Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kwan Francesca Gunawan
"Malnutrisi sering dialami oleh pasien kanker dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Oleh karena itu, identifikasi awal pasien yang berisiko malnutrisi harus dilakukan pada semua pasien kanker, namun hingga saat ini, belum ada baku emas alat skrining yang digunakan di bagian rawat jalan radioterapi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan untuk membandingkan skrining malnutrisi Malnutrition Screening Tool (MST) dan Abridged Patient-Generated Subjective Global Assessment (abPG-SGA) pada 144 pasien kanker yang akan menjalankan radioterapi di RSUPNCM, dengan Patient- Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA) sebagai baku emas. Didapati sebanyak 41% pasien berisiko malnutrisi (PG-SGA). Skrining MST dinilai mudah dan cepat dengan rerata waktu pengerjaan 21 detik, dan memiliki nilai sensitivitas 84,75%, spesifisitas 77,65%, nilai prediksi positif (NPP) 0,73, nilai prediksi negatif (NPN) 0,88, dan nilai area under the ROC curve (AUC) 0,812. Skrining abPG-SGA memiliki sensitivitas 98,31%, spesifisitas 92,94%, NPP 0,91, NPN 0,99, AUC 0,956, dan rerata waktu pengerjaan 2 menit 24 detik. Kesimpulan yang dapat diambil adalah abPG-SGA merupakan alat skrining yang lebih baik dan akurat untuk digunakan di bagian rawat jalan radioterapi.

Malnutrition is common among cancer patients and can lead to decreased quality of life. Therefore, early identification of patients at risk of malnutrition should be performed in all cancer patients, but until now, there is no gold standard of nutrition screening tool that should be used in outpatient radiotherapy setting. This study was a cross-sectional study conducted to compare Malnutrition Screening Tool (MST) and Abridged Patient-Generated Subjective Global Assessment (abPG-SGA) as nutrition screening tools in 144 radiotherapy outpatients against Patient-Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA) as the gold standard. Forty-one percent of patients were at risk of malnutrition (PG- SGA). The MST was a simple and quick tool with an average of 21 seconds. It had 84.75% sensitivity, 77.65% specificity, positive predictive value (PPV)=0.73, negative predictive value (NPV)=0.88, and area under the ROC curve (AUC)=0.812. The abPG-SGA yielded 98.31% sensitivity, 92.94% specificity, PPV=0.91, NPV=0.99, AUC=0.956, and it took an average of 2 minutes 24 seconds. In conclusion, the abPG-SGA is a better and more accurate screening tool in outpatient radiotherapy setting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afdhal
"Latar belakang: Pemeriksaan MRI pada glioblastoma dapat membantu diagnosis dengan tingkat akurasi tinggi. Nilai ADC pada MRI bisa menjadi indikator prognosis, meskipun belum sering diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk memahami peran nilai ADC dalam meningkatkan prediksi kesintasan pasien glioblastoma.
Tujuan: Mengkaji angka kesintasan pasien glioblastoma yang mendapatkan terapi kemoradiasi serta hubungannya dengan nilai ADC dan faktor lainnya.
Metode: Angka kesintasan dan nilai ADC minimum diambil dari pemeriksaan MRI kepala post-operasi, pre-kemoradiasi pada 20 pasien dari periode 2017 hingga 2023 yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis kesintasan dilakukan dengan metode Kaplan-Meier. Uji Log Rank digunakan untuk mengevaluasi pengaruh faktor-faktor determinan termasuk nilai ADC terhadap kelangsungan hidup.
Hasil: Rerata usia sampel dalam pemelitian ini adalah 43,6 +/- 16,4 tahun. Terdapat 14 pasien laki-laki (70%), dan 6 pasien perempuan (30%). sebanyak 6 pasien (30%) memiliki nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan terdapat 14 pasien (70%) memiliki nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s. Analisis kesintasan memperlihatkan perbedaan median kesintasan hidup pada kelompok nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan < 0,8 x 10-3 mm2/s, yaitu sebesar 12 bulan dan 10 bulan dengan nilai p=0,850.
Kesimpulan: Pasien dengan nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s memiliki tren kesintasan yang lebih singkat dua bulan dibandingkan dengan pasien dengan nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s yang masing-masing median kesintasannya sebesar 10 bulan dan 12 bulan.

