Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bing Djimantoro
"Nekrosis hati akibat karbon tetraklorida (CC1&) diperkeras oleh berbagai macam obat/zat kimia yang dimetabolisme di hati dan berperan sebagai 'inducer' sitokrom P-450 seperti misalnya fenobarbital dan DDT. Steroid depo-medroksiprogesteron asetat (DMPA) yang banyak dipakai sebagai obat pencegah kehamilan juga dimetabolisme di dalam hati, Penelitian ini untuk melihat pengaruh DMPA terhadap luas nekrosis hati akibat CC14. Digunakan 60 mencit betina C3H, tidak sedang bunting, umur 10-12 minggu yang sebagian diberi CC14, sebagian lagi diberi DMPA 10 atau 100x3 mg/kg BB 7 atau 14 hari sebelum pemberian CC14, dan sebagian lagi untuk kelola. Dua puluh empat jam setelah pemberian CC14 mencit dimatikan, dibuat sediaan mikroskopik hati dari lobus kiri dengan pulasan hematoksilin-eosin. Luas nekrosis sentral hati diukur dalam persentase pada setiap sediaau mikroskopik.
Hasil dan Kesimpulan: Didapatkan nekrosis sentrolobulus hati pada seluruh mencit kelompok CCIA dan kelompok DMPA + CC1h. Dibandingkan dengan kelompok yang mendapat CC1 , terlihat sedikit kenaikan luas nekrosis sentrolobulus pada kelompok mencit yang mendapat DMPA + CC1 (terutama pada kelompok yang mendapat DMPA 100x3 mgfkg BB, 7 hari sebelum pemberian CCIA. Namun demikian tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok-kelompok tersebut (tes Kruskal-Wallis dan Mann Whitney, u 52). Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya haik kadar medroksiprogesterqn asetat (MPA) di dalam darah maupun 'metabolism rate' MPA di dalam mikrosom sel hati, sehingga tidak cukup kuat berperan sebagai 'inducer' sitokrom P-450 yang akan menimbulkan perbedaan bermakna luas nekrosis sentrolobulus hati. Tentunya hal ini perlu penegasan dengan memeriksa sitokrom P-450 di dalam sel hati di bawah pengaruh DMPA.

Necrosis of the liver due to carbon tetrachloride (CCI4) are increased by various drugs / chemicals which are metabolized in the liver and acted as cytochrome P-450 inducer such as phenobarbital and DDT. Steroid depo-medroxyprogesterone acetate (DMPA) which is used as a birth control drug, is also metabolized in the liver. The objective of this study is to know the influence of DMPA on the width of centrolobular necrosis in the liver caused by CCl. Sixty non-pregnant female C3H mice, 10-12 weeks old, were divided into groups given CCl4, DMPA 10 or 100x3 mg/kg body weight 7 or 15 days prior to CCl& treatment and solvent as control group. Mice were killed 24 hours after CC1& administration and specimens were taken for microscopic slides from the left lobe of the liver and stained by haematoxylin-eosin. The width of the centrolobular necrosis was measured in percentage for each microscopic slide.
Findings and Conclusions: Centrolobular necrosis was found in all mice in the CClh and DMPA + CCl4 groups. Compared with the CCl4 group, there was a slight increase in the width of centrolobular necrosis in the DMPA + CCIA groups (especially those groups receiving DMPA 100x3 mg/kg, 7 days prior to CCl4 administration). But neither group of mice showed any significant difference in the ratio of the width of centrolobular necrosis (Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test, a 52). This might be caused by the low level of medroxyprogesteron acetate (MPA) in the blood and by a very slow metabolism rate of MPA by the liver microsome, so it is not strong enough to act as Cytochrome P-650 inducer to give significant difference in the width of the centrolobular necrosis. Further confirmation is necessary to determine the amount of cytochrome P-A50 in the liver under the influence of DMPA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meryanne Elisabeth S.
"Latar belakang : Etiopatogenesis karsinoma nasofaring (KNF) sampai sekarang masih terus diselidiki. Faktor yang dianggap sebagai penyebab timbulnya KNF antara lain virus Epstein-Barr (VEB), faktor genetik dan faktor lingkungan. Latent Membrane protein 1 (LMP1) sebagai produk protein pada fase laten infeksi VEB diduga mempunyai peranan mulai dari lesi prakanker sampai terjadinya KNF. Penelitian ini mencoba menganalisis ekspresi LMP1 pad a epitellesi prakanker nasofaring dan ekspresi LMP1 KNF. Ruang lingkup dan cara penelitian : telah dilakukan penelitian potong lintang pada 16 kasus lesi prakanker nasofaring dan 16 kasus KNF yang berasal dari pasien yang sama, dari Bagian Patologi Anatomik FK UII RSUPN eM selama 4 tahun (1997-2000) dengan melihat umur, jenis kelamin dan tipe histologik. Selanjutnya dilakukan pulasan imunohistokimia LMP1 pada kedua lesi tersebut dengan metode streptavidin-biotin. Kemudian dinilai intensitas pewarnaan LMP1 baik pad a lesi prakanker maupun pada KNF dan frekuensi epitel yang terpulas pada lesi prakanker dan lesi KNF. Skor didapatkan dari hasil penjumlahan intensitas dan fre!

