Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gazi
Abstrak :
ABSTRAK Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang. Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory. Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror. Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu, disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal, organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup. Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.
ABSTRACT Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the study on process of leaving terrorism is still overlooked. To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory technique. Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories, and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic: personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study were further discussed.
2016
D2317
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wowor, Rinny
Abstrak :
Implementasi Pemolisian Komunitas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Polri dinilai belum optimal. Peneliti mengidentifikasi sejumlah faktor psikologis yang diduga berpengaruh terhadap unjuk kerja Petugas Pemolisian Komunitas antara lain budaya senjang kekuasaan, komitmen afektif, kepemimpinan melayani, dan rasa percaya petugas kepada pemimpin. Penelitian ini melibatkan 352 orang partisipan petugas Pemolisian Komunitas di wilayah Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Polda Metro Jaya. Hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan pendekatan Structural Equation Modeling SEM menunjukkan bahwa budaya organisasi senjang kekuasaan dapat melemahkan pengaruh faktor kepemimpinan melayani terhadap unjuk kerja yang dimediasi oleh rasa percaya, sedangkan tidak berdampak pada pengaruh faktor komitmen afektif petugas terhadap unjuk kerja.
The implementation of Community Policing by the Indonesian National Police INP Polri is currently considered not optimal. Several psychological factors are hypothesized to have influence on the performance of Community Policing Officers, namely power distance, affective commitment, servant leadership, and trust of the officers towards their leader. This research involves 352 participants from Community Policing Officers in the jurisdiction of Polda Metro Jaya Jakarta Metropolitan Police. The result of this study shows that power distance weakens the variable of servant leadership towards performance mediated by trust. However, it has no effect on influencing officers rsquo affective commitment towards their performance.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Martini Puteri
Abstrak :
Menurut teori moral credential penghukuman terhadap pelaku pelanggaran ditentukan oleh domain pelanggaran. Penelitian ini membuktikan bahwa moral credential berupa keringanan hukuman terjadi pada kondisi pelanggaran dengan korban yang tidak terlihat jelas invisible victim dan penghukuman menguat pada pelanggaran dengan visible victim. Penelitian terdiri dari 4 studi yang melibatkan 893 partisipan dengan metode mixed methods, qual-Quant. Tiga penelitian kuantitatif dilakukan dengan population based-survey experiment yang membandingkan pelanggaran gratifikasi korban tidak terlihat jelas vs korban terlihat jelas , ngebut korban tidak terlihat jelas vs korban terlihat jelas . Prosedur partisipan diberi narasi tugas mulia Polisi/Dokter/Guru kondisi moral credential , selanjutnya ditugaskan memberikan penghukuman pidana yang tepat terhadap vignette pelanggaran menerima gratifikasi, dan memberi reaksi sosial terhadap pelanggaran ngebut. Pelanggaran di domain yang berbeda terbukti bahwa moral credential berpengaruh pada keringanan penghukuman pidana hanya pada pelanggarn dengan korban yang tidak terlihat jelas invisible victim , dan moral credential melemah pada pelanggaran dengan korban yang terlihat jelas visible victim sehingga pelaku dihukum berat. Polisi yang menerima gratifikasi dengan korban dihukum lebih berat oleh pengamat dan kelompoknya, akan tetapi secara sosial pelaku tetap dipandang sebagai orang bermoral dan profesional. Tingkat identifikasi sosial dan nilai berbuat baik tidak terkonfirmasi secara statistik, tetapi perbedaan profesi berperan sebagai moderator. Penghukuman anggota Polisi didasarkan pada mekanisme Black Sheep Effect BSE , sedangkan penghukuman kelompok Dokter menggunakan mekanisme Devil Protection Effect DPE . Kontribusi dan implikasi teori dijelaskan dalam diskusi.
