Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pangemanan, Handrie Dunand
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D1882
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Kardi
"Reformasi militer Indonesia telah mengakibatkan perubahan budaya, doktrin, struktural, dan organisasi. Perubahan tersebut belum mencapai sifat yang fundamental terhadap hubungan sipil-militer yang demokratis dimana hal ini sangat bergantung secara bersamaan pada "subordinasi masyarakat sipil untuk nilai-nilai militer” dan “subordinasi kontrol sipil atas militer". Kasus Indonesia dari reformasi militer tampaknya menunjukkan bahwa keberhasilan demokratisasi hubungan sipil-militer tergantung begitu banyak pada setup kelembagaan militer serta pada gigihnya bimbingan dan inisiatif dari institusi sipil. Beradaptasi dari Peter D. Feaver tentang teori "principal-agent", penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada koherensi yang kurang terpadu dari upaya antara lembaga-lembaga sipil (supra), sehingga dasar reformasi militer di Indonesia di bawah kontrol demokrasi masih bermasalah. Hal ini jelas bahwa, pertama, reformasi militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi, dan kematangan demokrasi harus membuka jalan bagi reformasi di militer. Kenyataan bahwa militer tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkaran supra sehingga hal ini menjadi bermasalah. Kedua, lingkaran sipil/ politik di dalam lingkaran supra tidak dapat membimbing, memberikan saran, dan memberikan orientasi kepada militer dalam kerangka tujuan nasional, termasuk alokasi sumber daya serta penggunaan kekuatan militer, sementara militer tetap menjadi otonom dalam beberapa area seperti doktrin, organisasi, disiplin internal, sifat, serta rencana operasional. Ketiga, lingkaran infra-partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi non-pemerintah serta akademisi dan media-telah memainkan beberapa peran, meskipun terbatas, dalam menetapkan beberapa perubahan, tetapi mereka tetap tidak mampu menjaga momentum selama proses berlangsung. Keempat, pada tingkat implementasi, Departemen Pertahanan tampaknya memiliki kapasitas yang terbatas untuk melakukan kontrol mereka atas militer terutama di bidang anggaran militer, prioritas strategis, akuisisi senjata, pendidikan, dan doktrin. Supremasi sipil di Indonesia tampaknya telah mengandalkan "subordinasi sukarela" dari militer daripada akses sipil untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap militer. Oleh karena itu, kebijakan instruktif dan dasar hukum keduanya diperlukan dan penting untuk menghasilkan subordinasi lengkap militer ke sipil.

Indonesia’s military reform may have resulted in noted cultural, structural, doctrinal, and organizational changes. But such change has yet to be felt in the fundamental democratic civil-military relation that relies upon both “the subordination of civil society to military values and the subordination of civilian control of the military”. In the case of Indonesia, the military reform process appears to suggest that the success of democratizing civil-military relations depends as much on the institutional setup of the military as on the persistence, guidance and initiative of the civilian institutions. Adapting Peter D. Feaver’s “principal-agent” theory, this study shows that owing to the lack of coherence and concerted effort among civilian institutions (supra), the nature of military reforms under democratic control in Indonesia remains problematic. Nonetheless, four points are clear. First, military reforms are an inseparable part of democratization, and democratic maturity should open the way for a better reforms in the military. The very fact that the military remains an integral and inseparable part of the supra is problematic. Secondly, the civil/political circle within supra is unable to fully guide, advise and orient the military in the area of national objectives, including the allocation of resources, and the use of military forces so long as the military remains autonomous in such areas as doctrine, organization, internal discipline, traits and operational planning. Thirdly, the infra -- political parties, social organizations, non-governmental organizations as well as academia and the media -- have played some roles, limited nonetheless, in setting the tone of changes, but they remain unable to keep up momentum throughout the process. Fourthly, at the implementation level, the Defense Ministry appears to have limited capacity to exercise its control over the military, especially in the area of the military budget, strategic priorities, weapons acquisition, education and doctrine. Civilian supremacy in Indonesia appears to have relied on “voluntary subordination” of the military rather than on civilian access to exercise effective control over the military. Hence, instructive policy and legal basis are both necessary and essential to yield a complete subordination of the military to the civilian democratic society."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Darmajanti
"Di Indonesia prioritas pembangunan ekonomi membawa dampak positif maupun negatif dalam kehidupan sosial budaya. Pendekatan pembangunan dari atas ke bawah yang diterapkan lebih dari dua puluh tahun membawa pengaruh cukup besar dalam kehidupan bermasyarakat. Warga masyarakat cenderung pasif, menunggu uluran tangan pemerintah untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan pendekatan pembangunan mendorong munculnya paradigma baru yang lebih menekankan pada pembangunan yang bertumpu pada komunitas. Senterttara itu banyak orang yang meragukan keinampuan komunitas dapat mengatasi masalah mereka sendiri termasuk masalah kemiskinan. Disisi lain perkembangan sistem ekonomi-politik dunia melanda negara-negara yang sedang berkembang. Dalam kurun waktu sepuluh tahun disponsori oleh Bank Dunia para ahli ilmu sosial mulai memusatkan perhatian pada pengembangan studi modal sosial guna menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara-negara di dunia ketiga. Keadaan ini merupakan reaksi dari perubahan sosial mendasar sebagai dampak pertumbuhan ekonomi serta kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dunia melalui proses globalisasi. Situasi ini yang mendorong penulis untuk meneliti modal sosial komunitas ketetanggaan di Jakarta.
