Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhadi
"Latar Belakang: Infark miokard salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia. MACE (Major Adverse Cardiac Event) adalah komplikasi akut utama yang terjadi pada pasien infark miokard, meliputi gagal jantung akut, syok kardiogenik dan aritmia fatal. Diperlukan biomarker yang akurat, mudah dilakukan dan cost-effective untuk memprediksi MACE dan kematian. Cedera hati hipoksik atau HLI (hypoxic liver injury) adalah salah satu biomarker potensial menggunakan kadar enzim hati transaminase (aspartate transaminase) sebagai parameter. Penelitian ini bertujuan mengetahui peran HLI sebagai prediktor MACE pada pasien infark miokard tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST (NSTEMI).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan keluaran berupa MACE dan kohort retrospektif dengan keluaran kematian selama masa perawatan. Populasi penelitian adalah semua pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM. Sampel penelitian adalah pasien NSTEMI yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada tahun 2006-2016 dan memenuhi kriteria penelitian sebanyak 277 subyek. Penentuan titik potong HLI berdasarkan kadar aspartate transaminase (AST) yang dapat memprediksi MACE dan kematian dihitung dengan kurva ROC. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan POR terhadap MACE dengan memasukkan kovariat. Analisis bivariat mengenai sintasan pasien terhadap kematian dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan diuji dengan Log-rank.
Hasil: MACE pada penelitian ini adalah 51,3% (gagal jantung akut 48,4%, aritmia fatal 6,5%, syok kardiogenik 7,2%) dan angka kematian sebesar 6,13%. Median nilai AST adalah 35 U/L pada seluruh subyek, 40 (8-2062) U/L pada subyek dengan MACE dan 31 (6-1642) U/L dengan subyek tanpa MACE (p 0,003). Nilai titik potong yang diambil untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L (sensitivitas 21,8%, spesifisitas 89,6%, POR 2,727 (IK 95% 1,306-5,696), p 0,006). Pada analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara HLI dengan MACE. Nilai titik potong untuk memprediksi kesintasan terhadap kematian adalah 99,0 U/L (sensitivitas 23,5%, spesifisitas 83,8%, likelihood ratio + 1,46). Tidak didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna antara subyek dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar AST.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan median nilai AST yang bermakna pada pasien NSTEMI dengan dan tanpa MACE. Titik potong kadar AST untuk memprediksi MACE adalah 101,0 U/L. Titik potong kadar AST untuk memprediksi kesintasan adalah 99 mg/dl. Tidak terdapat perbedaan kesintasan pada pasien dengan nilai HLI di bawah dan di atas titik potong kadar AST.

Background: Myocard infarction (MI) is the leading cause of death around the world. Major Adverse Cardiac Events (MACE) complicating MI are acute heart failure, cardiogenic shock and fatal arrhytmia. An accurate, easy and cost-effective biomarker is needed to predict MACE and mortality in patients with MI. Hypoxic liver injury (HLI) is a potential biomarker using aspartate transaminase (AST) level as the parameter. This study is aimed to discover HLI's role in predicting MACE in Non ST Elevation Myocard Infarct (NSTEMI).
Method: This study is designed as cross sectional to predict MACE and prospective cohort for survival analysis. Study population is all NSTEMI patients admitted to ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital and study sample are NSTEMI patients admitted to ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital that meets all criteria during 2006-2016 (277 subjects). Cut-off level of AST for HLI to predict MACE and mortality is analyzed using ROC curve and AUC. Survival analysis is done using Kaplan Meier curve and the difference is tested with Log-Rank.
