Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhariyono A.R.
Abstrak :
ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga seteiah generasi pertama yang dimulai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda. Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP daiam perjalanannya dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidalia denda. Selain itu, piclana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan ydan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal pencembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi aiternatif (altemative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau altematif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan rnasyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda iika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian pula piidana denda yang ditentukan- sabagai' ancaman kurnulaiif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutarna untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan hafta benda atau kekayaan. Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan piclana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang be1um atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konfiik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban. Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kenugian (restitutif) daniatau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa. Keseluruhan upaya di atas pada dasamya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana, pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusia n yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang rnelakukan tindak pidana herat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat.
Depok: 2009
D1023
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reda Manthovani
Abstrak :

ABSTRAK Disertasi ini merupakan penelitian juridis normatif yang dilakukan dengan menggunakan privacy rights theory, prinsip-prinsip internasional tentang penerapan hak asasi manusia dalam communication surveillance dan teori sistem peradilan pidana. Fokus penelitian ini adalah mengkaji bagaimana hukum di Indonesia mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi dari intersepsi baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan serta perbandingannya dengan negara Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris dan Prancis. Hasil penelitian ini mendapati bahwa intersepsi merupakan tindakan yang melanggar zona privasi, tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilarang. Tindakan intersepsi memiliki karakter yang khusus dan berbeda dengan upaya paksa lainnya, oleh karena intersepsi dilakukan dengan cara rahasia, tidak terlihat dan tidak terasa. Penelitian ini menegaskan bahwa intersepsi selain berfungsi sebagai upaya paksa khusus namun terkadang dapat disalahgunakan dan melanggar hak asasi manusia. Intersepsi dipandang sebagai tindakan yang mengurangi hak privasi, namun intersepsi tetap dipergunakan oleh aparat penegak hukum dimanapun didunia ini sebagai salah satu instrumen upaya paksa dengan pertimbangan adanya kebutuhan untuk penegakan hukum. Hal tersebut dimungkinkan karena hak privasi masih termasuk derogable rights sehingga hak privasi masih dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang. Penelitian ini menemukan bahwa intersepsi yang diatur di Indonesia baru sebatas pemberian wewenang (legality) kepada aparat untuk penegakan hukum (legitimate aim) dan belum menerapkan prinsip proportionality dan necessity. Selain itu prinsip admisibility dan due process of law belum sepenuhnya diadopsi dalam hukum acara pidana Indonesia sehingga hakim belum banyak berperan dalam menentukan keabsahan alat bukti yang diperoleh dari intersepsi. Sehingga alat bukti yang diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia pun masih dapat diakui sebagai alat bukti yang sah dan digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya. Hal tersebut berbeda dinegara Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris dan Prancis yang menerapkan menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Penelitian ini menemukan RUU KUHAP saat ini berupaya membangun hukum acara pidana Indonesia yang compatible dengan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia di atas. Oleh karena itu saran dari hasil penelitian ini berupa : Pertama, diperlukan unifikasi bentuk upaya paksa dalam satu peraturan perundang-undangan yang menerapkan prinsip legitimate aim, necessity dan proportionality sehingga intersepsi dipandang sebagai upaya terakhir setelah jalan lain sudah ditempuh sebelumnya. Kedua, memberlakukan hukum acara pidana yang menerapkan prinsip admisibility dan due process of law sehingga hakim lebih berperan dalam menentukan keabsahan alat bukti dan membatalkan alat bukti yang diperoleh dengan melanggar hak asasi. Ketiga merobah klasifikasi alat bukti tertutup yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP menjadi klasifikasi alat bukti terbuka dengan menambahkan klausula pengamatan hakim dalam persidangan sehingga alat bukti apapun dapat diterima di pengadilan (admissible) sepanjang diperoleh secara sah. Keempat, agar RUU KUHAP saat ini diteruskan pembahasannya dan untuk melengkapinya diperlukan suatu RPP yang mengatur secara detail teknis dari tatacara intersepsi, misalnya monitoring pasca dilakukannya intersepsi melalui post audit oleh lembaga eksternal diluar lembaga penegak hukum yang melakukan intersepsi.