Bagi penulis dalam masyarakat kota seperti Jakarta modal sosial harus dilihat dari kerangka kerja yang lebih nyata untuk menciptakan kehidupan demokrasi menuju ?civil community?. Teori sosiologi klasik mengembangkan teori bahwa pada masyarakat kotapola kehidupan sosial sudah melemah, mempunyai bentuk solidaritas yang berbeda, bahkan pada masyarakat tertentu ditemukan alienasi. Kemudian berkembang pemikiran bahwa nilai, norma. kepercayaan sosial adalah modal sosial yang sangat berperan dalam kehidupan sosial. Bagaimanapun juga modal sosial harus dapat digunakan sebagai stabilisator antar modal-modal lain dan sebagai ekonomi alternatif bagi warga komunitas di perkotaan. Konsep kunci modal sosial adalah bagaimana orang dengan mudah dapat bekerjasama. Studi modal sosial yang ada menggunakan keanggotaan untuk mengukur modal sosial dan menemukan kekuatan modal sosial sebagai koproduksi sebagai hasil kerjasama antar berbagai jenis organisasi. Untuk itu penulis merumuskan modal sosial sebagai kehidupan berorganisasi dimana warga dapat menyelesaikan masalah bersama di komunitas tempat tinggal mereka (spatial). Kehidupan berorganisasi mencerminkan jaringan kerjasama antar warga untuk mencapai tujuan bersama karena mereka tinggal di lingkungan yang sama. Dinamika kehidupan berorganisasi tentu sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber modal sosial (kognitif) yaitu kehidupan sosiabilitas antar warga yang dimiliki suatu komunitas yaitu nilai kepedulian, kepercayaan sosial dan solidaritas sosial antar warga. Untuk mengembangkan kehidupan berorganisasi studi ini ingin menguji hubungan antara kehidupan sosiabilitas dengan kehidupan berorganisasi di tingkat komunitas.
Dari berbagai kajian pustaka tentang studi modal sosial yang dilakukan ditemukan betapa sulitnya mengukur unsur-unsur yang terkait dalam modal sosial. Untuk itu studi menggunakan metode triangulasi yaitu menggabungkan metode kuantitalif dan kualitatif. Akurasi pengukuran kuantitatif merupakan keterbatasan studi ini yang akan dikembangkan dalam penelitian selanjutnya untuk menghasilkan indikator pengukuran yang lebih valid. Penelitian dilakukan di Kelurahan Gandaria Utara yang diharapkan dapat mewakili karakteristik komunitas kota Jakarta yang heterogen dan kompleks. Dilakukan survei terhadap 227 rumah tangga sebagai unit pengamatan dengan KK atau orang dewasa sebagai unit analisa. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan serta kelompok diskusi terarah pada kelompok/organisasi sosial di komunitas.
Studi ini tidak menemukan hubungan antara kehidupan berorganisasi dengan kehidupan sosiabilitas sebagai sumber modal sosial. Dinamika kehidupan berorganisasi sangat tergantung pada keberadaan individual atau sosial aktor. Aktor ini yang berperan dalam kehidupan sosiabilitas. Sumber-sumber modal sosial yang ada lebih bertumpu pada aktor sosial tidak berhubungan dengan kehidupan berorganisasi antar warga. Bahkan kedekatan sosial antar tetangga justru melemahkan mekanisme kontrol antar warga. Meskipun dalam model prediksi ditemukan hubungan antara lama tinggal dan kepedulian sosial antar warga dengan keanggotaan warga dalam organisasi sosial di komunitas.
