Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Made Darma Weda
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu hukum pidana yang terganggu di sini adalah asa non-retroaktif. Asas ini -yang sejak awal kemunculannya- dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kesewenangan penguasa, kini tidak lagi diberlakukan untuk menjaring para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang merasa terlindungi karena asas retroaktif. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberi pemahaman terhadap "grass violation of human rights", khususnnya dalam kaitannta dengan hukum pidana dan pemidanaan. Pemahaman terhadap perbedaan perlakukan hukum terhadap pelaku kejahatan berat (grave breaches), dengan memberlakukan hukum pidana secara retroaktif terhadap para pelaku. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dalam peradilan pidana serta menemukan pemahaman secara lebih mendalam mengenai pemberlakuakn secara retroaktif, serta pemberlakuannya dalam kasus-kasus tertentu; mengkaji batas-batas pemberlakukan hukum pidana secara retroaktif serta eksistensinya dalam sistem hukum nasional.
2006
D1024
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
Abstrak :
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.

Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.

Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?

Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".

Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. ......The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.

The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.

Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.

Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.

Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
Abstrak :
ABSTRAK
Halaman Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak digunakan untuk menanggulangi kejahatan. Selama tahun 1997 pidana penjara yang dijatuhkan sebauyak 59.672 yang terdiri dari 58.195 terhadap pelaku tindak pidana laki-Iaki dan 1.477 pelaku tindak pidana perempuan. Pidana penjara sebagai suatu. derita diharapkan rnanfaatnya untuk mencegah kejahatan memenuhi rasa keadilan dan sebagai cara untuk memperbaiki atau membina pelaku kejahatan.

Pidana penjara pada masa pemerintahan kolonial Belanda merupakan reaksi negara akibat adanya suatu tindak pidana dan diformulasikan ke dalam undang-undang hukum pidana, pelaksanaan pidana penjara lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan, karena tujuan .pidana untuk pembalasan. Setelah Indonesia merdeka, keadaan ini masih berlangsung, sehingga DR. Sahardjo terdorong untuk menghapuskan penderitaan orang-orang di Penjara, pemikirannya dituangkan pada saat menerima gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Indonesia dalam llmu-hukum tanggal 5 Juli 1963.dengan judul : ?Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek?. Menurutnya tujuan pidana penjam adalah sebagai knnsep sangat manusiawi. Pelaksanaan pemikiran tersebut diimplementasikan ke dalam undang-undang RI nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya tidak membawa perbaikan terhadap orang-orang di penjara, lembaga pemasyamkatan nidak potensial sebagai tempat rehabilitasi narapidana. Dari kenyataan demikian pelaksanaan pemasyarakatan perlu diperbaharui agar tujuan penjatuhan pidana berupa pemasyarakatan dapat terwujud.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, ketentuan pidana penjara apakah telah berorientasi pada konsep pemasyarakatan, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara apakah menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan, pandangan masyarakat dan penegak hukum terhadap pidana penjara, faktor yang memiliki keterkaitan dalam upaya mengimplementasikan sistem pemasyarakatan, upaya yang diajukan bagi pembaharuan pemasyrakatan di Indonesia. Berdasarkan hasil peneiitian, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana sebagaimana dalam undang-undang RI nornor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dalam pelaksanaannya belum bemjalan efekiitl pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan belum menjamin bekas narapidana diterima rnasyamkat karena pembinaan sangat terbatas sehingga tidak cukup bekal berkornpetisi di masyaxakat. Kecenderungan buruknya pelayanan pembinaan narapidana, terbukti banyaknya peristiwa buruk yang terjadi di lembaga pemasyarakatan, sehingga pemasyarakan sebagai tujuan pidana penjara menjadi ?tertunda? sehingga sulit untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan.

Menurut pandangan masyarakat pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan mereka yang dirugikan akibat kejahatan. Pidana penjara harus mengandung suatu pembalasan yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, pidana penjam harus membuat pelakunya menjadi jera, tobat.

