Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Matondang, Faisal Abdi
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan dan mengevaluasi manajemen gejala saluran kemih bawah LUTS laki-laki sugestif dari benign prostatic hyperplasia BPH oleh dokter umum di Jakarta. Penelitian cross-sectional observasional ini dilakukan pada periode Januari 2013 hingga Agustus 2013 di Jakarta. Peneliti mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang menjelaskan manajemen LUTS laki-laki sugestif BPH oleh dokter dalam praktek sehari-hari pada bulan sebelumnya. Peneliti mengumpulkan kuesioner dari 200 dokter yang berpartisipasi dalam 4 simposium urologi yang diadakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebagian besar dokter berusia antara 25 dan 35 tahun 71,5 dan telah bekerja selama lebih dari 1 tahun 87,5 . Satu sampai lima kasus LUTS pada pria sugestif BPH diobati oleh 81 dokter setiap bulannya. Saat diagnosis, gejala yang paling umum ditemukan adalah retensi urin 55,5 , frekuensi 48 , dan nokturia 45 . Pemeriksaan diagnostik yang lazim termasuk pemeriksaan colok dubur 65 , sistem skoring 44 , pengukuran tingkat antigen spesifik prostat PSA 23,5 , dan penilaian fungsi ginjal 20 . Kebanyakan dokter merujuk pasien pria dengan LUTS sugestif dari BPH ke dokter spesialis urologi 59,5 dan 46,5 dokter umum meresepkan obat-obatan sebagai terapi awal. Antagonis antagonis alfa-adrenergik 71,5 adalah obat yang paling umum diresepkan. Terapi kombinasi dengan antagonis -adrenergik dan inhibitor 5a-reduktase tidak rutin diresepkan 13 . Tiga puluh delapan persen dari dokter umum merujuk pasien ketika retensi urin berulang dan 33 ketika terjadi komplikasi. Penelitian ini memberikan bukti bahwa manajemen LUTS pada laki-laki sugestif BPH oleh dokter umum di Jakarta menyarankan sisitem rujukan sebagian untuk pedoman yang tersedia dalam hal metode diagnostik dan terapi awal. Namun, beberapa aspek dari pedoman, seperti pengukuran tingkat PSA, penilaian fungsi ginjal, urinalisis, pemeriksaan ultrasound, dan peresepan terapi kombinasi, masih jarang dilakukan.
This study was performed to describe and evaluate the management of male lower urinary tract symptoms LUTS suggestive of benign prostatic hyperplasia BPH by general practitioners GPs in Jakarta. This observational cross sectional study was performed between January 2013 and August 2013 in Jakarta. We developed a questionnaire consisting of 10 questions describing the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in their daily practice in the previous month. We collected questionnaires from 200 GPs participating in 4 urology symposiums held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Most GPs were aged between 25 and 35 years 71.5 and had worked for more than 1 year 87.5 . One to 5 cases of male LUTS suggestive of BPH were treated by 81 of GPs each month. At diagnosis, the most common symptoms found were urinary retention 55.5 , frequency 48 , and nocturia 45 . The usual diagnostic workup included digital rectal examination 65 , scoring system 44 , measurement of prostate specific antigen PSA level 23.5 , and renal function assessment 20 . Most GPs referred their male patients with LUTS suggestive of BPH to a urologist 59.5 and 46.5 of GPs prescribed drugs as an initial therapy. Alpha adrenergic antagonist monotherapy 71.5 was the most common drug prescribed. Combination therapy with adrenergic antagonists and 5 reductase inhibitors was not routinely prescribed 13 . Thirty eight percent of GPs referred their patients when recurrent urinary retention was present and 33 when complications were present. Our study provides evidence that the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in Jakarta suggests referral in part to available guidelines in terms of diagnostic methods and initial therapy. However, several aspects of the guidelines, such as PSA level measurement, renal function assessment, urinalysis, ultrasound examination, and prescription of combination therapies, are still infrequently performed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Adityagama