Background: MRI examinations for glioblastoma can aid in diagnosis with a high level of accuracy. The Apparent Diffusion Coefficient (ADC) value in MRI can serve as a prognostic indicator, although it has not been widely applied in Indonesia. This study was conducted to understand the role of ADC values in improving the prediction of survival in glioblastoma patients.
Objective: To examine the survival rates of glioblastoma patients undergoing chemoradiation therapy and its relationship with ADC values and other factors.
Methods: Survival rates and minimum ADC values were extracted from post- operative, pre-chemoradiation head MRI examinations of 20 patients meeting the study criteria from the period 2017 to 2023. Survival analysis was performed using the Kaplan-Meier method, and the Log Rank test was employed to evaluate the impact of determinants, including ADC values, on survival.
Results: The mean age of the sample in this study was 43.6 +/- 16.4 years. There were 14 male patients (70%) and 6 female patients (30%). Six patients (30%) had ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s, while 14 patients (70%) had ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s. Survival analysis revealed a median survival difference in the ADC ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s and < 0.8 x 10-3 mm2/s groups, namely, 12 months and 10 months, with a p-value of 0.850.
Conclusion: Patients with ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s had a trend of two months shorter survival compared to patients with ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s whose median survival was 10 months and 12 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Maulana
"Tujuan: Untuk mengetahui efektifitas, kenyamanan, dan toksisitas dari alat testicular shield buatan sendiri pada preservasi fertilitas pasien di Instalasi Radioterapi pada Rumah Sakit pusat rujukan nasional di Indonesia.
Metode: Penelitian deskriptif analitik, dilakukan perhitungan dosis pada TPS dan Film Dosimetry, Pemeriksaan laboratorium hormon FSH, LH, dan Testosteron pre dan post radiasi serta penilaian toksisitas kulit daerah skrotum paska radiasi dan kenyamanan penggunaan pada pasien kanker abdominopelvis yang menjalani terapi radiasi.
Hasil: Total terdapat 6 pasien yang menyelesaikan proses perencanaan radiasi dengan 5 pasien berhasil menyelesaikan tatalaksana radiasi. Didapatkan Dosis rerata testis 0,8 Gy dan rerata dosis testis dibandingkan dosis preskripsi sebesar 1,8% dengan pengurangan dosis sekitar 80%. Terdapat peningkatan hormon FSH (63,5%), LH (32,2%), dan penurunan Testosteron (3,7%). Panggunaan testicular shield dapat mencegah terjadinya hipogonadisme primer akibat radiasi. Rerata skor kenyamanan 9,4 dengan tanpa ditemukan peningkatan toksisitas kulit paska radiasi.
Kesimpulan: Alat testicular shield yang dibuat pada studi ini terbukti memiliki efektitas yang baik untuk mengurangi dosis yang diterima testis dengan tidak menimbulkan rasa tidak nyaman saat digunakan dan tanpa penginkatan toksisitas kulit skrotum.
Kata Kunci: Pasien kanker abdominopelvis, Preservasi Fertilitas Pria. Terapi Radiasi, Testicular Shield, FSH, LH, Testosteron, Kenyamanan, Toksisitas kulit.

Purpose: To determine the effectiveness, comfort and toxicity of In-house testicular shield devices in preserving patient fertility in radiotherapy installations at national referral hospital centers in Indonesia.
Method: Descriptive analytical research, dose calculations were carried out on TPS and Film Dosimetry, laboratory examination of FSH, LH and Testosterone hormones pre and post radiation as well as assessment of skin toxicity in the skin scrotal area post radiation and comfort of use in abdominopelvic cancer patients undergoing radiation therapy.
Results: A total of 6 patients completed the radiation planning process with 5 patients successfully completing radiation treatment. The average testicular dose was 0.8 Gy and the average testicular dose compared to the prescribed dose was 1.8% with dose reduction to testis approximately 80%, After Radiotheraphy there was an increase in the hormones FSH (63,5%), LH (32,2%), and a decrease in Testosterone (3.7%). The use of a testicular shield can prevent primary hypogonadism due to radiation. The mean comfort score was 9.4 without escalation in skin toxicity.