According to moral credential theory, the punishment of offenders is decided by the domain of offenses. This research attempts to prove that moral credential, in the form of punishment leniency, happens in offenses with invisible victims, while stronger punishment appears in offenses with visible victims. This research consists of four studies, involving 893 participants with mixed methods qual rarr;Quan. Three quantitative research used population based-survey experiment, comparing gratification offenses invisiblet victims vs. visible victims and speeding invisiblet victims vs. visible victims . Narratives on the honorable duty of Police/Doctors/Teachers are given in participant rsquo;s procedure, followed with a task to give proper criminal punishment to the vignette of gratification offenses, and social reactions to speed violations. Offenses in the different domain proved that moral credential affected leniency in criminal punishment, only in offenses with invisible victims, while moral credential weakened in offenses with visible victims, resulting in heavier punishment for the offenders. Police who received gratifications with the victim is punished heavier by observers and his/her group. However, the offender is still seen as a moral and professional person. Social identification and meaning of good deeds are not confirmed statistically, but the different of job type consider as moderator. Punishment of Police is based on the Black Sheep Effect BSE mechanism, while the punishment of Doctors is using Devil Protection Effect DPE mechanism. Contributions and implications of the theory are explained in discussion.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2531
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abdan Shadiqi
Abstrak :
ABSTRAK
Beberapa waktu belakangan banyak terjadi aksi-aksi demonstrasi dan protes. Muncul pertanyaan mengapa ada orang yang berpartisipasi pada aksi kolektif dan ada yang tidak? Beberapa hasil temuan sebelumnya sudah jelas menemukan faktor motivasional aksi kolektif. Penelitian ini berusaha menggunakan perspektif yang berbeda, menggunakan pendekatan kognisi sosial, yaitu realitas terbagi (shared reality) untuk menjelaskan aksi kolektif melalui model integratif. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pengaruh realitas terbagi pada keputusan seseorang mengikuti aksi kolektif. Penelitian ini juga menguji peranan faktor lain, yaitu keterlibatan politik secara daring dan identitas terpolitisasi. Penelitian ini dirancang melalui 4 studi pada isu politik dan lingkungan hidup. Studi 1 adalah studi kualitatif untuk menganalisis konten isi status twitter pada isu #2019gantipresiden. Hasil dari analisis tematik 250 isi status twitter selama bulan April-Agustus 2018 menemukan bahwa proses keterlibatan aksi bergantung pada proses yang terjadi di media sosial (twitter). Penulis menemukan proses ini berkaitan dengan pembentukan pandangan yang sama (realitas terbagi) dan keterlibatan pada isu-isu politik. Studi 2A adalah studi survei korelasional yang dilakukan pra-kampanye pilpres 2019 pada 473 partisipan. Hasilnya, penulis menemukan realitas terbagi dapat memprediksi aksi kolektif secara langsung. Selain itu, studi 2A menemukan bahwa keterlibatan politik secara daring dapat memprediksi aksi kolektif secara langsung atau dimediasi oleh realitas terbagi. Studi 2B, studi survei korelasional yang dilakukan pasca-kampanye pilpres 2019 pada 212 partisipan. Penulis menemukan realitas terbagi tidak dapat memprediksi aksi kolektif secara langsung, tetapi harus melewati (full mediation) identitas terpolitisasi dan keterlibatan politik secara daring. Studi 3, pendekatan eksperimental, pada 377 partisipan yang diacak pada desain 3 (tanpa realitas terbagi vs. realitas terbagi individu tunggal vs. realitas terbagi kelompok) x 2 (kasus lingkungan/satwa: Paus Hiu Berau vs. kasus politis: pengelolaan terminal kontainer/pelabuhan di Jakarta oleh asing), between subject. Hasil studi 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan aksi kolektif pada masing-masing kondisi. Realitas terbagi terbukti secara kausalitas menyebabkan peningkatan aksi kolektif. Aksi kolektif pada kasus lingkungan/satwa lebih tinggi secara signifikan daripada kasus politis. Berdasarkan 4 studi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa realitas terbagi dapat mempengaruhi partisipasi pada aksi kolektif. Realitas terbagi dapat berperan secara langsung atau turut dipengaruhi oleh identitas terpolitisasi dan keterlibatan politik secara daring.
