Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ishak Daud
"Tuber kulosis paru merupakan masalah kesehatan utama dinegara berkembang penyakit ini merupakan penyebab kematian no 3 di Indonesia setelah radang pernafasan bawah, penyakit kardiovaskuler. Di negara berkembang setiap tahun 4 - 5 juta kasus penyakit TB paru menular yang timbul setiap tahun, dimana 8 juta penduduk terserang, 3 juta diantaranya meninggal dunia. Di Indonesia preevalensi TB paru dengan BTA + sebesar 0,29 % dari jumlah penduduk, kematian akibat TB paru lebih kurang 175 ribu penderita setiap tahun. Sumatera Barat prevalensi TB paru usia produktif adalah 5,3 %, cukup tinggi dari pada angka nasional. Keberhasilan pengobatan dan penyembuhan penyakit berhubungan dengan kepatuhan Penderita minum obat selama 2 bulan fase awal dan 4 bulan fase lanjutan sehingga memberikan dukungan dalam keberhasilan pengobatan.
Tujuan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita di poliklinik paru Rumah Sakit Dr. Ahmad Muchtar Bukit Tinggi tahun 2000. Waktu penelitian adalah dari bulan Januari 2000 sampai dengan Agustus 2000 dengan desain penelitian adalah potong lintang (cross sectional) populasi penelitian adalah penderita TB paru yang berobat di poliklinik Rumah Sakit Dr.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi dengan jumlah sampel 100 orang dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung.
Hasil penelitian menunjukan 69 orang (69%) patuh dan 31 orang (31 %) penderita tidak patuh berobat. Analisis menghasilkan 5 variabel yaitu umur, pengetahuan, pendidikan, jarak rumah penderita, dan dukungan keluarga yang mempunyai hubungan bermakna (p 0,05) dengan kepatuhan berobat. Pertama umur, yang lebih 50 tahun berhubungan dengan kepatuhan berobat dengan odds Ratio 2,78 (95% CI; 1,16 - 6,05). Kedua hubungan antara pengetahuan yang kurang dengan kepatuhan berobat dimana Odds Ratio 14,74 (95% CI; 3,96 - 54,85). Ketiga pendidikan rendah berhubungan dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 7,31 (95 % CI; 2,65 - 20,28). Keempat hubungan antara jarak rumah penderita dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 3,20 (95% CI; 1,32 --1,75). Kelima hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat Odds Ratio 2,57 (95% CI; 1,05 - 6,27).
Dari hasil multivariat dengan metode regresi logistik dari 10 variabel bebas, hanya 8 variabel yang masuk sebagai kandidat untuk dianalisis. Hasilnya hanya 1 variabel yang dominan yaitu umur, pengetahuan pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, jarak, hubungan keluarga. Setelah dikontrol dengan variabel bebas lainnya beberapa kali, ternyata variabel determinan yaitu pendidikan dan jarak rumah ke rumah sakit. Untuk mengatasi ini perlu diadakan penerangan terus manerus bagi pengunjung poliklinik paru sebelum diadakan pelayanan pengobatan kesehatan serta perlu di bentuk pusat-pusat pelayanan penderita TB paue agar penderita tidak terlalu jauh datang ke poliklinik paru Rumah Sakit Dr.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi.

Lung Tuberculosis as main public health problem in the developing country. Indonesia is one of the country with high prevalence of tuberculosis disease, is third -death after cardiovascular disease, lower respiratory infection. In developing countries 4-5 million peoples were covered every year, which are 3 million is dead. Indonesia prevalence Lung Tuberculosis with Acid Flaccid Bacteria positive about 0,29% cases of people and death ± 175.000 peoples every year. West Sumatera more than national prevalence is 5,3% of productive age. Successfulness of disease of control and treatment program is related closely to patients compliance.
