Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siahaan, Lintong Oloan
"PTUN mulai beroperasi sejak Januari tahun 1991, menyelenggarakan persidangan melayani masyarakat pencari keadilan di dalam bidang Tata Usaha Negara. Tugas utamanya adalah melakukan kontrol dari segi hukum (yuridis) terhadap Pemerintah (penguasa), dalam pelayanannya terhadap masyarakat. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh PTUN adalah kewenangan untuk menghentikan berlakunya atau beroperasinya keputusan Tata Usaha Negara yang sedang disengketakan, yang disebut Putusan Penundaan. Ketentuan ini memberikan kekuasaan yang besar sekali kepada hakim. Hakim bebas menentukan syarat-syarat, dalam hal-hal yang bagaimana Keputusan Tata usaha Negara itu akan ditunda atau dipertahankan. Kebabasan hakim itu bisa berdampak negatif, oleh karena itu perlu rincian lebih lanjut akan arti dari Kepentingan Pribadi Yang Mendesak dan Kepentingan Umum Dalam Rangka Pembangunan, yang menjadi dasar pengambilan keputusan penundaan itu. Perluasan akan arti dari kedua kepentingan itu telah dihimpun dalam penelitian ini, baik dari segi Tata Bahasa, maupun dari segi hukum. Dari segi Hukum perlu dihimpun padanannya di dalam Perundang-undangan yang lain-lainnya, yang relevan, seperti: "Hukum Pembangunan; Hukum Rencana Umum Tata Ruang (RUTR); Hukum Lingkungan Hidup; dan sebagainya". Dalam penelitian ini telah disimpulkan bahwa : "Perbuatan-perbuatan Pemerintah Dalam Bidang-bidang Hukum Pembangunan; Hukum Rencana Umum Tata Ruang (RUTR); Hukum Lingkungan; dan Pelaksanaan Proyek-proyek Pemerintah yang sudah direncanakan secara matang", adalah merupakan bagian dari Kepentingan Umum Dalam Rangka Pembangunan yang perlu dipertimbangkan. Pelaksanaan Proyek-proyek Pemerintah dimasukan ke dalam pengertian Kepentingan Umum Dalam Rangka Pembangunan oleh karena perencanaannya sudah matang, dimulai sejak dari Departemen yang bersangkutan, hingga BAPPENAS. Pelaksanaannya pun sudah terikat dengan rencana-rencana anggaran pada RAPBN dan RAPED, sehingga apabila ditunda proyek tersebut akan terancam gagal total (anggaran hangus). Kegagalan proyek Pemerintah akan sangat merugikan semua pihak oleh karena proyek-proyek tersebut ditujukan untuk kepentingan masyaraka luas. Prinsip-prinsip yang ditemukan dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas dapat dipedomani pada bidang-bidang hukum lain-lainnya yang belum sempat dibahas dalam penelitian ini. Akan tetapi, penolakan terhadap suatu permohonan penundaan atas dasar hal-hal yang disebutkan diatas, jangan sampai mengakibatkan Kepentingan Pribadi Yang Mendesak dari penggugat menjadi terlontar. Harus dilakukan secara manusiawi dan dipertimbangkan sedemikian rupa, hingga ada jaminan-jaminan bagi penggugat, bahwa apabila ternyata dikemudian hari Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak benar, Penggugat tidak terlalu dirugikan. Putusan Penundaan sangat penting artinya bagi PTUN. Masyarakat akan enggan menggunakan PTUN itu untuk memperjuangkan hak-hak yuridisnya apabila kewenangan penundaan itu tidak dimiliki oleh PTUN. Dalam Praktek Pelaksanaan Putusan Penundaan itu tidak berjalan dengan mudah. Banyak hambatan-hambatan yang dialami, terutama dari segi keputusan hakim itu sendiri dan dari segi keengganan pihak pemerintah untuk mematuhinya. Putusan Penundaan yang sudah jauh memasuki areal kegiatan-kegiatan physik (factual), cenderung untuk tidak dipatuhi. Pihak developper lebih baik memilih resiko berperkara perdata (ganti rugi) di pengadilan negeri nanti, dari pada menderita kerugian karena menghentikan proyek pembangunannya. Sifat arogansi dari pihak pemerintah, selalu berusaha untuk menghindari atau mengabaikan Putusan Penundaan. Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan Putusan Penundaan itu. Untuk itu, PTUN mengambil ketentuan-ketentuan tentang eksekusi di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 sebagai pedoman."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