ABSTRACT
Several demonstrations and protests were conducted a few time ago. The question arises why do some people participate in collective action and others don't? Some previous findings have clearly found motivational factors as predictors of collective action. This study uses a different perspective from previous studies, namely a social cognition approach. I examine the role of shared reality on collective action through an integrative model. This research aims to explain the effect of shared reality on a decision to participate in collective action. This research also examines the role of other factors: online political engagement and politicized identity. This research was designed through 4 studies on political and environmental issues. Study 1, qualitative study to analyze the content of Twitter status on the #2019gantipresiden issue. The results of a thematic analysis of 250 contents of the status of Twitter during April-August 2018 found that the process of collective action involvement depends on the online process on social media (Twitter). I found this process related to the shaping of the same view, opinions, or feeling (shared reality) and engagement on the political issue. Study 2A, the correlational study collected 473 participants on the pre-campaign period of the 2019 presidential election. As the result, I found that the shared reality and the online political engagement directly predicted collective action. I also found that shared reality partially mediated the association of online political engagement and collective action. Study 2B, the correlational study collected 212 participants on the post-campaign period of the 2019 presidential election. I found that shared reality had no significant direct effect on collective action. Shared reality had an indirect effect (full mediation) via politicized identity and online political engagement. Study 3, 377 undergraduate students completed the experimental study with 3 (non-shared reality vs individual shared reality vs group shared reality) x 2 (environmental/ wildlife vs political cases), between subject design. Study 3 found a significant difference of collective action in each condition. Shared reality had a causality effect to increase collection action intention. The mean score of the action in the environmental/ wildlife case was significantly higher than the political case. In summary, it can be concluded that shared reality activated participation in collective action. Shared reality increased the collective action intention via political identity and online political involvement.

 

2019
D2763
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur`aini Azizah
Abstrak :
Gerakan makar merupakan gerakan yang mengancam kedaulatan negara. Seiring dengan berkembangnya radikalisme dan ekstremisme agama, benih-benih gerakan makar berbasis agama juga mulai tumbuh. Studi-studi sebelumnya sudah mengkaji faktor struktural dari gerakan makar yang lebih banyak berfokus pada strategi kekerasan. Disertasi ini bertujuan untuk mengkaji faktor motivasional dari gerakan makar nirkekerasan berbasis agama melalui kerangka teori pencarian signifikansi yakni model 3N (needs, narratives, dan networks). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif yang terdiri dari 3 studi. Studi 1 dengan metode studi kasus pada 21 mantan anggota kelompok makar berbasis agama (Negara Islam Indonesia) menunjukkan bahwa terdapat dinamika interaksi 3N dalam proses individu untuk terlibat dalam gerakan makar nirkekerasan. Studi 2A dengan metode survey kuantitatif pada 221 partisipan menunjukkan bahwa kebutuhan kebermaknaan (needs) berperan dalam memprediksi intensi makar yang yang dimediasi oleh fundamentalisme agama (narratives) dan jejaring radikal (networks). Lebih lanjut, Studi 2B pada 815 partisipan menunjukkan bahwa terdapat mekanisme yang berbeda dari interaksi 3N pada makar nirkekerasan versus kekerasan. Pada intensi makar nirkekerasan, gairah harmonis berpengaruh dalam hubungan antara jejaring radikal dan intensi makar nirkekerasan. Selain itu, persepsi ancaman simbolik juga berperan dalam hubungan antara fundamentalisme agama dan intensi makar nirkekerasan. Sedangkan pada intensi makar kekerasan, gairah obsesif berperan dalam pengaruh jejaring radikal terhadap intensi makar kekerasan. Berdasarkan 3 studi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model 3N dapat menjelaskan gerakan makar berbasis agama yang dipengaruhi oleh persepsi ancaman dan gairah ideologis. ......Insurgency is a movement that threatens the sovereignty of the state. Along with the development of religious radicalism and extremism, the seeds of religious-based insurgency also began to grow. Previous studies have examined the structural factors of insurgency