Result: Incidence of MACE in this study is 51.3% (acute heart failure 48.4%, fatal arrhytmia 6.5%, cardiogenic shock 7.2%) and mortality rate is 6.13%. The median of AST level on all subject is 35 U/L, 40 (8-2062) U/L in subjects with MACE and 31 (6-1642) U/L in subjects without MACE (p 0.003). Cut-off level for AST used to predict MACE is 101 U/L (sensitivity 21.8%, specificity 89.6%, POR 2.727 (CI 95% 1.306-5.696), p 0.006). In multivariate analysis, HLI is insignificantly related to MACE. Cut-off level for AST used to predict survival is 99 U/L (sensitivity 23.5%, specificity 83.8%, likelihood ratio + 1.46). There are no significant difference of survival between groups with HLI level below and above the cut-off AST level.
Conclusion: There is significant differences of median AST level between NSTEMI patients with and without MACE. Cut-off level for AST used to predict MACE is 101 U/L. Cut-off level for AST used to predict survival is 99 U/L. There are no significant difference of survival between groups with AST level below and above the cut-off AST level."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afriadi Hamdan
"Latar belakang: IKPP merupakan salah satu pilihan terapi reperfusi. Kesintasan pasien pasca IKPP dipengaruhi berbagai faktor. Namun, dari hasil penelitian lain pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kesintasan memiliki hasil yang kontradiktif.
Tujuan: Mengetahui kesintasan satu tahun pasien yang menjalani IKPP di RSCM
dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan dengan menelusuri RM pasien yang menjalani IKPP di RSCM periode Januari 2014 hingga Desember 2019. Pasien diamati selama satu tahun dengan luaran berupa mortalitas kardiovaskular. Analisis kesintasan dilakukan dengan metode Kaplan-Meier dan uji log rank untuk melihat kemaknaannya. Setelah itu, dilakukan analisis multivariat. Hasil: Didapatkan sebanyak 220 pasien untuk diteliti. Kesintasan satu tahun pasien pasca IKPP di RSCM sebesar 88,2% (SE 0,254) dengan rerata usia sebesar 54,96 ± 9,51 tahun di mana usia < 60 tahun (72,3%), laki-laki (85%), hiperglikemia (65%), Killip I-II (74,1%), dan lesi anterior (89,5%) memiliki proporsi lebih banyak.
Sedangkan, obesitas (39,5%), kadar kreatinin serum tinggi (34,1%), dan PJK 3PD (45,5%) memiliki proporsi yang lebih sedikit. Rasio monosit-HDL memiliki nilai median 14,53 (0 – 61,4). Dari analisis multivariat didapatkan usia > 60 tahun dengan HR 4,25 (IK95% 1,93 – 9,37), kreatinin serum tinggi dengan HR 2,41 (IK 95% 1,08 – 5,33), dan nilai Killip III-IV dengan HR 4,06 (IK 95% 1,83 – 9,00) memengaruhi kesintasan satu tahun pasien pasca IKPP. Kesimpulan: Kesintasan satu tahun pasca IKPP di RSCM sebesar 88,2% (SE 0,254), dipengaruhi oleh usia, rasio monosit-HDL, dan nilai Killip.

Background: Primary PCI plays important roles as reperfusion therapy in STEMI.
The survival rate of post-Primary PCI patients is affected by some of risk factors.
However, the effect of these factors on survival has contradictory results from
others studies.
Objective: To assess the one-year survival of patients undergoing Primary PCI in
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia (RSCM) and factors
affecting.
Method: A retrospective cohort study was conducted by tracing the medical
records of patients undergoing Primary PCI at RSCM for the period January 2014
to December 2019. Patients were observed for one year after Primary PCI for
cardiovascular mortality outcomes. Survival analysis was performed using the
Kaplan-Meier method, then log rank test to see its significance. Then, multivariate
analysis was performed.
Results: There were 220 patients to be studied. One-year survival rate of patients
undergoing Primary PCI in RSCM is 88.2% (SE 0.254). The mean age of this study
is 54.96 ± 9.51 years with groups of age < 60 years, males, hyperglycemia on
admission, Killip I-II, and anterior lesions had higher proportions (respectively:
72.3%, 85%, 65%, 74.1%, and 89.5%). Meanwhile, the groups of obesity, high
serum creatinine level, and CAD 3VD had lower proportions (39.5%, 34.1%, and
45.5%, respectively). The monocyte-HDL ratio has a median value of 14.53 (0 –
61.4). The variables of age > 60 years, high serum creatinin, and Killip III-IV values
affect one-year survival with HR 4.25 (CI95% 1.93 – 9.37), 2.41 (CI95% 1.08 –
5.33), and 4.06 (CI95% 1.83 – 9,00), respectively.
