Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Willy
"Latar Belakang: Pelepasan gelembung gas inert akibat supersaturasi jaringan dengan perubahan tekanan dipercaya sebagai penyebab decompression sickness. Gelembung gas dapat dideteksi melalui USG Doppler tetapi sensitivitas dan spesifisitas terhadap decompression sickness dipertanyakan. Perubahan fisiologis tubuh berupa peningkatan agregasi trombosit diduga berperan dalam terjadinya decompression sickness. Peningkatan agregasi trombosit terbukti pada penyelaman 60 msw.
Tujuan: untuk membuktikan penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dapat mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit.
Metode: Penelitian eksperimental desain cross over dengan melibatkan delapan belas penyelam laki-laki dislambair. Semua penyelam akan melakukan penyelaman kering dengan udara pada tekanan 280 kPa selama 80 menit dengan kontrol masuk ke dalam RUBT tanpa ditekan pada periode pertama. Pada periode kedua kelompok perlakuan dan kontrol ditukar. Prosedur dekompresi disesuaikan dengan prosedur tabel dekompresi US Navy Revisi 6. Pengambilan darah dilakukan sebelum perlakuan, setelah periode pertama, dan setelah periode kedua. Pemeriksaan agregasi trombosit menggunakan induktor ADP, kolagen dan epinefrin.
Hasil: Setelah penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa selama 80 menit secara signifikan meningkatkan persentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP dari 86.94 ± 4.11 menjadi 90.46 ± 3.41, dengan induktor kolagen dari 91.94 ± 2.62 menjadi 94.69 ± 2.25, dan induktor epinefrin dari 86.65 (22.10-93.8) menjadi 90.25 (31-95.9) pada kelompok sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Tidak ditemukan peningkatan signifikan persentase agregasi maksimal trombosit pada kelompok sebelum perlakuan dengan kontrol.
Kesimpulan: Penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa selama 80 menit meningkatkan persentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP, kolagen, dan epinefrin.

Background: The release of inert gas bubbles due to changes in tissue?s supersaturating with pressure change is believed to be the cause of decompression sickness. Gas bubbles can be detected by Doppler ultrasonography but sensitivity and specificity is poorly defined. Increased of platelet aggregation is estimated have a role in DCS. Increasing platelet aggregation has been proved in dive with depth 60 MSW.
Aim: To prove that a single decompression dives 280 kPa can lead to increased platelet aggregation.
Methods: Experimental studies with a cross-over design involving eighteen male dislambair divers. All divers will dive in air compression chamber at a pressure of 280 kPa for 80 minutes with control entry into air compression chamber without pressure in the first period. In the second period, treatment and control group exchanged. Decompression procedures adapted to the US Navy decompression tables procedures 6th Revision. Taking blood performed before the intervention, after first period, and after second period. Examination of platelet aggregation using inductors ADP, collagen and epinephrine.
Result: A single decompression dive 280 kPa for 80 minutes significantly increased the percentage of maximal platelet aggregation with ADP inductor from 86.94±4.11 to 90.46±3.41, with a collagen inductor from 91.94±2.62 to 94.69±2.25, and epinephrine inductor from 86.65 (22.10-93.8) to 90.25 (31-95.9) in before and after treatment group. Increasing percentage of maximal platelet aggregation was not significant in the before treatment group and control group.