which have focused more on violent strategies. This dissertation aims to examine the motivational factors of religious-based nonviolent insurgency through the theoretical framework of Significance Quest Theory, namely the 3N model (needs, narratives, and networks). This study uses qualitative and quantitative methods consisting of 3 studies. Study 1 using the case study method on 21 former members of a religion-based insurgency (Negara Islam Indonesia) shows that there is a dynamic of 3N interaction in the process of individuals being involved in nonviolent insurgency. Study 2A using a quantitative survey method on 221 participants showed that need for significance play a role in predicting insurgency intentions mediated by religious fundamentalism (narratives) and radical networks. Furthermore, Study 2B on 815 participants showed that there are different mechanisms of 3N interaction in nonviolent versus violent insurgency. In nonviolent insurgency intentions, harmonious passion influences the relationship between radical networks and nonviolent insurgency. Symbolic threat perceptions also play a role in the relationship between religious fundamentalism and violent insurgency intentions. Meanwhile, in the violent insurgency, obsessive passion plays a role in the influence of radical networks on the violent insurgency intention. Based on the 3 studies conducted, it can be concluded that the 3N model can explain the religion-based insurgency behavior that is influenced by perceived threats and ideological passions.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiqomah
Abstrak :
Beberapa variabel psikologi ditemukan menjadi faktor disposisi yang mempengaruhi ideologi politik misalnya motivasi epistemik, right wing authoritarianism dan social dominance orientation. Selain faktor psikologi, faktor agama diprediksikan dapat menjadi faktor disposisi ideologi politik karena agama dan politik mempunyai akar kebutuhan psikologi yang sama. Sifat multiinterpretatif ajaran Islam tidak bisa melihat Islam secara monolitik sehingga Muslim akan berbeda-beda dalam bersikap politik. Penelitian ini bertujuan melihat peran agama dan faktor psikologis dalam memetakan tipologi ideologi politik Muslim di Indonesia. Studi pendahuluan dilakukan dengan mewawancarai 12 partisipan dari organisasi Islam untuk menggambarkan perbedaan sikap politik dan perbedaan interpetasi dalam memahami ajaran Islam. Beberapa Muslim digambarkan meyakini dan memahami ajaran Islam sebagai pedoman menyeluruh (total) dalam semua aspek kehidupan termasuk kehidupan politik dan bernegara. Totalitas dalam Islam tersebut diduga menjadi prediktor terhadap ideologi politik Muslim. Untuk itu perlu dilakukan adaptasi dan analisis struktur skala totalisme Islam (studi 1a) dengan partisipan sebanyak 653 muslim. Selanjutnya menguji korelasi dan regresi dengan variabel yang terkait dengan ideologi (1b) dengan partisipan sebanyak 376 mahasiswa muslim. Selanjutnya studi 2 menggunakan survei sebanyak 1208 muslim dari beberapa provinsi dengan karakteristik tertentu yang bertujuan untuk membuktikan hipotesis utama yaitu keberagaman ideologi politik Muslim di Indonesia. Hasilnya terdapat 6 kelompok ideologi politik dengan perbedaan karakteristik pada motivasi epsitemik, right wing authoritarianism, social dominance orientaiton dan totalisme Islam. ...... Some psychological variables are found as the disposition factors that influence to political ideology such as epistemic motivation, right wing authoritarianism and social dominance orientation. Besides psychological factors, the religious factors are predicted to be a disposition factor for political ideology because religion and politics have the similar root in psychological needs. The multi-interpretative nature of Islamic teachings cannot be seen Islam as monolithically interpretation, so Muslims will be different in their political behavior. This study aims to analyze the role of religion and psychological factors in mapping the typology of Muslim political ideology in Indonesia. A preliminary study was conducted by interviewing 12 participants from Islamic organizations to illustrate differences in political attitudes and differences in interpretation in understanding Islamic teachings. Some Muslims are depicted as believing and understanding the teachings of Islam as an absolute guidance (total) in all aspects of life including political and state life. Totality in Islam is thought to be a predictor of Muslim political ideology. For this reason, it is necessary to adapt and analyze the structure of the Islamic totalism scale (study 1a) with 653 Muslim participants and test correlation and regression with variables related to ideology (1b) with a total of 376 Muslim student participants. Furthermore Study 2 focused on a survey to 1208 Muslims from several provinces with certain characteristics aimed at proving the main hypothesis of the diversity of Muslim political ideologies in Indonesia. The result is that there are 6 groups of political ideologies with different characteristics in epistemic motivation, right wing authoritarianism, social dominance orientation and Islamic totalism.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Abdul Rahman