Conclusion: The testicular shield device created in this study was scientifically proven to have good effectiveness reducing dose received by testis with excellent comfort and without escalation in scrotal skin toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Viona
"Lebih dari 56,8 juta manusia di seluruh dunia mengalami penderitaan yang sebenarnya bisa ditangani dengan layanan paliatif, namun hanya 14% pasien yang akhirnya mendapatknannya. Pengintegrasian layanan paliatif ke sistem kesehatan primer akan mempermudah akses pasien terhadap layanan paliatif, mengurangi overkapasitas pelayanan di fasilitas kesehatan lanjut, dan mengurangi beban finansial baik untuk fasilitas kesehatan lanjutan maupun untuk pasien. Kunjungan rumah oleh tim paliatif juga dapat mengurangi angka hospitalisasi, lama rawat inap saat hospitalisasi, dan lebih memungkinkan pasien meinggal di rumah daripada di Rumah Sakit. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui ketersediaan sumber daya di Puskesmas Indonesia dan dampaknya dalam penyelenggaraan layanan paliatif kanker. Saat ini tingkat ketersediaan sumber daya di Puskesmas Indonesia berada pada tingkat sedang – baik dengan permasalahan yang terjadi adalah tidak adanya regulasi, minimnya atensi dari pemerintah mengenai layanan paliatif, tidak adanya pembiayaan khusus, serta ketidak tersediaan morfin di Puskesmas. Untuk mengembangkan layanan paliatif di Puskesmas Indonesia, diperlukan adanya pembentukan regulasi, penjaminan ketersediaan obat – obatan, edukasi kepada tenaga kesehatan yang terstruktur dan terstandarisasi nasional mengenai layanan paliatif dan penjaminan pembiayaan program paliatif.

More than 56.8 million people worldwide experience suffering that can be treated with palliative services, but only 14% of patients that finally get it. Integrating palliative services into the primary health system will facilitate easier access to palliative services, reduce overcapacity of services at secondary health facilities, and reduce the financial burden for both secondary health facilities and for patients. Home visits by the palliative team can also reduce hospitalization rates, length of stay during hospitalization, and are more likely to die at home than in the hospital. This research is an analytic descriptive study with quantitative and qualitative methods to determine the availability of resources at Indonesian primary health centers and its impact on the implementation of cancer palliative services. At present, the level of resource availability at primary health care is at a moderate level but problems that occur are the absence of regulations, the lack of attention from the government regarding palliative services, the absence of allocated financing, and the unavailability of morphine in primary health centers. To develop palliative services at Indonesian primary health centers, it is necessary to form regulation about palliative services, guarantee the availability of medicines, educate health workers regarding palliative services that is structured and nationally standardized and guarantee the financing of palliative programs."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uswah Hasanuddin
"

Latar Belakang: Kanker membutuhkan perawatan medis jangka panjang dan biaya besar, sehingga memerlukan benchmark pelayanan kanker terstandardisasi. Program Kemenkes RI mengenai Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kanker berupa pelayanan berjenjang merata di Indonesia. Tiga pembagian strata rumah sakit, yaitu madya, utama, dan paripurna, dikoordinatori oleh satu pengampu nasional. RSCM sebagai pengampu dari lima RS strata utama yang tersebar dari empat Provinsi, yaitu Lampung, Banten, Kalbar dan Kalsel. Tujuan: Mengkaji situasi dan kondisi pelayanan kanker komprehensif di rumah sakit provinsi dan melakukan analisis keberhasilan program pengampuan tersebut. Metode: Studi deskriptif analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil: Pada kelima RS ampuan RSCM masih ada kesenjangan dalam pelayanan kanker dibandingkan dengan benchmark, terutama pada pemenuhan SDM, sarana, dan prasarana. Derajat kesenjangan dalam program penanggulangan kanker sedang hingga ringan. Terdapat kekurangan yang signifikan dalam aspek diagnosis dan terapi secara kualitatif pada RS Sitanala dan RS Banten, yang membutuhkan peningkatan SDM dan fasilitas untuk mengurangi kesenjangannya. Perubahan derajat kesenjangan masih rendah hanya 0.86% hingga 6.25%. Kendala terletak pada implementasi program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit, serta ketergantungan pada dukungan dana dari pengampu nasional. Kesimpulan: Program pengampuan pelayanan kanker yang dirancang strategis berdasarkan analisis kesenjangan belum menunjukkan peningkatan yang memuaskan setelah dua kuartal pelaksanaan.


