Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Rahman Hakim
Abstrak :
Hasanah Card merupakan salah satu produk pembiayaan Bank Syariah Indonesia yang berbentuk kartu. Model pembiayaannya hampir sama dengan sistem kartu kredit pada bank Konvensional, namun yang membedakan adalah dalam menjalankan produk tersebut Bank Syariah Indonesia menggunakan Prinsip syariah. Dalam menjalankan produk Hasanah Card, Bank Syariah Indonesia berpedoman pada Fatwa DSN No. 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang Syariah Card. Nasabah pengguna Hasanah Card memiliki kewajiban untuk membayar biaya atau fee atas layanan yang telah diberikan oleh bank. Biaya tersebut didasarkan pada jenis kartu yang dimiliki oleh nasabah. Dalam hukum Islam diatur mengenai pemberian upah atas pekerjaan yang telah dilakukan atau yang disebut dengan ujrah. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian fee pada produk Hasanah Card Bank Syariah Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Pada penelitian ini juga bersifat deskriptif analitis dan preskriptif serta didukung dengan jenis data sekunder. Pada pelaksanaannya terdapat beberapa jenis biaya yang harus dibayarkan oleh nasabah Hasanah Card antara lain monthly membership fee, annual membership fee, dan cash advance fee. Semua informasi terkait biaya tersebut dibagikan pada awal kesepakatan antara nasabah dengan bank. Mengenai kesesuaian biaya tersebut dengan didasarkan pada Hukum Islam maka dapat disimpulkan bahwasanya pemberian fee pada Hasanah Card sudah sepenuhnya sesuai. Akan tetapi perlu perubahan pada form pengajuan hasanah Card, sebab perlu dicantumkan informasi terkait fungsi dari masing-masing fee. ......Hasanah Card is a financing product of Bank Syariah Indonesia in the form of a card. the financing model is almost the same as the credit card system at conventional banks. However, the difference is that in carrying out these products, Bank Syariah Indonesia uses sharia principles. In carrying out the Hasanah Card product, Bank Syariah Indonesia is guided by the DSN Fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006 Concerning Sharia Cards. Hasanah Card user customers must pay fees for services provided by the Bank. The fee is based on the type of card owned by the customer. So the purpose of this study is to find out how Islamic law redemptions giving fees on Hasanah Card products of Indonesian Sharia Banks. This research is juridical-normative research using qualitative analysis methods. This research is also descriptive and prescriptive analytics and is supported by secondary data types. In practice, several types of fees must be made by Hasanah Card customers, including monthly membership fees, annual membership fees, and down payment fees. All information related to these costs is shared at the beginning of the agreement between the customer and the bank. Regarding the suitability of these costs based on Islamic law, it can be concluded that the fee for the Hasanah Card is not fully appropriate. However, it is necessary to change the Hasanah Card application form, because it is necessary to include information regarding the function of each fee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Klaras Hanum
Abstrak :
Perkawinan pada dasarnya merupakan persatuan antara dua orang yang saling menyepakati untuk mengikatkan dirinya sebagai pasangan suami istri. Indonesia sebagai negara multikultural yang menjunjung tinggi adanya persatuan dalam perbedaan sebagaimana diartikan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” merefleksikan makna tersebut salah satunya melalui pluralitas agama yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya keberadaan enam agama yang diakui dan tersebar di Indonesia. Pluralitas agama tersebut tentu saja merupakan hal yang positif dan sudah sepatutnya dibanggakan oleh Indonesia sebagai negara. Meski begitu, tak jarang hal ini menimbulkan adanya permasalahan sosial, salah satunya adalah perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita dengan latar belakang agama atau kepercayaan yang berbeda. Melalui penulisan ini, Penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, berdasarkan agama Islam dan Kristen, juga kesesuaian peraturan perundang-undangan tersebut dengan implementasinya dalam Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang juga bersifat yuridis-normatif dengan data sekunder dan bahan hukum primer. Penulis melihat masih terdapatnya permasalahan hukum dalam penerapan hukumnya dikarenakan pengaturan yang kurang jelas dan spesifik mengenai perkawinan beda agama khususnya antara agama Islam dengan agama Kristen. Sehingga melalui penelitian ini Penulis menyampaikan analisisnya terkait penerapan yang sudah seharusnya diterapkan dan saran Penulis sebagai jalan