Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lucyana
"ABSTRAK
Pendahuluan: Ensefalitis pada anak lebih sering dijumpai daripada dewasa dan luaran buruk terjadi pada 60% subjek yang terkena. Hingga saat ini belum ada data mengenai profil dan luaran pasien ensefalitis anak di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui profil dan luaran pasien ensefalitis akut pada anak
Metode: Penelitian retrospektif ini menggunakan data rekam medis tahun 2014- 2018 di 3 rumah sakit pendidikan (RSCM, RSU Tangerang, RSUP Fatmawati). Gejala klinis awal, pleositosis CSS, abnormalitas neuroimaging, abnormalitas elektrofisiologis (EEG) dicatat dan luaran dinilai saat pasien pulang/meninggal dan dinyatakan sebagai luaran baik atau buruk.
Hasil: Terdapat 657 pasien yang memenuhi kriteria ICD X sesuai kriteria inklusi dari 3 rumah sakit, dan data dari 190 subjek dianalisis dalam penelitian ini. Subjek penelitian didominasi oleh anak usia > 1 tahun (83%). Kejang didapatkan pada 87% subjek yang diteliti dan 80%nya merupakan kejang umum. Defisit neurologis fokal terdapat pada 47% subjek (90 pasien). Pemeriksaan penunjang yang menunjukkan abnormalitas tertinggi adalah EEG (90%). Kriteria diagnostik probable terpenuhi pada 62% subjek. Mortalitas didapatkan pada 23% subjek, dengan proporsi terbanyak berasal dari RSU Tangerang. Kejang fokal dan usia > 1 tahun merupakan faktor risiko yang berperan meningkatkan luaran buruk saat pulang 3 kali lipat (p: 0,006 dan p: 0,03).
Simpulan: Profil ensefalitis akut pada anak lebih banyak dijumpai pada usia > 1 tahun, dengan gejala yang sering dijumpai saat awal adalah demam, dan kejang. Pemeriksaan penunjang EEG adalah pemeriksaan tertinggi yang menunjukkan hasil positif pada pasien dugaan ensefalitis. Kejang fokal dan usia > 1 tahun merupakan faktor risiko luaran buruk.

ABSTRACT
Introduction: Encephalitis in pediatric population is more frequent than adult. The outcome has been reported to have poor prognosis in 60% of cases. No data of peidatric encephalitis in Indonesia has been reported yet.
Objectives: Evaluate pediatric acute encephalitis profile and factors that influence its outcome.
Methods: This retrospective research used medical records data from year 2014- 2018 in 3 teaching hospitals (RSCM, RSU Tangerang, RSUP Fatmawati). We documented clinical presentation at admission, pleocytosis CSF, neuroimaging abnormality, electrophysiologic abnormality (EEG), and outcome at discharge which classified as good vs. poor outcome.
Results: Among 657 patients identified using ICD X in all 3 hospitals, there were a total of 190 subjects included in this study. Eighty three percent of subjects aged > 1 years. Seizure was present in 87% subjects, and 80% of those subjects experienced generalized seizure. Focal neurological deficits was shown in 47% subjects (90 patients). Among investigation, EEG shown positive results in 90% examined subjects, while CT scan were the most prevalent. We found probable diagnostic criteria in majority of subjects (62%). Mortality was 23%, and RSU Tangerang was the major contributor. Focal seizure and age > 1 year were the risk factors associated with 3 times increased risk of poor outcome (p: 0,006 and p: 0,03).
Conclusions: Age > 1 year is more prevalent in pediatric acute encephalitis. Among most common clinical presentation are fever and seizure. Abnormal EEG finding in suspected encephalitis cases give the most positive result. Focal seizure and age > 1 year were the risk factors for poor outcome"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kathrine
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan kongenital dengan insidens tertinggi dan memerlukan pemantauan berkala. Pemeriksaan ekokardiografi memerlukan fasilitas dan tenaga ahli yang belum tersedia secara luas di Indonesia. Troponin I merupakan biomarker spesifik jantung yang terdeteksi pada awal terjadinya kerusakan miokardium. Data mengenai penggunaan biomarker jantung pada pasien anak dengan PJB masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar troponin I dengan parameter hemodinamik pasien PJB asianotik dengan pirau kiri ke kanan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 53 subyek dengan PJB asianotik pirau kiri ke kanan yang berobat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk menilai jenis PJB, ukuran defek, dan parameter hemodinamik yaitu Qp/Qs, tekanan sistolik arteri pulmoner, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE). Kadar troponin I dinilai melalui enzyme linked fluorescent assay (ELISA) dengan sampel darah diambil pada hari yang sama dengan ekokardiografi..