Conclusion: A single decompression dive 280 kPa for 80 minutes can lead to increase the percentage of maximal platelet aggregation with ADP, collagen, and epinephrine inductors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhadi
"Latar Belakang: Aktifitas dan lingkungan penyelaman yang dilakukan penyelam Kopaska memiliki bahaya potensial baik fisik, kimia maupun biologi. Teori adatatif Guritno mengatakan bahwa lingkungan penyelaman merupakan stressor yang menyebabkan manusia melakukan penyesuain, dimana dalam melakukan adaptasinya mengalami strain yang mempengaruhi beberapa organ tubuh manusia. Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh kerja jantung : isi sekuncup, frekuensi denyut jantung dan curah jantung dengan kerja fisik submaksimal menggunakan media napas oksigen 100% dan udara kompresi di kedalaman 5 meter pada penyelam Kopaska. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan cross over design. Subyek penelitin 22 orang penyelam Kopaska, dibagi dua kelompok, yaitu oksigen 100% (intervensi) dengan udara kompresi (kontrol). Kerja fisik submaksimal menggunakan sepeda ergocycle dengan metode Astrand modifikasi Guritno. Hasil: Perbandingan respon kardiovaskuler antara media napas oksigen 100% dengan udara kompresi kondisi hiperbarik saat istirahat, respon isi sekuncup dengan nilai value-p p = 0.655, frekuensi denyut jantung p = 0.512 dan curah jantung p = 0.769 (p > 0.05). Dalam kondisi hiperbarik saat pembebanan fisik submaksimal 2 Kp, respon isi sekuncup dengan nilai value-p p = 0.655, frekuensi denyut jantung p = 0.512 dan curah jantung p = 0.769 (p > 0.05). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada sistem kardiovaskuler berupa respon isi sekuncup, frekuensi denyut jantung dan curah jantung antara media napas oksigen 100% dengan udara kompresi di kedalaman 5 meter baik saat istirahat maupun saat pembebanan fisik submaksimal 2 Kp.
Background: activities and environmental dives conducted frogmen divers have good potential danger of physical, chemical and biological. "Guritno adatatif Theory" says that the dive environment is a stressor that causes people to do adjustment, which in doing adaptation subjected to strain that affects several organs of the human body. This study aims to prove the influence of the heart: stroke volume, heart rate and cardiac output with submaximal physical work using the media breathing 100% oxygen and compressed air at a depth of 5 meters at divers frogmen. Methods: This study is an experimental study with cross-over design. The subjects of the research is conducted 22 divers frogmen, divided into two groups, namely oxygen 100% (intervention) with compressed air (control). Submaximal exercise using a bicycle Ergocycle Astrand method "Guritno modification". Results: Comparison of cardiovascular responses between the media breathing oxygen 100% (hyperbaric hyperoxia) with compressed air (hyperbaric ?hyperoxia air?) conditions hyperbaricat rest, stroke volume response with value-p of p = 0.655, heart rate p = 0.512 and cardiac output p = 0.769 (p> 0.05). In conditions hyperbaric submaximal exercise 2 Kp, stroke volume response with value-p of p = 0.226, heart rate p = 0.647 and cardiac output p = 0.195 (p> 0.05). Conclusions: There were no significant differences in the response of the cardiovascular system such as stroke volume, heart rate and cardiac output between the media breathing oxygen 100% with compressed air at a depth of 5 meters both at rest and during submaximal exercise 2 Kp."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Dewi Astuty
"Penyakit Dekompresi (DCS) merupakan keadaan patologis yang mempengaruhi penyelam, astronot, pilot dan pekerja udara terkompresi akibat dari gelembung yang timbul dalam tubuh selama atau setelah penurunan tekanan ambien. Divers Alert Network melaporkan kasus DCS pada penyelam rekreasi sebanyak 651kejadian (23%) dari 2,866. Chichi Wahab, dkk melaporkan sebanyak 62 orang (53%) dari 117 menderita Penyakit Dekompresi pada penyelam tradisional. Reaksi Inflamasi merupakan salah satu penyebab DCS. Di Indonesia belum ada penelitian tentang pengaruh penyelaman dekompresi terhadap perubahan fungsi endotel sebagai pemicu terjadinya DCS.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental rancangan pola silang. Data subjek adalah data primer yang di dapat melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Sampel dipilih dengan cara random sistematik, diambil 20 orang sebagai subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok secara random. Kelompok A diberi perlakuan dengan tekanan 280 kPa pada hari pertama dan pada hari kedua diberi perlakuan masuk RUBT tanpa tekanan. Kelompok B yang diberi perlakuan tanpa tekanan pada hari pertama dan diberi perlakuan dengan tekanan 280 kPa pada hari berikutnya. Tiap Subjek Penelitian dilakukan pemeriksaan Interleukin-1α dengan menggunakan ELISA sandwich teknik kuantitatif sebanyak 3x yaitu sebelum diberikan perlakuan, setelah diberikan perlakuan dengan tekanan 280 kPa dan setelah perlakuan tanpa tekanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi Interleukin-1α baik setelah mendapatkan perlakuan dengan tekanan, maupun perlakuan tanpa tekanan, namun kenaikan ekspresi Interleukin-1α lebih besar setelah mendapat perlakuan dengan tekanan. Rerata kenaikan ekspresi Interleukin-1α setelah diberikan perlakuan dengan tekanan sebesar 0.01±0.01 pg/ml.