Temuan studi membawa implikasi empirik yaitu bahwa di tingkat mikro jangan terjebak mengkaji modal sosial sebagai konsep-konsep abstrak atau perilaku (behavioristic) tetapi lebih bermanfaat bila berada dalam kerangka kerja yang mengarah pada pola-pola modal sosial itu sendiri. Implikasi teoritik yang penting adalah mulai melihat modal sosial dari pemikiran yang menekankan situasi perubahan yang terjadi saat ini. Teori-teori dalam konteks lokalitas dan sistem ekonomi-politik dunia yang melanda seluruh negara dimanapun ia berada khususnya negala dunia ketiga yang masih berada dalam tahap transisi. Bagi para pengambil keputusan, perumus kebijakan, pelaksaaaan program pembangunan dalam peningkatan kualitas hidup komunitas spatial perlu dipertimbangkan keberadaan organisasi komunitas baik dari rendahnya dinamika berorganisasi, kinerja dan jaringan kerjasama antar organisasi.

In Indonesia, the economic development priorities bring both positive and negative impacts to the social cultural life. The top down development approaches, which has been applied for more than twenty years; bring considerably significant impacts to the life of the community. People tend to be passive, looking forward to the hands of government to overcome their day-to-day problems. The Failure of these development approaches hence encourages the emergence of new paradigms that stressed on the development that rely heavily on the community (bottom up). In the mean time, many people doubt the ability of the community in solving their problems, inclusive of the poverty problems. On the other side, the development of the world economic and politic systems has influenced many developing countries. During the past tell years, sponsored by World Bank social scientists have tried to focus their attention on the development of social capital studies in order to overcome the poverty problems in the third world countries, This condition is a consequence of social changes as an impact of the economic development and the information and communication technology advancement through the process of globalization. This situation motivated the writer to observe the social life of urban community neighborhood in Jakarta.
From the writer point of views, for the urban community like Jakarta the social value should be examine from realistic framework to create democracy life towards the civil community. The focused is not only in the poverty problems but more general and comprehensive. The classical sociology theory stated that the urban community has relatively teak social lifestyles and different solidarity. Moreover, the type of alliance can be found in certain community. It consequently creates a viewpoint that the prominent social values in life are value, norm and social trust. This social capital in the local community should be function as stabilization between the other capitals such as physical human, financial or economic capital and it should be an alternative economic for the urban community. The key concept of social capital is hot people can easily working together (cooperative). The existing social capital studies use its members to measure the social capital and found that the social capital cooperation strength as co-production is the result of the cooperation between the organizations. Therefore, the riter forms a formula of social capital as the organization life where people could overcome problems in their own community neighborhoods (spatial). The organizational life describes the cooperation network between people in the community in achieving their goals because they live together in the same neighborhood.
The sociability between members in the community means social concern values; social trust and social solidarity between community members in this dissertation are the sources of social capital, which greatly influences the organizational life dynamics. This study is aim to examine the relationship between the sociability and the organizational life in the community level. The difficulties in measuring the elements involved in social capital can be found in many literatures about the social capital studies. Therefore, this study uses the triangulate method that collaborates both quantitative and qualitative methods. The accuracy in quantitative measurement is the limitations of this study, which will be develop in the next research to find more valid measurement indicators. This research was done in Kelurahan Gandaria Utara and expected to represent the heterogeneous and complex characteristics of Jakarta's communities. The survey was done in 227 households as observation units and the head of household or adult member as the unit of analysis. The qualitative data was gathered by the in-depth interview with the informants and the focused group discussions in the community.
The finding of this study is there is no relationship between the organizational life and the sociability life as social capital sources. The dynamics of organizational life depends heavily on the existence of individual or social actors. These actors play greater role in sociability life. The existing social capital sources are likely to rely on social actors, but unrelated to the organizational life between people. Moreover, the social cohesion between neighbors tends to weaken the social control mechanisms between peoples in the community. Even though the significant relationship between the length of stay of household and the social concerns between community members and local social organization life can be found in the prediction of social capital models.