Abstrak :
Umumnya, penelitian mengenai kemunafikan membatasi diri pada moralitas yang berdasarkan prinsip keadilan dan keperdulian. Padahal, bagi masyarakat beragama, seperti masyarakat Indonesia, prinsip moral jauh lebih luas, yaitu meliputi juga prinsip kesucian, loyalitas pada kelompok, dan otoritas. Bahkan dalam banyak kasus, bagi masyarakat beragama, prinsip kesucian kadang jauh lebih berpengaruh terhadap pengambilan keputusan moral daripada prinsip-prinsip lainnya. Dengan demikian, untuk memahami kemunafikan pada masyarakat beragama sebaiknya juga mempertimbangkan prinsip kesucian ini. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada studi ini, peneliti akan mengelaborasi hubungan antara prinsip kesucian dan kemunafikan. Prinsip moral kesucian yang diidentifikasikan ke dalam diri seseorang dan menyatu ke dalam tubuhnya sehingga peka terhadap kejijikan moral diduga akan menurunkan kemunafikan. Hal itu karena orang yang Identitas Kesucian Moralnya kuat akan mempunyai dorongan dan komitmen yang tinggi terhadap prinsip kesucian; lebih mudah mengalami kejijikan moral ketika dihadapkan pada perilaku yang melanggar prinsip kesucian; lebih sadar terhadap prinsip moral yang diyakininya; dan akan menilai kemunafikan dengan penilaian yang lebih buruk sehingga akan cenderung menghindarinya. Untuk menguji tesis tersebut, peneliti melakukan tiga studi. Dua studi menggunakan rancangan eksperimental, dan satu studi menggunakan rancangan korelasional berganda. Studi pertama menunjukkan bahwa partisipan yang Identitas Kesucian Moralnya lemah lebih munafik daripada partisipan yang Identitas Kesucian Moralnya kuat. Hasil tersebut diperkuat oleh hasil studi kedua. Studi kedua juga menunjukkan bahwa Identitas Kesucian Moral akan lebih negatif pengaruhnya terhadap Kemunafikan jika disertai dengan Kejijikan Moral. Partisipan yang Identitas Kesucian Moralnya lemah akan lebih munafik jika Kejijikan Moralnya pun rendah. Namun, Kejijikan Moral sendiri hanya dapat menurunkan Kemunafikan jika mengendalikan jenis kelamin. Studi ketiga menunjukkan bahwa Identitas Kesucian Moral, Kejijikan Moral, dan interaksi diantara keduanya tidak hanya dapat menurunkan Kemunafikan, tapi juga dapat meningkatkan Integritas Moral. Studi ketiga juga menunjukkan bahwa pengaruh Identitas Kesucian Moral terhadap Integritas Moral didukung oleh kedua aspeknya, yaitu aspek internalisasi dan aspek simbolisasi, sedangkan pengaruh Kejijikan Moral terhadap Integritas Moral hanya didukung oleh aspek kejijikan moral yang ditimbulkan oleh pelanggaran terhadap aturan. ...... Studies on moral hypocrisy generally was dominated by morality based on principles of fairness and caring. Meanwhile, for the religious community, such as the Indonesian people, the moral principle was broader, included the principle of purity, group loyalty, and authority. For religious community, the principle of purity was sometimes more influence on their moral judgment than other principles. So, to understand the moral hypocrisy of religious community should consider the principle of purity be taken. Different with the previous studies, researcher would examine the impact of moral purity on moral hypocrisy. It was hypothesized that identified moral purity in one's self and embodied moral purity would reduce a moral hypocrisy. Someone who had strong Moral Purity Identity would had high moral motivation and commitment to the principle of purity; easily disgust when watching a moral purity transgression; had higher moral awareness; and made a severe evaluation with moral purity transgression. To examine the thesis, researcher conducted three studies. Two studies used experimental design, and one study used multiple correlation design. The first study indicated that participants with weak Moral Purity Identity were more hypocrite than participant with high Moral Purity Identity. The results of first study were supported by the second study. The second study also indicated that Moral Disgust would the negative effect be enhanced of Moral Purity Identity on moral hypocrisy. Second study indicated that controlling gender of participants also decreased moral hypocrisy. A third study indicated that Moral Purity Identity, Moral Disgust, and the interaction among them not only could decreased on moral hypocrisy, but also they increased on Moral Integrity. The third study indicated that the effects of Moral Purity Identity on Moral Integrity was supported by internalization and symbolization aspects, while the effect of Moral Disgust on Moral Integrity was only supported by god rules transgression.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
