Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marina Epriliawati
Abstrak :
Latar Belakang: Edukasi merupakan salah satu komponen penting dalam tatalaksana pasien diabetes, meskipun demikian edukasi saja dirasakan tidak cukup untuk mempertahankan perubahan perilaku. Untuk mencapai perubahan perilaku tersebut, edukasi perlu dilengkapi dengan dukungan pengelolaan diri (self-management support). Health coaching merupakan sebuah pendekatan yang memiliki konsep yang sama dengan Diabetes Self Management Support (DSMS) . Tujuan: Mengevaluasi pengaruh kombinasi edukasi dan health coaching dibandingkan dengan edukasi saja dalam perubahan kedisiplinan diet, latihan fisik, serta capaian sasaran kendali OM pada pasien OM tipe 2. Metode: Penelitian uji acak terkendali ini merekrut 60 subyek pasien DM tipe 2 yang belum terkontrol (HbAic > 7.5%), 30 subyek pada kelompok intervensi (edukasi dan health coaching) dan 30 subyek pada kelompok kontrol (edukasi saja). Kelompok intervensi mendapatkan 12 sesi edukasi dan 12 sesi health coaching sedangkan kelompok kontrol mendapatkan 12 sesi edukasi saja. Seluruh perlakuan diberikan sebagai tambahan dari terapi farmakologis standar. Edukasi diberikan secara berkelompok di dalam kelas selama 30-60 menit dan coaching diberikan secara individu selama 45-60 menit. Evaluasi asupan diet, latihan fisik, indeks massa tubuh, tekanan darah, GOP, GD2PP, HbA1c, dan profit lipid dilakukan saat awal, 3 bulan, dan 6 bulan setelah perlakuan. Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedisiplinan diet dan latihan fisik antara kelompok kontrol dan intervensi. Terdapat penurunan rerata GOP dan GD2PP pada kelompok edukasi dan coaching dari 197,69 mg/dL dan 247,88 mg/dL pada sebelum perlakuan menjadi 135,46 mg/dL dan 141,42 mg/dL pada 6 bulan setelah perlakuan sedangkan pada kelompok edukasi terdapat peningkatan rerata GOP dan GD2PP dari 170,30 mg/dL dan 237,74 mg/dL menjadi 176,59 mg/dL dan 242, 11 mg/dL. Nilai p=0,006 untuk perbedaan rerata GOP dan nilai p=O,OOO untuk perbedaan rerata GD2PP pada 6 bulan setelah perlakuan. Proporsi subyek yang mengalami penurunan HbA 1 c 2:1% setelah 6 bulan perlakuan pada kelompok intervensi sebanyak 60% dan pada kelompok kontrol sebanyak 20% (nilai p=0,004), RR 2,250 dan NNT 2,5. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok pada parameter/variabel yang lain. Simpulan: Health coaching memberikan keuntungan tambahan sebagai pelengkap program edukasi dalam memperbaiki kendali glikemik pada pasien OM tipe 2 yang belum terkontrol. Pendekatan ini dapat digunakan oleh edukator dan tenaga profesional lain yang terlatih untuk memperbaiki kendali OM pada pasien DM tipe 2. ......Background: Education is one of the important component in managing patients with diabetes, however it is not sufficient to sustain behavioral changes. To achieve behavioural changes, education needs to be complemented by selfmanagement support. Health coaching is an approach which has similar concept with diabetes self management support. Objective: We aim to evaluate the impact of education and health coaching combination compared to education alone on diet and physical excersice modification, and achievement of diabetes mellitus control in type 2 diabetes mellitus patients. Methods: We conducted a randomized controlled trial involving 60 poorly controlled type 2 diabetes mellitus patients (HbA I c > 7.5%). In the beginning of the study 30 subjects were allocated to the intervention group (education and health coaching) and 30 subjects were allocated to the control group (education alone). Subjects in the intervention group received 12 education and 12 health coaching sessions while subjects in the control group received 12 education sessions. Those interventions were given on top of standard diabetes care. Education was conducted in a class for 30-60 minute sessions and coaching was performed one on one and/or group for 45 to 60-minute sessions. Food record, physical excersice, BMI, blood pressure, FPG, PPG, HbA 1 c, and lipid profile were measured at baseline and 3-month after intervention. Results: There were no significant result in diet and physical excercise compliance bet\veen intervention and control group. Education and health coaching combination showed significant reduction in FPG and PPG in comparison to education alone at 6 months after intervention (197.69 mg/dL to 135.46 mg/dL vs 170.30 mg/dL to 176.59 mg/dL, p value 0.006; 247.88 mg/dL to 141 ,42 mg/dL vs 237.74 mg/dL to 242, 11 mg/dL, p value=O.OOO, respectively). Participants who achieved reduction of HbA I c level I% or more in the intervention group were 60% while in the control group were 20% (p value=0.004) with RR 2.250 and NNT 2.5. There were no significant result between two groups in other variables. Conclusions Health coaching may provide added benefit as complementary to education program to improve glycemic control in patients with poorly controlled type 2 diabetes mellitus. This approach may be applied by trainneddiabetic educators and other professional to improve diabetic control.