ABSTRACT This dissertation is a normative juridical research which has been conducted by using privacy rights theory, international principles about implementing of human rights in communication surveillance and theory of the criminal justice system. The focus of this research is to study how the law in Indonesia accommodates the principles of the protection to the human rights of interception whether in the constitution, legislation, verdicts, and its comparison with the United States, Australia, Netherland, UK, and France. The result of this research found that interception is an intrusion to privacy zone, and it is a forbidden act. Interception, however, has special characteristics and differ with other coercion, therefore interception is done by secret, is not visible and is not noticeably. This research affirm that interception beside has its functions as a special coercion but sometimes can be misused and violate the human rights. Interception is deemed as an action which decrease the privacy right, but however it is used as a tools of state by the law enforcement officer in the world with the law enforcement consideration. It is still possible to be done because the privacy right is classified as derogable rights therefore it is could be limited by the regulations. This research found that the interception regulated in Indonesia is merely granting authority (legality) to the law enforcement agencies (legitimate aim) and yet implemented proportionality and necessity principles. Moreover, the principle of admissibility and due process of law are not entirely adopted yet in Indonesian criminal procedure so that the judge does not get his perfect role in determining the validity of evidence obtained from the interception. It is so that the evidence obtained by violating human rights can still be admitted as a valid evidence and it can be used as a Judge consideration in its verdict. The situation above is different in the law system of USA, Australia, Netherland, UK, and France which have applied such principles. This research found that the Draft of Criminal Procedure Code nowadays tries to build Indonesian criminal procedural law that is compatible with the principles of respecting the human rights, as above. Because of that, the suggestions from this research are, as follow : One, it is required the unification in coercion within one regulations which implement the principles of legitimate aim, necessity and proportionality, therefore interception can be regarded as the last resort after other coercion had previously been through. Two, imposing criminal procedural law which implement the principle of admissibility and due process of law therefore the judge is able to play it’s role in determining the validity of the evidence and exclude the evidence which was obtained by violating human rights. Three, to amend the classification of limited evidence-which is regulated in Chapter 184 Criminal Procedure Code (KUHAP) – to be the classification of unlimited evidence by ammending the clause of judge observation in the trial so that any evidence can be accepted in the court (admissible), as long as it is obtained lawfully. Four, Continuing the discussion of the Draft of Criminal Procedure Code in House Representative, and in order to complement it, it needs a RPP (Draft of Governmental Regulations) which regulates in detail, the technical order of interception, for example : monitoring the things after implementing the interception through post audit by external body outside the law enforcement agencies which implements the interception.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D2581
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
Abstrak :
Kesalahan dan Penanggungiawaban Pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktek hukum belum terdapat kesamaan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain, kerapkali terdapat perbedaan dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Hal ini dapat saja bersumber dari adanya kecenderungan melihat penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana semata-mata sebagai bagian dari tugas hakim daiam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kecederungan demikian, juga terlihat dari minimnya ketentuan peraturan pemndang-undangan pidana mengenai hal itu. Undang-undang pidana umumnya hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana beserta ancaman pidana bagi pembuatnya. Pada sisi tain, hai ini membuka kemungkinan para akademisi memberi kontribusi teoretis mengenai hal ini. Pada tahun 1955 Prof. Moejatno, SH mengemukakan pandangannya mengenai tindak pidana dan pertanggungiawaban pidana. Dalam lirteratur teori ini dikena! dengan ajaran dualistis, yang dalam disertasi ini disebut dengan Teori Pemisanan Undak Pidana dan Peftanggungjawaban Pidana. Teori ini menempatkan masalah pertanggungjawaban pidana terpisah dari masalah tindak pidana, sehingga dapat dipandang sebagai koreksi atas ajaran monistis yang memandang kesalahan semata-mata sebagai unsur subyektif tindak pidana. Selain itu, teori ini telah menjadi