keluar dari permasalahan hukum yang timbul yaitu dengan pengadaan pengaturan yang khusus dan spesifik mengenai mekanisme dan akibat hukum yang terang dan jelas berdasarkan Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Hal tersebut bertujuan sebagai tindakan preventif dari lahirnya permasalahan hukum yang timbul dari praktik perkawinan beda agama dan sebagai saran upaya yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim yang menetapkan perkara yang menjadi pembahasan Penulis untuk memeriksa dan mengadili kembali dengan mempertimbangkan pengaturan yang ada sebaik-baiknya. ...... Marriage is a union between two people who mutually agree to bind themselves as husband and wife. Indonesia as a multicultural country that upholds unity in diversity as defined in "Unity in Diversity" reflects this meaning, one of which is through the plurality of religions in Indonesia. This is proven by the existence of six religions that are recognized and spread across Indonesia. The plurality of religions is certainly a positive thing and Indonesia as a country should be proud of. Even so, not infrequently this creates social problems, one of which is interfaith marriage. Interfaith marriage is a marriage bond between a man and a woman with a different religious or belief background. Through this writing, the author will explain how interfaith marriages are regulated in Indonesia, based on Islam and Christianity, as well as the compatibility of these laws and regulations with their implementation in Determination Number 71/PDT.P/2017/PN.BLA. The research method used by the author in compiling this research is a normative legal research method with a qualitative approach which is also juridical-normative with secondary data and primary legal materials. The author sees that there are still legal problems in the application of the law due to unclear and specific arrangements regarding interfaith marriages, especially between Islam and Christianity. So that through this research the author conveys his analysis regarding the application that should have been implemented and the author's suggestion as a way out of the legal problems that arise, namely by procuring special and specific arrangements regarding mechanisms and legal consequences that are clear and clear based on Stipulation Number 71/PDT.P/ 2017/PN. BLA. This is intended as a preventive measure against the birth of legal issues arising from the practice of interfaith marriages and as a suggestion for efforts that can be made by the Panel of Judges who determine the case being discussed by the Author to examine and re-trial by considering the existing arrangements as well as possible.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiena Alya Puteri
Abstrak :
Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui keabsahan perkawinan beda agama berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan untuk mengetahui implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana keabsahan perkawinan beda agama berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bagaimana implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, dengan sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder yang berkaitan dengan hal yang Penulis teliti yakni Penetapan Pengadilan Negeri Kudus Nomor Nomor 209/Pdt.P/2020/PN.Kds, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait dengan perkawinan, serta sumber data sekunder berupa buku-buku, jurnal hukum, internet, yang berkaitan dengan topik penelitian. Hasil dari penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa Perkawinan beda agama merupakan tidak sah atau tidak boleh dilakukan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana dijelaskan bahwa sahnya perkawinan harus dilaksakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Peristiwa ini apabila merujuk dalam Pasal tersebut dapat diartikan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan apabila para pihak dalam hal ini yaitu calon suami dan istri menganut agama yang sama. Lalu implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan PN Kudus mengenai perkawinan beda agama ini dinyatakan sah karena adanya pengaturan dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dapat dicatatkannya perkawinan yang berdasarkan dari penetapan pengadilan yang mana perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan itu adalah perkawinan beda agama. Maka dengan itu dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai perkawinan, khususnya perkawinan beda agama di Indonesia masih belum diatur secara jelas dan tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menyebabkan adanya kendala dalam proses perkawinan beda agama. ......This research aims to determine the validity of interfaith marriages based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and