Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amirah Nisrina
Abstrak :
ABSTRAK
Malaria merupakan penyakit endemik yang disebabkan oleh Plasmodium sp melalui nyamuk Anopheles. Pemberian terapi klorokuin merupakan terapi lini pertama sebagai antimalaria, terutama pada Plasmodium falciparum. Penggunaan klorokuin menjadi tidak terkontrol dan resisten pada beberapa wilayah disebabkan penggunaan dosis obat yang tidak adekuat. Penelitian ini bertujuan dalam menemukan terapi herbal yang dapat bekerja sebagai efek antimalaria. Pemberian herbal yang digunakan pada penelitian ini adalah Spirulina crude yang dalam bentuk bubuk. Spirulina merupakan tanaman yang bekerja dengan menghambat pertumbuhan parasit dengan memodulasi sistem imun. Selain itu, Spirulina juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Zat aktif yang terkandung dalam Spirulina adalah fikosianin. Pada penelitian ini dilakukan pengujian dari efek pemberian Spirulina baik secara tunggal maupun kombinasi dengan klorokuin secara oral kepada mencit Swiss yang terinfeksi Plasmodium berghei.  Dosis Spirulina yang diujikan adalah 250 mg/kgBB mencit dan 500 mg/kgBB mencit. Perbandingan densitas parasitemia dengan metode the 4 days suppression test pada semua kelompok perlakuan, mendapati nilai signifikan (p<0.01) dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil penelitian membuktikan bahwa kombinasi Spirulina dengan klorokuin dapat menghambat pertumbuhan parasitemia lebih tinggi dibandingkan pemberian tunggal klorokuin maupun Spirulina. Hal ini dapat disimpulkan pemberian Spirulina menunjukkan sinergisme dengan klorokuin sebagai terapi antimalaria. 
ABSTRACT
Malaria is an endemic disease caused by Plasmodium sp. through Anopheles mosquitoes. Chloroquine therapy is the first line therapy as antimalarial, especially in Plasmodium falciparum. The use of chloroquine as antimalarial becomes uncontrolled and resistant in some areas due to inadequate use of drug doses. This study aims to find an herbal therapy that can act as an antimalarial agent. Herbal therapy that used in this study is crude spirulina powder. Spirulina is a plant that works by inhibiting the growth of the parasite by modulating the immune system. In addition, Spirulina also has the ability as an antioxidant and antiinflammatory. The active substances contained in Spirulina are flavonoids. This study examined the herbal therapy of Spirulina either single or in combination with chloroquine to Swiss mice infected with Plasmodium berghei orally.  The dose of Spirulina used was 250 mg / kgBW mice and 500 mg / kgBW. The ratio of parasite density to the 4 days suppression test method in all treatment groups found significant value (p <0.01) with Kruskal-Wallis test. The results prove that the combination of Spirulina with chloroquine has stronger the growth inhibitory activity of parasitemia than single-chloroquine and Spirulina therapy. It can be concluded that Spirulina therapy shows synergism with chloroquine as antimalaria therapy. 