fundamen dasar penyusunan Rancangan KUHP, sehingga sangat bemilai strategis dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan teori ini umumnya tidak diterapkan, sekalipun harus diakui terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dipandang sejalan dengan teori tersebut. Hal ini menyebabkan elaborasi Iebih iauh tentang pola penentuan kesalahan dan penanggung-jawaban pidana berdasar pada teori dualistis, sangat diperlukan guna menunjang praktek peradilan ketika KUHP baru diberlakukan. Berdasarkan teori ini kesalahan dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam praktek. Misalnya, atas dasar apa penentuan kesalahan terdakwa, jika Penuntut Umum hanya berkewajiban membuktikan rumusan tindak pidana yang didalamnya tidak memuat unsur kesalahan. Apabila tidak mendapat pengaturan lebih Ianjut, balk dalam hukum pidana materil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), maka penentuan kesaiahan dan pertanggungjawaban pidana cenderung ke arah feit materiel. Hal ini terakhlr ini merupakan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang telah ditinggalkan sejak Water en Melk Arrest Hoge-Raad 1916. Dengan kata lain, hal ini akan membuat pertanggungjawaban pidana cenderung dilakukan secara strict liability, yang oleh sementara kalangan dipandang sebagai pertanggungjawaban tanpa -kesalahan (liabiiity without fault). Dalam disertasi ini dikemukakan konsepsi tentang 'penentuan kesalahan dan pertangungjawaban pidana berdasar teori dualistis, tgnpa terjebak pada kecendengan menerapkannya sebagai fait material atau strict Bability. Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungiawaban Pidana yang menjadi fundamen penyusunan Rancangan' KUHP belum sepenuhnya terimplementasi dalam berbagai ketenluanhya. Sejauh mengenal perumusan tindak pidana hal ini hanya mempengaruhi dikeluarkannya kesengajaan dari rumusan tindak pidana. Sementara kealpaan tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. Hal ini pun akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Tldak terbuktinya kealpaan yang menjadi bagian rumusan tindak pidana menyebabkan terdakwa dibabaskan. Sebaliknya, jika dipandang tidak terdapat kesengajaan ketika melakukan tindak pidana, maka terdakwa akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baik kesengajaan maupun kealpaan keduanya bentuk-bentuk kesalahan, sehingga kurang tepat jika tidak terdapatnya hal ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Disertasi ini mengemukakan konsepsi yang clengan itu perbedaan sebagaimana tersebut di atas dapat dihindari. ......Fault and criminal liability still leaving some problems. For example, in practical law there is no similarity pattern of deciding the criminal fault and criminal liability yet. We often find that a verdict of a court is different with another court even they handled the same cases, it is usually often causes by the diherences in determined the defendant fault and criminal liability. lt could be caused by the inclination of some opinions said that the determination of the fault and criminal liability is part of the judges job in diagnose, judging and deciding a case. We can also say that the inclination caused bythe minimum regulations of the crime legislations. In generai the criminal legislations are only deciding the crime that is Stated as a crimutal act and the punishment for the doer. ln the other hand it opens the possibility for the academician to contribute their theoretical knowledge for this case. In 1955, Prof. Moejatno, SH made an opinion about criminal act and criminal liability. ln a literature, this theory is known as the dualistic theory and it is called as the separation theory of criminal act and criminal liabihty in this dissertation. This theory placed the criminal liability problem (mens rea) separate from the criminal act problem (actus reus), so that we can see it as the correction of the monistrc theory that say that fault is part of the physiological element of criminal act. Beside that, this theory has become the basic concept of the Bill of Criminal Code for it would become strategic value in the Indonesian law development. However; result of the research this dissertation shows that this theory isn't always used, even though there are some court decisions used it. lt causes a further elaboration ofthe pattern of criminal act and criminal liability based on the dualistic theory that is very important to support the practical law when it is issued to the public. Based on this theory, fault is not a part of criminal act. And it can causes problems in the law practice. For example, there will be a question about the basic determination of defendants fault, if the General Prosecutor only has an obligation to proof an criminal act concept that isn't consist of fault. lf there isn't any further regulation, neither in the substantive criminal law (Criminal Code) or procedure criminal law (Criminal Code Procedure), then the determination between fault and criminal liability will disposed to the feit materiel doctrine. And this is the pattern of the determination of