Background: Cancer requires long-term medical care and substantial costs, requires standardized cancer care benchmarks. The Ministry Health of Indonesia has established Cancer Care Mentoring Network Hospitals, designed to provide equitable cancer care across country. Hospitals are divided into three strata: intermediate, main, and complete, coordinated by national mentor. RSCM acts as mentor for five main-strata hospitals spread across four provinces: Lampung, Banten, West Kalimantan, and South Kalimantan. Objective: Assess situation of comprehensive cancer care at provincial hospital level and analyse its success. Methods: Descriptive study using both quantitative and qualitative analysis. Results: In five RSCM-mentored hospitals found gaps in cancer care compared to established benchmarks, particularly in human resources, facilities, and infrastructure. The gaps degree in cancer control program tends to be moderate to mild, but qualitatively, there are significant lacks in diagnostic and therapeutic aspects at Sitanala and Banten Hospital, that require improvements. The change in gap degree remains low, ranging from only 0.86% to 6.25%. The main challenges lie in program implementation that are not align with each hospital specific needs and reliance on funding support from national coordinator. Conclusion: The designed cancer care mentoring program based on gap analysis, shows unsatisfactory improvement after two quarters of implementation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vito Filbert Jayalie
"Tujuan: Menghitung Tingkat Utilisasi Radioterapi aktual (TURa) dan optimal (TURo) untuk kanker kolon dan rektum di Indonesia. Metodologi: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap data sekunder registrasi/rekam medis kanker di rumah sakit (RS) dengan pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Data dikumpulkan secara total sampling untuk menghitung TURo, TURa, dan persentase yang tidak terpenuhi. Hasil: Terdapat 32 RS yang datanya dapat diolah (1.211 dan 1.762 pasien kanker kolon dan rektum). Rata-rata pasien berusia sekitar 52-54 tahun (10-94 tahun), jenis kelamin laki-laki (51,1%) dan berasal dari Sumatera Utara atau Jawa Tengah. Sebagian besar datang dengan stadium lokal lanjut dan lanjut (III dan IV), tidak diradiasi (76,9%). TURa kolon 14 RS adalah 5,3% (0-33,3%), sedangkan TURo kolon 3,3 (3-3,7%) dengan persentase yang tidak terpenuhi -60,6% (-76,7 sampai -43,2%). Untuk TURa dan TURo rektum adalah 22,8% (0-100%) dan 41% (28-66%). Persentase yang tidak terpenuhi kanker rektum adalah 44,4% (18,6-65,5%). Kesimpulan: TURa kanker kolon terkesan sudah memenuhi TURo, tetapi ketika disesuaikan dengan data dalam lingkup yang lebih besar, masih terdapat celah yang belum terpenuhi. Untuk kanker rektum, masih diperlukan peningkatan utilisasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut pada indikasi radiasi yang belum terlalu jelas. Selain itu, peningkatan TUR perlu mempertimbangkan faktor pasien, klinisi ataupun birokrasi.

Aims: To calculate the actual and optimal Radiotherapy Utilization Rate (RTUa and RTUo) of colon and rectal cancer in Indonesia. Methodology: This cross-sectional study used secondary cancer registry/medical records from hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019. Total sampling was used for data collection to calculate RTUa, RTUo and percentage of unmet needs. Results: Out of 32 hospitals (1,211 and 1,762 colon and rectal cancer patients), the mean age was 52-54 years old (10-94), male (51.1%), from North Sumatra or Central Java province. Most patients came with locally advanced and advanced stages (III and IV), not irradiated (76.9%). RTUa of colon in 14 hospitals was 5.3% (0-33.3%), whereas RTUo was 3.3 (3-3.7%). The unmet needs was -60.6% (-76.7 to -43.2%). For rectal, the RTUa and RTUo were 22.8% (0-100%) and 41% (28-66%). The unmet needs for rectal was 44.4% (18.6-65.5%). Conclusion: Despite the impression of fulfilling the RTUo of colon cancer, gaps are to be filled when adjusted with a broader scope of data. Moreover, for rectal cancer, there was still an unmet need for utilization. Further research is needed, especially in cancer with obscure radiotherapy indications. The increase in RTU should also consider patient, clinician and bureaucratic factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kotambunan, Charity
