Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eni Dwijayanti
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru
dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi
katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih
baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular (EKEK).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua
metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati
di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga
digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192
pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara
acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang
menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga
indikator keberhasilan operasi.
Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari
setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP
Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal
(indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah
biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya
pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi,
biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas
diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu
ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak
adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas
operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako
sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp.
3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya
terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan
ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak
adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi
intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness
Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan
dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode
EKEK.
Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik
operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas

Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new
alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract
operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared
to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE).
This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of
cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in
Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical
approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192
cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly
selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients?
medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore
three success indicators of the surgeries.
Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each
method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati
General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single
value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery.
The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs
of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees,
pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were
obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e.
post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the
absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of
effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method.
The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco
surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp.
3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost
components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study
showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better
than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of
post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE
group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference
between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative
complications (p>0.05).
The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio
(ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp.
1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was
more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract
surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more
comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be
obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider
population."
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tince Arniati Jovina
"Peningkatan prevalensi karies gigi terutama disebabkan karena adanya perubahan-perubahan dalam pola makan dari makanan berserat menjadi makanan mudah melekat pada permukaan gigi. Bila seseorang malas untuk membersihkan giginya setelah makan makanan yang manis dan lengket, maka sisa-sisa makanan tersebut akan diubah menjadi asam oleh bakteri yang terdapat dalam mulut, kemudian dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi. Menurut Matram (2007), berdasarkan SKRT 2004, penyebab tingginya prevalensi karies hanya sedikit orang Indonesia mengerti cara menyikat gigi benar (10%). Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh kebiasaan menyikat gigi terhadap status pengalaman karies dengan menganalisis data Rriskesdas 2007. Dalam Penelitian ini terdapat 198.023 responden berusia 35 tahun ke atas yang diperiksa giginya Desain penelitian cross sectional, populasi adalah seluruh penduduk Indonesia tahun 2007. Analisis yang digunakan adalah regresi logistik ganda. Hasil penelitian berdasarkan distribusi frekuensi karakteristik responden, responden yang mempunyai gigi yang sehat, DMF-T = 0 adalah hanya 11,76 % dan responden yang mengalami kerusakan gigi atau DMF-T  1 adalah sebanyak 88,24%. Prevalensi pengalaman karies paling tinggi terjadi pada kelompok umur 65 tahun ke atas yaitu 96,51%. Pada kelompok yang menyikat gigi 1x/hari 1,063 kali berisiko terjadinya kerusakan gigi dibanding sikat gigi 2x/hari. Kelompok yang jarang menyikat gigi 1,23 kali berisiko terjadinya kerusakan gigi dibandingkan yg sikat gigi 2x/hari. Setelah dikontrol oleh variabel umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Sebaiknya masyarakat menjaga kesehatan gigi dan mulutnya dengan rajin menyikat gigi 2 kali sehari yaitu setelah makan pagi dan sebelum tidur malam untuk dapat mengurangi terjadinya karies gigi.