The aim of research to evident compliance treatment in polyclinic of Dr. Ahmad Muchtar Hospital Bukittinggi year 2000. The study was conducted on January to August 2000 by using cross sectional design. The population of this study was patients of Tuberculosis treatment with short course regiment at polyclinic of Dr. Ahmad Muchtar Hospital, have got Tuberculosis drugs for 6 month. Sample of 100 patients were taken from the perspective population. Data were collected by interviewing Tuberculosis patients using structured questionnaire. The result of the study showed that only 69 (69%) patient compliance to the treatment and 31 (31%) incompliance.
The result of analysis found 5 variables significantly to treatment compliance (p c 0,05). First younger more compliance than older with OR 2,78 (95%CI 1,10 - 6,05). Second, good knowledge compliance than low knowledge with OR 14,74 (95%C13,96 - 34,05). Third high education compliance with CR 7,31 (95%CI 7,65 - 20,28). Fourth closely distance, compliance with CR 3,20 (95%CI 1,32 - 1,75). Fifth family supported, compliance with OR 2,57 (95%CI 1,05 - 6,27).
The result of multivariate analysis with logistic regression method found 8 candidate variables of 10 independent variables and 2 variables statistically significant (p < 0,05), they are education with DR 7,31 (p = 0,000) and close distance with OR 3,20 (p = 0,0024). The analysis was controlling by the other variable, such as age, knowledge, job, sex, perception of service and family support. The study concluded that education and distance patient home have more contribution to treatment compliance of Tuberculosis disease in hospital than the other variables. Based on the result of the study, it is recommended to increase patients knowledge in Tuberculosis by health education, to increase patients compliance and make new Tuberculosis centre beside coordinate with health centre where is the patient live.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Samad
"Penyakit Tuberkulosis Paru pada umumnya menyerang penduduk usia produktif. Dari segi ekonomi penyakit ini dapat menimbulkan dampak terhadap produktivitas seseorang dan keluarga, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu.
Dalam rangka mengefektifkan program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, maka sejak tahun 1993 Indonesia telah menetapkan strategi baru dalam pemberantasan penyakit Tb.Paru, yang dikenal dengan stratagi DOTS (Directly Obseved Treatment Short Course).
Hasil analisis data program P2.Tb.Paru di Kota Palu selama kurun waktu tahun 1997-1999, menunjukan bahwa cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kota Palu baru mencapai 28,5% pertahun. Di wilayah Kecamatan Palu Selatan, khususnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo cakupan tersebut Baru mencapai 27,4% dari perkiraan jumlah penderita tersangka Tb.Paru yang ada di wilayah tersebut. Rendahnya cakupan penggunaan pelayanan Kesehatan diperkirakan berhubungan dengan faktor pengetahuan, dan faktor-faktor lainnya seperti: pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, persepsi bahaya, biaya pengobatan, penerimaan informasi tentang Tb.Paru dan dorongan keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kecamatan Palu Selatan Kota Palu, tepatnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo pada Tahun 2001. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus-kontrol tidak berpadanan. Sebagai populasi adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang berusia >15 tahun dan berdomisili di wilayah penelitian tahun 2001. Sedangkan sampel adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai gejala batuk berdahak > 3 minggu, ditemukan pada saat dilakukan skrining. Kasus adalah penderita tersangka Tb.Paru yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan dan kontrol adalah penderita tersangka Tb.Paru yang menggunakan pelayanan kesehatan. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 306, yang terdiri dari 80 sampel pada kasus , dan 226 sampel kontrol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan pelayanan kesehatan, menilai kekuatan hubungan antara faktor pengetahuan setelah dikontrol dengan variabel pendidikan, pekerjaan, persepsi bahaya, biaya pengobatan, dorongan keluarga dan faktor penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan penggunaan pelayanan kesehatan bagi penderita tersangka Tb.Paru.