Kesimpulan dan Saran: Dibuktikannya peningkatan ekspresi Interleukin-1α yang bermakna pada subjek penelitian setelah diberikan perlakuan dengan tekanan 280 kPa.

Decompression Illness (DCS) is a pathological condition that affects divers, astronauts, pilots and workers who work in compressed air, as a result of bubbles arising in the body during or after drop in ambient pressure. Divers Alert Network reported cases of DCS in recreational divers as many as 651 events (23%) of 2.8663. Chichi Wahab et al reported 62 people (53%) of 117 suffered from decompression illness in traditional divers. Inflammatory reaction is one of many causes of DCS. In Indonesia, there is no research on the effects of decompression dives to changes in endothelial function as a trigger of DCS.
This study used experimental study design with Cross Over. Primary data was collected through questionnaires, physical examination and laboratory. Samples were selected, systematic randomly 20 people as research subjects each for two groups. The subjects were randomly assigned to a group. Group A was treated with a pressure of 280 kPa on the first day and on the second day entered the RUBT without pressure. Group B were treated with no pressure on the first day and was treated with pressure of 280 kPa on the next day. Each study subject was examined Interleukin-1α using ELISA sandwich quantitative techniques 3 times: before the study, after being given treatment with a pressure of 280 kPa and after treatment without pressure.
The results showed that an increase expression of Interleukin-1α better after getting treatment with pressure, or treatment without pressure, but the increase expression of Interleukin-1α larger after being treated with pressure. The mean increase e expression of Interleukin-1α after being treated with pressure is 0:01 ± 0.01 pg/ml.
Conclusions and Recommendations : Good evidence increasing expression of Interleukin-1α meaningful research on the subject after being given treatment with pressure of 280 kPa.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riny Riyanti
"Latar Belakang: Terbentuknya gelembung dari gas inert yang larut pada jaringan selama proses dekompresi merupakan penyebab penyakit dekompresi. Gelembung gas ini dapat menyebabkan disfungsi endotel yang akan mengakibatkan agregasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pemberian latihan fisik submaksimal akut sebelum penyelaman dapat mencegah peningkatan kadar agregasi trombosit.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain true experimental dengan jumlah sampel 40 orang yang dibagi atas 2 kelompok. Kelompok perlakuan diberikan latihan fisik submaksimal akut 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi 280kPa dengan bottom time 80 menit. Kelompok kontrol melakukan penyelaman yang sama tanpa melakukan latihan fisik 24 jam sebelumnya. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 3 kali yaitu diawal penelitian, sebelum penyelaman dan sesudah penyelaman.
Hasil: Pada kelompok perlakuan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna p>0,05 pada kadar agregasi trombosit dengan induktor ADP, Kolagen dan Epinefrin setelah penyelaman, sedangkan pada kelompok kontrol didapat peningkatan yang bermakna p

Background: Bubbling created from an Inert Gas which is dissolved in tissue during a decompression process cause decompression sickness. This bubble can trigger endothelial activation and dysfunction leading to platelet aggregation. This research aims to prove that acute submaximal exercise during pre dive of decompression single dive can prevent platelet aggregation.
Method: This research used a true experimental design with samples of 40 people who are divided into 2 groups. The treatment group did submaximal exercise 24 hour before 280kPa decompression single dive with bottom time of 80 minutes. While the control group only did the dive, without previous exercise. Blood samples were taken 3 times, at the beginning of experiment, pre dive and after diving.
Result: The experimental group showed no significant difference p 0.05 on the aggregation indicated by ADP, Collagen and Epinephrine, in the control group showed a significant difference p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cokroningrum Dewi Windarsih
"Latar Belakang : Kelelahan merupakan suatu permasalahan umum di segala bidang pekerjaan. Didalam proses kelelahan ini tidak lepas dari adanya peran suatu sistem dalam eliminasi Reactive Oxygen Species (ROS) yang juga melibatkan peran antioksidan endogen baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non enzimatik seperti Glutathione (GSH). Dalam proses patofisiologinya terdapat titik dimana pemberian oksigen hiperbarik dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kelelahan tersebut; sehingga menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui efek pemberian oksigen hiperbarik terhadap kadar glutathione pada perawat dengan kelelahan. 