Hasil: Median usia subyek adalah 16 (3-135) bulan dengan jenis kelamin perempuan 54,7% (n=53). Diagnosis PJB terbanyak adalah ASD (45,3%), dengan proporsi terbanyak defek berukuran sedang (43,4%). Peningkatan kadar troponin I didapatkan pada 7 (13,2%) subyek. Tidak ada perbedaan bermakna kadar troponin I pada berbagai jenis PJB. Ada korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=-0,391, p=0,002).
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, sementara tidak ada korelasi bermakna dengan parameter hemodinamik lainnya

Background: Congenital heart disease (CHD) is the most frequent congenital abnormality and requires regular monitoring. Echocardiographic examination requires facilities and experts which are not widely available in Indonesia. Troponin I is a heart-specific biomarker that is detected early in myocardial damage. Data regarding the use of cardiac biomarker in pediatric CHD patients are still limited.
Objective: To determine the correlation between troponin I level and hemodynamic parameters in acyanotic CHD patients with left-to-right shunts.
Methods: A cross-sectional study of 53 subjects with left-to-right shunt acyanotic CHD as inpatient or outpatient at dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Hospital. Echocardiography was performed to assess the type and size of CHD, as weel as hemodynanic parameters (Qp/Qs, pulmonary artery systolic pressure, left ventricular ejection fraction/EF, and tricuspid annular plane systolic excursion/TAPSE). Troponin I level was determined by enzyme linked fluorescent assay (ELISA) with blood samples taken on the same day as echocardiography.
Results: The median age of the subjects was 16 (3-135) months, with 54.7% female (n=53). Most prevalent of the CHD type was ASD (45.3%), most of the defect were medium-sized (43.4%). Increased troponin I levels were found in 7 (13.2%) subjects. There was no significant difference in troponin I level in various CHD types. There was a weak negative correlation between troponin I level and EF (r=-0.391, p=0.002).
Conclusion: There was a weak negatif correlation between troponin I level and EF, while there was no significant correlation with other hemodynamic parameters.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Anam
"

Syok pada anak masih menjadi masalah utama karena mortalitas yang tinggi. Penilaian respons terhadap resusitasi cairan dapat menggunakan parameter klinis dan parameter hemodinamik invasif maupun non-invasif. Modalitas ultrasound cardiac output monitor (USCOM) pada populasi anak dengan syok memiliki korelasi yang baik dengan baku emas parameter hemodinamik invasif, tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Modalitas lain yang semakin berkembang yaitu menggunakan point of care ultrasound (POCUS), dengan salah satu penilaian yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena jugularis interna (IKVJI). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara stroke volume dengan IKVJI dalam menilai respons resusitasi cairan pada anak syok. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret hingga Juni 2024. Subyek penelitian adalah anak usia 1 bulan hingga 18 tahun yang mengalami syok yang memenuhi kriteria inklusi. Parameter klinis, penilaian stroke volume dengan USCOM dan IKVJI dinilai sebelum dan sesudah resusitasi cairan. Berdasarkan analisis studi didapatkan 47 subyek sampel penelitian, 27 orang perempuan (57,4%), dengan median usia 82,9 (4,0–212,0) bulan. Status gizi, terbanyak adalah gizi baik (42,6%). Diagnosis terbanyak adalah syok hipovolemik (74,5%) diikuti syok sepsis (25,5%). Sebanyak 2 pasien meninggal dalam 24 jam pertama.  Pemantuan post-resusitasi cairan menunjukkan perbaikan laju nadi, tekanan darah, dan mean arterial pressure (p<0,0001), peningkatan nilai stroke volume (p<0,0001), dan perubahan nilai IKVJI (p<0,0001). Korelasi delta stroke volume dan delta IKVJI adalah negatif lemah (r=-0,309, p=0,035). Korelasi MAP dan IKVJI juga negatif lemah  (r=-0,359, p=0,013).