"Tujuan: Membahas perhitungan Tingkat Utilisasi Radioterapi optimal (TURo), aktual (TURa) serta kebutuhan tidak terpenuhi (kesenjangan) antar keduanya untuk kanker serviks dan ovarium di Indonesia. Metodologi: Studi deskriptif desain potong lintang, metode total sampling dengan mengambil data sekunder dari registrasi kanker dan/atau rekam medis internal RS partisipan yang memiliki pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Hasil: Dari 33 RS partisipan total data kanker serviks dan ovarium adalah 4937 dan 1583. Rata-rata pasien berusia 48-52 tahun (7-91 tahun). Domisili pasien sebagian besar dari Pulau Jawa. Stadium III adalah yang terbanyak untuk kedua kanker serviks (39,4%) dan ovarium (20,8%). Tatalaksana kanker serviks didominasi oleh radioterapi saja dan radioterapi-kemoterapi (28,5% dan 27,4%), sementara kanker ovarium terbanyak adalah kemoterapi-pembedahan (43,8%). Nilai TURo, TURa, dan kebutuhan tidak terpenuhi untuk kanker serviks yaitu 97,2% (90,9-97,4%), 61,24%, dan 36,7% (32,62-37,13%) dan untuk kanker ovarium 1,89% (1,39-4,60%), 4,83%, dan -155,56% (-247,48%-(-5)%). Kesimpulan: TUR masih memiliki kesenjangan yang cukup besar antara aktual dan optimal pada kanker serviks. Sebaliknya, kanker ovarium terkesan adanya utilisasi berlebihan namun kesenjangan terlihat pada eskalasi cakupan yang lebih luas. Diperlukan usaha peningkatan aktualisasi TUR mendekati nilai optimalnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi TUR harus dieksplorasi secara universal meliputi segi pasien, klinisi dan sistem kesehatan.

Purpose: To discuss the calculation of the optimal and actual Radiotherapy Utilization Rate (RURo and RURa) and unmet need (gap) between the two RUR for cervical and ovarian cancer in Indonesia. Methodology: This is a descriptive cross-sectional study with total sampling by taking secondary data from cancer registry and/or medical records of participating hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019.
Results: Out of the 33 participating hospitals, the total data on cervical and ovarian cancer were 4937 and 1583. The mean age was 48-52 years old (7-91). Most of the patients were from Java Island. Stage III was the most common for both cancers, 39.4% and 20.8%. The management of cervical cancer was dominated by radiotherapy alone and radiotherapy-chemotherapy (28.5% and 27.4%), while ovarian cancer most were chemotherapy-surgery (43.8%). RURo, RURa, and unmet needs for cervical cancer were 97.2% (90.9-97.4%), 61.24% and 36.7% (32.62-37.13%) and for ovarian cancer were 1.89% (1.39-4.60%), 4.83%, and -155.56% (-247.48%-(-5)%). Conclusion: RUR for cervical cancer still has a sizeable gap between actual and optimal. On the other hand, ovarian cancer gives the impression of overutilization but the gap was seen when escalating wider coverage. Efforts are needed to increase actualization rate close to its optimal value. The factors that affect RUR should be explored universally including the patient, clinician and health system aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elian Hudiya
"Tujuan: Menghitung sebaran capital cost radioterapi di Indonesia dan faktor-faktor yang memengaruhinya sebagai dasar untuk investasi lanjutan pengembangan radioterapi di Indonesia dan menutup gap pelayanan yang ada. Metodologi: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif eksploratif menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada senter radioterapi di seluruh Indonesia. Data jarak didapatkan menggunakan google maps(menggunakan garis langsung dan rute) serta data pendapatan didapatkan dari badan pusat statistik. Hasil dan Kesimpulan: Terdapat 29 senter radioterapi yang mengikuti penelitian ini dari 46 senter yang telah beroperasi di Indonesia pada 2019. Dari penelitian ini didapatkan Capital cost (dalam rupiah) radioterapi di Indonesia memiliki median Rp 47.824.000.000,- (21.600.000.000-158.688.000.000), dengan sebaran alat-alatnya: LINAC Rp 30.686.455.740,- ±7.374.468.988, rerata Cobalt Rp 11.997.617.647,- ±3.795.188.333, median CT simulator Rp 12.052.000.000,- (5.300.000.000-20.941.517.138), rerata simulator fluoroskopik Rp 3.969.900.000,- ±1.944.209.535, dan rerata bungker per pesawat Rp 4.952.332.381,- ±2.293.258.982. Jumlah pesawat radiasi per senter yang lebih tinggi (p=0,034), pendapatan per kapita lebih rendah (r=0,304, p=0,042), serta level PORI yang lebih rendah (p=0,01) berpengaruh secara statistik terhadap capital cost yang lebih rendah. Jarak kepada pusat ekonomi, dalam hal ini ibukota, tidak berpengaruh terhadap capital cost senter radioterapi (r=-0.282 p=0.139). Pada analisis multivariat, secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,01) antar kelompok level PORI serta antar kelompok jumlah pesawat radiasi dalam satu senter.