Background: the etiopathogenesis of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is still under investigation. The Epstein-Barr virus (EBV) infection as well as genetic and environmental factors are suggested to be the etiology of this disease. Latent membrane protein 1 (LMP1) as a protein product of EBV in latent phase, may play an active role in tumorigenesis from precancerous lesion to NPC. In this study the expression LMP1 in nasopharyngeal epithelium of precancerous lesion and in NPC was evaluated. Scope and method of study: a cross sectional study was applied to 16 cases of nasopharyngeal precancerous lesion that progressed to NPC from Department of Anatomic Pathology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. Immunohistochemical staining with LMP1 using streptavidin-biotin method was performed. The intensity and frequency of the immunostaining was evaluated. A score system was used based on frequency and intensity of the staining. Statistical analysis using non-parametric test : Wilcoxon signed rank test, Mann-Whitney and Spearman correlation test were performed. Result and conclusion : the study revealed that LMP1 was positive in 81% of precancerous lesion and in 87% of NPC. The score of LMP1 + was found in 6 cases of precancerous lesion and 6 cases of NPC, while the score of LMP1 ++ was found in 10 cases of precancerous lesion and 10 cases of NPC. This study showed that there was no difference in the intensity of LMP1 in precancerous lesion and in NPC, although the frequency of immunostaining from precancerous lesion to NPC tended to increase. However, statistical . analysis showed no correlation between expression of LMP1 in the epithelium of nasopharyngeal precancerous and NPC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2001
T58976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Djuanda
"ABSTRAK
Ruang lingkup, bahan dan cara penelitian : Telah dilakukan penelitian retrospektif di Departemen Patologi Anatomik FKUI RRSUPN CM. Sampel diambil dari Arsip Departemen PatoIogi Anatomik dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2003. Gambaran histologik melanoma malignum dinilai uang, yaitu tipe Nodular Melanoma, tipe Superficial Spreading Melanoma dan tipe Acral Lenligineous Melanoma.
Dilakukan pewarnaan ulang HE dan imunoperoksidase dengan menggunakan antibodi Ki67. Penghitungan jumlah mitosis dilakukan dengan menghitung jumlah mitosis/kuadrat milimeter pada 10 LPB secara acak. Penilaian ketebalan tumor dilakukan menurut Breslow. Perkalian antara ketebalan tumor dan jumlah mitosis dilakukan untuk penentuan indeks prognosis. Penghitungan positifitas Ki67 pada inti sel yang berwarna coklat tua dilakukan pada 500 sel secara acak. Untuk mengetahui hubungan berbanding terbalik antara ekspresi Ki67 dengan indeks prognosis dilakukan uji korelasi non parametrik 2x2 dengan uji Pearson. Uji korelasi parametrik dilakukan dengan uji Tukey dan Duncan.
Hasil dan kesimpulan: Dan 20 kasus MM (11 kasus NM, 5 kasus ALM dan 4 kasus SSM), didapatkan 17 kasus MM (10 kasus NM, 4 kasus ALM dan 3 kasus SSM) yang positif mengekspresikan Ki67, 3 kasus yang tidak mengekspresikan Ki67 terdiri atas 1 kasus NM, 1 kasus ALM dan I kasus SSM. Dua puluh kasus MM menunjukkan 12 kasus dengan Breslow > 4 mm (8 kasus NM dan 4 kasus ALM), sedangkan 8 kasus dengan Breslow < 4 mm (3 kasus NM , 1 kasus ALM dan 4 kasus SSM).
Pada 4 kasus SSM 3 kasus mengekspresikan Ki67 positif 1 dan 1 kasus tidak mengekspresikan Ki67. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan bermakna antara ketebalan tumor Breslow dengan indeks proliferasi Ki67. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa antibodi monoklonal Ki67 sebagai petanda proliferasi dapat digunakan sebagai indikator dalam memprediksi prognosis dan kemungkinan terjadinya early metastasis pada penderita MM yang mempunyai nilai ketebalan Breslow rendah, seperti pada jenis SSM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library