Conclusion: One year survival after Primary PCI in RSCM is 88.2% (SE 0.254),
affected by age, high serum creatinine, and Killip scores.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Febriani Putri
"Latar Belakang Walaupun mendapatkan terapi antiretroviral (ARV), inflamasi kronik akibat infeksi HIV dikombinasikan dengan faktor-faktor lain menyebabkan proses penuaan lebih dini pada pasien HIV/AIDS, salah satu tandanya risiko jatuh.
Tujuan Mengetahui proporsi kejadian jatuh dan risiko jatuh serta faktor faktor yang berhubungan pada pasien HIV/AIDS dalam terapi ARV.
Metode Studi potong lintang dilakukan pada pasien HIV/AIDS berusia > 40 tahun dalam terapi ARV minimal 6 bulan. Pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pencatatan data demografis, pengukuran antropometri, faktor terkait HIV, terapi ARV, komorbid, obat, penilaian depresi dengan Indo-BDI-II, neuropati dengan kriteria Toronto, frailty dengan kriteria Fried, dan risiko jatuh dengan uji Timed Up and Go (TUG). Pasien menolak, tidak dapat berjalan dan memiliki gangguan motorik dieksklusi. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada faktor-faktor tersebut.
Hasil Dari 102 sampel didapatkan proporsi kejadian jatuh 24,5% dan risiko jatuh sebesar 51,96%. Subjek mayoritas laki-laki (83,3%), median usia (IQR) 45 (5) tahun, CD4 nadir median (IQR) 71,5 (220,25) sel/mm3, CD4 saat ini median (IQR) 495,5 (361) sel/mm3, komorbid terbanyak hepatitis C (31,3%), polifarmasi 21,6% subjek, dalam terapi lini 2 ARV (10.78%), depresi (14,71%), neuropati 38,2%) prefrail 53,9% dan frail 14,7%, penapisan demensia 14,7%. Faktor yang berhubungan dengan risiko jatuh adalah prefrail/frail (OR 6,395, IK95% 2,348-17,417 p<0,001) riwayat jatuh (OR 3,162 IK95% 1,085-9,212 p 0,035) dan penggunaan Efavirenz (OR 5,878 IK95% 1,083-31,906 p 0,040).
Kesimpulan Proporsi kejadian jatuh pada pasien HIV/AIDS dalam terapi ARV meyerupai populasi geriatri non HIV dengan risiko jatuh 52%. Faktor yang behubungan adalah status prefrail/frail, riwayat jatuh sebelumnya, dan penggunaan Efavire

Background Despite given Antiretroviral Therapy (ART), chronic inflammation due to HIV infection combined with other factors implicate in the early aging process. Fall risk is one of the aging symptoms that can be assessed objectively.
Aims To determine proportion of any fall and factors associated with risk of fall in PLWH undergoing antiretroviral therapy.
Methods cross sectional study in PLWH aged 40 years or older who has take ART at least for 6 months. Data were recorded in subjects fulfilled inclusion criteria, including demographic data, anthropometry measurements, HIV related factors, comorbidities, drugs prescribed, depression using Indo-BDI-II questionnaire, neuropathy assesment sing Toronto Scoring criteria, Fried criteria frailty, and fall risk assessed by Timed Up and Go Test. Patients denied to participate, unable to walk, or having motoric abnormality in upper extremity was excluded. Bivariat and multivariat analysis was carried out to these factors.