T7590a
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
H. Azhary
"Pengertian tentang negara hukum masih terus berkembang sampai hari ini. Untuk pertama kali cita negara hukum ini dikemukakan dalam abad ke XVII di Inggris dan merupakan latar belakang dari revolusi 1688. Hal ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena itu unsur-unsur dari negara hukum mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah dan perkembangan masyarakat dari suatu bangsa. Sejarah dan perkembangan masyarakat setiap negara tidaklah sama, oleh karenanya pengertian dan unsur-unsur negara hukumnyapun berbeda pula. Penelitian ini akan mencoba mengungkapkan baik unsur-unsur Negara Hukum Indonesia, maupun tentang pengertian negara hukum menurut bangsa Indonesia.
Dari hasil penelitian kepustakaan yang penulis lakukan, ternyata belum ditemukan kajian secara analisis yuridis normatif tentang pengertian negara hukum Indonesia utamanya tentang unsur-unsurnya. Adakah negara Republik Indonesia memenuhi persyaratan unsur-unsur negara hukum seperti yang dikenal di negara Eropa atau pun di negara-negara Anglo Saxon?
Hal-hal inilah yang akan dikemukakan dalam tulisan ini. Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa penulis memilih judul: Negara Hukum Indonesia. Alasan-alasan tersebut adalah:
Kata negara hukum merupakan pengertian dari suatu kata majemuk, yaitu negara dan hukum. Dalam memberikan pengertiannya, setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap kata hukum maupun terhadap kata negara. Demikian juga halnya dengan bobot nilai dari masing-masing unsur negara hukum.
Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuhnya tidak menyebutkan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum. Hal itu terdapat dalam Penjelasan yang mengatakan:
"Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtsstaat)".
Dalam penjelasan UUD 1945, rechtsstaat diartikan sama dengan negara berdasar atas hukum, sedangkan kita ketahui secara umum dan baku bahwa dalam Hukum Tatanegara Indonesia rechtsstaat sama artinya dengan negara hukum. Perumusan yang menyimpang dari kebiasaan yang sudah baku dalam Ilmu Hukum, dalam hal ini Hukum Tatanegara membuat hal ini semakin menjadi menarik perhatian penulis."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
D443
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
"ABSTRAK
Masalah pokok yang ingin dibahas dalam disertasi ini adalah mengenai gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi dan pelaksanaannya dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca kemerdekaan. Sejarah demokrasi setelah kemerdekaan itu sendiri, oleh para ahli sering dibagi ke dalam tiga kurun zaman, yaitu masa Demokrasi Liberal (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Pancasila (1967-sekarang). DaIam ketiga periode ini, Indonesia telah memiliki 3 naskah konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (Konstitusi RIS), dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS 1950).