Abstrak :
Latar Belakang: Nocturia adalah kondisi urologi di mana individu lebih sering buang air kecil pada malam hari dan ini mempengaruhi kedua jenis kelamin. Klinisi sering menggunakan kuesioner untuk mendiagnosis nocturia, namun, beberapa pertanyaan yang telah divalidasi berada dalam bahasa Inggris. Studi ini mengevaluasi validitas dari Kuesioner Konsultasi Internasional tentang Inkontinensia – Nokturia (ICIQ-N) pada pasien di Indonesia Metode: Dua penerjemah bersertifikat dwibahasa (Inggris-Indonesia) menerjemahkan kuesioner ICIQ-N dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Terjemahan balik dilakukan oleh dua penerjemah bersertifikat dwibahasa (Indonesia-Inggris), dan penulis meninjau semua terjemahan yang mengarah pada terjemahan akhir dalam bahasa Indonesia. Alih- alih terjemahan linguistik, teknik ini memastikan terjemahan intelektual yang menyeluruh dan tidak ambigu. ICIQ-N yang telah diterjemahkan disajikan dua kali kepada subjek, dengan jarak dua minggu, untuk memverifikasi kuesioner tersebut. Validitas dan reliabilitas respons kemudian diselidiki. Analisis Pearson and Cronbach’s alpha digunakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas. Hasil: Nilai korelasi R-Pearson berkisar dari 0,933 hingga 1 (p:0,001). Item-item kuesioner ICIQ-N yang telah diterjemahkan ditemukan memiliki reliabilitas dengan nilai Cronbach's alpha sebesar 0,994 (>0,6). Kesimpulan: Versi bahasa Indonesia ICIQ-N yang dibuat untuk studi ini valid dan reliabel, sehingga, ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik pada populasi di Indonesia. ......Introduction: Nocturia is a urological condition in which individuals urinate more frequently than usual at night and it affects both genders. The clinician frequently uses questionnaires to diagnose nocturia however, some validated questions were in English. This study evaluated the validity of the International Consultation on Incontinence Questionnaire – Nocturia (ICIQ-N) in Indonesian patients. Methods: Two certified bilinguals (English-Indonesian) translated the ICIQ-N questionnaire from English to Indonesian. The reverse translation was done by two certified bilingual (Indonesian-English) translators, and the writers reviewed all of the translations leading to the final Indonesian translation. Instead of a linguistic translation, this technique ensured a thorough and unambiguous intellectual translation. The translated ICIQ-N was presented twice to the subjects, two weeks apart, to verify the questionnaire. The responses' validity and reliability were then investigated. Pearson and Cronbach’s alpha analysis were used to determine validity and reliability. Result: The r-Pearson correlation values ranged from 0.933 to 1 (p:0.001). The translated ICIQ-N questioner items were found to be reliable with a Cronbach's alpha of 0.994 (>0.6). Conclusion: The ICIQ-N Indonesian version generated for this study is valid and reliable. As a result, it may be utilized as a diagnostic tool in Indonesian population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Isa Fuad Affan
Abstrak :
Pendahuluan dan tujuan: Keganasan ginekologis adalah salah satu penyebab kematian tersering pada perempuan. Hidronefrosis atau uropati obstruktif merupakan salah satu temuan tersering pada pasien dengan keganasan ginekologis. Penelitian ini bertujuan menjelaskan profil pasien uropati obstruktif yang disebabkan oleh keganasan ginekologis yang ditatalaksana di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2019 sampai 2021 Metode: Dari Januari 2019 sampai Januari 2021, pasien uropati obstruktif dengan keganasan ginekologis yang menjalani prosedur pemasangan DJ stent atau nefrostomi dimasukkan dalam studi prospektif ini. Pasien dengan riwayat diversi urin maupun penyakut lain yang mungkin menyebabkan obstruksi