Results among 102 subjects, proportions of any falls was 24,5% subjects and proportions of fall risk was 52%. Most of subjects were male (83,3%), median of age (IQR) was 45 (5) years, with nadir CD4 (IQR) was 71,5 (220,25) cell/mm3 and current CD4 was 495,5 (361) cells/mm3. Hepatitis C was the most comorbid disease (31,3%), polypharmacy prescribed in 21,6%, and 10,8% were in LPV/r therapy. Factors included were depression found in 14,7%, neuropathy in 38,2%m prefrail 53,9%, frail 14,7%, and patients positive screened for dementia 14,7%. Significant factors associated with risk of fall were prefrail/frail status (OR 6,395, IK95% 2,348-17,417 p<0,001), history of fall (OR 3,162 IK95% 1,085-9,212 p 0,035), and under EFV prescription (OR 5,878 IK95% 1,083-31,906 p 0,040).
Conclusion proportion of any fall in PLWH undergoing antiretroviral therapy resembled those in geriatric population, with high rate of fall risk up to 52% of the patients. Factors associated with risk of fall were frail/prefrail status, history of previous fall, and current EFV use.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Rasco Sandy
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (FA) awitan dini pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi yang sering terjadi. Aritmia ini merupakan fenomena sementara dan mayoritas pasien akan mengalami konversi ke irama sinus saat dipulangkan. Meskipun bersifat sementara, FA awitan baru pasca-BPAK berpotensi mengalami rekurensi sehingga dapat meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang.
Tujuan. Mengetahui peran FA awitan baru pasca-BPAK dalam mempengaruhi kesintasan tiga tahun.
Metode. Studi dengan desain kohort retrospektif menggunakan analisis kesintasan yang meneliti 196 pasien yang menjalani BPAK di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam rentang waktu Januari 2012 sampai Desember 2015. Eksklusi dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat FA sebelum operasi, menjalani operasi tanpa mesin pintas jantung-paru, dan yang meninggal dalam 30 hari pascaoperasi. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan ada tidaknya FA awitan baru pasca-BPAK, yang selanjutnya ditelusuri status kematiannya dalam tiga tahun sejak operasi. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menilai kesintasan tiga tahun dan dilakukan uji regresi Cox sebagai uji multivariat terhadap variabel perancu (usia ≥60 tahun, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, gangguan ginjal, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah) untuk mendapatkan nilai adjusted hazard ratio (HR).
Hasil. Sebanyak 29,59% pasien mengalami FA awitan baru pasca-BPAK. Angka mortalitas tiga tahun pasien yang mengalami FA awitan baru pasca-BPAK baru lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalaminya (15,52% vs 3,62%). Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara signifikan menurunkan kesintasan tiga tahun (p=0,008; HR. Pada analisis multivariat, FA awitan dini pascaBPAK merupakan faktor independen terhadap penurunan kesintasan tiga tahun (adjusted HR 4,04; IK 95% 1,34-12,14).
Simpulan. Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara independen menurunkan kesintasan tiga tahun.

Background. New-onset atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting (CABG) is a common postoperative complication. This arrhytmia considered as temporary phenomenon which the majority are converted back to sinus rhythm when the patients discharged from the hospital. Despite its transience, those arrhythmia can recur and increasing the long term mortality.
Objective. To determine the role of new-onset atrial fibrillation after CABG on three year survival.
Method. This is a retrospective cohort study using survival analysis of patients who underwent coronary artery bypass grafting since January 2012 to December 2015 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients who had atrial fibrillation before surgery, who had surgery without cardiopulmonary bypass machine, and who died in 30 days after surgery were excluded. Subjects were divided into two category based of the presence of newonset atrial fibrillation after CABG and the mortality status was followed up until 3 years post-surgery. The Kaplan-Meier curve was used to determine the three-year survival of the patients who had new-onset atrial fibrillation after CABG and Cox regression test used as multivariate analysis with confounding variables in order to get adjusted hazard ratio (HR).