Aims: To develop and to close the gap in radiotherapy services in Indonesia, a radiotherapy center capital cost calculation and factors affecting that is needed. This study was meant to show capital cost distribution and the related significant factors. Methods: This explorative descriptive study used questionnaire that was distributed across radiotherapy centers in Indonesia. Distance data was taken from line distance and route distance in google maps. Whereas income data was taken from Statistics Indonesia Office (BPS). Results and Conclusion: 29 out of 46 centers which operated in 2019 participated in this study. This study showed the capital cost of radiotherapy in Indonesia based on the participating centers. This study described the median capital cost as Rp 47.824.000.000,- (21.600.000.000-158.688.000.000), witth the mean value of LINAC Rp 30.686.455.740,- ±7.374.468.988, mean of Cobalt Rp 11.997.617.647,- ±3.795.188.333, median value of CT simulator Rp 12.052.000.000,- (5.300.000.000-20.941.517.138), median value of fluoroscopic simulator Rp 3.969.900.000,- ±1.944.209.535, and mean value of radiation bunker Rp 4.952.332.381,- ±2.293.258.982. Higher number of radiotherapy machine within a center (p=0,034), lower percapita income (r=0,304, p=0,042), and lower PORI level (p=0,01) gives significant result on lower capital cost. Distance to economic center (Jakarta) was not significant to radiotherapy capital cost (r=-0.282 p=0.139). On multivariate analysis, there was a statistical difference p<0,01) between PORI levels and groups of different machine number within a center."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfiana Syarifah
"Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran biaya produk radioterapi eksterna dan tarif reimbursement berdasarkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia serta mengetahui kesesuaian antara keduanya. Metodologi: Desain penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan pengumpulan data dilakukan dengan total sampling. Data yang terkumpul kemudian dihitung menjadi tiga model perhitungan biaya produk aktual, optimal dan sesuai RRCC versi 20 dari IAEA selanjutnya dibandingkan kesesuaiannya dengan tarif reimbursement JKN. Hasil: Pengumpulan data akhir didapatkan 29 senter partisipan yang dapat diolah datanya dari 19 senter dari RS pemerintah dan 10 RS swasta namun tidak semua senter mengumpulan data dengan lengkap, hanya 5 senter yang mengumpulkan data hingga data amortisasi dan pemeliharaan peralatan dengan lengkap. Senter pemerintah melayani 340.265 fraksi dalam setahun sedangkan swasta 99.547 fraksi. Median biaya produk aktual pada lima senter lengkap, biaya produk optimal dan sesuai RRCC berturut-turut Rp 1.253.552, Rp 1.787.606 dan Rp 1.520.066. Biaya produk aktual dan optimal berdasarkan level PORI (sesuai teknik) berbeda bermakna secara statistik antara level 1A dan 2 atau 3 secara berturut-turut p= 0.014 dan p< 0.001, berdasarkan jenis pesawat Cobalt dibanding Linac biaya produk aktual (p= 0.002), optimal (p= 0.001) dan RRCC (p= 0.022), berdasarkan klasifikasi jumlah fraksi rendah dibanding sedang atau tinggi per tahun biaya produk aktual (p= 0.013) dan RRCC (p= 0.015). Kesimpulan: Secara garis besar gambaran biaya produk dipengaruhi oleh teknik radiasi, jenis pesawat, jumlah fraksi. Perhitungan biaya produk yang direkomendasikan sebagai acuan tarif adalah biaya produk optimal karena sudah memperhitungkan kapasitas dan kemampuan senter untuk berkembang. Tarif JKN menunjukkan tren yang lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya produk optimal, sedangkan jika dibandingkan dengan biaya produk aktual tampak tren lebih tinggi dibanding biaya produk yang dihasilkan dengan hanya 5 senter yang memiliki data lengkap.