Sehubungan dengan itu, menarik unluk dikaji bagaimana perkembangan kedaulatan rakyat itu di Indonesia, baik yang tercermin dalam rumusan ketiga konstitusi itu maupun yang tercermin dalam praktek selama tiga masa demokrasi itu. Perkembangan ini penting ditelusuri, mengingat tema kedaulatan rakyat merupakan topik yang tidak pernah berhenti dibicarakan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak jauh sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Apalagi gagasan kedaulatan rakyat itu sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman moderen sekarang cenderung tidak lagi hanya dilihat sebagai konsep politik. Tema demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol dibandingkan dengan demokrasi politik. Orang semakin lama semakin sadar bahwa jaminan-jaminan akan hak-hak politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam suatu negara, terutama jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan ekonomi dalam masyarakat yang cenderung tidak memihak kepada lapisan masyarakat yang berada dalam struktur papan-bawah. Jaminan demokrasi politik tidak serta merta melahirkan kondisi yang demokratis dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Karena itu, gagasan demokrasi ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikemhangkan bersamaan dengan gagasan demokrasi politik."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D19
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Munir
"ABSTRAK
Penelitian mengenai eksistensi UUD dan Ketetapan MPR ini adalah penelitian terhadap eksistensi peraturan perundang-undangan dalam arti konsep, bukan terhadap pelaksanaannya, artinya apakah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR(S), telah merefleksikan dan mendukung terwujudnya Indonesia sebagai negara demokrasi dan negara hukum secara konsepsional.
Dengan adanya dua bentuk produk hukum yang dapat ditetapkan oleh MPR, timbul pertanyaan aturan ketatanegaraan yang mana yang harus ditetapkan dalam bentuk UUD dan aturan ketatanegaraan mana yang dapat ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR. Bagaimana hubungan antara aturan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR dengan aturan yang ditetapkan dalam UUD. Apakah secara yuridis teoritis Ketetapan MPR dapat dikatakan sebagai suatu bentuk peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari bidang disiplin ilmu yang diteliti, penelitian mengenai Eksistensi UUD dan Eksistensi Ketetapan MPR adalah penelitian di bidang Ilmu Hukum. Khususnya penelitian hukum yang bersifat "Normwissenschaft atau Sollenwissenschaft" yaitu penelitian tentang norma-norma hukum dan pengertian hukum yang sering disebut "dogmatik hukum". Objek penelitian ini adalah UUD dan Ketetapan MPR, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang meliputi asas-asas hukum, sistematika hukum dan sinkronisasi hukum."
2000
D1113
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichtijanto
"A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UUP) yang disusun berdasar Pancasila sebagai cita hukum nasional berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia menggantikan hukum perkawinan lama. Sesudah menjadi Undang-undang, Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) yang diajukan oleh Pemerintah mengalami perubahan fundamental, terutama perubahan falsafah hukumnya dan rumusannya. Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3019), berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975 sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang diundangkan pada tanggal 1 April 1975 (Lembaran Negara Nomor 12). Perubahan dari RUUP menjadi UUP terutama mengenai falsafah hukumnya dan rumusannya. Dari proses sejarah pembentukan UUP, dapat disimpulkan bahwa: a) UUP sudah tidak mengandung ketentuan yang bertentangan dengan Hukum Agama; b) perkawinan adalah sah bila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat I UUP); c) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (disingkat NTR) dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dijamin kelangsungannya,1
Dalam negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum. Undang Undang Dasar 1945 (UUD) sebagai hukum dasar menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" [Pasal 29 ayat (1)]. Dengan adanya kebebasan memeluk agama maka di Indonesia, maka di Indonesia ada pluralitas agama.2 UUP mendudukkan hukum-hukum agama dibidang perkawinan pada kedudukan esensial pasal 2 ayat (1) UUP. Maka di Indonesia berlaku hukum-hukum perkawinan agama sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan. Setelah menjadi UUP (yang mendudukkan dalam kedudukan fundamental dan esensial), Pasal 57 UUP menentukan pengertian perkawinan campuran sebagai berikut:
Pasal 57 UUP berbunyi: "Yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Penjelasan Pasal 57 UUP berbunyi "Cukup jelas".3 Pasal 57 UUP berasal dari Pasal 64 RUUP. Dalam proses pelaksanaan UUP timbul perbedaan pendapat tentang pengertian dan pengaturan perkawinan campuran. Ada pendapat yang berakibat tidak ada pelayanan perkawinan antar penganut agama yang berbeda;4 Pelayanan perkawinan dengan pelaksanaan dan pencatatan yang beraneka ragam.5 Ada perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda yang dilangsungkan di luar negeri walaupun kedua pasangan tetap?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D143
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library