Menurut pandangan penegak hukum pidana penjara lebih dipahami untuk melindungi masyarakat, pidana penjara salah satu sarana untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Sebagai suatu derita, pidana penjara diyakini bertujuan untuk pembalasan maupun menjerakan pelaku, Serta melindungi kepentingan negara dan masyarakat.pidana penjara dianggap suatu cara untuk melakukan pembinaan.

Faktor yang erat kaitannya dengan implentasi sistem pemasyarakatan sebagai faktor penentu adalah kualitas pembinaan. Pembinaan yang diterapkan sepatutnya menjadikan narapidana memiliki kesadaran hukum. Untuk itu petlu didukung petugas yang profesional dan pendidikan keterampilan. peraturan perundang-undangan, infrastruktur, dan penghargaan atas hak-hak nampidana seperti pemberian insentif.

Reorientasi sistem pembinaan, perlu disempumahn antara lain pendidikan keterampilan, pendidikan agama dan diberikan hak-haknya, serta perlu dibina dengan memanfaarkan tenaga ahli (behavorial scientist) maupun orientasi dirumah singgah. Penegak hukum menjadi penentu apakah pidana peniara akan menjadi pemasyarakatan atau pemenjataan. Penegak hukum harus memahami dijatuhkan pidana penjara bukan bertujuan pembalasan, tetapi mempunyai tujuan khusus yaitu mengembalikan narapidana ke masyarakat. Oleh karen itu, pembentuk undang-undang saatnya merumuskan di dalam RUU KUHP yang memberikan kewenangan kepada Hakim agar dalam keputusannya mencantumkan teori hukuman apa yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman. Hakim diberi kebehasan mempertimbangkan kerugian yang diderita korban dan korban tidak keberatan atas pidana yang dijatuhkan. Hakim saatnya mempertimbangkan pemberian ganti kerugiau dan pemenuhan kewajihan adat.