This study brings empiric impacts that in the micro level never get trapped to observe social capital as abstract sociological concepts (the essence of social life) or social attitude. It hence would be more useful if being developed patterns of social life in the social capital framework. The prominent theoretic impact is how to see the social capital from the viewpoints that stressed on the changing situation in the existing theory; the locality context and the world economic and politic systems in many countries particularly urban community in the third world countries like Indonesia, which are mostly in the transitional stage. For many decision-makers and regulators, the implementation of development programs in increasing the quality of the spatial community life should consider the existence of the local community organization, from the organizational dynamics, performance and the cooperation network between the different types of organizations.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D116
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Siswoyo
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas upaya komunitas Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu di Kawasan PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat untuk memenuhi tuntutan produksi ramah lingkungan. Paralel dengan ideologi Ecological Modernization yang optimistik, perspektif utama disertasi ini adalah struktural fungsional dari sosiologi Parsonian. Perspektif yang kedua adalah sosiologi konstruksionis, terutama untuk membantu dalam mendeskripsikan beberapa proses sosial yang terjadi di lapangan. Data dikumpulkan melalui field study dan survai. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan hasil penelitian ini untuk mengambilan keputusan kebijakan, dapat dilakukan dengan berpegang pada prinsip triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan industri kecil tempe tahu di Perkampungan Industri Kecil (PIK) KOPTI Swakerta Semanan Jakarta Barat sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan industri kecil ramah lingkungan walaupun sudah ada usaha ke arah itu. Keadaan ini disadari betul oleh para pelaku usaha setempat. Namun secara kolektif mereka mempunyai aspirasi ramah lingkungan, bahkan mereka sedang berusaha keras mencari cara baru agar kegiatan produksi mereka dapat memenuhi standard ramah lingkungan baik dari segi pengelolaan limbahnya maupun pada proses produksinya. Perspektif Modernisasi Ekologis memang memberikan sumbangan ideologis yang dominan, walaupun hasilnya tidak seindah dan semulus yang dijanjikan. Proses sosial seperti penyelesaian sengketa mengenai penanganan limbah produksi, tidak bisa tidak memang harus merupakan bagaian yang tak terpisahkan dari proses modernisasi ekologis. Peran aktif lay persons setempat yang mampu melakukan dialogues and communicative action dapat dijelaskan dengan mempergunakan Teori Strukturasi dari Anthony Giddens yamg juga penganut EM. Kemudian pentingnya peran konstruktif para aktivis lingkungan, khususnya dari kalangan Perguruan Tinggi sebagaimana disyaratkan oleh prinsip EM, cukup memandakan bahwa implementasi perspektif EM akan terasa tidak dipaksakan jika mempergunakan pendekatan konstruksionis. Untuk penelitian dan pengembangan sosiologi lingkungan selanjutnya, disertasi ini merekomendasi pentingnya penggunaan teori Sociology of Environmental Flows dari Arthur Mol dan Gert Spaargaren.

ABSTRACT
This dissertation is about the environmental friendly production effort of the community of the Small Industry for Soybean Cake Production in the Kampong KOPTI Semanan, Western Jakarta. Parallel to optimistic approach of Ecological Modernization, the main theoretical perspective of this dissertation is structural functional, mainly Parsonian sociology. The second is constructionist approach, to assist the description of some the social process. The data are collected through field study and survey. The research findings show that individually, the production activities of the soy bean small industries at the KOPTI kampong totally cannot be categorized as environmental friendly. They know and aware about these unfriendly environmental behavior realities. So, their community leaders tray hard to look for the right way to fulfill the standard requirement of eco-friendly production, both in the process of production and in the dump and waste management. Ecological Modernization perspective obviously gives dominant ideological contribution, although the result as not fine and fluent as the promised. The social processes like the conflict and disagreement elimination especially about the dump and waste management, is a must and an integral part or ecological modernization process. The active role of the local lay person that has ability to conduct the dialogues and communicative action, can be explain through structuration theory from the Anthony Giddens that ecological modernist too. Then, the important of the constructive role of the environmental activist, particularly from the universities, are the sufficient indicators that the implementation of the ecological modernization perspective need constructionist approach. For the next research, this dissertation recommended to use Arthur Mol and Gert Spaargaren?s theory of Sociology of Environmental Flows."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D994
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnayetti
"Pengelolaan sistem irigasi merupakan kegiatan yang demildan luasnya, dimana menyangkut bangunan fisik yang komplek; dan kelompok manusia, pada dasamya sangat tergantung pada keijasama. Tugas-tugas penting dalam irigasi seperti memperoleh, mengalokasikan, dan mendistribusikan air, porsi kegiatannya setara antara sosial dan teknis, jadi mengelola irigasi adalah domain yang tepat untuk menguji kapital sosial (Uphoff, 2000; 2002).