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2019
T58355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Permatasari
Abstrak :
Latar belakang. Manajemen penyakit dari sisi peserta dan jejaring fasilitas kesehatan pada implementasi pelayanan rujuk balik terhadap pengendalian diabetes mellitus belum bejalan dengan efektif. Masalah terbesar yang ditemukan dalam PRB adalah manajemen pelayanan rujuk balik yang kurang, sering terjadinya kekosongan obat dan koordinasi klinis belum berjalan dengan baik antar Fasilitas Kesehatan, dan Penderita dengan diagnosis DM tipe masih banyak yang belum terdaftar pada kegiatan Prolanis. Tujuan penelitian untuk membuktikan kontribusi prolanis terhadap keterkendalian gula darah peserta PRB setelah dikontrol faktor individu, faktor fasilitas Kesehatan dan faktor di tingkat kabupaten/kota. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain kohort retrospektif. Pengumpulan data dilakukan dengan data primer yang berupa hasil pengisian kuesioner dan data dari faskes. Sampel penelitian ini merupakan penderita DM yang berkunjung ke jejaring faskes dalam 6 bulan terakhir yang terpilih dalam survei. Pengujian data dilakukan melalui analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis dilakukan dengan analisis multilevel regressi logistic. Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan kontribusi program rujuk pada penderita DM peserta Prolanis dengan peserta Non Prolanis setelah dikontrol faktor individu dan faktor kontekstual pada penyedia layanan kesehatan terhadap keterkendalian gula darah pada Penderita diabetes melitus tipe 2. Hal ini terlihat dari penderita DM peserta PRB kelompok Prolanis memiliki peluang 5,63 kali lebih besar dapat meningkatkan keterkendalian gula darah. Kelompok penderita DM yang hanya mengikuti PRB memiliki kontribusi 3,85 kali lebih besar dapat meningkatkan keterkendalian gula darah. Diskusi. Prolanis berkontribusi terhadap keterkendalian gula darah pada Penderita diabetes mellitus tipe 2 peserta PRB. Peserta PRB yang mengikuti kegiatan Prolanis dapat lebih meningkatkan keterkendalian gula darah dibandingkan dengan peserta PRB yang tidak mengikuti kegiatan prolanis. Faktor individu dan faktor kontekstual pada penyedia layanan Kesehatan akan berdampak pada keterkendalian gula darah. Kesimpulan. Program rujuk balik memiliki kontribusi terhadap keterkendalian gula darah penderita DM namun kontribusinya akan lebih besar jika penderita DM peserta PRB juga aktif mengikuti kegiatan Prolanis. Saran. Keikutsertaan kegiatan Prolanis menjadi anjuran bagi penderita DM peserta program rujuk balik agar mendapatkan edukasi yang kesehatan yang memadai dalam rangka meningkatkan keterkendalian gula darah. ......Background. Disease management from the participant side and the network of health facilities in the implementation of referral services for controlling diabetes mellitus have not been effective. The biggest problems found in PRB are poor management of referral services, frequent drug shortages and clinical coordination not yet running well between Health Facilities, and many sufferers diagnosed with type DM are still not registered with Prolanis activities. The aim of the research is to prove the contribution of prolanis to the control of blood sugar in PRB participants after controlling for individual factors, health facility factors and factors at the district/city level. Method. This research is a quantitative study with a retrospective cohort design. Data collection was carried out using primary data in the form of questionnaire results and data from health facilities. The sample for this study was DM sufferers who visited the health facility network in the last 6 months who were selected in the survey. Data testing was carried out through univariate, bivariate and multivariate analysis. Analysis was carried out using multilevel logistic regression analysis. Results. The results of this study show that there is a difference in the contribution of the referral program for DM sufferers who participated in Prolanis and non-Prolanis participants after controlling for individual factors and contextual factors in health service providers on controlling blood sugar in type 2 diabetes mellitus sufferers. This can be seen from DM sufferers participating in the PRB group. Prolanis has a 5.63 times greater chance of improving blood sugar control. The group of DM sufferers who only participated in PRB had