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hasanah
Abstrak :
Infeksi malaria merupakan masalah kesehatan yang masih menjadi perhatian dunia karena meningkatnya resistensi terhadap obat standar malaria, yaitu ACT. Pada penelitian ini, ekstrak tumbuhan yang digunakan adalah pasak bumi dan propolis sebagai antimalaria. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antimalaria pada kelompok tunggal propolis dan kelompok kombinasi propolis dengan ekstrak akar pasak bumi. Mencit yang digunakan sejumlah 35 ekor dan terbagi atas 6 kelompok. Kelompok perlakuan terdiri atas dua kelompok kontrol, kelompok propolis tunggal dengan dosis 90 mg/kgBB dan 180 mg/kgBB dan kelompok kombinasi propolis dosis sama seperti tunggal dengan pasak bumi dosis 60 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB. Plasmodium berghei 2 diinjeksikan pada setiap mencit dan dibuat apusan darahnya selama 8 hari untuk dilihat tingkat parasitemianya. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kontrol positif dengan kedua kelompok kombinasi p=0,136 dan 0,289 . Akan tetapi pemberian kedua dosis kombinasi propolis dengan pasak bumi GI: 97,97 dan 97,83 jauh lebih baik dibandingkan penggunaan tunggal propolis. Kontrol positif GI: 98,63 memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan propolis tunggal GI: 23,88 dan 51,66 . Perlakuan kombinasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tunggal dalam menghambat parasitemia. ...... Malaria infection is still being a global concern because of the increasing resistance to standard drug malaria, Artemisinin Combination Therapy. In this research, plant extract, pasak bumi and propolis, was using as antimalarial. This study was conducted to find out antimalarial effect of single propolis and combination of propolis with pasak bumi root extract. Using 30 mice, the treatment group divided to 6 groups, consisted of two control groups, two groups of Single propolis with doses of 90 mg kgBW and 180 mg kgBW and two Combination groups of propolis doses same as Single propolis group with pasak bumi dose 60 mg kgBW and 75 mg kgBW. Plasmodium berghei 2 was injected in each mouse and made blood smear for 8 days to be seen parasitemia level. The results of the study showed that there was no significant difference between positive control with the two Combination groups p 0.136 and 0.289 . However, the Combination group of propolis and pasak bumi GI 97.97 and 97.83 is much better than Single propolis group. Positive control GI 98.63 had a better outcomes than Single propolis group GI 23.88 and 51.66 . Combination group is better than Single propolis group in inhibiting parasitemia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
Abstrak :
ABSTRAK
Malaria merupakan masalah kesehatan di dunia. Tantangan yang muncul dalam mengatasi malaria adalah munculnya resistensi pada klorokuin, salah satu obat antimalaria. Resistensi mendorong dilakukannya berbagai penelitian untuk menemukan senyawa antimalaria yang baru. Salah satu yang berpotensi adalah propolis, produk lebah madu, yang mengandung luteolin 7-O glucoside danchalcone. Luteolin 7-O glucoside menginhibisi biosintesis asam lemak tipe 2 parasit dan chalcone menghambat proses hemolisis. Penelitian ini bertujuan mempelajari efektifitas kombinasi propolis dan klorokuin dibandingkan tingkat yang diberi terapi klorokuin, terapi tunggal propolis, dan terapi kombinasi pada parasitemia mencit Mus musculus terinfeksi Plasmodium berghei. Dosis propolis yang diuji adalah 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Selisih tingkat parasitemia dari yang terkecil dan terbesar berturut-turut adalah pada kelompok perlakuan terapi tunggal klorokuin, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi tunggal propolis dosis 30 mg/kgBB, dan terapi tunggal propolis dosis 60 mg/kgBB. Terapi tunggal 30 mg/kgBB propolis berhasil menginhibisi pertumbuhan parasit secara signifikan Namun terapi tunggal 60 mg/kgBB propolis memiliki efek tidak signifikan mempercepat pertumbuhan parasit. Walaupun demikian, terapi tunggal propolis masih belum sebanding dengan terapi tunggal klorokuin. Terapi kombinasi propolis tidak memberi perubahan yang signifikan pada efek antimalaria klorokuin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan propolis dengan dosis 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB tidak cocok untuk digunakan pada terapi kombinasi dengan klorokuin.