D1447
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Mariani Rahayu
Abstrak :
ABSTRAK Kayau (headhunting) merupakan skrip budaya yang bersumber dari arketipe budaya masyakat Dayak di Kalimantan yang telah ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894. Mulai saat itu, kayau dalam arti perburuan kepala manusia tidak lagi dipraktekkan. Berdasarkan kesepakatan yang diambil, hakayau (saling potong kepala), habunu (saling membunuh), dan hajipen (saling memperbudak) dihentikan. Penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dilakukan dengan mengacu pada hukum adat dan hukum negara. Setelah lebih dari 100 tahun praktek kayau tidak lagi diajarkan dari generasi ke generasi, pada tragedi nasional kerusuhan Sampit tahun 2001, praktek kayau bangkit kembali. Fenomena ini menjadi penting untuk dikaji, karena praktek kayau yang mengandung ide jahat (evil), dalam konteks budaya masa kini termasuk ke dalam perilaku di luar batas kemanusiaan, dilakukan oleh mereka yang sehari-hari adalah masyarakat kebanyakan (ordinary people). Mereka bukan pelaku kejahatan atau tindak kriminal, dan tidak pernah melakukan pembunuhan dan cenderung tergolong orang baik (good people). Bagaimana proses yang terjadi sehingga sebuah skrip budaya yang sudah tidak digunakan lebih dari dua generasi dapat bangkit kembali dan dilakukan oleh para pelaku dari generasi yang berbeda, yang tidak pernah melakukan kayau sebelumnya, menjadi pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Untuk memahami gejala yang terjadi, penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tesis yang diajukan adalah, dalam situasi konflik, di saat identitas kolektif dan kolektif emosi lokal diaktivasi, maka sebuah arketipe budaya yang mengandung ide jahat, yang telah ―tidur‖ (dormant) lebih dari satu abad, dapat bangkit kembali, dan membatasi pilihan alternatif tindakan dalam pemecahan masalah. Meskipun tidak dipraktekkan lagi, skrip budaya kayau yang bersumber dari arketipe budaya, masih tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif. Skrip budaya tersebut dapat diaktivasi kembali pada situasi tertentu. Diduga, sebuah proses narasi dalam reproduksi serial masih terus terjadi dari generasi ke generasi. Tampaknya, kayau adalah sebuah ekspresi budaya kehormatan untuk manyalamat utus yang perlu menemukan bentuk alternatif pengekspresian positif pada masa sekarang ini.
ABSTRACT Kayau (headhunting) is a cultural script that based on cultural archetype Dayak society in Kalimantan or known as Borneo island in Indonesia that no more conducted since ?Rapat Damai Tumbang Anoi? (the peace agreement Tumbang Anoi) in the year 1894. To commit the agreement, the tribe‟s activities such as hakayau (headhunting), habunu (killing each other), and hajipen (slavery) have been stopped. Conflict resolution in the society is nowadays solved based on ?Adat Law‟or State Law. Over one hundred years mengayau has been left and not being taught to the next generation, but in the ethnic conflict called as national tragedy in Sampit in 2001, mengayau tradition has emerged. It is interesting to study this phenomenon because mengayau activity includes the idea of evil and in the modern cultural context mengayau activity is categorized as extraordinary evil behavior, and conducted by ordinary man or good people in their daily life. It is interesting to study how the process of a dormant cultural script that have been run over the two generations can be achieved by people from different cohort and they have never been taught mengayau before. The study is conducted using qualitative and quantitative approaches to understand the phenomenon. Thesis statement being developed is in a conflict situation which is the collective identity and collective indigenous emotion are being activated a dormant cultural script or cultural archetype over one hundred years is emerged and ignoring the concept of good and evil in individual decision making process. Although mengayau activity has been deactivated over one hundred years, the mengayau cultural script that based on cultural archetype is still kept as collective unconsciousness and can be activated in a certain situation. A narrative process in the term of serial reproduction is running over generations simultaneously. It is hypothesized that mengayau is a kind of culture of honor named ?manyalamat utus‟ that should be expressed in positive behaviour in modern life.