to determine the legal implications of court decisions on interfaith marriages. The problems to be studied in this research are about how the validity of interfaith marriages based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and how the legal implications of court decisions on interfaith marriages. This research uses normative juridical legal research, with the data sources used are secondary data sources related to the matters that the author examines, namely the Decision of the Kudus District Court Number 209/Pdt.P/2020/PN.Kds, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration, Presidential Instruction No. 1 of 1974 concerning the Compilation of Islamic Law, and other laws and regulations related to marriage, as well as secondary data sources in the form of books, legal journals, the internet, which are related to the research topic. The results of the study show the conclusion that marriages of different religions are invalid or may not be carried out in accordance with Article 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage which explains that the validity of marriage must be carried out in accordance with their respective religions and beliefs. This incident, when referring to the Article, can be interpreted that marriage can only be held if the parties in this case, namely the prospective husband and wife, adhere to the same religion. Then the legal implications of the court decision of the Kudus District Court regarding this interfaith marriage are declared valid because of the regulation in Article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration which can be recorded marriages based on court decisions which marriages based on court decisions are interfaith marriages. Therefore, it can be seen that the regulation of marriage, especially interfaith marriage in Indonesia is still not clearly and firmly regulated in the legislation, thus causing obstacles in the process of interfaith marriage.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita
Abstrak :
Indonesia memiliki peluang besar dalam pengembangan wisata halal karena jumlah penduduk mayoritas memeluk agama Islam dan daya tarik wisata yang sangat beragam. Namun saat ini terjadi kekosongan hukum terkait pengembangan potensi tersebut di Indonesia. Penyelenggaraan wisata halal di Indonesia hanya diatur pada Fatwa DSN MUI Nomor 108 tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Syariah. Potensi wisata halal ini harus mendapatkan respon positif daerah dengan membentuk peraturan daerah yang mengatur mengenai penyelenggaraan wisata halal. Kota Bukittinggi merupakan salah satu destinasi wisata halal di Sumatera Barat dalam penyelenggaraan wisata halal telah merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Barat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pariwisata Halal. Hotel syariah sebagai salah satu fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan pada destinasi wisata halal. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penerapan prinsip syariah yang diatur pada Perda Sumbar dan Fatwa DSN MUI pada hotel syariah sebagai pendukung wisata halal di Kota Bukittinggi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris yang menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung dengan jenis data sekunder sekaligus data primer. Berdasarkan penelitian perkembangan pariwisata halal di Kota Bukittinggi khususnya hotel syariah belum maksimal dalam menerapkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Perda Sumbar dan Fatwa DSN MUI. Implementasi prinsip syariah Hotel Grand Bunda Syariah Bukittinggi yang belum dipenuhi seperti sertifikasi halal, penggunaan jasa lembaga keuangan syariah dan tidak terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS). Sebagai upaya untuk meningkatkan perkembangan wisata halal khususnya hotel syariah di Kota Bukittinggi maka perlu komitmen bersama pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat setempat untuk melaksanakan prinsip syariah secara maksimal. ......Indonesia has a great opportunity in the development of halal tourism because the majority of the population embraces Islam and a very diverse tourist attraction. However, there is currently a legal vacuum related to the development of this potential in Indonesia. The implementation of halal tourism in Indonesia is only regulated in the DSN MUI Fatwa Number 108 of 2016 concerning Guidelines for the Implementation of Sharia-based Tourism. This halal tourism potential must get a positive response from the region by forming regional regulations governing the implementation of halal tourism. Bukittinggi City is one of the halal tourist destinations in West Sumatra in organizing halal tourism has referred to the Regional Regulation (Perda) of West Sumatra Number 1 of 2020 concerning the Implementation of Halal Tourism. Islamic hotels as one of the facilities needed by tourists in halal tourist destinations. Therefore, this study aims to find out more about the application of sharia principles stipulated in the West Sumatra Regional Regulation and Fatwa DSN MUI on Islamic hotels as a supporter of halal tourism in Bukittinggi City. This research is a normative-empirical research that uses qualitative analysis methods supported by secondary data as well as primary data. Based on research, the development of halal tourism in Bukittinggi City, especially Islamic hotels, has not been maximized in applying sharia principles as stipulated in the West Sumatra Regional Regulation and the DSN MUI Fatwa. The implementation of sharia principles at Grand Bunda Syariah Hotel Bukittinggi that have not been fulfilled such as halal certification, the use of Islamic financial institution services and there is no Sharia Supervisory Board (DPS). In an effort to increase the development of halal tourism, especially Islamic hotels in Bukittinggi City, it is necessary to commit with the local government, business actors and the local community to implement sharia principles to the fullest.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisilya
Abstrak :
Pengampuan adalah sebuah penetapan yang diberikan terhadap seseorang yang tidak dapat mengurus kebutuhan dan kepentingan dirinya sendiri sebagaimana mestinya, sehingga dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Orang tersebut diharuskan untuk ditaruh di bawah pengampuan. Namun, dalam pelaksanaannya, adanya sistem pengampuan masih sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga menyebabkan orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan atau sedang berada di bawah pengampuan terlanggar hak-haknya. Pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata. Namun, semenjak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU- XX/2022, pengampuan bagi orang-orang yang mengalami kondisi dungu, sakit otak dan mata gelap, kini menjadi tidak lagi bersifat sebagai sebuah keharusan, melainkan menjadi bersifat dapat, sepanjang ketiga kondisi tersebut tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Penelitian ini menganalisis bagaimana ketentuan-ketentuan penetapan Pengampuan yang sebelumnya diatur di dalam Pasal 433 KUHPerdata berubah semenjak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU- XX/2022 dan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penelitian ini akan menjelaskan kedudukan subjek hukum di bawah pengampuan berdasarkan Hukum Perdata dan Hukum Islam. Selanjutnya, akan terdapat analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-XX/2022 dan permasalahan-permasalahan hukum baru yang timbul akibat adanya putusan tersebut. Kemudian, penelitian ini akan membahas mengenai pengaturan pengampuan bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa di dalam UU No. 17 Tahun 2023, jika dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-XX/2022 dan UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. ......ot take care of his own needs and interests properly and considered incompetent in carrying out legal actions. The person is required to be placed under curatele. However, in its implementation, the existence of the curatele system is still often misused by certain parties, causing people who are under curatele or are currently under curatele to have their rights violated. Curatele is regulated in Article 433 of the Civil Code. However, since the Constitutional Court Decision No. 93/PUU-XX/2022, curatele for people who experience the conditions of dungu, sakit otak and mata gelap, is now no longer a necessity, but rather can be, as long as these three conditions are not interpreted as people with mental disabilities and/or intellectual disability. This research discusses how the provisions for determining curatele previously regulated in Article 433 of Civil Code have changed since the Constitutional Court Decision No. 93/PUU-XX/2022 and Law no. 17 of 2023 concerning Health. This research was prepared using doctrinal research methods. This research will explain the position of legal subjects under curatele based on Civil Law and Islamic Law. Then, an analysis will be carried out of the Constitutional Court Decision No. 93/PUU-XX/2022 and new legal problems that arise as a result of this decision. Then, this research will discuss the regulation of curatele for people with mental disorders in Law no. 17 of 2023, when compared with Constitutional Court Decision No. 93/PUU-XX/2022 and Law no. 18 of 2014 concerning Mental Health.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainisa Hijirah Kireina
Abstrak :