Hasil penelitian menunjukan, berdasarkan analisa bivariat terdapat 4 (empat) variabel yang secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan pelayanan kesehatan, yaitu pengetahuan, pendidikan, persepsi bahaya dan penerimaan informasi Tb.Paru. Hasil analisa multivariat menunjukan, bahwa dua variabel yang dinilai mempunyai kekuatan hubungan, yaitu variabel pengetahuan, dan penerimaan informasi tentang Tb.Paru. Variabel pengetahuan dalam penelitian ini dinilai mempunyai kekuatan hubungan yang lebih besar OR = 13,811 ; 95% Cl = 7,318 - 26,067 dibanding dengan variabel penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan OR = 2,417 ; 95% CI=1,305 - 4,476. Artinya penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai pengetahuan rendah tentang penyakit Tb.Paru mempunyai risiko sebesar 13,8 kali untuk tidak menggunakan pelayanan kesehatan dibanding dengan yang mempunyai pengetahuan tinggi.
Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kecamatan.Palu Selatan, adalah upaya peningkatan promosi kesehatan/penyuluhan tentang penyakit Tb.Paru secara berkesinambungan kepada masyarakat, yang klaim pelaksanaanya perlu didukung unsur advocacy, social support dan empowerment.

The Factors that Related to the Use of the Health Service for Suspected Lung Tuberculosis in South Palu Sub-district, Palu City, 2001Lung Tuberculosis Disease usually attacks people at the reproductive age economically, this disease can emerge the impact to productivity of them as well as their family and furthermore to national economic growth.
In order to make effective the program on lung tuberculosis eradication, since 1993 Indonesia has decided the new strategy in combating this disease namely DOTS (Directly Observed Treatment Short Course).
According to the data analysis on lung tuberculosis in Palu City within 1997 to 1999, it showed that the coverage of the use of health care by suspected lung tuberculosis was only 285% per year. In South Palu Sub-district, especially at Kawatuna and Petobo Community Health Centers, the coverage was only 27A% from the estimation figures to all suspected lung tuberculosis in these areas. The low of its coverage was related to the factors such as knowledge, education, occupation, sex, perception of dangerous, cost of medication, information on lung tuberculosis, and motivation of their families.
The research was conducted in the area of South Palu Sub-district, Palu City, at Kawatuna and Petobo Community Health Centers at the year of 2001. The design used in this research was un-matching case-control. The population was all suspected lung tuberculosis who more 15 years of age and selected in the research area in 2001. While the samples were all suspected lung tuberculosis who's indicated cough sputum symptom more than 3 weeks, at the time of screening. The cases were suspected lung tuberculosis that did not used the health care, while the control were those who used the health care. The samples were 306 consist of 80 cases and 226 controls.
The objective of the research was to know the pattern of the use of the health care, to grade the power relationship between the knowledge after controlled by the factors such as education, occupation, perception of dangerous, cost of medication, motivation of family, and the information received by them on lung tuberculosis and the use of the health care for suspected lung tuberculosis.
The result of the research showed that based on bivariates analysis there were four variables which statistically have significant relationship to the use of the health care. Those variables were knowledge, education, perception of dangerous, as well as information received on lung tuberculosis. According to multivariate analysis showed that two variables, which graded have power relationship, those were variable knowledge, and information received on lung tuberculosis. Knowledge variable in this study graded has greater power relationship (OR = 13,811; 95% CI = 7,318-26,067) than information received on lung tuberculosis (OR = 2,417; 95% CI = 1,305-4,476). It means that those who had lower knowledge on lung tuberculosis had risk 13,8 times for not use the health care compared to who with higher knowledge.
Considering the result of the research it was suggested to increase the coverage of the use of the health promotion as well as giving information about lung tuberculosis continuously to the community supported by advocacy, social support and community empowerment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Endang
"COMBI merupakan singkatan dari Communication for Behavioural Impact yang diterjemahkan menjadi Komunikasi untuk Perubahan Perilaku. COMBI mewakili penggabungan dari berbagai pendekatan dan didalamnya terdapat lima aksi komunikasi terpadu, yaitu (1) Mobilisasi administrasi/kehumasan/advokasi, (2) Mobilisasi masyarakat, (3) Advertensi/periklanan, (4) Penjualan pribadi /komunikasi interpersonal, (5) Titik pelayanan promosi. Penerapan pendekatan COMBI dilaksanakan pada bulan Maret (minggu ke 11) tahun 2006 di 10 kecamatan wilayah Kota Jakarta Timur yang luas wilayah dan jumlah penduduknya terbesar dibandingkan 5 wilayah lainnya di DKI Jakarta dan jumlah kasus DBDnya juga terbesar yaitu 8.107 kasus.