Rekomendasi, perlu pembaharuan falsfah pemidanaan, dalam hal ini harus ditegaskan kembali makna dan tujuan pidana penjara, untuk itu perlu ada kesamaan pemahaman antara penegak hukum, petugas pemasyarakatan serta pembentuk undang- undang (legislator) maupun masyarakat mengenai makna dan tujuan pidana penjam.Perlu kejelasan arah dan apa tujuan pidana penjara yang hendak dicapai, perlu penggantian dan penarnbahan infrastruktur untuk mendukung proses pemasyarakatan, serta meningkatkan kemampuan petugas dan penegakaan disiplin dan tanggung jawab dengan mengaplikasikan ilmu pemasyarakatan. Amandemen UU RI No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Swastanisasi dalam mengelola lembaga pemasyarakatan, mendirikan rumah singgah dengan melibatkan kalangan perguman tinggi dan masyarakat, mengembangkan penjara terbuka (open prison). Jaminan perlindungan hukum kepada bekas narapidana dan perlu merevitalisasi peran dan sumbangan akademi ilmu pemasyarakatan dalam pengembangan pemasyarakatan narapidana.
2004
D1028
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Armiwulan S.
Abstrak :
Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan sesungguhnya telah memiliki komitmen untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami dari UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar pada paham kedaulatan rakyat, negara yang berdasar pada hukum serta sistem Konstitusi. Artinya berdasarkan ketiga pilar tersebut maka adanya jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah satu prinsip dari Demokrasi, Negara Hukum dan Sistem Konstitusi yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konsekuensinya Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi bagi semua orang yang harus tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai hal ini telah ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sepanjang perjalanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia ternyata masih ada praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak mencerminkan adanya jaminan terhadap kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi yang merupakan esensi dari perlindungan hak asasi manusia. Salah satu contoh adalah praktik diskriminasi rasial yang tetap menjadi current issue di semua rezim pemerintahan di Indonesia, bahkan di era Reformasi yang menyatakan sebagai pemerintahan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia justru praktik diskriminasi rasial yang berujung pada konflik horisontal terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Persoalan diskriminasi rasial sangat potensial terjadi di Indonesia, mengingat jumlah penduduknya yang sangat banyak dengan berbagai suku bangsa, ras dan etnis (multi etnis) serta tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Sementara harus diakui bahwa sampai saat ini upaya yang dilakukan belum dapat menghentikan praktik-praktik diskriminasi rasial. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak cukup menjawab persoalan mengenai diskriminasi ras dan etnis. Studi tentang etnis Tionghoa yang dilakukan secara komprehensif diharapkan mampu untuk memetakan problematika diskriminasi ras dan etnis di Indonesia sekaligus membangun kesadaran bagaimanakah wujud perlindungan hukum yang tepat untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang secara terus menerus menyuarakan perlawanan terhadap praktik diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa, namun di sisi yang lain dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga disebut sebagai sebab praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap etnis yang lain. Model pendekatan hukum hak asasi manusia dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Hukum hak asasi manusia menjamin kebebasan setiap orang namun disisi yang lain juga diperlukan adanya pembatasan kebebasan dengan tujuan untuk menghormati kebebasan tersebut. Hukum hak asasi manusia memuat larangan diskriminasi atas dasar apapun termasuk larangan diskriminasi rasial, namun untuk mewujudkan prinsip kesetaraan diperlukan juga langkah-langkah khusus (tindakan affirmatif) yang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu. Tindakan affirmatif adalah pembedaan yang tidak boleh dinilai sebagai perbuatan diskriminatif. Selain itu untuk sampai pada penyelesaian akar masalah diskriminasi rasial maka memaknai keadilan yang diwujudkan dalam sistem hukum yang intergratif dan tersedianya mekanisme penegakan yang komprehensif adalah sebuah keharusan dalam paham konstitusionalisme. ...... Since the beginning the Republic of Indonesia in fact, already had commitment to respect and uphold human rights. This could be understood from Constitution of Republic Indonesia 1945 which stated that Indonesia is a country based on the understanding of sovereignty, which is based on Rule of Law and Constitution system. That is based on three pillars guarantees the recognition and protection of human rights is one of the principles of Democracy, Rule of Law and Constitution System should be realized in Constitutional law system. This brought a consequence for the State, which has obligation to guarantee freedom, equality and the principle of non-discrimination for all people that should be reflected in governance. This matter has been specified in Paragraph I of Article 28 (4) and (5) the Constitution of Republic Indonesia 1945. However, throughout as long as the experiences of Indonesia, the lack of state enforcement practices that do not reflect a guarantee of liberty, equality and non-discrimination principles which is the essence of the protection of human rights. One example is the practice of racial discrimination that remains as current issue in all regimes of governance in Indonesia, even in reformation era that states as a more democratic government and respect for human rights is precisely the practice of racial discrimination that leads to horizontal conflicts occur in various areas Indonesia. The issue of potential racial discrimination occurred in Indonesia, considered the vast amount of people from different ethnic, racial and ethnic groups (multi-ethnic) and educational level is still relatively low. While it must be admitted that so far, the efforts have not been able to end the practice of racial discrimination. The motto Unity in Diversity and the various laws and regulations do not adequately addressed the question of racial and ethnic discrimination. The study of ethnic Chinese that has been done, hopefully will be able to comprehensively map the problem of racial and ethnic discrimination in Indonesia as well as build awareness on how to form the legal protection to end the practice of racial discrimination in Indonesia. Ethnic Chinese is one of the ethnic that continually active engaged in opposition to practice of racial discrimination faced by ethnic Chinese, but on the other hand by the Chinese economic dominance also mentioned as the reason for the practice of racial discrimination committed by the Chinese against other ethnic groups. Model approach to human rights law can be used as an analytical knife to stop the practice of racial discrimination in Indonesia. Human rights law guarantees freedom of every person, but on the other also required the restriction of freedom in order to respect these freedoms. Human rights law includes the prohibition of discrimination on any ground, including the prohibition of racial discrimination, but to embody the principle of equality is also required special measures (affirmative action) aimed at specific communities. Affirmative action is a distinction that should not be considered as discriminatory acts. In addition to the completion of the root of the problem of racial discrimination, therefore to make sense of justice embodied in the legal system integrative and the availability of a comprehensive enforcement mechanism is a necessity in understanding of constitutionalism.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
Abstrak :
ABSTRAK
Halaman Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak digunakan untuk menanggulangi kejahatan. Selama tahun 1997 pidana penjara yang dijatuhkan sebauyak 59.672 yang terdiri dari 58.195 terhadap pelaku tindak pidana laki-Iaki dan 1.477 pelaku tindak pidana perempuan. Pidana penjara sebagai suatu. derita diharapkan rnanfaatnya untuk mencegah kejahatan memenuhi rasa keadilan dan sebagai cara untuk memperbaiki atau membina pelaku kejahatan.

