Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 2 Document(s) match with the query
cover
Dini Handayani
"Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) merupakan instrumen yang telah dijamin oleh pemerintah, namun sebagai sebuah instrumen investasi memiliki resiko terjadinya gagal bayar, sehingga aset wakaf uang perlu mendapatkan kepastian hukum. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini mengkaji: pertama, landasan pemikiran penggunaan dana wakaf oleh pemerintah untuk mewujudkan kemaslahatan. Kedua, mengkaji kepastian hukum keutuhan aset wakaf uang dalam pelaksanaan CWLS. ketiga, mengkaji model CWLS dalam mewujudkan kesejahteraan. Metode Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan penelitian perundang-undangan dan pendekatan konsep. Data yang digunakan data primer dan sekunder serta menggunakan teknis penulisan deskriptif analitis. Pembahasan disertasi ini pertama, Lahirnya CWLS merupakan upaya pemenuhan kemaslahatan daruriyat, karena kemaslahatan ini merupakan sesuatu yang harus ada untuk melanjutkan kehidupan manusia sehari-hari dan menjamin maqasid utama syariah dan tanpanya dapat mengakibatkan hilangnya maqashid. Dalam kemaslahatan daruriyat diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan akan makanan, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan dasar ini merupakan hak dasar semua manusia yang wajib dipenuhi tanpa terkecuali, termasuk warga negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat tersebut. Kedua, kepastian hukum keutuhan aset wakaf uang dalam pelaksanaan CWLS, dianalisis berdasarkan teori kepastian hukum pada Pasal 9 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN menjelaskan bahwa pemerintah wajib membayar imbalan dan nilai nominal setiap SBSN yang diambil dari anggaran APBN tiap tahunnya, serta Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan pemindahtanganan barang milik negara dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah. Dalam hal ini, ketika terjadi gagal bayar pemerintah berkewajiban membayar pokok CWLS dengan mempergunakan barang milik negara yang dijadikan underlying asset dengan cara dijual. Ketiga, model pelaksanaan CWLS dalam mewujudkan kesejahteraan sosial disalurkan oleh BWI tidak hanya bermitra pada nazhir wakaf yang ditujukan pada bidang kesehatan, Pendidikan, ketahanan pangan, UMKM dan sebagainya, tetapi juga ditujukan kepada Lembaga Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan izin dari Kementerian Sosial dengan program-program diantaranya rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Berdasarkan hal tersebut diharapkan kesejahteraan sosial dapat terwujud.

Cash Waqf Linked Sukuk is a government-guaranteed bond that carries the risk of default, making it crucial to establish legal certainty for cash waqf assets. This study examined various aspects related to this issue. Firstly, it analyzed the rationale behind the utilization of waqf funds to maximize benefits. Secondly, it investigated the legal certainty of CWLS assets concerning Cash Waqf Linked Sukuk. Lastly, it explored the role of the CWLS model in enhancing the welfare of the community. This research adopted a normative legal research approach, utilizing both statutory and conceptual methods. Primary and secondary data were collected, analyzed, and presented using technical descriptive analytical writing. The findings showed that the management and development of cash waqf necessitate investments in LKS products and Islamic financial instruments to ensure long-term benefits. Consequently, the establishment of an Islamic institution becomes necessary to safeguard the security of this high-risk investment, which involves the State Revenue and Expenditure Budget in the development of public service infrastructure. Waqf assets are protected by various legal provisions, including Article 45, paragraph (2) of Law Number 1 of 2004 concerning the State Treasury, which governs the transfer of state property through sale, exchange, grant, or inclusion as government capital. In the event of default, the government is obligated to repay the principal of the Cash Waqf Linked Sukuk by selling the underlying state property. Thrid the CWLS implementation model in realizing social welfare distributed by BWI is not only partnered with nazhir waqf aimed at the fields of health, education, food security, UMKM but also aimed at Social Welfare Institutions that obtain permission from the Ministry of Social Affairs with programs including rehabilitation social security, social security, social empowerment, and social protection. Based on this, it is expected that social welfare can be realized"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deviana Yuanitasari