Hasil sementara dari pelaksanaan pendekatan COMBI menunjukkan adanya penurunan angka kasus DBD yang cukup bermakna pada minggu ke 31 tahun 2006 walaupun masih berfluktuatif dibandingkan dengan angka kasus yang terjadi pada tahun 2005, sebelum adanya pelaksanaan COMBI di Kotamadya Jakarta Timur. Hingga awal tahun 2007 pada bulan Februari, angka kasus DBD di DKI Jakarta masih terus menunjukkan kecenderungan naik dengan angka 2.263 kasus dan 8 kematian. Jika tidak segera ditanggulangi bersama oleh semua wilayah yang berada di DKI Jakarta maka DKI dapat kembali menjadi penyumbang terbesar angka kasus DBD dan yang lebih parah dapat mengakibatkan terjadinya KLB.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran pelaksanaan pendekatan COMBI dalam upaya menurunkan angka kasus DBD di wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Jenis penelitian adalah kualitatif, sedangkan metode yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi tidak terstruktur dan telaah data sekunder terhadap hasil laporan pelaksanaan kegiatan COMBI. Informan yang diteliti dibagi dalam kelompok penentu kebijakan, pejabat lintas sektor yang aktif terlibat, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi SDM pengelola COMBI yang cukup baik akan mempengaruhi proses pelaksanaan kegiatan COMBI secara baik dan berhasil guna. Kegiatan-kegiatan yang dijabarkan dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa ke lima aksi komunikasi terpadu dalam COMBI telah dilaksanakan oleh pengelola COMBI. Hanya saja ditemukan beragam pesan yang kurang fokus namun tidak menjadi masalah terhadap perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat. Informan dapat menyampaikan pesan yang beragam tersebut dengan cara membacanya langsung dari media. Pesan COMBI yang selalu diingat dan diucapkan oleh informan adalah PSN 30 menit setiap hari Jumat dari jam 09.00-09.30. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran perubahan perilaku yang dirasakan sebagian besar individu/masyarakat yaitu semakin sering dan rutin melakukan PSN dan menimbulkan manfaat langsung bagi individu/masyarakat dengan terjadinya penurunan angka kasus DBD di wilayah Jakarta Timur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan COMBI di Jakarta Timur menunjukkan hasil yang sesuai dengan tujuan COMBI yaitu terjadinya perubahan perilaku di masyarakat dan berdampak pada penurunan angka kasus DBD, walaupun mengalami beberapa hambatan dana, sarana-prasarana dan masih adanya masyarakat yang kurang kesadarannya melakukan PSN secara rutin. Sehubungan dengan itu, maka ada beberapa saran yang penulis sampaikan yaitu memperbaiki perencanaan anggaran sesuai kebutuhan, uji kelayakan untuk diimplementasikan di wilayah DKI Jakarta lainnya, pelatihan bagi petugas Puskesmas dan kader untuk memahami perubahan perilaku di masyarakat, pesan diuji kembali berdasarkan tanggapan masyarakat untuk mengubah dan menyelaraskan strategi komunikasi.

COMBI stands for Communication for Behavioural Impact if translated to Indonesian language COMBI will become Komunikasi untuk Perubahan Perilaku. COMBI represents approaches associated with promoting healthy behaviour and there are five communication action integrated in COMBI are (1) Public relations /advocacy / administrative mobilization, (2) Community mobilization, (3) Sustained appropriate advertising, (4) Personal selling/ interpersonal communication/counseling, (5) Point of Service promotion. COMBI approaches implementation was conducted on March (week 11th ) 2006 in 10 district of East Jakarta which the biggest district and population compared to the other five district in DKI Jakarta. It was also notice that 8.107 cases occurred in this district and this number is superior among the other districts.