Shock in children is still a major problem due to high mortality. Assessment of the response to fluid resuscitation can be done using clinical and hemodynamic parameters through invasive and non-invasive tools. The ultrasound cardiac output monitor (USCOM) among children with shock has a good correlation with the gold standard of invasive hemodynamic parameters but has some limitations. Another commonly used modality is point-of-care ultrasound (POCUS), with one of the assessments being the examination of the internal jugular vein collapsibility index (IJV-CI). The aim of this study is to determine the correlation between stroke volume and IJV-CI changes in order to assess fluid responsiveness in children with shock. Between March and June 2024, an analytical observational study was undertaken in the emergency department and pediatric intensive care unit of a tertiary referral hospital. The study subjects were children aged 1 month to 18 years who experienced shock and met the inclusion criteria. A thorough history taking, physical examination, and stroke volume assessment using the Ultrasonic Cardiac Output Monitor, and IJV-CI utilizing ultrasound before and after fluid resuscitation were conducted. This study included 47 subjects, of which there were 27 females (57.4%), with a median age of 82.9 (4.0–212.0) months. For nutritional status, most were normal (42.6%). The most common diagnosis was hypovolemic shock (74.5%) followed by septic shock (25.5%). Mortality in the first 24 hours was 2 patients. After fluid resuscitation, there was an improvement in pulse rate, blood pressure, and mean arterial pressure (p<0.0001), as well as increased stroke volume post fluid resuscitation (p<0.0001) and changes in IJV-CI post fluid resuscitation (p<0.0001). The correlation between stroke volume delta and IJV-CI delta was negative and weak (r=-0.309, p=0.035). The correlation between IJV-CI and MAP was also negative and weak (r=-0.359, p=0.013).

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ommy Ariansih
"ABSTRAK
Tujuan. 1. mengetahui hubungan antara FA yang lebar dengan perkembangan motorik
kasar dan bahasa pada anak usia 6-24 bulan, 2. mengetahui hubungan antara fontanel
anterior yang lebar dengan perkembangan otak yang abnormal dari pemeriksaan USG kepala,
3. mengetahui faktor-faktor risiko yang berperan dalam perkembangan motorik kasar dan
bahasa pada anak dengan FA lebar.
Metode. Desain penelitian adalah kasus kontrol untuk menilai perkembangan motorik
kasar dan bahasa menggunakan pemeriksaan Denver II dan perkembangan otak dinilai
dengan pemeriksaan USG kepala, pada anak usia 6-24 bulan dengan ukuran FA lebar (≥ 1 SD)
sesuai kelompok usia. Kelompok kasus jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
terlambat sedangkan kelompok kontrol jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
normal yang dipasangkan sesuai kelompok usianya, yang berobat ke RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo antara bulan Desember 2017 sampai dengan Mei 2018. Faktor-faktor risiko
dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dari 127 anak dengan FA lebar, 9 anak dieksklusi, sehingga ada 118 anak
sebagai subyek penelitian. Pada kelompok kasus maupun kontrol ada 59 subyek, terdiri dari
18 anak (usia 6-<9 bulan), 16 anak (usia 9-<12 bulan), 17 anak (usia 12-<18 bulan) dan 8
anak (usia 18-<24 bulan). Pada kelompok anak dengan FA lebar (>2SD) lebih banyak
ditemukan pada kelompok kasus, sebaliknya pada anak dengan FA ≥1 SD ≤ 2SD lebih
banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat didapatkan faktor
risiko yang bermakna adalah status gizi kurang, kelahiran prematur, LK abnormal dan
hasil USG kepala abnormal. Pada analisis multivariat didapatkan anak dengan FA lebar
berhubungan bermakna dengan riwayat kelahiran prematur (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913)
dan abnormalitas USG kepala (OR 29; IK 95% 3,82-225,37).
Simpulan. Anak dengan FA lebar >2 SD lebih banyak ditemukan perkembangan motorik
kasar dan bahasa yang terlambat, dan berhubungan bermakna dengan kelahiran prematur
dan abnormalitas USG kepala.