ABSTRACT
Malaria is a health problem in the world. The resistance encourages the of various studies to discover new antimalarial compounds. Propolis contained luteolin 7 O glucoside and chalcone which inhibits biosynthensis of parasite rsquo s type 2 fatty acids and hemolysis process. The research aimed to study efficacy of propolis and chroquine combination therapy against different therapy groups choroquine therapy, propolis single therapy, and combination therapy by parasitemia level of mice Mus musculus infected by Plasmodium berghei. The dose of propolis was 30 mg kgBW and 60 mg kgBW. The smallest to largest difference of parasitemia in order is chloroquine single therapy, propolis 60 mg kgBW combination theraphy, propolis 30 mg kgBW combination theraphy, propolis 60 mg kgBW single therapy, and propolis 30 mg kgBW single therapy. Propolis 30 mg kgBW single therapy significantly inhibit parasite growth. Meanwhile, propolis 60 mg kgBW single therapy insignificantly accelerating the growth of parasite. Nevertheless, combination of different dose propolis and chloroquine showed worse growth inhibition compared to chloroquine therapy insignificantly. Supplementary of propolis did not provide a significant change in the antimalarial effects of chloroquine. Propolis 30 mg kgBW and 60 mg kgBW is unsuitable for use in combination therapy with chloroquine.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
Abstrak :
Salah satu strategi eliminasi infeksi Soil transmitted Helminth (STH) adalah pemberian antelmintik seperti albendazol secara massal. Tetapi penggunaan antelmintik secara luas dalam jangka waktu lama dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya terjadi penurunan efikasi obat. Salah satu faktor yang bisa menyebabkan penurunan efikasinya adalah single nucleotide polymorphism (SNP) kodon 200 gen beta tubulin cacing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui susunan basa kodon 200 pada A. lumbricoides dan T. trichiura yang bisa menyebabkan adanya perbedaan efikasi albendazol. DNA dari telur dan jaringan cacing diisolasi, diamplifikasi dengan PCR kemudian dilakukan proses sekuensing. Setelah itu pada hasil sekuensing dilakukan alignment dengan sekuens referensi untuk mengetahui susunan basa pada kodon 200 gen beta tubulin. Hasilnya pada dua cacing A. lumbricoides dan satu cacing T. trichiura didapatkan susunan basa TTC pada kodon 200.
One of the Soil transmitted Helminth (STH) infection elimination strategy is mass administration of anthelmintic such as albendazol. But the anthelmintic widespread use in a long term can cause decrease in efficacy. One of the factor that can cause decrease in efficacy is single nucleotide polymorphism (SNP) codon 200 beta tubulin gene of the worm. This study aimed to determine codon 200 in A. lumbricoides and T. trichiura that can cause a difference in albendazol efficacy. DNA from worm eggs and tissue were isolated, amplificated by PCR and sequenced. Sequencing result were also aligned with the reference sequence to get the bases in codon 200 beta tubulin gene. The bases on codon 200 beta tubulin gene from two A. lumbricoides and one T. trichiura is TTC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismalia Husna
Abstrak :
Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam berdarah dengue DBD . Sampai saat ini belum ada obat maupun vaksinnya, sehingga pengendalian vektor merupakan kunci utama dalam menurunkan transmisi penyakit DBD. Pengendalian vektor yang sering digunakan adalah dengan insektisida kimia, namun penggunaannya yang terus-menerus dapat mengakibatkan resistensi dan pencemaran lingkungan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah penggunaan insektisida hayati yang berasal dari ekstrak tanaman, salah satu tanaman yang berpotensi sebagai insektisida hayati adalah duku Lansium domesticum . Tujuan penelitian ini adalah menetapkan konsentrasi efektif dari ekstrak metanol daun duku dan mekanismenya dalam menimbulkan kematian larva Aedes aegypti. Penelitian ini menggunakan ekstrak daun duku dengan 7 konsentrasi yaitu 0,1 , 0,2 , 0,4 , 0,6 , 0,8 , 1 , 1,2 dan 0 sebagai kontrol untuk mendapatkan nilai LC50 dari ekstrak. Nilai LC50 dipakai untuk ekstrak metanol dan fraksi daun duku dalam pemeriksaan morfologi, histologi, aktivitas enzim, dan kadar zat anorganik larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 24 jam pemaparan ekstrak didapatkan LC50 dan LC90 adalah 0,22 dan 0,32 . Perubahan morfologi pada larva Ae. aegypti yang terjadi adalah ukuran larva mengecil, warna pucat, papil anal rusak, dan sifon menghitam. Histopatologi pada larva menunjukkan perubahan midgut seperti penonjolan sel ke arah apikal, sel epitel lepas kedalam lumen, dan susunan sel tidak teratur. Ekstrak dan fraksi menurunkan aktivitas enzim esterase dan menaikkan aktivitas enzim GST larva, serta mempengaruhi kadar zat anorganik larva. Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak metanol dan fraksi daun duku memiliki aktivitas larvasida dengan mengubah morfologi dan histologi, mempengaruhi aktivitas enzim esterase, GST, dan kadar zat anorganik pada larva.