Pidana penjara pada masa pemerintahan kolonial Belanda merupakan reaksi negara akibat adanya suatu tindak pidana dan diformulasikan ke dalam undang-undang hukum pidana, pelaksanaan pidana penjara lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan, karena tujuan .pidana untuk pembalasan. Setelah Indonesia merdeka, keadaan ini masih berlangsung, sehingga DR. Sahardjo terdorong untuk menghapuskan penderitaan orang-orang di Penjara, pemikirannya dituangkan pada saat menerima gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Indonesia dalam llmu-hukum tanggal 5 Juli 1963.dengan judul : ?Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek?. Menurutnya tujuan pidana penjam adalah sebagai knnsep sangat manusiawi. Pelaksanaan pemikiran tersebut diimplementasikan ke dalam undang-undang RI nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya tidak membawa perbaikan terhadap orang-orang di penjara, lembaga pemasyamkatan nidak potensial sebagai tempat rehabilitasi narapidana. Dari kenyataan demikian pelaksanaan pemasyarakatan perlu diperbaharui agar tujuan penjatuhan pidana berupa pemasyarakatan dapat terwujud.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, ketentuan pidana penjara apakah telah berorientasi pada konsep pemasyarakatan, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara apakah menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan, pandangan masyarakat dan penegak hukum terhadap pidana penjara, faktor yang memiliki keterkaitan dalam upaya mengimplementasikan sistem pemasyarakatan, upaya yang diajukan bagi pembaharuan pemasyrakatan di Indonesia. Berdasarkan hasil peneiitian, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana sebagaimana dalam undang-undang RI nornor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dalam pelaksanaannya belum bemjalan efekiitl pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan belum menjamin bekas narapidana diterima rnasyamkat karena pembinaan sangat terbatas sehingga tidak cukup bekal berkornpetisi di masyaxakat. Kecenderungan buruknya pelayanan pembinaan narapidana, terbukti banyaknya peristiwa buruk yang terjadi di lembaga pemasyarakatan, sehingga pemasyarakan sebagai tujuan pidana penjara menjadi ?tertunda? sehingga sulit untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan.

Menurut pandangan masyarakat pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan mereka yang dirugikan akibat kejahatan. Pidana penjara harus mengandung suatu pembalasan yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, pidana penjam harus membuat pelakunya menjadi jera, tobat.

Menurut pandangan penegak hukum pidana penjara lebih dipahami untuk melindungi masyarakat, pidana penjara salah satu sarana untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Sebagai suatu derita, pidana penjara diyakini bertujuan untuk pembalasan maupun menjerakan pelaku, Serta melindungi kepentingan negara dan masyarakat.pidana penjara dianggap suatu cara untuk melakukan pembinaan.

Faktor yang erat kaitannya dengan implentasi sistem pemasyarakatan sebagai faktor penentu adalah kualitas pembinaan. Pembinaan yang diterapkan sepatutnya menjadikan narapidana memiliki kesadaran hukum. Untuk itu petlu didukung petugas yang profesional dan pendidikan keterampilan. peraturan perundang-undangan, infrastruktur, dan penghargaan atas hak-hak nampidana seperti pemberian insentif.