Sistem irigasi Bandar Halim semenjak dibangun kembali oleh pemerintah memiliki dualisme pengelolaan antara pemerintah dan petani. Pengelolaan oleh pemerintah mulai dari bendung sampai saluran utama sedangkan petani pada saluran tertier dan lahan usaha tani. Hal ini membawa permasalahan tersendiri karena dengan masuknya pemerintah, jaringan keija dan kesepakatan-kesepakatan antar individu petani menjadi terpecah-pecah ke kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini dampak dari pelaksanaan program secara sentralistik. Walaupun begitu petani tetap eksis menyelenggarakan pengelolaan irigasi untuk menunjang perekonomian mereka, dengan memfungsikan sistem julo-julo sebagai kapital sosial tradisional masyarakat. Untuk itu dilaksanakan Studi tentang praktik pengelolaan irigasi masyarakat guna mencari peluang pelaksanaan sinerjistik komplementer antara pemerintah dan petani untuk direkomendasikan.
Untuk menemukan jawaban, data dikumpulkan melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, dan wawancara mendalam terhadap inforrnan-informan kunci yaitu: pejabat irigasi mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, wilayah, dan petugas lapangan, serta pengurus organisasi P3A dan petani. Kcmudian aparat penyuluh pertanian lapangan (PPL), aparat Nagari, pemuka masyarakat, dan masyarakat biasa, data dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan bahwa sistem julo-julo merupakan kapital sosial yang handal dalam praktik pengelolaan irigasi di tingkat petani. Sebab sistem ini kaya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diperlukan dalam pengelolaan suatu sistem irigasi, yang diturunkan dari tradisi adat dan merupakan pandangan hidup rnasyarakat. Nilai persamaan dan kebersamaan yang melahirkan norma-norma keadilan, tanggung jawab dan solidariras, yang dimanifestasikan dalam pola awak sumo awak dan Iamak dek awak katuju dak urang, memfasilitasi pelaksanaan semua tugas-tugas panting irigasi seperti perolehan air, alokasi air, pemeliharaan, mobilisasi sumberdaya dan manajemen, serta resolusi konflik. Dari nilai-nilai tadi muncul rasa saling percaya dan solidaritas yang tinggi dan mampu memunculkan kesadaran kelompok individu, hal inilah penyebab eksistensi irigasi di tingiat petani sampai sekarang untuk menunjang perekonomian mereka.
Sementara itu di daerah wewenang pemerintah, pelalusanaan berdasarkan prosedur umum dari atas ditambah dengan keterbatasan jumlah petugas lapangan dibanding luas wilayah kerja, serta berlapisnya birokrasi pembina irigasi, kesemuanya berdampak pada kurang intensnya interaksi dan kornunikasi yang merupakan faktor penting dalam pembangunan relasi. Terutama sekali di batas wilayah wewenang pemerintah dan petani (daerah pintu bagi tertier), pelaksanaan berjalan tidak menurut prosedur dan tanpa kesepakatan yang jelas antara pctugas dan petani, Serta tidak ada kontrol dan sanksi bagi yang melanggar aturan. Semuanya itu berdampak pada cepatnya laju penurunan kondisi fisik.
Keunggulan konsep kapilal sosial julo-julo adalah karena tindakan individu dan pembangunan relasi antar individu lebih didasarkan atas pertimbangan moral, bukan atas keadilan penyebaran reward dan swa kepentingan. Kepercayaan dan solidaritas muncul dari ikatan moral dan emosional sehingga mampu menjaga keberlangsungan kerjasama terutama dalam tugas-tugas rutin irigasi, dalam bentuk rantai ikatan yang menjaga lancarnya kegiatan dalam skala luas (wilayah wewenang pelani). Sedangkan konsep kapital sosial yang didukung oleh para ahli diantaranya Uphoff dan Coleman, tindakan individu didasarkan atas pertimbangan swa kepentingan, pembangunan relasi atau kerjasama tak obahnya sebagai penyatuan swa kepentingan, karena tidak mampu diatasi atau dicapai secara individual. Kepercayaan merupakan hasil rasionalitas kalkulasi manfaat maksimal pembuatan jaringan, seterusnya norma dan nilai akan muncul apabila terdapat keadilan penyebaran reward. Hal inilah yang membedakan dengan konsep kapital sosial julo-julo, sehingga teori kapital sosial Uphoff dan Coleman kurang mampu menjelaskan temuan lapangan secara lebih dalam.