Provisional result from COMBI approaches act shows that the Dengue fever case number have been intensively declining on week 31st 2006 even tough the result still fluctuated compared to the number happened in 2005, before COMBI conducted in East Jakarta. Until early 2007 on February, number of dengue fever in DKI Jakarta DBD increasing with 2.263 cases and 8 death. This matter should be taken care immediately by all district in DKI, otherwise DKI could be the biggest contributor for dengue fever number and even get worst when becoming outbreak.
Research was made to find idea for COMBI approaches act regarding to decline dengue fever number in East Jakarta. This research type is qualitative, In depth interview and secondary data discover through report of COMBI result method was utilized to collect the data. The informant who will examined will be divide in policy maker group, active involved sector official, provider, public figure and community.
The research result shows that COMBI approaches act will be affected from the human resource of COMBI officers. These activities explained that research outcome shows the fifth communication actions which integrated in COMBI have been carry out by COMBI officer COMBI. Nevertheless several of unfocused message are found, but its doesn't matter to behaviour change. Informan mentions that message from reading directly from media which remembered by all the COMBI message informant is Mosquito Nest Termination (MNT) 30 minutes every Friday from 09.00-09.30 am. The idea of changing behavior individual/public which initiate from research result is confirmed from behavior alteration almost of individual/public who regularly performing PSN and the advantage of behavior alteration to the individual/public is declining the dengue fever number in East Jakarta.
It was concluding that COMBI activity in East Jakarta come out with matching COMBI intend which is behavior alteration to the individual/public is declining the dengue fever number in East Jakarta. Although having several fund difficulty and the indolent community to perform MNT. In regard to the mentioned above writer had a few suggestions to make which is amend the budget planning with equivalent amount, proper testing for implemented in the other DKI Jakarta district, training for Center of Public Healthy officer and kader who understand the behavior alteration in community, retest message based on public opinion to vary and harmonize the communication strategy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T41280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
C Yekti Praptiningsih
"Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau ISPA mengakibatkan sekitar 4 juta kematian balita di negara berkembang. Di Indonesia ISPA bawwb, khususnya pneumonia mengakibatkan kematian sekitar 150.000 balita per tahun. Namun sesuai dengan hasil penelitian di Indramayu pula bahwa upaya penurunan mortalitas karena ISPA khususnya pneumonia dapat dicapai sebesar 25% jika program memberi masukan secara memadai kepada ibu. Yang dimaksud dengan memberi masukan kepada ibu adalah melakukan komunikasi dan pemberian informasi dengan ibu sebagai sasaran.
Dalam Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA untuk penanggulangan pneumonia balita, bentuk komunikasi antar pribadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penatalaksanaan kasus ISPA yang tepat dan benar. Efektifitas tatalaksana kasus ISPA sangat ditentukan oleh dilaksanakannya pesan yang disampaikan oleh petugas kesehatan kepada ibu secara tepat dan benar. Agar ibu dapat melaksanakan pengobatan dan perawatan penunjang di rumah secara benar, maka petugas kesehatan harus mampu berkomunikasi secara efektif.
Untuk itu perlu kiranya dilihat sejauh mana kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan komunikasi sebagai bagian dari pelaksanaan tugas tenaga kesehatan di Puskesmas yang merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kemampuan petugas poliklinik puskesmas dalam komunikasi dengan ibu balita yang menderita ISPA yang datang ke Puskesmas, serta melakukan telaah faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan komunikasi petugas kesehatan khususnya kepada ibu balita yang menderita ISPA.
Jenis desain penelitian ini adalah Cross Sectional. Populasi penelitian sekaligus merupakan sampel penelitian adalah petugas poliklinik puskesmas yang berada di seluruh Kabupaten Bogor yang berjumlah 202 petugas.
Data dikumpulkan dengan cara observasi petugas pada waktu melakukan pelayanan kepada pasien balita ISPA dan wawancara dengan petugas tersebut, kemudian dianalisa menggunakan piranti lunak program EPI INFO versi 6.0 dan program STATA versi 3.1.