a 3.85 times greater contribution to improving blood sugar control. Discussion. Prolanis contributes to blood sugar control in people with type 2 diabetes mellitus in PRB participants. PRB participants who took part in Prolanis activities were able to improve blood sugar control more compared to PRB participants who did not take part in Prolanis activities. Individual factors and contextual factors among health service providers will have an impact on blood sugar control. Conclusion. The referral program contributes to the control of blood sugar in DM sufferers, but the contribution will be greater if DM sufferers who are PRB participants also actively participate in Prolanis activities. Suggestion. Participating in Prolanis activities is a recommendation for DM sufferers participating in the referral program to receive adequate health education in order to improve blood sugar control.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentius A. Pramono
Abstrak :
Latar Belakang. Kualitas hidup merupakan keluaran klinis yang seringkali terlupakan pada pengkajian pasien penyakit Graves. Saat ini belum ada kuesioner kualitas hidup pasien gangguan tiroid yang tervalidasi dalam Bahasa Indonesia. Penelitian terkait kualitas hidup belum pernah dilakukan pada pasien penyakit Graves di Indonesia. Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang terbagi ke dalam dua tahap yaitu (1) validasi kuesioner ThyPRO dalam Bahasa Indonesia dan (2) pengambilan data kualitas hidup pasien penyakit Graves dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Studi ini dikerjakan pada bulan Maret sampai November 2022 di Poliklinik Endokrin Metabolik RSCM, Jakarta, Indonesia. Hasil. 50 subjek pasien gangguan tiroid dan 150 subjek pasien penyakit Graves berpartisipasi masingmasing pada tahap pertama dan kedua penelitian ini. Tahap pertama studi ini menghasilkan kuesioner ThyPROid (Thyroid-Related Patient-Reported Outcome Indonesian version) atau “Kuesioner Kualitas Hidup Pasien Tiroid Berbahasa Indonesia” yang secara keseluruhan valid dan reliabel. Kualitas hidup pasien penyakit Graves yang diperoleh pada penelitian ini adalah baik (72,7%) dan kurang (27,3%). Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup kurang pada penelitian ini adalah Indeks Wayne dengan skor di atas 19 dan oftalmopati derajat sedang-berat dan aktif. Riwayat sudah diobati, baik dengan obat anti-tiroid, pembedahan maupun terapi iodium radioaktif merupakan faktor protektif bagi kualitas hidup kurang. Kesimpulan. Menggunakan kuesioner ThyPROid yang sudah divalidasi dalam Bahasa Indonesia, sebagian besar pasien penyakit Graves memiliki kualitas hidup yang baik. Faktor yang memengaruhi kualitas hidup kurang adalah Indeks Wayne, oftalmopati derajat sedang-berat dan aktif. Riwayat sudah diobati, baik dengan obat anti-tiroid, pembedahan maupun terapi iodium radioaktif, merupakan faktor protektif kualitas hidup kurang. Kata kunci. Penyakit Graves, kualitas hidup, Indonesia, ThyPRO, Indeks Wayne, oftalmopati, pengobatan, obat anti-tiroid, pembedahan, terapi iodium radioaktif. ......Introduction. Quality of life is a clinical outcomes which frequently forgotten in any assessment of patients with Graves’ disease. There is currently no questionnaire for quality of life assessment for patients with thyroid disease which are validated in Bahasa Indonesia. Study about quality of life has never been conducted in patients with Graves’ disease in Indonesia. Methods. This cross-sectional study divided into two phases, that is: (1) ThyPRO questionnaire validation in Bahasa Indonesia, and (2) data collection on quality of life in patients with Graves’ disease and the factors affected it. This study was conducted on March to November 2022 in Endocrine & Metabolic Polyclinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Results. 50 subjects of patients with thyroid disease and 150 subjects of patients with Graves’ disease participated each in the first and the second phase of the study. First phase of the study resulted with ThyPROid questionnaire (Thyroid-Related Patient Reported Outcome Indonesian version) which overall is valid and reliable. Quality of life in patients with Graves’ disease that were obtained from this study was good (72,7%) and poor (27,3%). Factors that affected poor quality of life in this study was higher score of Wayne Index (total score > 19) and moderate-to-severe degree and active Graves’ ophthalmopathy. History of treatment, either with anti-thyroid medication, surgery, or radioactive iodine therapy, was protective factor for poor quality of life. Conclusion. Using ThyPROid questionnaire which were validated in Bahasa Indonesia, most of the patients with Graves’ disease in this study has good quality of life. Factors which affected poor quality of life was high Wayne Index and moderate-to-severe degree and active Graves’ ophthalmopathy. History of treatment, either with anti-thyroid medication, surgery, or radioactive iodine therapy, was protective factor for poor quality of life.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Dian Anindita