Tulisan ini menganalisis bagaimana ketentuan dan proses pengangkatan anak di Indonesia, baik yang dilakukan antar WNI maupun pengangkatan anak antara WNI dan WNA. Tak hanya itu, dianalisis juga bagaimana pembatalan pengangkatan anak, khususnya terhadap Putusan Nomor 464/Pdt.G/2021/PN Jkt.Sel. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang mengalihkan hak anak dari kekuasaan orang tua kandung atau pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan anak kepada kekuasaan orang tua angkat melalui suatu penetapan atau putusan pengadilan. Pada praktiknya, tak jarang ditemukan kesalahan prosedur pengangkatan anak WNA oleh WNI di Pengadilan. Hal ini dikarenakan Hakim kurang memerhatikan masalah status kewarganegaraan anak angkat seperti yang terdapat dalam Putusan Nomor 464/Pdt.G/2021/PN Jkt.Sel. Padahal, pedoman Hakim untuk memeriksa permohonan pengangkatan anak di Indonesia sejatinya telah diatur oleh SEMA tentang Pengangkatan Anak. Kini, sudah terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009. Namun, belum satu pun peraturan yang mengatur secara khusus pembatalan pengangkatan anak di Indonesia. Dalam Putusan Nomor 464/Pdt.G/2021/PN Jkt.Sel, Hakim dalam pertimbangan hukum masih merujuk pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara pembatalan pengangkatan anak. Hal tersebut sudah menjadi kewajiban Hakim untuk memeriksa dan memutus perkara pembatalan pengangkatan anak ......This paper analyzes the regulations and processes of child adoption in Indonesia, both among Indonesian citizens and between Indonesian citizens and foreigners. Moreover, this paper also analyzes how the annulment of child adoptions, especially District Court Decision Number 464/Pdt.G/2021/PN Jkt.Sel. This paper is compiled using the doctrinal legal research method. Child adoption is a legal action that transfers the rights of a child from the authority of the biological parents to the authority of the adoptive parents through a court decision or court decree. In practice, the procedure of adoption foreign child by Indonesian citizens frequently were not in accordance. This because, the Judges were less concerned regarding the adopted child’s citizenship status, as found in District Court Decision Number 464/Pdt.G/2021/PN Jkt.Sel. Meanwhile, the Judge's guidelines of child adoption in Indonesia have actually been regulated by the SEMA regarding Child Adoption. Recently, there is also Government Regulation No. 54 of 2007 on the Implementation of Child Adoption and Minister of Social Affairs Regulation No. 110/HUK/2009. However, neither regulation specifically regulates the annulment of child adoption in Indonesia. In District Court Decision Number 464/Pdt.G/2021/PN Jkt.Sel., the Judges referred to the regulations that were relevant to the case of annulment of child adoption. This is the obligation of the Judge to examine and decide cases of annulment of child adoption.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Noval Pahlevi
Abstrak :
Mengenai perkawinan beda agama tidak diatur secara jelas, yang mana UU Perkawinan sendiri mengembalikan lagi kepada agama dan kepercayaannya masing-masing yang hendak melaksanakan perkawinan. Mayoritas agama yang diakui di Indonesia sendiri melarang perkawinan beda agama, namun perkawinan beda agama masih marak terjadi, setidaknya sampai sebelum terbitnya SEMA 2/2023 yang isinya melarang Hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan yang didaftarkan ke pengadilan. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai pengaturan perkawinan beda agama sebelum dan sesudah keluarnya SEMA 2/2023. Untuk mendukung pembahasan, Penulis melakukan analisis terhadap Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr terkait dengan permohonan perkawinan yang dikabulkan setelah keluarnya SEMA 2/2023. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis agar dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang Penulis angkat dalam penelitian ini. Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa SEMA 2/2023 tidak mengatur juga secara jelas bahwa perkawinan beda agama karena kembali lagi kepada UU Perkawinan, yang jelas adalah bahwa Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan yang diajukan ke pengadilan untuk tujuan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut Penulis perkawinan beda agama sebaiknya dihindari karena dari segi pencatatannya rumit, terlebih setelah terbitnya SEMA 2/2023. ......Regarding interfaith marriages, the Marriage Law itself returns to the religion and beliefs of each person who wants to get married. The majority of recognized religions in Indonesia prohibit interfaith marriages, but interfaith marriages were still rampant, at least until the issuance of SEMA 2/2023, which prohibits judges from granting applications for registration