Dari hasil penelitian didapatkan proporsi petugas poliklinik puskesmas di kabupaten Bogor yang mampu berkomunikasi dengan ibu balita ISPA sebesar 41,1% petugas. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara variabel umur, lama masa kerja, asal daerah, penguasaan bahasa, sikap terhadap pesan, variabel pendidikan, pelatihan, pengetahuan komunikasi, membaca pedoman, ketersediaan pedoman dan ketersediaan media komunikasi dengan kemampuan komunikasi petugas poliklinik puskesmas di kabupaten Bogor. Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pengetahuan ISPA dan supervisi berperan atau berhubungan erat terhadap kemampuan komunikasi petugas dengan ibu balita ISPA, sehingga hasil ini dapat menjadi pertimbangan dalam membuat kebijaksaan dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi petugas.

Factors Related to Communication Skills of Health Workers Providing Health Services For Mothers of Young Children with Acute Respiratory Infections (ARI) In Bogor District, West Java, year 2000The Acute Respiratory Infection (ARI) disease has caused 4 million deaths of under-fives in developing countries. In Indonesia, as one of developing countries, 150.000 children under-fives die due to pneumonia annually.
Based on a study conducted in Indramayu district, West Java, deaths caused by pneumonia can be reduced to 25% if mothers of the sick child are given appropriate and adequate information about the disease. A good communication needs to be conducted between health personnel and mother of young children whereas the mother is treated as the target of the communication.
In the ARI Control Program, inter-personal communication between health personnel and mothers is an essential part that can not be separated from the implementation of ARI Case Management. The successful way in doing this thing lies when the health personnel can give appropriate and correct information on how to give drugs and home care treatment to mothers effectively so that mothers understand and are able to practice at home.
It is thus necessary to find out how far the health personnel, as the first line of health provider in community, can perform their communication skills which is part of their main responsibilities at health center.
This research is meant to find out skills of health personnel working at the policlinic of Health Center (HC) in communicating with mothers of the sick child with ARI also factors related to skills of health personal in communicating with the mothers.
The study was done in cross-sectional design. The populations studied, which were also a research sample, were those working at the policlinic HC in Bogor district amounting to 202 personnel.
Data were collected by interviewing and observing the health personnel in giving the services to the patient, and then analyzed using EPI INFO software program version 6.0 and STATA program version 3.1.
The result shows that only 41.1% of HC personnel have good communication skills to communicate with mothers of sick young children with ART. The Bivariat analysis there is no significant correlation of age, duration of work, district of origin, language capability, behavior of message, education, training, communication knowledge, guidelines reading, provision of guidelines and communication media with the capabilities or communication skill of health personnel at the HC policlinic in Bogor district.
The final result shows that variable of ART knowledge and supervision have role and close relationship to the communication skills of health personnel. It is hope this result would be a consideration in making future policies to improve health personnel communication skills."
Universitas Indonesia, 2000
T5756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandipinta
"Keberhasilan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) tidak hanya tergantung pada mutu pelayanan, tetapi juga tergantung pada faktor manusianya terutama perilaku pencegahan dan perilaku pencarian pengobatan. Salah satu faktor yang panting diperhatikan adalah perilaku pencarian pengobatan, karena kegiatan penanggulangan PMS terutama adalah penemuan penderita secara dini dan segera diobati. Hal ini disebabkan karena PMS dapat bersifat merusak kesehatan dan dapat berakibat fatal serta komplikasi. Selain itu PMS mempermudah penularan virus HIV dari seorang ke orang lain. Sebaliknya infeksi HIV menyebabkan seseorang lebih mudah` terserang PMS dan lebih sukar diobati.
Dari beberapa hasil survei menunjukkan bahwa banyak penderita PMS yang tidak mencari pengobatan sehingga meinungkinkan terjadinya penularan kepada orang lain atau kepada pasangan mereka. Selain itu penderita yang tidak berobat memungkinkan terjadinya peningkatan kasus HIV. Penderita PMS yang mencari pengobatan sendiri memungkinkan terjadinya resistensi penyakit tersebut terhadap obat antibiotik yang digunakan secara tidak teratur, atau obat yang digunakan hanya antiseptik dan jamu diragukan kesembuhannya.
