Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitha Christine
"Background: As the second most common congenital structural anomaly, CL/P may functionally disable children with regard to eating, drinking, speaking, breathing, and hearing. Psychosocial health issue is important in school-age children because by the
age of 7 years, children start to make judgments about physical attractiveness in their peers. This study aims to evaluate psychosocial problems in Indonesian cleft center school-age patients identified using CBCL/6-18 despite any surgical interventions. Methods: We conducted a cross-sectional study on patients’ parents from Bandung,
Indonesia from 2011 to 2016, have undergone CL/P associated surgeries in Bandung Cleft Center using the Bahasa Indonesia version of CBCL/6-18 questionnaire (administered orally by phone). The data was entered to the official ASEBA-Web
online calculator. We depicted the findings using descriptive statistics. Results: There were 104 patents who can be contacted from the Bandung Cleft Center surgery database from 2011 to 2016. The median age was 8 years old, 56.7% of them were male, and 73.0% of them has cleft of lip, gum, and palate. We found that the speech and appearance problem were not perceived on 36 patients (34.6%) after undergoing surgery. We found that 78,8% of the patients had below normal score in Activities scale, while 93.3% of the patient had normal score in the Social scale and 92.3% of the patient had normal score School scale. Seven patients (6.7%) scored Borderline or Clinical Range in the Problem Items section. Sixteen patients (15.4%) were noted for some of the Critical Items put in among the Problem Items checklist as a
red flag indicator. Conclusion: In this study, we found 6.7% of the school-age children population with
CL/P had psychosocial problems. As the Indonesian population is very diverse, a wider sample from all regions of Indonesia are necessary to give more complete understanding. The result of this study hopefully can shed some light in the long-term
psychosocial conditions of the CL/P children post-operatively and be a baseline for further studies and care in Indonesian cleft center

Latar Belakang: Sebagai kelainan kongenital struktural kedua paling umum, CL/P dapat menyebabkan gangguan fungsional dalam hal makan, minum, berbicara, bernapas, dan mendengar. Masalah psikososial menjadi penting pada anak usia sekolah
karena pada usia 7 tahun, anak mulai dapat melakukan penilaian daya tarik fisik pada teman sebayanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi masalah psikososial pada pasien usia sekolah di pusat sumbing Indonesia menggunakan CBCL / 6-18 setelah dilakukan intervensi bedah. Metode: Kami melakukan studi potong lintang pada orang tua pasien dari Bandung,
Indonesia dari tahun 2011 hingga 2016, telah menjalani operasi terkait CL/P di Bandung Cleft Center menggunakan kuesioner CBCL / 6-18 versi Bahasa Indonesia (diberikan secara lisan melalui telepon). Data dimasukkan ke kalkulator online resmi ASEBA-Web. Kami menguraikan temuan menggunakan statistik deskriptif. Hasil: Terdapat 104 pasien yang dapat dihubungi dari database operasi Bandung Cleft
Center dari tahun 2011 sampai 2016. Median umur adalah 8 tahun, 56,7% berjenis
kelamin laki-laki, dan 73,0% diantaranya mengalami celah bibir, gusi, dan lelangit.
Kami menemukan bahwa masalah bicara dan penampilan tidak dikeluhkan pada 36
pasien (34,6%) setelah menjalani operasi. Kami menemukan bahwa 78,8% pasien memiliki skor di bawah normal pada skala Aktivitas, sedangkan 93,3% pasien memiliki skor normal pada skala Sosial dan 92,3% pasien memiliki skor normal Skala Sekolah.
Tujuh pasien (6,7%) mendapat skor borderline atau clinical range di bagian Problem Items. Enam belas pasien (15,4%) dicatat untuk beberapa Critical ITems yang dimasukkan dalam daftar periksa Problem Items sebagai indikator bendera merah. Kesimpulan: Dalam penelitian ini ditemukan 6,7% dari populasi anak usia sekolah dengan CL/P memiliki masalah psikososial. Mengingat jumlah penduduk Indonesia
yang sangat beragam maka diperlukan sampel yang lebih luas dari seluruh wilayah
Indonesia untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjelaskan kondisi psikososial jangka panjang pada anak CL / P
pasca operasi dan menjadi dasar untuk studi dan perawatan lebih lanjut di pusat
sumbing di Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Melinda Sari
"

Latar Belakang : Terdapat perdebatan jangka panjang di antara dokter bedah plastik mengenai bahan benang yang ideal untuk penjahitan luka. Banyak dokter bedah berpendapat bahwa material monofilamen lebih baik dibandingkan dengan monofilamen karena lebih mudah dalam melakukan simpul, tidak mudah terbuka, dan menimbulkan reaksi radang yang minimal. Pendapat lain tidak keberatan dengan benang multifilamen dan menganggap hasil yang diberikan tidak lebih buruk dibandingkan dengan monofilamen Pasien dan Metode : Defek sekunder donor tandur kulit full-thickness di area inferior abdomen dijahit menggunakan Vicryl 4.0 untuk lapisan dalam, dan pada lapisan luar dibagi menjadi grup Vicryl 4.0 dan grup Nylon 4.0. Seluruh pasien dilakukan follow-up hingga enam bulan setelah tindakan operasi dan diukur nilai VAS masing-masing pasien terhadap bekas luka jahitan. Hasil : Terdapat total 20 pasien disertakan dalam penelitian ini. Setelah 6 bulan pasca operasi, skor VAS pada grup pasien multifilamen memiliki nilai rerata 6.8, sedangkan pada grup monofilamen nilai rerata 7. Komplikasi berupa infeksi, dehisens, dan peradangan ditemukan pada satu pasien dari setiap grup. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara bekas luka yang dihasilkan dan komplikasi yang terjadi pada luka yang dijahit menggunakan benang multifilamen dengan monofilamen.


Background : There is long-standing disagreement among plastic surgeons as to the ideal suture material for closing skin wounds. Many surgeons believe hat monofilament suture material is preferable, as it is easier to tie, is unlikely to break prematurely, and elicits a minimal inflammatory response. Others feel that these issues are of minor importance and prefer absorbable multifilament sutures because they do not have to be removed, thus saving the surgeon time and decreasing patient anxiety and discomfort. Patients and Methods: Full thickness skin graft were taken from inferior abdominal. All deep tissues were closed with 4.0 Vicryl, while on the subcuticular level one group was sutured using 4.0 Vicryl and the other with 4.0 Nylon. All patients were followed for up to 6 months after surgery and VAS score of the scar were recorded from each patient. Result : Twenty patients were included in this study and divided into two groups. After 6 months evaluation, the mean VAS score for the aesthetic perception of the scar from the multifilament suture group was 6.8 and from the monofilament group was 7. Infection, dehiscence, and inflammation were found on one patient from the multifilament group and hypertrophic scar on one patient from each group. Conclusion : There are no significant difference on scar formation and complication between FTSG donor defects that were sutured using multifilament and monofilament suture.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library