saluran kemih dieksklusi dari penelitian. Hasil: Terdapat 121 pasien keganasan ginekologis dengan uropati obstruktif yang diteliti pada penelitian ini. Persentase pasien dengan pemasangan DJ stent bilateral, kanan, dan kiri adalah 72%, 18%, dan 10%. Mayoritas kasus adalah pasien dengan hidronefrosis grade 3 atau grade 4. Nefrostomi dilakukan pada 69,4% kasus, dan hanya 17% diantaranya yang mengalami episode polyuria. Kesimpulan: Mayoritas kasus uropati obstruktif disebabkan oleh keganasan serviks, dengan dominansi obstruksi bilateral. Nefrostomi adalah metode diversi urin pilihan pada penelitain ini. ......Introduction and Objectives: Gynecological malignancies are one of the most common causes of death from cancer in women. Hydronephrosis or obstructive uropathy is the most common finding in patients with gynecological malignancy. This study aimed to describe the profile of obstructive uropathy patients causes of gynecology malignancies treated in our center from 2019 to 2021. Method: From January 2019 to January 2021, obstructive uropathy patients with gynecological malignancies who underwent DJ stent or nephrostomy insertion procedures at Cipto Mangunkusumo Hospital were included in this prospective study. Patients with a history of urinary diversion or other diseases that may cause urinary tract obstruction were excluded. Results: One hundred and twenty-one patients with gynecological malignancies with obstructive uropathy were included. The percentages of bilateral, right-, and left-sided stent positions were 72%, 18%, and 10%, respectively. Most of them were grade 3 or grade 4 hydronephrosis. Percutaneous nephrostomy was mainly used for 69,4%, and only 17% of patients experienced a polyuria episode. Conclusion: Most cases of obstructive uropathy were caused by cervical malignancies, with bilateral obstruction due to cervical cancer occurring in most cases. Nephrostomy is the method of choice for urinary drainage in our center.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervandy Rangganata
Abstrak :
Pendahuluan dan tujuan: Overactive bladder (OAB) terjadi pada sekitar 17-41% pada lansia di lingkungan tempat tinggal komunitas. Selama beberapa tahun, antimuskarinik telah divalidasi sebagai pilihan pertama untuk tata laksana OAB. Meskipun banyak data yang diperoleh dari uji klinis terkait penggunaan antimuskarinik. Penelitian terkait efek samping dari obat antimuskarinik terhadap fungsi kognitif pada lansia masih jarang dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek dari terapi antimuskarinik terhadap fungsi kognitif pada pasien lanjut usia dengan OAB. Metode: Desain penelitian ini adalah tinjauan sistematis dan meta-analisis. Studi dikumpulkan menggunakan beberapa mesin pencari; diantaranya adalah PubMed, Science Direct, Cochrane, and EBSCOhost menggunakan kata kunci MeSH yang sudah ditentukan sebelumnya dengan operator Boolean. Pemilihan studi dilakukan oleh 3 pengulas. Seluruh studi yang memenuhi kriteria inklusi selanjutnya melalui proses review full-text. Untuk setiap artikel full-text yang terpilih, ekstraksi data dilakukan pada data: demografis pasien, tipe antimuskarinik yang digunakan, placebo, dosis, follow-up, dan skor total Mini Mental State Examination(MMSE). Hasil: Total sebanyak 8 studi yang terpilih dari 146 publikasi yang ada sebelumnya. Terdapat 8 jenis antimuskarinik yang dievaluasi dari studi-studi yang ada, yaitu: Oksibutinin, Darifenacin, Tolterodin, Trospium, Imidafenacin, Propiverin hidroklorida, Fesoterodin, dan Solifenacin. Oksibutinin menunjukkan efek yang paling besar pada penurunan skor MMSE [Perbedaan rerata: -2,90; 95% CI: -4,07, -1,73]. Darifenacin dan Tolterodin juga menunjukkan penurunan yang signifikan pada skor total MMSE, namun lebih inferior daripada Oksibutinin Kesimpulan: Penggunaan obat-obatan antimuskarinik hanya memiliki efek yang minimal terhadap fungsi kognitif dalam penanganan OAB pada pasien usia lanjut. Akan