Regulasi dan aturan fomlal lainnya serta tata pelaksanaan sentralistik, tidak berkualitas untuk dijadikan sebagai sumber lcapital sosial di level makro sehingga tidal: mempunyai kekuatan untuk membangun relasi yang bersifat sinerji antara pemerintah dan masyarakat. Relasi sinerji menghendaki pembagian kerja seimbang (koproduksi) dan saling mendukung antara kedua belah pihak secara komplementer. Dampak pengelolaan sentalistik terhadap kemunduran jaringan fisik dan organisasi, serta melemahnya kapital sosial masyarakat yang seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk mendulcung program pembangunan nasional. Oleh sebab itu aturan-aturan formal yang bersifat umum dari pemerintah perlu didampingi dengan aturan-aturan informal masyarakat, agar praktik pengelolaan irigasi terselenggara dengan ketat dan lancar. Sehingga dapat dicapai efisiensi dan efektihtas, serta menyentuh sampai ke level mikro (masyarakat).
Implikasi teoritik dari temuan menyatakan bahwa nilai persamaan dan kebersamaan yang turun dari idiologi dan tradisi adat yang dilmplementasikan dalam rasa solidaritas dan altruism menciptakan watak kerjasama yang mempertimbangkan kepentingan bersama, serta kesadaran kelompok pada individu. Rasionalitas atas pertimbangan rasa persamaan dan kebersamaan dapat rnenggalang kekuatan masyarakat secara bersama untuk mencapai tujuan bersama maupun menanggulangi permasalahan bersama. Kekuatan ini mampu menangkal kekuatan dari luar yang memaksakan pembahan mendasar pada tatanan sosial. Terbukti dengan perubahan mendasar pada sistem irigasi masyarakat semenjak dikelola oleh pemerintah, tetapi petani tetap bertahan dengan sistem mereka.
Berdasarkan temuan diajukan rekomendasi sebagai berikut: praktis: pembagian kerja antara petugas dan petani dalam aturan formal (prosedur PU dan AD&ART) yang bersifat umum perlu didampingi dengan aturan informal masyarakat sebagai sumber kapital sosial lokal, sebab pengelolaan irigasi di suatu daerah tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan atau tradisi adat setempat. Potensi lokal ini dapat digunakan sebagai penunjang pembangmman nasional. Kebijakan: pembuatan regulasi diharapkan berpotensi menjadi sumber kapital sosial di level makro dan lata pelaksanaan oleh pemerintah menguatkan, sehingga mampu menyentuh sarnpai ke level mikro. Dengan begitu memberi peluang pada masyarakat untuk ikut berpartisipasi sebagai mitra dari pemerintah.
Rekomendasi model pengelolaan irigasi di Sumbar adalah dengan mengintegrasikan kelompok hamparan dengan sistem julo-julo ke dalam praktik pengelolaan kesatuan wilayah irigasi, untuk mengisi kekosongan peran akibat kurangnya tenaga petugas lapangan. Nagari diberi otonomi hak dan wewenang dalarn bertindak dan mengambil keputusan sehubungan dengan irigasi di daerahnya, karena Nagari merupakan bagian dari masyarakat lrigasi tersebut.

Irrigation management is one of the most widespread of human activities, and one intrinsically dependent upon cooperation. The uniformity of water as a resource and the ubicuity of gravity as force of nature make this is a good domain in which to look for general phenomena and relationships. Moreover, the essential tasks of acquiring, allocating and distributing water are as social as they are technical, so inigation management is an appropriate domain in which to examine social capital (Uphoff, 2000; 2002).
Bandar Halim irrigation systems, since being redeveloped by the government has dualistic management between the government and the farmers. Government management responsibility of the irrigation system starts from the weir to the main canal, and local authorithies under farmer management is Bom tertiary canal to their farrns. This dualistic management system brings some of its own problems with the entry of the government in its management. The system becomes disjointed or fragmented (breaking up into small units). The community based irrigation system causes the breakdown of its traditional social network and social commitment. This is the impact of the centralistic management.
However, the farmers succeed in managing their irrigation systems by using the traditional julo-julo system as a source of local social capital not only protect but that the improve their income. That is why this Study of the practical management of the community- based irrigation, an opportunity to complement the synergistic strength of management between the government and farmers is proposed as recommendation.