fault and criminal liability that had been left since Water en Melk Arrest Hoge Read 1916. ln the other word, it can be said that the pattern can make the criminal liability disposed done by strict liability. The last one by some authors as a pattem the determination of criminal liability without fault. This dissertation tells a conception ofthe determination of fault and criminal liability based on dualistic theory without trapped on the leaning on using it as feit materiel doctrine or strict liability. The separation theory of criminal act and criminal liability that is used as the basic concept Bill of Criminal Code isn't fully implemented on some stipulations. As far as we know, this theoiyis only affected to the issued of the intention out a part of criminal act concept. In the mean time, faults still become a part ofthe criminal-ect concept, and it is become a- problem in the real practice. The unproven of intention that is a part of criminal act will release (ontslaag van -alle rechtvenrolging) 'the defendant. On the other hand, if a defendant seems to be had negligence in done the cnrninal act the law will let him free (vrijspraak). Both of intention and negligence are faults, so that it wouldn?t be appropriate if the unexcitable of them make different consequences. This dissertation tells about a conception that will show us if we can avoid the differences mentioned.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
Abstrak :
Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong. ......This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
Abstrak :
Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong. ......This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Darmawan
Abstrak :
Kitab Kutaramanawa Dharmasastra Kerajaan Majapahit (KMD), merupakan kitab perundang-undangan yang berlaku di Kerajaan Majapahit. KMD merupakan kitab hukum yang mengatur hukum pidana dan hukum perdata, meskipun pengaturan hukum pidana lebih banyak dari hukum perdata. Keseluruhan pasal KMD terjemahan Slamet Muljana berjumlah 271 Pasal, dan pasal yang mengatur hukum pidana berjumlah 154 pasal. Penelitian ini berpijak kepada suatu permasalahan besar, di mana KMD sebagai salah satu kitab hukum kuno warisan kearifan lokal Nusantara, merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang belum digali dan belum mendapat perhatian serius baik dari DPR dan Pemerintah Indonesia, praktisi, maupun akademisi hukum. Dari permasalahan tersebut, mendorong peneliti untuk melahirkan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : apa sajakah jenis tindak pidana dan pidana yang terkandung dalam KMD, apa sajakah asas-asas hukum pidana dan pemidanaan yang terkandung dalam KMD, dan bagaimanakah perbandingan asas-asas hukum pidana dan pemidanaan yang terdapat dalam KMD dan KUHP. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini hanya memfokuskan kepada aspek hukum pidananya saja melalui penelitian studi dokumen dengan pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber data utama dalam penelitian ini adalah KMD terjemahan Slamet Muljana, selain itu juga digunakan data sekunder berupa bahan hukum primer : KUHP, bahan hukum sekunder : buku-buku, jurnal-jurnal, makalah, disertasi, hasil penelitian, dan bahan hukum tersier : ensiklopedia, kamus, dan data internet. Dalam menguraikan pasal-pasal yang terdapat dalam KMD, penelitian ini menggunakan juga metode penafsiran berdasarkan hermeneutika Paul Ricour yang bertolak dari isi dan makna teks yang tampak (tersurat) terhadap makna teks yang tersembunyi (tersirat). Penelitian ini menggunakan teori hermeneutika Gadamer dan teori pemidanaan sebagai suatu pisau analisis. Dengan teori hermenetika Gadamer, khususnya melalui metode Fusion of Horison, maka akan didapat suatu pemahaman teks di masa lalu ke masa kini, melalui penafsiran teks KMD yang disandingkan dengan KUHP, sehingga didapat produktivitas makna melalui rekonstruksi teks di masa silam (KMD) yang diproyeksikan ke masa kini (KUHP).Teori pemidanaan digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah tindak pidana, pidana, serta asas-asas hukum pidana dan pemidanaan, juga asas persamaan di depan hukum yang terdapat dalam KMD. Dari penelitian ini, diketemukan temuan-temuan penting berupa tindak pidana yang meliputi : astadusta (pembunuhan dan yang berkaitan dengan pembunuhan), kawula (perlakuan terhadap hamba), astatjorah (pencurian dan yang berkaitan dengan pencurian), sahasa (paksaan), paradara (perbuatan mesum/perbuatan asusila), wakparusya (penghinaan/caci maki), dandaparusya (menyakiti/penganiayaan), kagelehan (kelalain), atukaran (perkelahian), dan duwi latek (fitnah/kebohongan). Temuan pidana berupa pidana pokok yang meliputi : pidana mati, pidana denda, pidana potong anggota tubuh yang bersalah, ganti kerugian (patukucawa), pidana tambahan meliputi : tebusan, penyitaan, uang pembeli obat (patibajampi), uang pakuramas/patepung tawar/isuh-isuh, perkara disiarkan kepada umum, pengusiran dari desa tempat tinggalnya, dan pidana tambahan lainnya. Temuan perumusan sanksi pidana berupa perumusan sanksi