tetapi, Oksibutinin, Darifenacin, dan Tolterodin menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap fungsi kognitif, ditunjukkan dari penurunan total skor MMSE. ......Introduction: Overactive bladder (OAB) affects 17-41% older adults in community dwelled setting. For several years, antimuscarinics have been validated as the first-line medical treatment for OAB. Despite abundant data obtained from clinical trials provisions the use of antimuscarinics, investigation about the effect of this drug on cognitive function in elderly remains scarce. The objective of this study is to investigate the effect of antimuscarinics therapy on cognitive functions in OAB geriatric patients. Methods: This study design is a systematic review and meta-analysis. Studies were collected using several search engines; those were PubMed, Science Direct, Cochrane, and EBSCOhost using predetermined MeSH keywords with Boolean operators. Selection of studies was done by three reviewers. Studies which fulfilled the inclusion and exclusion criteria underwent full-text review. For every selected full text, we extracted the following data if available: patients demographics, types of antimuscarinics used, placebo, dose, follow-up period, and Mini-Mental State Examination (MMSE) total score. Results: A total of 8 studies from an initial 146 publications were selected. There were 8 antimuscarinic agents evaluated in the studies, including Oxybutynin, Darifenacin, Tolterodine, Trospium, Imidafenacin, Propiverine hydrochloride, Fesoterodine, and Solifenacin. Oxybutynin was shown to have largest effect towards the decline of MMSE score [Mean difference: -2.90; 95% CI: -4.07, -1.73]. Darifenacin and Tolterodine were also shown to be significant in the decline of total MMSE score, although still inferior to Oxybutynin. Conclusion: The use of most antimuscarinics medication has little to no effect towards the cognitive function in the management of overactive bladder in elderly patients. However, Oxybutynin, Darifenacin, and Tolterodine was shown to have significant decrease in cognitive functions, as shown in the decline of total MMSE score.
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saras Serani Sesari
Abstrak :
Pendahuluan: Instrumen untuk mengevaluasi disfungsi seksual pada wanita yang terbukti validitasnya. Salah satu instrumen tersebut adalah kuesioner Female Sexual Function Index. Kuesioner ini juga memiliki banyak terjemahan yang berhasil. Penerjemahan kuesioner tersebut menjadi Bahasa Indonesia dan validasinya terakhir dilakukan menggunakan versi orisinal FSFI-6 yang berisi banyak pertanyaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menerjemahkan dan memvalidasi versi singkat FSFI-6 untuk membuat sebuah instrumen yang lebih fisibel dalam keadaan klinis untuk subjeknya. Bahan & Metode: Kuesioner FSFI-6 diterjemahkan menjadi Bahasa Indonesia. Pengumpulan data menggunakan kuesioner terjemahan tersebut dilakukan hanya oleh wanita pada periode Januari 2018 sampai April 2018. Uji validitas, uji reliabilitas, analisis deskriptif, dan uji normalitas dilakukan dengan data yang diperoleh. Penilaian validitas dan reliabilitas FSFI-G terjemahan menggunakan nilai rdan Cronbach's Alpha. FSFI-6 terjemahan. Semua uji statistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS v20. Hasil & Diskusi: Setiap pertannyaan pada kuesioner FSFI-6 terjemahan Bahasa Indoneia mendapat nilai r yang lebih besar dari 0,3. Kuesioner FSFI-6 terjemahan Bahasan Indonesia bernilai Cronbach's Alpha yang lebih besar dari 06., yaitu 0.831 Kesimpulan: Versi singkat kuesioner FSFI-6 terjemahan Bahasa Indonesia sudah valid dan reliabel. ......Introduction: There are many instruments designed to evaluate sexual dysfunction in women. Some of them also have tested the validity. One of these questionnaires is Female Sexual Function Index which has been successfully translated into many different languages. The previous study about translation and validation