To acquire the data, the study uses documents, participant observations, indepth interviews from key informants such as persons in charge of irrigation institutions from, the provincial to lowest level, that is the person who works closely with the farmers and the water user organizations (PBA). Information obtained from the key informants in the community such as the Nagari informal leaders, and people in general. This research and analysis are descriptive qualitative in nature.
The study finds that the julo-julo system is a viable social capital in the practical irrigation management at the farmers level. This is because the juio-juio system is rich with social values and norms needed to manage an irrigation system, these norms and values deriving from the customary tradition is the way of life of the local society. The value of social cohesion (persamaan) and tagerherrress (lcebersamaan) produced social norms such as justice, responsibility, and solidarity that manifest in the awak some awak and Iama/c dek awrrk, katuju delc rrrang systems, that facilitate all essential management tasks of irrigation such as water acquisition, water allocation, maintenance, resource mobilization and management, and conflict resolution. These values also create mutual trustworthness and solidarity that build collective conscience of the individuals. All these aspects of the existing irrigation management system at the farmers level are found to the supportive of their economy.
While, at the govemmental authority level, its management is based on general procedures (formal rules), with minimum number of field ofEcials compare to its large working area, and intractable irrigation supervision bureaucracy results in the lack of interaction and communication that is an essential factor to build good relations. Especially, the division of responsibility between government and farmer (tertiary box area), the management is carried out without formal procedures and clear social commitment between field officials and farmers, there is no control or sanction on those who break the rules. All these impact on the degradation of the physical conditions of the irrigation system.
The capability of the social capital of the julo-julo is that individual action and relations built among individuals are on moral considerations, not only just reward sharing and self interest. Beliefs and solidarity exist from moral and emotional ties that make them to he able to sustain cooperation,/networl-ring, especially in routine tasks of irrigation operation in the form of social ties that cover a vast area. The social capital concept as elaborated by Uphoff (2000, 20002) and Coleman (2000), individual action based on consideration of self interest, relations built or cooperation such a unity of self interest, because the people could not achieve the means to resolve their individual problem. Their belief is produced by a rational calculation about maximal use of social networking, such that norms and values will exist if there is just distribution of reward. The social concept by Uphoff and Coleman thus could not explain our more indepth and widespread field Endings.
Regulations and other fonnal rules with centralistic govemance program, are not able to be a resource of social capital at the macro level at it is powerless to build synergistic relations between the government and society. Synergistic relations need clear labor differentiation as coproduction to mutually support each other in a complenrantary manner. The impact of the centralistic management is the deterioration of the physical inigation construction and its organization. The strength of the local social capital can actually be used for national development. Therefore, the general formal mles from the government need to be accompanied by societal informal rules, so that the management of the inigation will be sh'ict and effective and efficient. Whwn this is achieved its benefits will be felt by the community.
The theoretical implication from our study findings suggest that the value of the social cohesion and togetherness stemming from the local ideology and customary traditions that were found in the feelings of solidarity and altruism result in the cooperative character that take into account mutual interest, as well as collective conscience to the individual. The rationality on mutual interest and togetherness is able to mobilize the strength of the community to achieve their common objective or overcome their mutual problems. This community strength is able to overcome expand its influence that may threaten or change the local social structure. Even though with the basic change in the management system carried out by the govemment, the farmers are still able to continue to maintain their local system of management.
The recommendations of study are in practical and policy recommendations as follows : Practical recommendation: differentiation of labor between government and farmer in formal rules (procedures of government) that are general needs to be accompanied by societal informal rules as a local social capital resource, as the irrigation management in one area cannot be in isolation or out of context of every day habits or customary traditions. This local indigenous because the management of irrigation in one area cannot be separated from. This local indigenous wisdom could used to facilitate national development. Policy recommendation: the govemment has to make irrigation regulations as a potential social capital resource at the macro level and governance by strengthening its regulatory structure or framework management, such that they can have as effect at the micro level, thus providing the opportunity for the local community to participate as a effective partner.
For West Sumatera as a whole, the study recommends the integration of this irrigation management model into the surrounding adjacent areas with the ,info-julo system in the practice of a wide areal irrigation system to fill the lack of Held manpower. The Nagari should be given the autonomy rights and responsibility to take action and decision conceming irrigation matter in their distr-ics because the Nagari represents an integral part of the West Sumatera irrigation community.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library