registered with the court. In this thesis, the author discusses the regulation of interfaith marriages before and after the issuance of SEMA 2/2023. To support the discussion, the author analyzes Stipulation Number 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr related to the marriage application granted after the issuance of SEMA 2/2023. The author uses normative juridical research which is descriptive analytical in order to find answers to the problems that the author raises in this study. From this research, it can be concluded that SEMA 2/2023 does not clearly regulate interfaith marriages because it returns to the Marriage Law, what is clear is that Judges are prohibited from granting applications submitted to the court for the purpose of legal certainty. Therefore, according to the author, interfaith marriages should be avoided due to the complexity of recording, especially after the issuance of SEMA 2/2023.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Chatlia Quranina
Abstrak :
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim. Permasalahan di Indonesia yang masih sering terjadi dan merugikan konsumen beragama islam adalah terkait sertifikat halal. Sesuai dengan ketentuan hukum Islam, umat islam wajib untuk mengkonsumsi makanan halal sebagai salah satu ibadah yang dilakukan. Hal tersebut membuat sertifikat halal menjadi bentuk perlindungan konsumen. Sertifikat halal hadir untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen agar dalam melakukan konsumsi tersebut konsumen mendapatkan informasi yang terjamin terkait makanan dan minuman yang dikonsumsi. Dengan adanya sertifikat halal, dapat memberikan kepastian hukum serta jaminan terkait perlindungan terhadap konsumen. Adapun seringkali terjadi ketidakpastian hukum terkait sertifikat halal tersebut. Dalam memberikan sertifikat halal yang telah terjamin dan pasti, diperlukan banyak lembaga serta pengaturan untuk memastikan bahwa hal tersebut pasti. Di Indonesia telah terdapat banyak peraturan terkait perlindungan pada konsumen, dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen hingga Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Terkait untuk lembaga, di Indonesia terdapat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang memegang kuasa terkait sertifikasi halal. Dalam melakukan perbandingan, negara Singapura merupakan salah satu negara di Asia tenggara yang memiliki latar belakang berbeda dengan Indonesia memiliki pengaturan juga terkait perlindungan konsumen. Singapura, yang masyarakat muslimnya merupakan minoritas memiliki perlindungan terkait sertifikasi halal. Pengaturan tersebut terdapat pada Administration of Act Singapore  yang dijalankan oleh lembaga The Majlis Ugama Islam Singapura. Singapura dapat memberikan perlindungan tersebut dengan menggunakan lembaga serta peraturan yang ada dengan sistematis yang baik. ......Indonesia is a country with a Muslim majority population. The problem in Indonesia that are detrimental to Muslim consumers are related to halal certificates. In accordance with the provisions of Islamic law, Muslims are required to consume halal food as one of the acts of worship performed. Halal certificates exist to provide protection for consumers so that in carrying out these consumption consumers have guaranteed information regarding the sustenance as a form of consumer protection. With the existence of a halal certificate, it can provide legal certainty to consumers. Halal certificates have several issue related to their use, and it is questionable whether they can provide protection for consumers. In providing  halal certificates, many institutions and arrangements are needed to ensure that the certificate is definite. In Indonesia, there are many regulations related to consumer protection, from the Consumer Protection Act to the Halal Product Guarantee Law. Regarding institutions, in Indonesia there is a Halal Product Assurance Organizing Agency which holds the authority regarding halal certification. In making comparisons, Singapore is one of the countries in Southeast Asia which has a different background from Indonesia and has regulations related to consumer protection. Singapore, whose Muslim community is a minority, has an established halal certification. These arrangements are contained in the Singapore Administration of Act which is run by the institution of The Majlis Ugama Islam Singapore. Singapore can provide a halal certificate by using existing institutions and regulations in a good systematic manner.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syidi Sudur Mahabbah