of FSFI-6 questionnaire into Bahasa Indonesia was conducted on the original version of FSFI-6 which consisted of many questions. Hence, this study was conducted to validate and translate the short version of the original questionnaire to make it more feasible in a clinical setting for the subjects. Material & Methods: FSFI-6 was translated into Bahasa Indonesia, then the data were collected via questionnaires by al women in RSCM during the data collection period (January 2018 until April 2018). The data obtained were processed for validity and reliability using the SPSS software program 20. The tests conducted on the data were normality test, validity test, descriptive analysis, and reliability testing. The r value and the value of Cronbach's Alpha were the parameters used to determine the validity and reliability of the questionnaire. Results & Discussion: The r value on each question in translated FSFI-6 questionnaire was greater than 0.3, while the value of Cronbach's Alpha of the questionnaire FSFI-6 was greater than 0.6, that was equal to 0.831. Conclusion: The FSFI-6 questionnaire short version that has been translated into Bahasa Indonesia is valid and reliable
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Iradita Islianti
Abstrak :
Latar Belakang: Transplantasi ginjal merupakan tata laksana utama pada pasien dengan end-stage renal disease. Salah satu perubahan pascatransplantasi ginjal adalah adaptasi fungsi penyimpanan (storage) dan pengosongan (voiding) dari traktus urinarius bagian bawah dalam enam bulan pertama pascatransplantasi ginjal dimana retensi urine dapat terjadi. Tujuan: Penelitian ini bertujukan mengetahui prevalensi retensi urine pascatransplantasi ginjal dan untuk mendeskripsikan karakteristik urodinamik pasien pascatransplantasi ginjal dengan retensi urine. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang yang dilaksanakan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011-2017. Data diambil dari pasien pascatransplantasi ginjal yang dilakukan pemeriksaan urodinamik Data diambil dari rekam medis pasien. Hasil: Sebanyak 536 pasien menjalani transplantasi ginjal di RSCM, di antaranya terdapat 11 pasien (2%) disfungsi berkemih yang menjalani pemeriksaan urodinamik dengan rerata usia 41,4 (30,1±52,6) tahun, dimana dua orang diantaranya adalah perempuan. Enam pasien (55%) memiliki diabetes melitus (DM) tipe 2 dan 5 pasien (45%) memiliki hipertensi (HT). Sebanyak 6 dari 11 pasien (54%) mengalami retensi urine, empat pasien (36%) mengeluhkan keluhan frekuensi, dan satu pasien (10%) mengeluh adanya hesitancy dan perasaan tidak lampias setelah miksi. Sebanyak 50% pasien mengalami penurunan bladder compliance, dimana dua pasien (33%) di antaranya mengalami retnesi urine dengan normal bladder compliance. Overaktivitas detrusor ditemukan pada total empat pasien (36%) dan tiga pasien (50%) pada pasien dengan retensi urine. Sebanyak 4 pasien (36%) mengalami bladder outlet obstruction (BOO) dan 50% pasien dengan retensi urine mengalami BOO. Dua pasien juga didiagnosis mengalami instabilitas detrusor yang mana tidak disertai inkontinensia. Dua pasien (44%) memiliki kontraksi kandung kemih normal. Kesimpulan: Disfungsi berkemih dan retensi urine ditemukan sebanyak 2% dan 1,1% dari 536 pasien pascatransplantasi ginjal. Sebagian besar pasien dengan retensi urine memiliki DM tipe 2. BOO dan overaktivitas detrusor ditemukan pada pasien dengan disfungsi berkemih dan retensi urine. Pemeriksaan rutin urodinamik pada pasien sebelum transplantasi ginjal juga disarankan. ......Background: Kidney transplantation is the main treatment for patients with end-stage renal disease. After undergone kidney transplantation, changes in storage and voiding functions of the lower urinary tract in the first six months post-transplantation of the kidney is still occurring. During this period urinary retention can occur. Objective: This study aimed to determine the prevalence of urinary