2016
D2171
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Etikariena
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada perilaku kerja inovatif, salah satu bentuk perilaku produktif yang diharapkan dalam organisasi. Peran pengetahuan yang disimpan di organisasi yaitu ingatan keorganisasian seharusnya dapat memunculkan perilaku kerja inovatif. Namun peran ingatan keorganisasian kurang maksimal. Karena itu, tesis penelitian ini adalah ingatan keorganisasian tidak langsung berhubungan dengan perilaku kerja inovatif karena termediasi oleh identitas keorganisasian dan kesiapan karyawan untuk berinovasi. Metode penelitian mixed methods exploratory sequential study yang terdiri dari dua studi, yaitu Studi 1 merupakan studi kualitatif untuk mengeksplorasi ingatan keorganisasian dan identitas keorganisasian melalui FGD dengan 20 karyawan sebagai partisipan, dengan hasil studi sebagai dasar penyusunan skala Ingatan Keorganisasian dan skala Identitas Keorganisasian yang akan digunakan pada survei di studi 2. Skala lain yang digunakan adalah skala Kesiapan untuk Berinovasi dan skala Perilaku Kerja Inovatif. Penelitian dilakukan pada 505 karyawan dari berbagai level di 7 divisi pada sebuah perusahaan percetakan dan penerbitan yang termasuk dalam salah satu industri kreatif di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa identitas keorganisasian a = 0.33; b = 0.40; c rsquo; = -0.06; p = 0.25 , kesiapan karyawan untuk berinovasi a = 0.18; b = 0.81; c rsquo; = -0.04; p = 0.16 memiliki efek mediasi pada hubungan antara ingatanorganisasi dan perilaku kerja inovatif, sehingga hubungan langsung antar keduanya tidak lagi signifikan. Namun, ketika disertakan bersama, maka hanya kesiapan karyawan untuk berinovasi yang memiliki efek mediasi pada hubungan antara ingatan keorganisasian dan perilaku kerja inovatif a1 = 0.33; a2 = 0.17; b1 = 0.07; b2 = 0.72; c rsquo; = -0.07; p = 0.04; LLCI = -0.08 dan ULCI = 0.21 . Hal ini menunjukkan bahwa ingatan keorganisasian yang memuat informasi yang mendukung inovasi akan menyebabkan tumbuhnya identitas keorganisasian yang juga inovatif dan membuat karyawan siap untuk berinovasi sehingga diharapkan karyawan akan dapat menampilkan perilaku kerja inovatif. Ingatan berisi informasi tentang inovasi sebaiknya terus dipertahankan, dijaga dan disebarkan kembali pada seluruh anggota organisasi sehingga efektif untuk menumbuhkan perilaku kerja inovatif.
ABSTRACT
This study focuses on innovative work behavior, one kind of productive behavior in organization. The role of information that was known as organizational memory should have stimulated innovative work behavior. Therefore, organizational memory still has limitation to encourage innovative work behavior. So the thesis in this study is organizational memory has indirect relationship mediated by organizational identity and employee rsquo s readiness to innovate to innovative work behavior. This study used mixed methods exploratory sequential study that divided into 2 studies. Study 1 was a qualitative study to explore the organizational memory and organizational identity. There were 20 participants involved. The result from the first study was used as the basis for Organizational Memory and Organizational Identity scale construction used for the survey in study 2. Study 2 used quantitative perspectives that used questionnaire consisted of Organizational Memory Scale, Organizational Identity Scale, Readiness to Innovate Scale and Innovative Work Behavior Scale. The second study was conducted on 505 employees from various levels of the seven divisions in a printing and publishing organization that was included in one of the creative industry in Indonesia. The result indicates from mediating analysis shows that there are mediation effect of the organizational identity a 0.33 b 0.40 c rsquo 0.06 p 0.25 and employee rsquo s readiness to innovate a 0.18 b 0.81 c rsquo 0.04 p 0.16 . When the two of mediators are put together, only employee rsquo s readiness to innovate that has the mediation effect a1 0.33 a2 0.17 b1 0.07 b2 0.72 c rsquo 0.07 p 0.04 LLCI 0.08 and ULCI 0.21 . The result also shows that the employee rsquo s readiness to innovate has stronger effect than the organizational identity. Thus, the results of this study show that organizational memory that consist of the informations that support the innovation will cause emerge innovative organizational identity and enhance employee rsquo s readiness to innovate, so they will be able to perform as innovative employee. Thus, the organizational memory that support the innovation in organization must be retain and shared to all of organization member to improve the innovative work behavior.
2017
D2248
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library