Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sipin Putra
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai Orang Rimba Rombong Tumenggung Nggrip di Taman Nasional Bukit Duabelas. Politik kepemimpinan seorang tumenggung Nggrip dapat dianalisa dari silsilah kekerabatan di komunitasnya. Aturan adat “Jenton Turun Jenton” menjadi sebuah pembenaran bahwa pimpinan politik di Komunitas Orang Rimba berdasarkan garis keturunan seorang pemimpin sebelumnya. Secara politis Tumenggung Nggrip diuntungkan karena mempunyai seorang ayah yang merupakan mantan tumenggung. Seorang tumenggung diharuskan mempunyai beberapa keahlian menonjol dibandingkan lainnya. Kemampuan memimpin dan pemahaman tentang hukum adat yang telah diwariskan oleh orang tua Tumenggung Nggrip menjadi keunggulan dibandingkan dengan individu lainnya. Jabatan kepenghuluan di bawahnya kemudian dipegang oleh kerabat dekat dari tumenggung. Silsilah kekerabatan dalam politik kepemimpinan ini mampu mengukuhkan posisi tumenggung sebagai seorang yang terhormat dan mempunyai power dalam akses sumber daya ekonomi, sosial dan hubungan dengan pihak luar. Politik tingkat komunitas ini dapat dianalisa sebagai bentuk kehidupan demokrasi namun pada prakteknya cenderung dipengaruhi oleh sikap seorang pemimpinnya dalam menegakkan hukum adat. Organisasi sosial dan politik Orang Rimba dibangun atas dasar konsep keluarga, hubungan perkawinan dan kekerabatan.
ABSTRACT
This paper is the result of research about Tumenggung Nggrip on Community Orang Rimba in Bukit Duabelas National Park. Political leadership can be analyzed from the Tumenggung Nggrip kinship system in this community. Custom rules "Jenton Turun Jenton" justify the political leadership in community based lineage previous leader. Politically Tumenggung Nggrip is the benefit of having a father who was a former Tumenggung. Tumenggung required to have some expertise prominent than the other. Ability to lead and understanding of custom that has been passed on by parents. Tumenggung Nggrip be superior compared with other individuals. Leadership understanding then held by close relatives of the Tumenggung. Kinship system in the political leadership in politics is able to confirm the position of Tumenggung as a respected and has the power of access to economic resources, social and relationship with outsiders. Political level as community can be analyzed as a form of democracy, but in practice it tends to be influenced by the attitude of a leader in custom enforce. Social system and political organization Orang Rimba is built on the concept of family, marriage and kinship system.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanro Yonathan Lekitoo
Abstrak :
Kelompok etnik Kayo Pulau dan kelompok etnik asli lainnya di teluk Humboldt, Kota Jayapura adalah rumpun kelompok etnik yang oleh Keesing disebut sebagai masyarakat tribal, masyarakat tanpa ekonomi sentral dan politik sentral. Kelompok etnik di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat pra-industri oleh Lewellen, dengan tipe masyarakat yang oleh Fried disebut rank society. Sejarah Perang Dunia Kedua membawa kelompok-kelompok etnik di Kota Jayapura segera masuk dalam dunia modern, di mana kehadiran Tentara Jepang 1942 dan Sekutu 1944 membuka berbagai infrastruktur perang di sana. Setelah hengkangnya Pemerintah Belanda, dan Papua kembali ke Pangkuan NKRI 1963, hingga kini Kota Jayapura menjadi salah satu daerah yang lebih maju dan sangat polietnik, oleh karena itu sering disebut sebagai Indonesia mini. Kajian mengenai relasi antar-kelompok etnik dilakukan di Kampung Kayo Pulau kira-kira 3 tahun lamanya, yakni 2015-2018. Penelitan dengan metode etnografi, di mana teknik observasi partisipasi, wawancara, serta studi literatur dari berbagai sumber digunakan. Analisis selain Kampung Kayo Pulau, juga diangkat ke tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di mana karakter sosial budaya penduduknya mirip. Konsep utama yang dipakai pada kajian ini adalah konsep etnisitas dari Barth dan Eriksen, di mana relasi antar-etnik bersifat mencair dan konstruktif. Namun demikian penekanan dari Barth lebih pada relasi individu dan keluarga dalam perspektif ekologi dan demografi. Sedangkan Eriksen lebih kepada konteks kesejarahan. Dalam kaitan relasi antar-etnik orang Kayo Pulau dengan kelompok etnik lainnya di Kota Jayapura, saya mencermati empat konteks, yakni kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam kaitan dengan keempat konteks tersebut, sifat inklusif orang Kayo Pulau dan kelompok-kelompok etnik asli di Kota Jayapura yang mana selalu mencari persamaan dan merangkul kelompok etnik lainnya, merupakan nilai-nilai penting dalam mempertahankan kehidupan yang toleran dan harmonis. Kini penduduk asli Kota Jayapura hanya 3,71 persen dan orang Kayo Pulau di kampungnya hanya 24,6 persen. Namun mereka mampu bertahan dan beradaptasi di tengah pusaran modernisasi, serta dalam konteks masyarakat yang polietnik dan berbagai tuntutan kehidupan dengan mengedepankan relasi antar-kelompok etnik, baik dalam konteks kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. ......The Kayo Pulau ethnic group and other indigenous ethnic groups in the Humboldt bay, Jayapura City are groups of ethnic groups that Keesing refers to as tribal communities, communities without a central economy and central politics. Those ethnic groups can be categorized as pre-industrial societies by Lewellen, with the type of society that Fried calls rank society. The history of the Second World War brought ethnic groups in the city of Jayapura immediately into the modern world, where the presence of the Japanese Army in 1942 and the Allies of 1944 opened various war infrastructures there. After the departure of the Dutch Government and Papua returned to Indonesia in 1963, until now Jayapura has become one of the most developed region and become a highly polyethnical region. The development and the diversity of Jayapura city make this city called Little Indonesia. The study of relations between ethnic groups in Kampung Kayo Pulau is conducted approximately 3 years, between 2015-2018. The research is done using ethnographic methods, with participatory observation techniques, interviews, and literature studies from various sources are used. The analysis proccess is done other than Kampung Kayo Pulau, is also raised to the level of Jayapura City and Jayapura Regency where the socio-cultural character of the population is similar The main concept used in this study is the concept of ethnicity from Barth and Eriksen, where inter-ethnic relations are melting and constructive. However, the emphasis of Barth’s concept is on the relations of individuals and families in an ecological and demographic perspective. Whereas Eriksen’s is more on the historical context. The inter-ethnic relations of the Kayo Pulau people with other ethnic groups in Jayapura City, I look at four contexts, those are kinship, economy, politics and religion. In relation to these four contexts, the inclusive nature of Kayo Pulau and indigenous ethnic groups in Jayapura City which always seek equality and embrace other ethnic groups, are important values ​​in maintaining a tolerant and harmonious life. Today, the native population of Jayapura City is only 3.71 percent and Kayo Pulau is only 24.6 percent. However, they are able to survive and adapt in the midst of a vortex of modernization, multi-ethnic context and various demands of life by prioritizing relations between ethnic groups, both in the context of kinship, economy, politics and religion.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library