Metode : Penelitian ini merupakan bagian dari suatu penelitian payung dengan desain randomized control trial. Penelitian ini dilaksanakan pada 30 orang perawat yang sebelumnya telah terdiagnosis dengan kelelahan secara subjektif dan terbagi dalam kelompok intervensi dan kontrol, dengan pada masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan kadar glutathione (GSH) sebelum dan setelah perlakuan. 
Hasil : Terdapat kenaikan tidak bermakna kadar GSH sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol dengan p=0,074, dan terdapat penurunan kadar GSH sebelum dan sesudah perlakuan yang bermakna pada kelompok intervensi dengan p=0,012. Selisih GSH sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi secara berurutan adalah sebesar 0,68±1,353 µg/ml dan -1,46±1,526 µg/ml dengan nilai uji perbandingan rerata keduanya meunjukkan hasil signifikan (P<0,05) yaitu dengan nilai sebesar p=0,001. 
Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada selisih kadar GSH Kelompok Intervensi setelah perlakuan pemberian oksigen hiperbarik dibandingkan dengan kelompok Kontrol.

Background: Fatigue is a common problem in all fields of work. In fatigue process, it is inseparable from the role of a series elimination process of Reactive Oxygen Species (ROS) which also involves the endogenous antioxidants both enzymatic and non-enzymatic antioxidants such as Glutathione (GSH). In the pathophysiological process there is a point where hyperbaric oxygen administration can be utilized to overcome fatigue; thus, making researchers interested in knowing the effect of hyperbaric oxygen administration on glutathione levels in nurses with fatigue.
Methods: This study is part of joint research with double blinded-randomized control trial design. This study was conducted on 30 nurses having fatigue condition defined by the Japan Industrial Fatigue Research Committee (JIFRC) and Maslach Burnout inventory (MBI) then divided them into intervention and control groups, with plasma glutathione (GSH) levels retrieved before and after treatment.
Results: There was no significant increase in GSH levels before and after treatment in the control group with p=0.074, and there was a significant decrease in GSH levels before and after treatment in the intervention group with p=0.012. The difference in GSH before and after treatment in the control group and intervention group respectively was 0.68±1.353 µg/ml and -1.46±1.526 µg/ml with the value of the comparison test of the two means showing significant results (P <0.05), namely with a value of p=0.001.
Conclusion: There is a significant difference of Plasma GSH levels in the Intervention Group after hyperbaric oxygen treatment compared to the Control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Susanti
"Latar Belakang: Kelelahan merupakan  hal yang biasa dialami pekerja. Kelelahan apabila tidak diatasi akan menyebabkan penurunan performa dan berdampak pada keselamatan pasien. Superoxide Dismutase (SOD) adalah salah satu biomarker kelelahan yang merupakan antioksidan endogen sebagai reaksi alami tubuh terhadap peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang timbul karena aktifitas fisik. Penelitin terkait upaya mengatasi kelelahan terkait enzim antioksidan SOD masih terbatas. Pemberian Oksigen Hiperbarik (OHB)  diharapkan mampu meningkatkan produksi SOD dan menurunkan kelelahan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh OHB pada aktivitas SOD dengan tabel klinis tunggal.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain true experimental dengan double-blind control trial.  Sebanyak 30 orang perawat dengan kelelahan yang dibagi kelompok Normobarik Normosik (NN) sebagai kontrol dan Hiperbarik Hiperoksik (HH) sebagai  perlakuan dengan randomisasi blok, Aktivitas SOD diukur sebelum dan 1 jam sesudah perlakuan menggunakan metode kolorimetri.
Hasil : Tidak terdapat perubahan aktivitas SOD pada kelompok intervensi (p=0,649) dibandingkan kelompok kontrol yang cenderung menurun (p=0,087) Tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) setelah perlakuan pada aktivitas SOD antara 2 kelompok.
Kesimpulan : Pemberian oksigen hiperbarik tidak memberikan perubahan bermakna pada aktivitas SOD, namun dapat mempertahankan nilai SOD dibandingkan dengan kontrol yang menurun. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar subjek hanya memiliki tingkat kelelahan ringan (80%).