Aedes aegypti is the main vector of Dengue Hemorrhagic Fever DHF . Until now there is no drug or vaccine, so vector control is the key in reducing the transmission of dengue. Chemical insecticide has caused some conserns on the resistance, safety, and toxicology impact. Therefore, using insecticide derived from plant extracts is an alternative. One of potential plant that can be used is Duku Lansium domesticum . The objective of this study was to determine the effective concentration of methanol extract of L. domesticum leaves and its mechanism that causing the death of Aedes aegypti larvae. This study use 7 concentration that was 0,1 , 0,2 , 0,4 , 0,6 , 0,8 , 1 , 1,2 and 0 as control to got LC50 value. The LC50 value of extract was used for methanol extract and fractionation on examination of morphology, histology, enzyme activity, and inorganic degree from larvae. The result was shown that LC50 and LC90 after 24 hours exposure of bioassay were 0.22 and 0.32 . LC50 and LC90 after 48 hours exposure of bioassay were 0.07 and 0.12 . The exposure of L. domesticum leaves methanol extract caused morphological changes in larvae such as the size becomes smaller, pale, anal papillae damage, and darken of siphon. Histopathology of midgut larvae showed that cell protrusion to apical, detached of cells into the lumen, and irregular cell structure. Extract and fraction were influence for esterase and GST enzyme activity in larvae and its inorganic substance level. The conclusion was methanol extract and fraction of L. domesticum leaves has larvacide activity by changed morphology and histology, influence enzyme activity of esterase, GST, and inorganic degree of larvae.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inneke Kusumawati Susanto
Abstrak :
ABSTRAK
Acanthamoeba keratitis (AK) merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan infeksi kornea dikarenakan terkontaminasinya lensa kontak dan air oleh organisme yang disebut Acanthamoeba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi transmisi Acanthamoeba sp dari larutan perawatan lensa kontak dan sumber air rumah tangga pengguna lensa kontak. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Mei 2019. Pemeriksaan Acanthamoeba dilakukan terhadap 53 mahasiswa kedokteran di salah satu FK di Jakarta yang menggunakan lensa kontak dan air bekas rendamannya serta air yang digunakan di rumah. Pemeriksaan Acanthamoeba dilakukan di Laboratorium Parasitologi FK Universitas Indonesia menggunakan media kultur page-salt agar. Dari 53 sampel lensa kontak dan larutan perawatan lensa kontak didapatkan dua sampel kultur positif Acanthamoeba sp dan tiga sampel, positif free living amoeba (5.6%). Dari hasil kultur 53 sampel air kran rumah tangga didapatkan hasil 5 kultur positif Acanthamoeba sp (9.4%) dan 34 kultur positif free living amoeba (64.1%). Hanya satu sampel yang menunjukkan hasil positif dari lensa kontak dan larutan perawatan lensa kontak dan air kran rumah tangga dengan hasil subtipe yang sama yaitu T4. Adanya potensi transmisi Acanthamoeba sp yang diisolasi dari sumber air kran pengguna lensa kontak ke lensa kontak yang digunakan.