ABSTRACT
Background. Abnormalities in head circumference (HC) and anterior fontanel (AF) size in children may reveal clues to assessment of intrauterine brain growth disorders. Brain growth disorders may lead to clinical manifestations of impaired growth and development of children. Objectives. (1) to determine the relationship between large AF with gross motor and language developmental in children aged 6-24 months, (2) to determine the relationship between large AF with abnormalities of brain growth by cerebral ultrasound, (3) to find the association of risk factors of gross motor and language developmental in children with large AF. Methodes. A case control study was to assess gross motor and language development by using Denver II and brain growth by cerebral ultrasound in children aged 6-24 months with large AF (≥ 1 SD) visiting dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital between December 2017 and May 2018. Case group consisted of gross motor and language developmental delay, control group consisted of similar children but who were normal of gross motor and language development. Both groups were matched according to gender and aged. Bivariate and multivariate analysis were done to identify significant risk factors. Results. Out of 127 large AF children, 9 child who meet exclusion criteria, subject in the study was 118 children. Case groups and control groups were 59 subject; 18 subject (6-<9 months), 16 subject (9-<12 months), 17 subject (12-<18 months) and 8 subject (18-<24 months). Most children of AF >2 SD with gross motor and language development delay were compared to children of AF ≥1 SD- ≤2 SD with normal of gross motor and language development. Bivariate analysis showed that significantly of risk factors were under nutrition, premature, abnormality HC and abnormality cerebral ultrasound. Multivariate analysis showed that significantly prematurity (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913) and abnormality cerebral ultrasound (OR 29; IK 95% 3,82-225,37) in children of large AF with gross motor and language development delay. Conclussions. The most of children of large AF (> 2 SD) were gross motor and language development delay, and significantly with prematurity and abnormality cerebral ultrasound."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Margareta L. Toruan
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to determine the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had IOP elevation and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were association between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off value 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male (PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off value ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Toruan, Yulia Margareta L.
"Katarak subkapsular posterior (SKP) dan peningkatan tekanan intraokular (TIO) adalah komplikasi okular tersering akibat penggunaan kortikosteroid oral. Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan jangka panjang. Di Indonesia, tidak data mengenai hubungan antara dosis dan lama terapi terhadap kedua komplikasi tersebut pada anak sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif, lama terapi dengan kejadian katarak SKP maupun peningkatan TIO dan faktor yang memengaruhinya pada anak SNI di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini merupakan studi potong lintang pada anak SNI usia 4-18 tahun yang mendapat terapi kortikosteroid oral minimal enam bulan secara terus menerus. Pemeriksaan mata lengkap dilakukan untuk mengevaluasi katarak SKP, tajam penglihatan dan peningkatan TIO. Dari 92 anak yang dianalisis, terdapat 19,6% anak yang menderita katarak SKP, 12% anak dengan peningkatan TIO dan satu anak dengan best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. Median dosis kumulatif kortikosteroid oral adalah 12.161 mg (rentang 1.795-81.398) dan median lama terapi adalah 23 bulan (rentang 6-84). Terdapat hubungan antara dosis kumulatif (P=0,007) dan lama terapi (P=0,006) terhadap kejadian katarak SKP dengan titik potong optimal 11.475 mg dan 24 bulan. Jenis kelamin perempuan akan meningkatkan kejadian katarak SKP sebesar empat kali dibandingkan lelaki (PR=4; IK 95%=1,57-13,38; P=0.001). Penelitian ini menunjukkan makin tinggi dosis kumulatif dan/atau makin lama terapi kortikosteroid oral, maka makin besar angka kejadian katarak SKP (nilai batasan ≥ 11.475 mg dan  ≥ 24 bulan). Dosis kumulatif dan lama terapi tidak berhubungan dengan kejadian peningkatan TIO.

Posterior subcapsular cataract (PSC) and raised intraocular pressure (IOP) are the most common ocular complications due to administration oral corticosteroid. These can occur in high dose and long term use. In Indonesia, no data regarding correlation between dose, therapeutic duration and both complications in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). The aim of this study was to evaluate the correlation between cumulative dose, therapeutic duration with the occurrence of PSC and raised IOP and factors associated with these complications in children with INS at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH).