Result. New-onset atrial fibrillation after CABG occurred in 29,59% patients. Patients with new-onset atrial fibrillation after CABG had higher three-year mortality (15,52% vs 3,62%). New-onset atrial fibrillation after CABG significantly decreased three-year survival (p=0,008; HR 4,42; 95% CI; 1,49-13,2). In multivariate analysis, it was concluded that new-onset atrial fibrillation after CABG was an independent factor of the three-year survival decline (adjusted HR 4,04; 95% CI; 1,34-12,14).
Conclusion. New-onset atrial fibrillation after CABG independently decreased the threeyear survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Andrea Christiano Djianzonie
"Latar Belakang : Karsinoma Sel Hati (KSH) merupakan kanker dengan prognosis yang buruk dan Indonesia termasuk negara dengan prevalensi hepatitis B yang tinggi. Performa alfa fetoprotein (AFP) sebagai penanda tumor pada surveilans KSH terutama dipengaruhi oleh etiologi penyakit hati yang mendasari. Titik potong AFP untuk surveilans KSH di Indonesia tidak berdasarkan etiologi penyakit hati yang mendasari.
Tujuan : Mengetahui titik potong terbaik pemeriksaan biomarker AFP untuk surveilans KSH dengan etiologi hepatitis B kronik.
Metode : Penelitian mengambil data rekam medis Divisi Hepatobilier RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode tahun 2017-2023. Sebanyak 506 subjek hepatitis B kronik semua spekturm (hepatitis B tanpa sirosis, sirosis hati, dan KSH stadium awal BCLC 0 dan A) diambil secara total sampling dalam kurun waktu 26 Juli 2023 hingga 31 Agustus 2023. Penentuan nilai titik potong AFP dilakukan dengan metode receiver operating characteristics (ROC).
Hasil : Untuk surveilans KSH dengan etiologi hepatitis B, analisis kurva ROC memberikan area under the curve (AUC) didapatkan 0.792 (IK 95%, 0.719-0.866), dan titik potong dengan index Youden tertinggi adalah 8.7 ng/ml, dengan nilai sensitivitas 58%, spesifisitas 94%, nilai duga positif (NDP) 56.14%, nilai duga negatif (NDN) 94.43%. Analisis kurva ROC dilanjutkan berdasarkan status sirosis pasien. Untuk menentukan titik potong yang membedakan KSH dengan sirosis hati dari sirosis hati saja, menghasilkan AUC 0.803 (IK 95%, 0.722-0.884) dengan titik potong yang didapatkan adalah 8.6 ng/ml, dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, dan RK + adalah 60.5%, 92.4%, 45,10%, 95,24%, dan 7,09 masing-masing. Untuk menentukan titik potong yang membedakan KSH tanpa sirosis hati dari hepatitis B kronik tanpa sirosis hati, menghasilkan AUC 0.777 (IK 95%, 0.631-0.923) dengan titik potong yang didapatkan adalah 6.6 ng/ml yang memberikan hasil sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, dan RK positif adalah 63.16%, 98.35%, 85.71%, 94.44%, dan 38.21 masing-masing.
Kesimpulan : Titik potong surveilans KSH dengan etiologi spesifik hepatitis B lebih rendah dibandingkan dengan nilai titik potong AFP surveilans KSH sebelumnya yang tidak spesifik etiologi. Nilai titik potong 8.7 ng/ml menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas terbaik untuk titik potong surveilans KSH dengan etiologi hepatitis B. Pada pasien KSH non sirosis, titik potong surveilans AFP lebih rendah yakni 6.6 ng/ml. Hal ini perlu menjadi perhatian klinisi dalam surveilans kelompok pasien hepatitis B kronik tanpa sirosis.

Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is a cancer with a poor prognosis. Indonesia is a country with a high prevalence of chronic hepatitis B infection. The performance of alpha fetoprotein (AFP) as a tumor marker in HCC surveillance is primarily influenced by the etiology of the underlying liver disease. The AFP cutoff value for HCC surveillance in Indonesia is not based on the etiology of the underlying liver disease.