Tujuan penelitian untuk menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pada penderita PMS di Kabupaten Indramayu. Penelitian ini menggunakan jenis desain potong lintang (cross sectional), dengan sampel adalah sebagian dari pria/klien yang menderita penyakit menular seksual dalam 1 (sate) tahun. terakhir yang berkunjung ke lokalisasi/tempat prostitusi yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu.
Dari basil penelitian diperoleh bahwa dari 384 responden yang pernah mengalami PMS dalam 1 (satu) tabu' terakhir sewaktu dilaksanakan penelitian, sebanyak 22 responden (5,7%) tidak mencari pengobatan dan 362 responden (94,3%) mencari pengobatan. Dari 362 responden tersebut pengobatan pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan pengobatan sendiri 121 responden (33,4%) dan yang ke pelayanan kesehatan 241 responden (66,6%).
Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang tidak mencari pengobatan dan yang mencari pengobatan adalah variabel persepsi sakit (OR 14,40; 95%CI 3,77-55,01) dan biaya pengobatan (OR 19,71; 95% CI 6,17-62,95). Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang mengobati sendiri dan yang ke pelayananan kesehatan adalah variabel-variabel status perkawinan (OR 2,27; 95 CI 1,11-4,64), persepsi sakit (OR 6,24; 95% CI 3,30 - 11,79), dan anjuran berobat (OR 2,11 ; 95% CI 1,30 -3,41).
Disarankan untuk meningkatkan pengetahuan penderita PMS dengan memberikan penyuluhan, terutama dalam meningkatkan pemahaman bahwa pengobatan dengan antiseptik dan jamu bukanlah obat yang tepat untuk pengobatan PMS. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan tentang bahaya PMS dan upaya-upaya pencegahan yang mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko penularan PMS. Melalui upaya pencegahan seperti menggunakan kondom, diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan.

Related Factors to Health Seeking Behavior on Sexual Transmitted Disease Clients That Visited to Prostitution Area in Indramayu District in Year 2000The successful prevention of sexual transmitted disease (STD) does not only depend on quality of services but also depends an human factors in particular health seeking behavior and prevention. One of the most important factors is health seeking behavior, because the most important STD prevention activity is to find patients and to cure them immediately. This is because STD could damage person health and could be fatal and complicated. Beside that, STD facilitate HIV including complication and fatal outcome. In contrary, HIV infection easily contracted to infected STD but difficult to cure.
Several surveys, show that many STD patients do not seek for treatment, and will infect to other person including their spouses. Beside that, untreated STD patients will increase the number of HIV cases. Patients who is seek self treatment will cause resistance STD drugs due to irregular intake. The patients only use antiseptic drugs and traditional medicine of which the efficacy is questionable.
The objective of this research is to analysis related factors to health seeking behavior in STD patients in Indramayu District. This research is based on cross sectional design method of patients with sexual transmitted disease that visited existing prostitution area in Indramayu District during one year.
In the study was found that 384 respondents has suffered from STD during the year 362 respondents (94.3%) did seek treatment and 22 did not (5.7%). 121 respondents (33.4%) preferred self-treatment initially and, 241 respondents (66.6%) went to health facilities.
Factors that significantly influence health seeking behavior (treatment or non treatment) are disease perception variable (OR 14.40; 95%CI 3.77-55.01) and treatment cost (OR 19.81; 95%CI 6.17-62.95). Related factors influencing the choice between and seeking treatment at health facilities are marital status variables (OR 2.27; 95%CI 1.11-4.64), disease perception (OR 6.24; 95%CI 3.30-11.79), and advice by others to take treatment (OR 2.11; 95%CI 1.30-3.41).
In conclusion, it is recommended to increase knowledge to STD patients by giving health education in particular to increase their understanding that antiseptic treatment and traditional medicine is not an appropriate method for STD treatment. Beside that it is necessary to increase knowledge on dangers of STD and intensify efforts to decrease the risk of STD infection (by condom use). These efforts will lower treatment costs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library