This is a cross-sectional study of children with INS aged 4-18 years who received oral corticosteroid therapy for at least six months continuously. A complete eye examination was performed to evaluate PSC, raised IOP and visual acuity. Of the 92 children analyzed, 19.6% had PSC, 12% had raised IOP and one child with best corrected visual acuity (BCVA) <6/20. The median cumulative dose of oral corticosteroids was 12,161 mg (range 1,795-81,398) and the median duration of therapy was 23 months (range 6-84). There were associaton between cumulative dose (P=0.007) and duration of therapy (P=0.006) to the occurrence of PSC with cut off point 11,475 mg and 24 months. Female sex will increase the occurence of PSC four times compared to male
(PR=4; 95% CI=1.57-13.38; P=0.001). This study revealed that the higher cumulative dose and/or
the longer of oral corticosteroid therapy, the higher occurence of PSC (cut off point ≥ 11.475 mg and ≥ 24 months). Cumulative dose and therapeutic duration were not associated with the occurence of raised IOP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Charles
"Latar Belakang: Enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah penyakit peradangan berat pada dinding usus menyebabkan cedera dan nekrosis usus. Foto polos abdomen (FPA) serial masih dianggap sebagai standar diagnosis dan evaluasi penyakit ini, namun pemeriksaan ini tidak akurat dan sering terlambat dalam pelaksanaannya serta mengakibatkan neonatus sangat prematur terpapar dengan radiasi. Karenanya diperlukan alat diagnostik yang lebih aman, non-invasif mudah pelaksanaannya dan akurat. Dua dekade terakhir pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USGA) semakin berkembang dan memperlihatkan hasil yang baik dalam diagnosis EKN, akan tetapi penggunaan modalitas ini di Indonesia dan khususnya di RSCM masih belum banyak dilakukan.
Tujuan: Mendapatkan akurasi gambaran ultrasonografi abdomen (USGA) dibandingkan dengan foto polos abdomen (FPA) dalam menegakkan diagnosis EKN pada bayi sangat prematur tersangka EKN.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong lintang ini dilakukan pada 40 neonatus sangat prematur berusia antara 28-32 minggu yang dirawat di RSCM Jakarta pada bulan November sampai Desember 2023. Pada Neonatus sangat prematur tersangka EKN yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan USGA dan FPA. Kedua hasil pemeriksaan dibandingkan menggunakan tabel kontigensi 2x2. Didapatkan sensitivitas 83% dan spesifisitas 43%. Hasil nilai prediksi positif 38% dan nilai prediksi negatif 86%, dan rasio kemungkinan positif (LR+) 1,45 dan rasio kemungkinan negatif (LR-)  0,39.
Kesimpulan: Ultrasonografi abdomen lebih akurat untuk penapisan (screening) menengakkan diagnosis EKN pada Neonatus sangat prematur dibandingkan foto polos abdomen.

Background: Necrotizing enterocolitis (NEC) is a condition characterized by severe inflammation of the intestinal wall leading to intestinal injury and necrosis. Plain abdominal radiography has long served as the standard for the diagnosis and evaluation of NEC despite its low diagnostic accuracy, impracticality, and the risk this modality poses from exposing neonates to ionizing radiation. Therefore, a safer, non-invasive, easy-to-implement, and more accurate diagnostic tool is necessary for diagnosing NEC. Over the past two decades, knowledge about abdominal ultrasound has developed greatly and has been shown to be an excellent modality in diagnosing NEC. However, in Indonesia this modality is still not widely used for diagnosing NEC, especially at Cipto Mangunkusomo National Public Hospital (RSCM) Jakarta.
Objective: This study aimed to assess the accuracy of abdominal ultrasonography in diagnosing NEC compared to plain abdominal radiography in very premature neonates suspected of NEC.
Methods: A cross-sectional diagnostic test study was conducted on 40 very premature neonates aged between 28-32 weeks, who were treated at RSCM Jakarta from November to December 2023. Neonates suspected of NEC who met the inclusion and exclusion criteria underwent both abdominal ultrasound and plain abdominal radiography. The findings from these two examinations were compared using a 2x2 contingency table to establish the sensitivity and specificity. A sensitivity of 83% and a specificity of 43% were found for abdominal ultrasound. The study also found a positive predictive value (PPV) of 38%, a negative predictive value (NPV) of 86%, a positive likelihood ratio (LR+) of 1.45, and a negative likelihood ratio (LR-) of 0.39.