retention after kidney transplantation and to describe the urodynamic characteristics of post-transplant kidney patients with urinary retention. Method: This research is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2011-2017. Data are collected from patients undergone urodynamic examination after kidney transplantation. Data are collected from the patient's medical record. Results: A total of 536 patients underwent kidney transplants in RSCM, including 11 patients (2%) urinary dysfunction who underwent urodynamic examination with an average age of 41.4 (30.1 ± 52.6) years including 2 women. Six patients (55%) had type 2 diabetes mellitus (DM) and 5 patients (45%) had hypertension (HT). A total of 6 out of 11 patients (54%) experienced urinary retention, four patients (36%) complained of frequency complaints, and one patient (10%) complained of hesitancy and feeling of incomplete emptying. As many as 50% of patients experienced a decrease in bladder compliance, of which two patients (33%) experienced urine retention with normal bladder compliance. Detrusor overactivity was found in four patients (36%) from total sample and three subjects (50%) among patient with urinary retention. Four patients (36%) experienced bladder outlet obstruction (BOO) and 50% of patients with urine retention experienced BOO. Two patients were diagnosed with detrusor instability which was not accompanied by incontinence. Two patients (44%) had normal bladder contractions. Conclusion: Urinary dysfunction and urinary retention were found in 2% and 1.1% of 536 patients after renal transplantation respectively. Most patients with urinary retention have DM type 2. BOO and detrusor overactivity are found in patients with urinary dysfunction and urinary retention. Routine urodynamic examinations in patients before a kidney transplant are also recommended.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Kusuma Mahardini
Abstrak :
Tesis ini disusun untuk mengetahui efektivitas stimulasi elektrik saraf tibialis posterior pada pasien overactive bladder (OAB). Penelitian ini menggunakan desain uji eksperimental Randomized Control Trial. Subjek penelitian merupakan pasien OAB diatas usia 18 tahun. Dua puluh pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol. Semua subjek dari kedua kelompok mendapatkan tatalaksana standar berupa terapi perilaku, latihan otot dasar panggul dan pemberian antimuskarinik imidafenacine 2 x 0,1 mg. Sebagai tambahan, kelompok perlakuan diberikan stimulasi elektrik saraf tibialis posterior secara transkutan 10 Hz, 200 us, dengan intensitas yang masih dapat ditoleransi pasien, dilakukan 2x/minggu selama 8 minggu. Hasil keluaran penelitian ini berupa Overactive Bladder Symptom Score (OABSS) dan parameter catatan berkemih sebelum intervensi (T0), setelah 4 minggu (T1) dan setelah 8 minggu intervensi (T2). Analisis statistik dilakukan untuk membandingkan perubahan nilai OABSS dan parameter catatan berkemih sesudah intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil penelitian menyatakan bahwa stimulasi elektrik saraf tibialis posterior efektif dalam menurunkan frekuensi berkemih pada pasien OAB setelah diberikan intervensi selama 8 minggu. Rerata penurunan frekuensi berkemih pada kelompok perlakuan dan kontrol masing-masing sebesar 6,81±3,09 dan 3,74±1,83 dan didapatkan perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,009. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan waktu intervensi yang lebih lama untuk menilai efektivitas stimulasi elektrik saraf tibialis posterior pada pasien OAB. ......This thesis was aimed to determine the effectiveness of posterior tibial nerve stimulation in overactive bladder (OAB). This study design was randomized control trial. The subjects were OAB patients aged over 18 years old. Twenty subjects were randomly divided into 2 groups: intervention and control groups. The subjects from both groups received standard therapy consist of : behavioral therapy, pelvic floor exercise and antimuscarinic (imidafenacine 0,1 mg twice daily). In addition, the intervention group was given transcutaneous posterior tibial nerve stimulation of 10 Hz, 200 us, 30 minutes, with an intensity tolerable pain, 2 times/ week for 8 weeks. The Overactive Bladder Symptom Score (OABSS) and voiding diary parameters were used to measure before the intervention (T0), after 4 weeks (T1) and after 8 weeks of intervention(T2). Statistical analysis was performed to compare changes in OABSS and voiding diary between the intervention and control groups. The results stated that the posterior tibial nerve stimulation was effective in reducing the frequency of urination in OAB patients after being given an intervention for 8 weeks. The mean reduction in voiding frequency in the intervention and control groups was 6.81 ± 3.09 and 3.74 ± 1.83, respectively, and a significant difference was obtained with a value of p = 0.009. Further studies are needed with longer intervention times to assess the effectiveness of posterior tibial nerve electrical stimulation in OAB patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edith Anggina
Abstrak :
ABSTRAK
Detrusor underactivity DU adalah berkurangnya kekuatan dan/atau durasi kontraksi yang mengakibatkan pengosongan kandung kemih yang memanjang atau inkomplit. Sebanyak enam pasien dengan diagnosis DU diinklusikan dalam penelitian ini. Akupunktur tanam benang dilakukan dengan menggunakan polydioxanone PDO yang ditusukkan di titik akupunktur BL33 dan CV3 dengan teknik penetrating needling. Akupunktur tanam benang dilakukan sebanyak satu kali. Transcutaneous tibial nerve stimulation TTNS dilakukan sebanyak 3 kali seminggu selama 4 minggu. Hasilnya penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata volume berkemih sebelum 72,00 70,48 dan setelah 158,17 139,58 akupunktur tanam benang dan TTNS, p = 0,115, namun didapatkan peningkatan dengan rerata 86,17 110,80. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai PVR sebelum 164,00 173,69 dan setelah 74,83 126,28 terapi, p = 0,151, namun didapatkan penurunan sebesar 89,17 129,07. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata Qmax sebelum 4,12 3,28 dan setelah 12,35 9,20 , p = 0,085, namun didapatkan peningkatan sebesar 8,23 9,41. Terdapat perbedaan bermakna antara skor kualitas hidup sebelum dan setelah terapi dengan p = 0,017. Kesimpulan : akupunktur tanam benang dan TTNS dapat meningkatkan volume berkemih, menurunkan PVR, dan meningkatkan Qmax penderita DU, dan dapat memperbaiki kualitas hidup penderita DU secara signifikan. ABSTRACT
Detrusor underactivity DU is a contraction of reduced strength and/or duration resulting in prolonged and/or incomplete bladder emptying. A total of six DU patients were included in this research. We did thread-embedding acupuncture by inserting polydioxanone PDO into BL33 and CV3 acupuncture points with penetrating needling techniques. Thread-embedding acupuncture was given once. Transcutaneous tibial nerve stimulation TTNS was given 3 times in a week during 4 weeks. The results showed no significant differences between before and after treatment on voided volume 72,00 70,48 and 158,17 139,58 , p = 0,115, but there was improvement with mean 86,17 110,80. There was no significant difference between before and after treatment on PVR 164,00 173,69 and 74,83 126,28 , p = 0,151, but there was improvement with mean 89,17 129,07. There was no significant difference between before and after treatment on Qmax 4,12 3,28 and 12,35 9,20 , p = 0,085, but there was improvement with mean 8,23 9,41. There was significant difference between before and after treatment on quality of life scoring with p = 0,017. Conclusion : thread embedding acupuncture and TTNS increase voided volume, and Qmax, decrease PVR, improve quality of life in in detrusor underactivity patients significantly
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library