ABSTRACT
Acanthamoeba keratitis (AK) is one of the diseases that cause corneal infections due to contamination of contact lenses and water by an organism called Acanthamoeba. This study aims to determine the transmission potential of Acanthamoeba sp from contact lens treatment solutions and household water sources of contact lens users. The study was conducted in January-May 2019. An examination of Acanthamoeba was carried out on 53 medical students in one of the FK in Jakarta who used contact lenses and their used water and water used at home. Acanthamoeba examination was carried out in the Parasitology Laboratory of the University of Indonesia FK using page-salt agar culture media. From 53 contact lens samples and treatment solution of contact lens samples, there were two positive samples of Acanthamoeba sp and three samples positive free living ameba (5.6%). From the culture results of 53 household tap water samples, 5 positive cultures of Acanthamoeba sp (9.4%) and 34 positive cultures free living ameba (64.1%) were obtained. There is only one sample showed positif of from contact lenses and household tap water with the same subtype result T4. The presence of potential transmission of Acanthamoeba isolated from household tap water users to contact lens that has been use.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Fitri Mutiara Rizki
Abstrak :
Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling berbahaya. Data WHO pada tahun 2023 melaporkan sebanyak 249 juta kasus malaria di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit malaria memerlukan tindakan penanggulangan. Namun, maraknya kasus resistensi obat antimalaria menjadi salah satu penghambat dalam upaya tersebut, salah satunya resistensi obat antimalaria atovaquone. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya penanggulangan penyakit malaria, salah satunya adalah dengan pengembangan obat antimalaria baru. Diketahui bahwa tumbuhan mangrove Sonneratia alba memiliki potensi antimalaria terhadap Plasmodium berghei secara ex vivo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimalaria ekstrak metanol S.alba terhadap beberapa jenis P.berghei resisten terhadap atovaquone secara ex vivo dan in vivo, serta prediksi interaksi ikatan kimia senyawa utamanya secara in silico. Uji antimalaria secara ex vivo dengan konsentrasi ekstrak 100, 30, 10, 1 μg/mL menghasilkan nilai IC50 dari rentang 16,26 μg/mL – 39,08 μg/mL. Secara in vivo ekstrak metanol S.alba dengan dosis 100, 30, 10, 1 mg/kg BW tidak menunjukkan aktivitas antimalaria. Secara in silico, dua senyawa utama yang terkandung memiliki ikatan kimia kuat dengan model protein mitokondria sitokrom b P.berghei yaitu oleanolic acid dan fipronil. Uji keamanan ekstrak terhadap mencit sehat juga dalam kategori aman. Oleh karena itu, penelitian ekstrak metanol S.alba sebagai kandidat antimalaria perlu dikembangkan. ......Malaria is one of the most dangerous infectious diseases. WHO reports in 2023, 249 million malaria cases happened in the world. So that, malaria requires control measures. However, increasing number of antimalarial drug resistance cases is a burden, one of them is antimalarial drug atovaquone resistance. For this reason, development of new antimalarial drug candidate are needed. Previous study reports, Sonneratia alba mangrove plant has antimalarial potency against Plasmodium berghei in ex vivo. This study aims to determine the antimalarial activity of S.alba methanol extract against several types of P.berghei resistant to atovaquone ex vivo and in vivo, also predicted chemical bond interactions of the main compounds in silico. Ex vivo antimalarial tests with extract concentrations of 100, 30, 10, 1 μg/mL showed IC50 values in the range16.26 μg/mL – 39.08 μg/mL. In vivo, methanol extract of S. alba in 100, 30, 10, 1 mg/kg BW dose did not show antimalarial activity. In silico, the two main compounds have strong chemical bonds with mitochondrial cytochrome b protein of P.berghei model, namely oleanolic acid and fipronil. Safety test of the extract tested on healthy mice was also in the safe category. Therefore, development of methanol extract of S. alba as antimalarial candidate needs further research.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library