Abstrak :
Latar Belakang: Talasemia merupakan kelainan sintesis hemoglobin yang membutuhkan transfusi darah berulang. Kombinasi terapi kelasi dan transfusi darah telah meningkatkan harapan hidup, namun menyebabkan penumpukan besi di organ tubuh seperti kelenjar endokrin. Hipogonadisme yang merupakan salah satu gangguan endokrin yang sering terjadi pada penderita talasemia, umumnya terjadi akibat penumpukan besi di jaringan hipofisis. Penumpukan besi di hipofisis dapat dilihat dengan melihat waktu relaksasi MRI T2 hipofisis. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan status besi dengan keadaan hipogonadisme yang dinilai dengan melihat korelasi serum feritin, saturasi transferin dan waktu relaksasi MRI T2 hipofisis dengan kadar FSH, LH dan testosteron. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan subjek 32 penderita pria talasemia bergantung transfusi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinikin talasemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan serum feritin, saturasi transferin, FSH, LH dan testosteron menggunakan teknik ELISA. Sedangkan pemeriksaan waktu relaksasi MRI T2 hipofisis menggunakan MRI Avanto 1,5 Tesla. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 62,5% pasien tidak mencapai pubertas sempurna. Didapatkan rerata kadar testosteron 23,31 (SB 15,57). Didapatkan 25% pasien memiliki testosteron rendah, dan dari kelompok tersebut seluruhnya memiliki kadar FSH dan LH yang rendah atau normal. Dijumpai adanya korelasi negatif lemah antara waktu relaksasi MRI T2 hipofisis dengan saturasi transferin pada kelompok dengan nilai testosteron normal. Korelasi pada variabel lainnya tidak terdapat yang signifikan. Simpulan: Angka kejadian pasien dengan pubertas tidak sempurna cukup tinggi, tidak sejalan dengan hasil laboratorium. Pada penelitian ini dijumpai korelasi negatif lemah antara saturasi transferin dengan waktu relaksasi MRI T2 hipofisis.
Background: Thalassemia is a disorder of haemoglobin synthesis that require regular blood transfusion. The combination of chelation therapy and blood transfusion has extended life expectancy. However, repetition of blood transfusions leads to accumulation of iron in organs such as endocrine glands. Hypogonadism is one of the most prevalent endocrine disorder in thalassemia, caused by iron deposition in pituitary gland. Iron overload in pituitary can be measured by pituitary MRI T2 relaxation time. Objective: The purpose of this study was to see the correlation between iron overload with hypogonadal state by analyzing correlation between ferritin serum, transferrin saturation, pituitary MRI T2 relaxation time with FSH, LH and testosterone levels. Methods: This is a cross-sectional study with 32 subjects of male transfusion-dependent thalassemia. The subjects were collected with consecutive sampling technique in thalassemia outpatient clinic in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum ferritin, transferrin saturation, FSH, LH and testosterone were done using ELISA technique. Pituitary MRI T2 relaxation time was done using MRI Avanto 1.5 Tesla. Results: In this study, secondary sexual characteristics was not fully achieved in 62,5%. The mean of testosterone levels is 23,31 (SD 15,57). Low testosterone levels were found in 25% patients, and all had low or normal FSH and LH levels. There was a weak negative correlation between transferrin saturation and pituitary MRI T2 relaxation time in normal testosterone level group.

Conclusions: This study demonstrated high rate of patients who did not achieved puberty, but low rate of patient with low testosterone. There is a weak negative correlation between transferrin saturation and pituitary MRI T2 relaxation times.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library