pidana secara tunggal dan kumulatif. Adapun temuan intinya berupa temuan asas-asas hukum pidana dan pemidanaan dalam KMD, yaitu meliputi : asas legalitas, asas kesalahan, asas penyertaan (deelneming), asas gabungan tindak pidana (samenloop/concursus), tujuan pemidanaan, pertanggungjawab an pidana, alasan peniadaan pidana (straf uit luiting gronden), alasan pemberat pidana, alasan peringan pidana, dan asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Temuantemuan tersebut merupakan suatu perbandingan asas-asas hukum pidana dan pemidanaan dalam KMD dan KUHP, yang memberikan manfaat bagi pengayaan sejarah hukum pidana Indonesia dan memberikan suatu refleksi bagi pembaharuan hukum pidana Indonesia ......The Book of Kutaramanawa Dharmasastra of Majapahit Kingdom (KMD) is the book of rules and regulations enforced in Majapahit Kingdom. KMD constitutes the book of laws that governs criminaland civil laws despite governing criminal law is much more than the civil laws. The entire articles of KMD, which is translated by Slamet Muljana totaling 271 Articles and the articles that govern criminal laws totaling 154 articles. This study grounds upon a big problem where KMD as one of ancient legal code of the Nusantara local wisdom inheritance, which is the Indonesia’s original law which has not been further studied and received serious attention from the House of Representative and the Indonesian Government, practitioners or legal academics. The problem urges the researcher to create some research questions, namely: what are the types of criminal acts and punishment contained in KMD?, what are legal principles of crime and punishment contained in KMD? and how is comparison of legal principles of crime and punishment contained in KMD and criminalcode. To answer such research problems, this study only focused on criminal legal aspect through documentary study with use of historical approach and statute approach. The main data sourcein this study is KMD translated by Slamet Muljana, beside that it also used secondary data in the form of primary legal materials: Criminal Code, secondary legal materials: books, journals, papers, dissertation, research results and tertiary legal materials: encyclopedia, dictionary and internet data. In breaking down articles in KMD, this research also used interpretation method based upon Paul Ricour’s hermeneutical theory which is grounded from content and meaning of explicittext towards implicit text. This research used Gadamer’s hermeneutical theory and punishing theory as an analysis knife.With use of Gadamer’shermeneuticaltheory,particularlythrough Fusion of Horison method, it would be found a text understandingin the past to the present time, through text interpretation of KMD which is alignedwiththeCriminalCode, itisfoundmeaningproductivity through text reconstruction in the past time (KMD)which is projected to the present time (KUHP). The punishing theory is used as an analysis knife in breaking down criminal act, crime and legal principles of crime and punishment, and also equality principle before the law set out in KMD. Important findingsin this research are criminal actsincluding: astadusta(murdering and associated with murdering), kawula (treatment towards slave), astatjorah (stealing and associated withstealing),sahasa (coercion), paradara (immoral act), wakparusya (insulting/invectiving), dandaparusya (hurting/torturing), kagelehan (ignorance), atukaran (fighting), and duwi latek (slander/deceit). Findings of punishment are in the form of primary punishment including: death punishment, fine punishment, punishment of cutting of guilty body part,compensation punishment (patukucawa), additional punishments in the form of: redemption, confiscation, drug buyer’s money (patibajampi), fees (pakuramas/patepung tawar/isuh-isuh), the case is announced to the public, expulsion from the village where he lives and other additional punishments. Findings of formulation of criminal sanction in the form of formulation of criminal sanction individually and cumulatively. The core findings are in the form of findings of legal principles of crime and punishment in KMD, namely: legality principle, guilt principle, participation principle (deelneming), criminal act combining principle (samenloop/concursus), punishment objective, punishment accountability, reasons of deletion of punishment (straf uitluiting gronden), reasons ofpunishmentaggravation,reasons of punishment alleviation and equality before the law principle. Such findings constitute a comparison of legal principles of crime and punishment in KMD and KUHP, that give benefits in enriching Indonesia’s criminal law history and gives a reflection to the Indonesia’s criminal law principles.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Achjani Zulfa
Abstrak :
ABSTRAK