Increased prevalence of dental caries was due to changes in dietary fiber foods into food from easily attached to the tooth surface. When someone lazy to clean his teeth after eating sweet or sticky foods, the leftovers will be converted into acid by bacteria contained in the mouth, and can cause dental caries. According Matram (2007), based on the 2004 Household Health Survey, the cause of the high prevalence of caries in Indonesia that few people understand how to brush teeth correctly (10%). The purpose of this study is to see the effect of tooth brushing habits of the status of caries experience by analyzing the data Riskesdas 2007. In this study there were 198 023 respondents aged 35 years and over who checked his teeth cross sectional study design, population is the entire population of Indonesia in 2007. The analysis used is multiple logistic regression. The results based on the frequency distribution characteristics of respondents, respondents who have healthy teeth, DMF-T = 0 is only 11.76% and the respondents who experienced damage to their teeth or DMF-T  1 is as much as 88.24%. The highest prevalence of caries experience occurred at age group 65 years and over is 96.51%. In the group that tooth brushing 1 times/day 1.063 times the risk of tooth decay than two times/day toothbrush. Groups who rarely brush my teeth 1.23 times the risk of tooth decay compared to toothbrush who 2times/day. Once controlled by the variables of age, gender, education and employment. Community should maintain healthy teeth and mouth with diligent brushing their teeth two times a day after breakfast and before bedtime to reduce the occurrence of dental caries.;Increased prevalence of dental caries was due to changes in dietary fiber foods into food from easily attached to the tooth surface. When someone lazy to clean his teeth after eating sweet or sticky foods, the leftovers will be converted into acid by bacteria contained in the mouth, and can cause dental caries. According Matram (2007), based on the 2004 Household Health Survey, the cause of the high prevalence of caries in Indonesia that few people understand how to brush teeth correctly (10%). The purpose of this study is to see the effect of tooth brushing habits of the status of caries experience by analyzing the data Riskesdas 2007. In this study there were 198 023 respondents aged 35 years and over who checked his teeth cross sectional study design, population is the entire population of Indonesia in 2007. The analysis used is multiple logistic regression. The results based on the frequency distribution characteristics of respondents, respondents who have healthy teeth, DMF-T = 0 is only 11.76% and the respondents who experienced damage to their teeth or DMF-T  1 is as much as 88.24%. The highest prevalence of caries experience occurred at age group 65 years and over is 96.51%. In the group that tooth brushing 1 times/day 1.063 times the risk of tooth decay than two times/day toothbrush. Groups who rarely brush my teeth 1.23 times the risk of tooth decay compared to toothbrush who 2times/day. Once controlled by the variables of age, gender, education and employment. Community should maintain healthy teeth and mouth with diligent brushing their teeth two times a day after breakfast and before bedtime to reduce the occurrence of dental caries."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T30558
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Muhamad
"Dalam upaya untuk pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, pendayagunaan tenaga kesehatan seeara rasional sangat diper1ukan. Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan melalui program penugasan khusus ke daerah perbatasan. Upaya pemetataan dan penempatan tenaga melalui penugasan khusus untuk ditugaskan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, di daerah terpencillsangat terpeneil, daerah rawan bencanalkonflik dan perbatasan mempunyai nilai strategis dalam menye1enggarakan program kesehatan. Peron dan keberadaan tenaga medis sangat besar pengaruhnya dalam pemeriksaan dan mutu pelayanan kesehatan, sebingga Departemen Kesehatan mengembangkan kebijakan tenaga medis melalui Masa Bakti dengan dikeluarlkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Balrti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi sebagal pe1aksanaan dari pemturan tersebut diterbilkan Keputusan Presiden daerah sehingga masih adanya kesenjangan antara jumlah kebutuhan dan jumlah tenaga medis yang benninat dan mau ditugaskan di daerah terpencil sangat terpencil, perbatasan dan pulau terluar. Penugasan khusus tenaga kesehatan ke daerah perbatasan tidak dapat secara langsung mengakibatkan keberbasilan penurunan angka mortalitas dan mobilitas, karena penduduk di daerah perbatasan sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap pernbahan angka mortalitas dan angka mobilitas. Asumsi asumsi masih menggunakan kebijakan-kebijakan penempatan tenaga medis dalarn keadaan khusus seperti keadaan bencana, konflik, daerah terpencillsangat terpencil, masa bakti dan eara lain.
Saran utama yang diajukan kepada pembuat kebijakan adalah penyusunan kebutuhan tenaga keaehatan di daerah perbatasan haadaknya tidak haaya berdasarkan tuntutan kompetensi jenis tenaga yang dibutubkan tetapi perlu dilakekan secara terpadu (integrated} dan memperhatikan berbagai faktor terutama kondisi wilayah daerah dengan asas desentra1isasi sesuai kemampuan dan kondisi daerah. Segera dibahas dan dibentuk kebijakan khusus tentang penempatan khusus tenaga kesehatan di daerah perbatasan. Pola pengernbangan karier tenaga kesehatan pasca penugasan perlu dilakukan secara seimbang antara kepentingan organisasi dengan kepentingan tenaga medis itu sendiri baik jangka pendek maupnn jangka panjang."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T11515
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library