Background: Fatigue is a common experience for workers. Fatigue, if not addressed, will cause a decrease in performance and impact on patient safety. Superoxide Dismutase (SOD) is one of the biomarkers of fatigue which is an endogenous antioxidant as the body's natural reaction to increased Reactive Oxygen Species (ROS) arising from physical activity. There is limited research on overcoming fatigue related to the antioxidant enzyme SOD. Hyperbaric Oxygen Treatment (OHB) is expected to increase SOD production and reduce fatigue. This study is intended to determine the effect of OHB on SOD activity with a single clinical table. Methods: This study used a true experimental design with a double-blind control trial. A total of 30 nurses with fatigue were divided into Normobaric Normoxia (NN) groups as control and Hyperbaric Hyperoxia (HH) as treatment with block randomization, SOD activity was measured before and 1 hour after treatment using the colorimetric method. Results: There was no change in SOD activity in the intervention group (p=0.649) compared to the control group which tended to decrease (p=0.087) There was no significant difference (p>0.05) after treatment on SOD activity between the 2 groups. Conclusion: Hyperbaric oxygen administration does not provide significant changes in SOD activity, but can maintain SOD values compared to controls which decrease. This is possible because most subjects only had mild fatigue levels (80%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Eviriyanti
"Latar Belakang : Perawat yang bekerja di Rumah Sakit memiliki tuntutan pekerjaan tinggi yang berdampak terjadinya kelelahan, sehingga menurunkan produktivitas kerja dan resiko terjadinya accident ditempat kerja. Biomarker untuk mengukur kelelahan yaitu asam laktat, meningkat pada kondisi kelelahan. Oksigen Hiperbarik diharapkan menurunkan kadar asam laktat dalam darah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh Oksigen Hiperbarik pada kadar asam laktat dengan tabel klinis tunggal.
Metode : Subjek penelitian ini adalah perawat dengan metode true experimental dan double-blind pada 30 perawat dengan kelelahan yang dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok, kelompok Normobarik Normosik sebagai kontrol dan Hiperbarik Hiperoksik sebagai perlakuan. Kedua kelompok melakukan terapi dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi. Kadar asam laktat diukur menggunakan teknik kolorimetri sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil : Perubahan kadar rerata kadar asam laktat sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda signifikan dengan nilai p value untuk kelompok normobarik normosik adalah 0,12 dan nilai p value kelompok hiperbarik hiperoksik adalah 0,51. Demikian dengan rerata delta Asam Laktat pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak berbeda signifikan dengan nilai p > 0,15.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbeaan bermakna rerata kadar asam laktat pada kedua kelompok sebelum dan sesudah perlakuan

Background : Nurses who work in hospitals have high job demands which can result in fatigue, thereby reducing work productivity and the risk of accidents at work. The biomarker for measuring fatigue is lactate acid, which can increase in conditions of fatigue Hyperbaric Oxygen is expected to be able to reduce lactate levels in the blood. This study aims to determine the effect of Hyperbaric Oxygen (HBO) on lactate levels with a single clinical table.
Method : The subject of the research is a nurse with true experimental and a double-blind design on 30 nurses with fatigue who were divided into two groups with block randomization, where the Normobaric Normoxic (NN) group was used as a control and Hyperbaric Hyperoxic (HH) group was used as treatment. Both groups underwent therapy in Chamber. Lactate levels were measured using colorimetric techniques before and after treatment.