Aims: The aim of this study was to describe the external beam radiation therapy cost and reimbursement tariff based on National Health Insurance (NHI) in Indonesia and to ascertain whether the two were compatible. Methodology: The design of this study used a cross-sectional method and total sampling was used for data collection. The three models created using the collected data to estimating actual, optimal and product cost according to RRCC version 20 from IAEA then assessed for appropriateness against the NHI reimbursement. Results: The final data collection revealed that 29 participating centers came from 10 private hospitals and 19 public hospitals, although not all centers collected complete data, only 5 centers collected data up to complete amortization data and maintenance. In a year, public hospital centers serve 340.265 fractions while private centers serve 99.547 fractions. The median actual product cost for 5 complete centers, optimal product cost and according to RRCC product cost were IDR 1,253,552, IDR 1,787,606, and IDR 1,520,066. According to the radiation technique, level 1A and 2 or 3 of the actual and optimal product costs differed statistically significant (p = 0.014 and p 0.001, respectively), while Cobalt compared to Linac actual product costs (p = 0.002), optimal product cost (p = 0.001) and RRCC (p = 0.022), based on the classification of the number of fractions low compared to medium or high per year actual product cost (p= 0.013) and RRCC (p= 0.015). Conclusion: Radiation technique, machine type and fractionation count all have a general impact on product cost. The optimal product cost calculation suggested as a tariff reference, because it has taken into account the capacity and ability of the centers to develop. The reimbursement shows a lower trend when compared to the optimal product cost, whereas when compared to the actual product cost, it appears to be a higher trend with only 5 centers having complete data."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Donald Arinanda Manuain
"Kanker payudara dan kanker paru secara berturutun merupakan kasus terbanyak dan ketiga terbanyak diantara berbagai jenis kanker yang ada di Indonesia. Radioterapi sebagai salah satu modalitas utama penanganan kanker diperlukan untuk mengatasi kedua jenis kanker ini. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan untuk mengetahui besaran tingkat utilisasi radioterapi untuk kanker payudara dan paru berdasarkan data dari senter radioterapi di Indonesia pada tahun 2019. Tingkat utilisasi radioterapi (TUR) terbagi atas tingkat utilisasi radioterapi optimal, yaitu tingkat utilisasi radioterapi berdasarkan panduan laksana yang diperlukan dan tingkat utilisasi radioterapi aktual, yaitu tingkat utilisasi radioterapi yang didapatkan oleh pasien dalam kenyataan sehari-hari. Pada studi ini dari total 8.625 kasus kanker payudara dan 2.088 data kasus kanker paru didapatkan bahwa TURo kanker payudara adalah 66,33% (50,7 – 78,2%) dan TURo kanker paru adalah 86,97% (72,8 – 90,2%) Sedangkan TURa kanker payudara adalah 33,6% dan TURo kanker paru adalah 18,2% Berdasarkan keduanya dapat dilakukan perhitungan persentase yang tidak terpenuhi untuk kanker payudara adalah 49,25% (33,6 – 56,95%) dan kanker paru sebesar 78,98% (74,90 – 79,74%). Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk identifikasi faktor yang mempengaruhi tingkat utilisasi radioterapi dalam upaya menutup kesenjangan antara TURo dan TURa.

Breast cancer and lung cancer respectively are the most common cases and the third most cancer cases in Indonesia. Radiotherapy as one of the main modalities of cancer treatment is needed to treat these two types of cancer. This research is a descriptive study conducted to determine the utilization rate of radiotherapy for breast and lung cancer based on data from radiotherapy centers in Indonesia in 2019. The radiotherapy utilization rate (RTU) is categorized into the optimal radiotherapy utilization rate, namely the radiotherapy utilization rate based on the provided guidelines and the actual radiotherapy utilization rate, namely the radiotherapy utilization level obtained by the patient in daily practice. In this study, from a total of 8,625 cases of breast cancer and 2,088 data of lung cancer cases, it was found that optimal RTU for breast cancer was 66.33% (50.7 – 78.2%) and optimal RTU for lung cancer was 86.97% (72.8 – 90.2%) while the actual RTU for breast cancer was 33.6% and the actual RTU for lung cancer was 18.2%. The percentage of unmet need for breast cancer was 49.25% (33.6 – 56.95%) and lung cancer was 78.98% (74.90 – 79.74%). Further research can be carried out to identify factors that affect radiotherapy utilization rates in an effort to close the gap between optimal and actual RTU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>