Praktek penyelesaian perkara pidana melalui jalur ?musyawarah? antar pelaku dan korban Serta masyarakat yang terlibat didalamnya merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam prakteknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari rnusyawarah yang terjadi menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja. Di sejumlah negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat, Berangkat dari kenyataan tersebut, Disertasi ini membahas tentang kemungkinan penerapan pendekatan keadaan restoratif dalarn praktek penegakan hukum pidana di Indonesia Pencarian atas gagasan penerapan pendekatan keadilan restoralif dalam disertasi ini dimulai dengan kajian teoretis terhadap keadilan restoratif dimana terjadi pergulatan untuk menyatakannya sebagai sebuah teori atau filosofi pernidanaan. Penelitian dilanjutkan dengan penelusuran terhadap praktik penggunan pendekatan keadilan nestoratif di berbagai Negara, Kedua kajian ini yang menjadi pedoman penulis dalarn melihat plaktek penanganan perkara pidana di Indonesia terhadap sejumlah perkara pidana yang diselesaikan diluar sistem peradilan pidana, pandangan para petugas penegak hukum terhadap hal tersebut dan mengurai pula basil pilot project penerapan pendekatan keadilan restoratif di Bandung. Saluruh proses penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif Suatu metode penelitain yang ?multimethod in focus, involving an interpretive and naturalisilic approach ro its subject matter", dimana diharapkan melalui pendekatan ini akan terlihat nyata dari analisa dan pembahasan perrerapan pendekatan keadilan restoratif di dalam pandangan hukum pidana, sistem peradilan pidana, hukum adat yang menggali pandangan masyarakat terhadap Iembaga peradilan pidana dan proses yang berjalan didalamnya serta pengaruh dan norma hukum. Penelitian kualitatif juga telah membuka kemungkinan bagi penulis untuk meneliti dengan menggunakan berbagai sumber baik data yang diperoleh melalui penelitian lapangan, maupun Studi dokumen. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagai suatu filosofi pemidanaan, keadilan restoratif dapat membingkai berbagai kebijakan, gagasan program dan strategi penanganan perkara pidana sehingga diharapkan hasil proses tersebut dapat menciptakan keadilan yang dirasakan oleh pelaku, korban rnaupun masyarakat dan menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana saat ini.
Depok: 2009
D1029
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
Abstrak :
ABSTRAK
Pidana denda sebenarnya sudah dikenal sejak Iama, namun baru pada abad ini dapat dimulai masa keemasan pidana denda. Sebab itu pula, kemudian pidana denda ini berhasil menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama, terutama di negara-negara Eropa dan beberapa negara maju Iainnya yang telah menentukan dan menerapkan kebijakan pidana denda sebagai atternatif pidana hilang kemerdekaan. Pidana denda merupakan perkembangan pemidanaan generasi ketiga setelah generasi pertama yang dimuiai dengan pidana perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk mengganti pidana mati dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai negara ada beberapa alternatif dan sistem yang berbeda. Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku ll dan Buku III KUHP dalam perjalanannya dipengaruhi oieh faktor eksternal, antara Iain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana daiam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaian efek jera bagi pelaku dan pencapaian pencegahan umum. Padahal perkembangan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternative sanction) untuk pidana hilang kemerdekaan dengan pidana denda, terutama terhadap tindak pidana ringan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah satu tahun. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan, Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang reiatif tinggi. Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan. Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara karena pidana penjara selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda juga dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang- undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana, dan pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan karena secara materi yang bersangkutan merasa kekurangan, jika mungkin menyita harta benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban. Selain pidana denda, perlu diintrodusir mengenai sanksi ganti kerugian (restitutif) dan/atau denda administratif untuk perkara-perkara tertentu yang memerlukan pemulihan dan perbaikan, dalam hal ini perlu dikembangkan adanya keadilan restoratif yang secara turun temurun telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia berdasarkan adat dan budaya bangsa. Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni ?Kemanusiaan yang adil dan beradab". Nilai kemanusiaan yang beradab adalah penavujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oieh tindak pidana. Pidana denda dapat mendekatkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan utilitarian view yang diintegrasikan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat.
Depok: 2009
D1026
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Sriyanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
D1277
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library