Conclusion: Abdominal ultrasonography was found to be a more accurate for screening  NEC in very premature neonates compared to plain abdominal radiography.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Resita Sehati
"Latar Belakang: Gangguan pernapasan memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada neonatus. Saat ini rontgen toraks merupakan modalitas yang dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis penyakit paru pada gangguan pernapasan. Namun pemeriksaan ini mengandung radiasi yang dapat meningkatkan kejadian kanker pada neonatus di kemudian hari. Lung ultrasound (LUS) merupakan modalitas non-invasif yang terus berkembang dalam mengevaluasi kelainan paru, khusunya pada neonatus. Pemeriksaan ini tidak mengandung radiasi, mudah dioperasikan, dan hasil yang real-time. Meskipun LUS menunjukkan banyak manfaat, penggunaannya masih belum dikenal secara luas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui gambaran LUS pada neonatus dengan gangguan pernapasan berdasarkan hasil rontgen toraks.
Metode: Penelitian potong lintang deskriptif yang dilakukan di Unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebanyak 69 neonatus dengan gangguan pernapasan yang didiagnosis berdasarkan klinis dan rontgen toraks dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan LUS dilakukan secara bedside menggunakan transduser linear frekuensi tinggi (5-18 MHz). Toraks dibagi menjadi 6 regio yang terdiri dari anterior atas, anterior bawah, dan lateral kanan dan kiri.
Hasil: Terdapat 69 subjek yang ikut serta pada penelitian ini, terdiri dari 53 neonatus prematur dan 16 neonatus cukup bulan dengan rentang usia 2 jam hingga 38 hari. Hasil pemeriksaan rontgen toraks terdiri dari 26 subjek dengan respiratory distress syndrome (RDS), 20 subjek dengan infiltrat, 11 subjek dengan pneumonia, 6 subjek dengan transient tachypnea of the newborn (TTN), 3 subjek dengan efusi pleura, dan 2 subjek masing-masing dengan meconium aspiration syndrome (MAS), atelektasis, dan pneumotoraks. Terdapat 2 subjek dengan hasil rontgen toraks normal, namun pada LUS memperlihatkan gambaran abnormal yaitu ditemukan pleura abnormal, B-lines, double lung point, dan konsolidasi. Abnormalitas pleura dan konsolidasi ditemukan pada RDS, pneumonia, infiltrat, dan MAS. B-lines ditemukan pada RDS, TTN, pneumonia, infiltrat, dan MAS. Double lung point hanya ditemukan pada TTN. Quad sign sebagai penanda efusi pleura ditemukan pada TTN dan pneumonia. Konsolidasi yang berbatas jelas disertai air bronchogram statis dan lung pulse hanya ditemukan pada atelektasis. Absent lung sliding, lung point dan stratosphere sign hanya ditemukan pada pneumotoraks. Kesimpulan: LUS merupakan modalitas pencitraan non-invasif yang dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis gangguan pernapasan pada neonatus.
.....Background: Respiratory distress has high morbidity and mortality rates in neonates. Chest X-ray is a modality considered the gold standard for diagnosing lung diseases in respiratory distress. However, this examination uses ionizing radiation that can increase the incidence of cancer in the future. Lung ultrasound (LUS) is a non-invasive modality that has rapidly developed in recent years in evaluating lung abnormalities, especially in neonates. This examination contains no radiation, easy to operate, and results are real- time. Although LUS shows many benefits, its use is still not widely known, especially in Indonesia.
Objective: To determine the LUS sign in neonates with respiratory distress based on chest X-ray.