Results : The average change in lactate levels before and after treatment in both groups did not differ significantly with a p-value for the control group: of 0.12 and a p-value for the intervention group of 0.516. Likewise, the average delta Lactate Acid in the control group and treatment did not differ significantly with a p-value = 0.15
Conclusion : There was no significant difference in the average lactate levels in both groups before and after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Richard Hermawan
"Latar Belakang: Penelitian ini bertujuan menentukan efek dari pemberian Oksigen Hiperbarik (OHB) sesi tunggal, terhadap kadar plasma Malondialdehyde (MDA) pada perawat yang mengalami kelelahan di RS. X. Metode: Penelitian ini adalah randomized double-blinded controlled trial pada 30 orang perawat RS X yang terdefinisi mengalami kelelahan berdasarkan kuesioner JIFRC (Japan Industrial Fatigue Research Committee). Subyek dirandomisasi, dibagi menjadi 15 orang di kelompok kontrol (menghirup udara biasa pada tekanan 1 ATA) dan 15 orang di kelompok intervensi (menghirup oksigen hiperbarik, pada tekanan 2,4 ATA, menghirup O2 100% selama 3 x 30 menit, dengan interval udara biasa selama 5 menit). Sampel darah untuk menentukan kadar plasma MDA, diambil sebelum dan 1 jam setelah perlakuan, dengan metode TBARS (Thiobarbituric Acid Reactive Substances). Hasil: Nilai rerata kadar MDA sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan, 3,42 ± 1,05 nmol/mL dan 3,63 ± 1,34 nmol/mL (p=0,623), sedangkan pada kelompok intervensi, berturut-turut, 3,50 ± 1,12 nmol/mL dan 3,50 ± 1,24 nmol/mL (p=0,990). Nilai rerata Δ MDA (selisih individual nilai MDA sebelum dan sesudah perlakuan), antara kelompok kontrol dan intervensi, berturut-turut, 0,08 ± 1,05 nmol/mL dan - 0,13 ± 1,77 nmol/mL (p=0,692). Kesimpulan: Walaupun tidak terdapat hasil bermakna pada penelitian ini, namun dapat kami temui adanya kecenderungan penurunan kadar MDA pada kelompok intervensi yang dibandingkan dengan kecenderungan kenaikan kadar MDA pada kelompok kontrol.

Background: This study aimed to determine the effect of HBO single session on Malondialdehyde (MDA) plasma level for nurses with fatigue at Hospital X. Methods: This study is a randomized double-blinded controlled trial, on 30 fatigue nurses from Hospital X in Jakarta, defined by JIFRC (Japan Industrial Fatigue Research Committee) Questionnaire. Subjects randomized into 15 nurses in each group (control vs intervention). Control group was given atmospheric air (21% O2) under 1 ATA pressure, while intervention group was given 100% oxygen, for 3 x 30 minutes, under 2.4 ATA pressure, with 5 minutes interval-break inhaling compressed air (21% O2) in between. Blood sample for determining MDA plasma level, were sampled before- and 1 hour aftertreatment, using TBARS (Thiobarbituric Acid Reactive Substances) method. Results: MDA plasma levels before- and after-treatment in control’s group, were consecutively, 3.42 ± 1.05 nmol/mL and 3.63 ± 1.34 nmol/mL (p=0,623), while in the intervention’s group, respectively, were 3.50 ± 1.12 nmol/mL and 3.50 ± 1.24 nmol/mL (p=0,990). Δ MDA (individual MDA value differences between after and before treatment) means, in control’s and intervention’s group was compared, subsequently they were 0,08 ± 1,05 nmol/mL and - 0,13 ± 1,77 nmol/mL (p=0,692). Conclusions: Even though, there is no significant differences, between the two groups in MDA plasma level, there is propensity of MDA plasma level decrease in intervention group, compared with raising MDA plasma level in the control group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irfan Ilmi
"Penelitian dengan desain potong lintang ini membahas cakupan pengguna kacamata (CPK) pasca operasi katarak terkait status sosioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan usia, informasi dokter dan tingkat ekonomi rumah tangga (ruta) berhubungan kuat terhadap proporsi pengguna kacamata (p<0,05). Kelompok usia produktif memiliki CPK lebih rendah namun penelitian ini hanya melibatkan usia 50 tahun keatas sehingga tidak mempresentasikan usia produktif seluruhnya. Kelompok yang menerima informasi dokter memiliki CPK lebih tinggi dari yang tidak menerima informasi dan CPK pada kelompok tingkat ekonomi ruta kaya lebih tinggi dibanding ruta lainnya. Kesimpulannya adalah semakin tinggi informasi dokter dan tingkat ekonomi ruta maka semakin tinggi nilai CPK.

This study discussed the correlation between socioeconomy and spectacle coverage rate (SCR) after cataract sugery. The multivariate analysis showed that physician information, age and the economic level of household had a strong relation with SCR (p<0.05). Productive age had a lower SCR. This study included age of 50 and above, therefore it did not represent the real proportion of productive age. Participants who received physician information to use spectacle after cataract surgery had a higher SCR. Physician information is important in influencing SCR. The richest household had the highest SCR. The richest the household was, the highest value of SCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>