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai instrumen investasi syariah dan penghimpun dana oleh pemerintah. Pasal 25 UU SBSN menetapkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau lembaga lain yang berwenang harus menetapkan fatwa bagi SBSN. Namun, terdapat kekurangan dalam pengaturan ini karena tidak ada kualifikasi dan hubungan kedudukan antara lembaga berwenang, menyebabkan ketidakpastian hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan wawancara dengan DSN MUI dan ahli fatwa untuk membahas pengaturan kualifikasi dan kedudukan lembaga dan dampak dari Pasal 25 UU SBSN. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat empat unsur dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang dapat dijadikan pedoman kualifikasi dari lembaga yang berwenang menetapkan fatwa, yaitu: 1. pengurus lembaga berkompetensi secara keilmuan islam; 2. lembaga independen; 3. Fatwa ditetapkan secara jama’I (kolektif); 4. diberikan kewenangangan oleh negara. Lalu, penelitian ini juga menunjukan bahwa dalam praktiknya di Indonesia memang ada hubungan hirarkis antara lembaga keislaman di Indonesia dimana fatwa dari DSN MUI akan diprioritaskan. ......This study discusses State Sharia Securities (SBSN) as a sharia investment instrument and fundraising by Article 25 of the SBSN Law stipulates that the Indonesian Ulema Council (MUI) or other authorized institutions must issue a fatwa for SBSN. However, there are deficiencies in this arrangement because there is no qualification and position relationship between the competent authorities, causing legal uncertainty. This research uses a normative juridical approach and interviews with DSN MUI and Fatwa experts to analyze the setting of qualifications and institutional positions. It also discusses the impact of Article 25 of the SBSN Law. The results of this study indicate that there are four elements of the MUI's National Sharia Council (DSN) which can be used as qualification guidelines for institutions authorized to issue fatwas, namely: 1. Administrators of institutions with competence in Islamic scholarship; 2. independent institutions; 3. Fatwas are issued collectively; 4. they are given authority by the state. Then, this research also shows that in practice in Indonesia there is indeed a hierarchical relationship between Islamic institutions in Indonesia where fatwa from DSN MUI will be prioritized.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Infrastuti Ardiningrum Edrus
Abstrak :
Jual beli dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya lelang. lelang terbilang belum cukup populer dan jarang digunakan untuk transaksi penjualan barang di Indonesia, sehingga dalam penyelenggaraannya masih terdapat beberapa masalah baik dalam hal ketentuan maupun praktiknya. Hingga saat ini, hukum positif yang memuat pengaturan terkait lelang hanya ada dalam Vendue Reglement dan beberapa peraturan Menteri, sehingga diperlukan adanya reformasi regulasi untuk pengaturan lelang. Akibat dari kurangnya pengaturan yang mengakomodir pelaksanaan lelang, maka kecurangan dalam pelaksanaan lelang kerap berasal dari pihak penyelenggara lelang itu sendiri. Adapun fokus permasalahan dalam penulisan ini adalah penentuan nilai limit, batasan pengambilan keuntungan dalam kegiatan jual beli secara lelang, serta upaya penyempurnaan pengaturan lelang. Berkenaan dengan hal tersebut, penulisan ini akan secara khusus membahas lelang eksekusi benda hasil sitaan. Mengingat bahwa sistem hukum yang ada di Indonesia adalah sistem hukum campuran yang terdiri dari sistem hukum kontinental atau hukum barat, Hukum Islam, dan hukum adat, maka permasalahan terkait lelang ini akan dibahas dengan membandingkan ketentuan. ......Purchase and sell can be done in various ways, one of which is auction. Auction is not quite popular and is rarely used for goods sales transactions in Indonesia, so that in its implementation there are still some problems both in terms of provisions and practice. Until now, the positive law that contains arrangements related to auction only exists in Vendue Regulations and several Ministerial regulations, so that regulatory reform is needed for auction arrangements. As a result of the lack of arrangements that accommodate auction, fraud in auction often originates from the auction organizers themselves. The focus of the problem in this paper is the determination of limit values, limits on profit taking in auction, as well as efforts to improve auction arrangements. With regard to this matter, this writing will specifically discuss the auction of the execution confiscated objects. Given that the legal system in Indonesia is a mixed legal system consisting of continental or western legal systems, Islamic law, and customary law, issues related to this auction will be discussed by comparing the provisions contained in the two legal systems, civil law and Islamic law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library