Method: Descriptive cross-sectional research conducted at the Perinatology Unit of the Department of Pediatrics, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. A total of 69 neonates with respiratory distress diagnosed on a clinical and chest X-ray were included in the study. LUS were performed at bedside using a high-frequency linear transducer (5-18 MHz). The thorax is divided into 6 regions consisting of the upper anterior, lower anterior, and right and left lateral. Results: There were 69 subjects who participated in this study, consisting of 53 premature neonates and 16 full-term neonates with an age range of 2 hours to 38 days. The results of the chest X-ray consisted of 26 subjects with respiratory distress syndrome (RDS), 20 subjects with infiltrates, 11 subjects with pneumonia, 6 subjects with transient tachypnea of the newborn (TTN), 3 subjects with pleural effusion, and 2 subjects with meconium aspiration syndrome (MAS), atelectasis, and pneumothorax. There were 2 subjects with normal chest X-ray, but showed abnormal LUS sign, consisting of abnormal pleura line, B-lines, double lung point, and consolidation. Abnormal pleura line and consolidation are found in RDS, pneumonia, infiltrates, and MAS. B-lines are found in RDS, TTN, pneumonia, infiltrates, and MAS. Double lung point is only found in TTN. Quad sign as a marker of pleural effusion is found in TTN and pneumonia. Clearly bounded consolidation accompanied by static air bronchogram and lung pulse is found only in atelectasis. Absent lung sliding, lung point and stratosphere sign are found only in pneumothorax.
Conclusion: LUS is a non-invasive imaging modality that can be used to help diagnose respiratory disorders in neonates."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Kautsar
"Latar belakang: Duktus arteriosus persisten signifikan hemodinamik (DAPsh) ditandai dengan peningkatan aliran darah paru dan penurunan aliran darah sistemik. Hipoperfusi sitemik yang menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dapat dideteksi menggunakan near-infrared spectroscopy (NIRS) yang dipasang di area serebral, renal, dan abdomen.
Tujuan: Mencari nilai diagnsotik dari NIRS serebral, renal, dan abdominal dalam mendeteksi dini DAPsh pada bayi <32 minggu.
Metode: Sebanyak 43 subjek bayi prematur dilakukan pemantauan dengan memasang NIRS serebral, renal, dan abdomen pada 3 jam pertama selama 72 jam. Semua subjek dilakukan pemeriksaan dengan ekokardiografi dalam 24 jam pertama untuk menilai adanya DAPsh. Kriteria ekokardiografi yang digunakan termasuk parameter oversirkulasi paru dan pola aliran doppler di serebral, renal, dan abdominal. Nilai rerata dari NIRS selama 72 jam dibandingkan antara kelompok DAPhs dan non-DAPhs.
Hasil: Terdapat 10 subjek dengan DAPsh dan 33 subjek tanpa DAPsh. Median dari nilai RrSO2 pada kelompok dengan DAPsh lebih rendah dibanding kelompok tanpa DAPsh, 72 (44-87) vs 78 (48-89) (p=0,044). Dengan menggunakan kurva ROC, nilai titik potong < 74% memiliki sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 70%. Sedangkan nilai CrSO2 dan SrSO2 tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Nilai RrSO2 < 74% dapat memprediksi adanya DAPsh pada bayi <32 minggu.

Background: Hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hsPDA) is characterised by systemic hypoperfusion and pulmonary overcirculation. Systemic hypoperfusion with subsequent decrease of tissue oxygenation can be detected using near-infrared spectroscopy (NIRS) applied at the cerebral, renal, and abdominal areas.
Objective: To seek the diagnostic value of cerebral, renal, and splanchnic NIRS to detect hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
Methods: Forty-three very preterm infants (birth weight <1500 gr and gestational age <32 weeks) were monitored continuously with cerebral, renal, and abdominal NIRS within three hours after birth for 72 hours. All infants were prospectively evaluated using echocardiography to detect hsPDA within 24 hours after birth daily during the NIRS application. Echocardiography criteria to diagnose hsPDA included indices of pulmonary overcirculation and organ Doppler pattern at cerebral, renal, and splanchnic. The mean value of regional NIRS during its application was compared between the hsPDA and no- hsPDA groups.
Results: Of 43 infants, there were 10 infants with hsPDA and 33 with no hsPDA. A lower median of mean RrSO2 was noted in hsPDA groups compared to no-hsPDA groups, 72 (44-87) vs 78 (48-89), respectively (p=0.044), while no significant difference was found in CrSO2 and SrSO2. Using ROC curves, Mean RrSO2 < 74% identified an hsPDA with a sensitivity of 80% and specificity of 70%, while CrSO2 and SrSO2 were not significant
Conclusion : Low RrSO2 <74% was associated with the presence of hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library