"Disertasi ini membahas dinamika hukum industri halal di Indonesia, dengan fokus pada pengubahan kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki kewajiban strategis untuk menjamin ketersediaan produk halal yang aman dan transparan. Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) bertujuan meningkatkan perlindungan konsumen Muslim dan daya saing UMK, tetapi pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala. Tantangan utama meliputi kesulitan pelaku UMK dalam proses sertifikasi halal, lemahnya harmonisasi antar lembaga, dan keterbatasan infrastruktur digital di wilayah terpencil. Hal ini menunjukkan pentingnya transformasi kebijakan yang lebih sederhana, seperti pengubahan kewajiban sertifikasi halal menjadi pembukaan informasi produk yang dapat diakses secara luas oleh konsumen. Dengan menggunakan pendekatan sosio-legal, penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan utama. Pertama, regulasi industri halal di bidang pangan belum sepenuhnya melindungi konsumen Muslim dan mendukung UMK. Kedua, kerjasama kelembagaan industri halal yang dapat melindungi konsumen muslim dan pelaku UMK dapat dioptimalkan dengan perubahan status BPJPH yang kini berada langsung di bawah presiden. Sebagai badan yang lebih mandiri, BPJPH diharapkan mampu memangkas panjangnya birokrasi dan meningkatkan efisiensi operasional dalam penyelenggaraan sertifikasi halal serta diperlukan penguatan kerjasama kelembagaan antara BPJPH dengan dan kementerian terkait untuk meningkatkan efektivitas implementasi regulasi. Ketiga, penerapan model industri halal yang ideal di Indonesia adalah dengan sistem pembagian berdasarkan jenis produk, apakah produk tersebut berisiko atau tidak, Kombinasi antara transparansi informasi, verifikasi berjenjang, dan pemanfaatan teknologi yang tepat akan menciptakan ekosistem industri halal yang lebih inklusif dan berdaya saing tinggi di Indonesia. Sebagai saran, penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah strategis: pertama, memperkuat regulasi pembukaan informasi produk dengan memastikan keterjangkauan dan transparansi bagi konsumen. Kedua, mempercepat harmonisasi kebijakan antar lembaga untuk mencegah tumpang tindih aturan. Ketiga, Penyederhanaan proses sertifikasi halal untuk produk berisiko rendah akan mempermudah UMK, terutama di daerah terpencil. Untuk itu, pengembangan teknologi digital untuk mempermudah proses sertifikasi sangat diperlukan. Aplikasi mobile yang dapat diakses secara offline, atau teknologi berbasis SMS yang mudah dijangkau oleh UMK di daerah dengan keterbatasan akses internet, dapat menjadi solusi yang preskriptif.

This dissertation discusses the dynamics of halal industry law in Indonesia, with a focus on changing the halal certification requirements for Micro and Small Enterprises (SMEs). As the country with the second-largest Muslim population in the world, Indonesia has a strategic obligation to ensure the availability of safe and transparent halal products. The Halal Product Guarantee Law (UUJPH) and the Job Creation Law (UUCK) aim to enhance consumer protection for Muslims and the competitiveness of MSEs, but their implementation still faces various challenges. The main challenges include difficulties faced by MSE in the halal certification process, weak inter-institutional harmonization, and limited digital infrastructure in remote areas. This highlights the importance of policy transformation towards simpler approaches, such as changing the halal certification obligation into opening product information that is widely accessible to consumers. Using a socio-legal approach, this research yields three main conclusions. First, halal industry regulations in the food sector have not fully protected Muslim consumers or supported MSE. Second, institutional collaboration in the halal industry that could protect Muslim consumers and MSE actors can be optimized by changing the status of the BPJPH, which is currently directly under the president. As a more independent body, BPJPH is expected to reduce bureaucratic delays and improve operational efficiency in halal certification, and strengthening institutional cooperation between BPJPH and relevant ministries is necessary to enhance the effectiveness of regulation implementation. Third, the ideal halal industry model in Indonesia involves a tiered system based on product risk, whether the product is high or low risk. A combination of transparency in information, tiered verification, and the appropriate use of technology will create a more inclusive and competitive halal industry ecosystem in Indonesia. As recommendations, this research suggests several strategic steps: first, strengthening regulations on product information disclosure to ensure accessibility and transparency for consumers. Second, accelerating policy harmonization between agencies to prevent overlapping regulations. Third, simplifying the halal certification process for low-risk products will ease the burden on MSEs, especially in remote areas. For this, the development of digital technology to facilitate the certification process is crucial. Mobile applications that can be accessed offline or SMS-based technology that is easily accessible by MSEs in areas with limited internet access could serve as prescriptive solutions. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library