Reorientasi sistem pembinaan, perlu disempumahn antara lain pendidikan keterampilan, pendidikan agama dan diberikan hak-haknya, serta perlu dibina dengan memanfaarkan tenaga ahli (behavorial scientist) maupun orientasi dirumah singgah. Penegak hukum menjadi penentu apakah pidana peniara akan menjadi pemasyarakatan atau pemenjataan. Penegak hukum harus memahami dijatuhkan pidana penjara bukan bertujuan pembalasan, tetapi mempunyai tujuan khusus yaitu.mengembalikan narapidana ke masyarakat. Oleh karen itu, pembentuk undang-undang saatnya merumuskan di dalam RUU KUHP yang memberikan kewenangan kepada Hakim agar dalam keputusannya mencantumkan teori hukuman apa yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman. Hakim diberi kebehasan mempertimbangkan kerugian yang diderita korban dan korban tidak keberatan atas pidana yang dijatuhkan. Hakim saatnya mempertimbangkan pemberian ganti kerugiau dan pemenuhan kewajihan adat.

Rekomendasi, perlu pembaharuan falsfah pemidanaan, dalam hal ini harus ditegaskan kembali makna dan tujuan pidana penjara, untuk itu perlu ada kesamaan pemahaman antara penegak hukum, petugas pemasyarakatan serta pembentuk undang- undang (legislator) maupun masyarakat mengenai makna dan tujuan pidana penjam.Perlu kejelasan arah dan apa tujuan pidana penjara yang hendak dicapai, perlu penggantian dan penarnbahan infrastruktur untuk mendukung proses pemasyarakatan, serta meningkatkan kemampuan petugas dan penegakaan disiplin dan tanggung jawab dengan mengaplikasikan ilmu pemasyarakatan. Amandemen UU RI No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Swastanisasi dalam mengelola lembaga pemasyarakatan, mendirikan rumah singgah dengan melibatkan kalangan perguman tinggi dan masyarakat, mengembangkan penjara terbuka (open prison). Jaminan perlindungan hukum kepada bekas narapidana dan perlu merevitalisasi peran dan sumbangan akademi ilmu pemasyarakatan dalam pengembangan pemasyarakatan narapidana.
2004
D702
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Darma Weda
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu hukum pidana yang terganggu di sini adalah asa non-retroaktif. Asas ini -yang sejak awal kemunculannya- dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kesewenangan penguasa, kini tidak lagi diberlakukan untuk menjaring para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang merasa terlindungi karena asas retroaktif. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberi pemahaman terhadap "grass violation of human rights", khususnnya dalam kaitannta dengan hukum pidana dan pemidanaan. Pemahaman terhadap perbedaan perlakukan hukum terhadap pelaku kejahatan berat (grave breaches), dengan memberlakukan hukum pidana secara retroaktif terhadap para pelaku. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dalam peradilan pidana serta menemukan pemahaman secara lebih mendalam mengenai pemberlakuakn secara retroaktif, serta pemberlakuannya dalam kasus-kasus tertentu; mengkaji batas-batas pemberlakukan hukum pidana secara retroaktif serta eksistensinya dalam sistem hukum nasional.
2006
D649
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Riza Fahlevi
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang pengaturan pemungutan pajak penghasilan di Indonesia, studi ats peraturan di bawah undang-undang tahun 1984-2006. Ada prinsip yang berlaku universal yakni, tidak ada pajak tanpa perwakilan, atau pajak tanpa perwakilan adalah perampokan. Di In donesia, dasar pemungutan pajak tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 (naskah asli), yang kemudian dalam perubahan ketiga UUD 1945 diatur dalam asal 23A. Pada dasarnya pemungutan pajak harus di atur dngan undang-undang. Praktiknya, banyak peraturan-peraturan di bawah undang-undang yang mengatur pemungutan pajak penghasilan. Dengan pendekatan teori Economic analysis of law, penulis mencoba mencari jawaban mengapa banyak pengaturan pemungutan pajak penghasilan diatur melalui peraturan di bawahundangundang. Teori ini mengedepankan konsep efesiensi. Efisiensi dalam pengaturan pemajakan, terhadi bila peraturan dibuat dengan memperhatikan bahwa atas kegiatan ekonomiyang mempunyai elastisitas tinggi dikenakan trif pajak rendah, begitu pula sebaliknya, atas kegiatan ekoomi yang mempunyai eleastisitas rendah dikenakan dengan tarif tinggi.
Depok: 2009
D1016
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library