebut dapat dilihat beberapa hal penting. Pertama, bahwa sebagai proses kebudayaan, kekuatan-kekuatan hegemoni itu terwujud dalam sebuah inkorporasi dengan posisi yang berbeda. Dengan merujuk pada konsep Williams, pasar sebagai yang paling mendominasi dalam hegemoni gandrung menjadi budaya dominan, konservasi tradisi sebagai budaya residual karena bertahan dengan menghidupkan kemhali makna, nilai, dan norma yang telah ditinggalkan, sedangkan Islam sebagai sesuatu yang baru menjadi emergent.
Kedua, bahwa hegemoni adalah wilayah pertarungan yang berlangsung dinamis dan tidak stabil. Dominasi sebagai posisi terpenting dalam hegemoni akan tidak dikenali ketika penetrasinya semakin meluas dan tekanan dari kekuatan yang lain terus meningkat. Ketiga, bahwa representasi identitas merupakan wilayah pertarungan pemaknaan yang kemudian menyebabkan identitas itu sendiri lebih merupakan konstruksi dan proyek (politik) penciptaan yang karena itu diskursif retak, dan terus berubah.
Akhirnya, dengan pembahasan tentang pertarungan memperebutkan representasi identitas Using, disertasi ini telah menjelaskan bagaimana politik kebudayaan beroperasi di tingkat mikro, tempat hegemoni, resistensi, invensi dan konstruksi mewujudkan diri. Disertasi juga telah menunjukkan bagaimana sebuah kesenian berkembang di tengah kebudayaan plural dan masyarakat multi-etnis yang berada dalam perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Saya juga menunjukkan bagaimana politik identitas dibangun dan diartikulasikan di ruang publik yang kompleks.

The long history of Gandrung has left notes that this art, which belongs to the Using Community, is always faced with forces beyond itself Market (capitalism), bureaucracy, and religion have long become the hegemonic forces that dominated this traditional art. For the last tive years (2000 - 2005), while I was doing the ethnographic research for this dissertation, the contact between Gandrung and those three hegemonic actors reached its highest intensity.
This dissertation is aimed to analyze the battle among those hegemonic forces of Gandrung in the framework of struggling over the representation of Using identity. My analysis is started by exploring the relationship between Gandrung and the Using community and by describing the performance of Gandrung. There are two struggling categories which are related to each other. However, I represent them separately in this dissertation. First is the battle in determining the text of the performance including the songs, music, dances, stages, and the structure of the performance.
Second is the struggle over meaning in the representation of Using identity which influences the determination of the text of the performance.
There are several important things that can be seen from the whole analysis about those battles. First, as a cultural process, those hegemonic forces are formed in incorporation within various positions. Referring to the concept proposed by Williams, the market as the most dominant forces in Gandrung hegemony becomes the dominant culture; the conservation of tradition becomes the residual culture because it survives by reviving meaning, values and norms that have been left; while Islam as a new thing becomes the emergent culture.
Second, hegemony can be seen as a dynamic and unstable battleield. Domination as the most important position in a hegemony will not be easy to recognize when its penetration becomes larger and the forces from other parties become stronger. Third, the representation of identity is also a field for the struggle over meaning which causes the identity itself can be seen more as a construction and creating project (politics) so that it becomes discursive, cracked and unstable. In the end, by analyzing the struggle over the representation of Using identity, this dissertation has explained how the politics of culture operates in the micro level, where hegemony, resistance, invasion, and construction form themselves. This dissertation has also shown how an art develops within a plural culture and multi-ethnics community which exists in the social, economic and cultural changes. I have also shown how the political identity is built and articulated in a complex public space."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D604
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library