Objective: To determine the best cut-off value of AFP biomarker examination for HCC surveillance in chronic hepatitis B patients.
Methods: The study took medical record data from the Hepatobiliary Division of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo for the 2017-2023 period. A total of 506 chronic hepatitis B subjects of all spectrums (hepatitis B without cirrhosis, liver cirrhosis, and early stage HCC, BCLC 0 and A) were taken by total sampling in the period 26 July 2023 to 31 August 2023. Determination of the AFP cut-off value was carried out using the receiver operating characteristics (ROC) method.
Results: For HCC surveillance caused by hepatitis B virus, ROC curve analysis gave an area under the curve (AUC) of 0.792 (95% CI, 0.719-0.866), and the cut-off value with the highest Youden index was 8.7 ng/ml, with a sensitivity value of 58%, specificity 94%, positive predictive value (PPV) 56.14%, negative predictive value (NPV) 94.43%. ROC curve analysis was then performed based on the patient's cirrhosis status. ROC curve analysis to determine the cut-off point that distinguishes HCC with liver cirrhosis from liver cirrhosis alone, resulted in an AUC of 0.803 (95% IK, 0.722-0.884) with a cut-off point 8.6 ng/ml, with sensitivity, specificity, PPV, NPV, and LR+ of 60.5%, 92.4%, 45.10%, 95.24%, and 7.09 respectively. ROC curve analysis to determine the cut-off point that distinguishes HCC without liver cirrhosis from chronic hepatitis B without liver cirrhosis resulted in an AUC of 0.777 (95% CI, 0.631-0.923) with a cut-off point 6.6 ng/ml which gave sensitivity, specificity, PPV, NPV, and LR positive results of 63.16%, 98.35%, 85.71%, 94.44%, and 38.21 respectively.
Conclusion: The cut-off value of AFP in HCC surveillance on hepatitis B specific etiology is lower than the cut-off value of AFP in previous HCC surveillance which was not etiology specific. The cut-off value of 8.7 ng/ml produces the best sensitivity and specificity for the cut-off value for HCC surveillance with hepatitis B etiology. In non- cirrhotic HCC patients, the AFP surveillance cut-off point is lower than cirrhotic HCC patients (6.6 ng/ml). This needs to be of concern to clinicians in surveillance of groups of chronic hepatitis B patients without cirrhosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Lestari
"ABSTRAK Latar Belakang: Depresi adalah komorbid kejiwaan yang paling sering ditemui pada penyakit kronik. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang saat ini dianggap sebagai penyakit kronik akibat manfaat terapi kombinasi anti retroviral (ARV), depresi berefek langsung terhadap luaran dan kepatuhan berobat pasien. Selain faktor biologis penyakit kronik dan stressor sosial, depresi juga dapat disebabkan oleh efek samping obat. Perhatian khusus perlu diberikan kepada pasien HIV yang mendapatkan efavirenz (EFV) yang telah diketahui memiliki efek samping depresi dan saat ini merupakan komponen pilihan utama pada terapi kombinasi ARV lini 1.
Tujuan: Mengetahui proporsi depresi pada pasien mendapatkan terapi EFV jangka panjang dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian depresi pada pasien HIV.
Metode. Dilakukan studi potong lintang terhadap 251 pasien HIV yang berobat jalan di Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo dari bulan Juni hingga September 2018. Diagnosis depresi dilakukan melalui penapisan menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II) versi Bahasa Indonesia dan diagnosis menurut kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5 (DSM-5) dengan cara melakukan anamnesis. Analisis bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square. Variabe numerik dianalisis dengan T-test pada data dengan sebaran normal dan Mann-Whitney pada data sebaran tidak normal. Variabel-variabel bermakna selanjutnya dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil. Dari 251 pasien dengan HIV yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subyek penelitian, didapatkan proporsi depresi sebesar 23,5% (IK 95 % 18.25%-28.74). Jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, adanya dukungan sosial, kadar CD4 nadir, riwayat infeksi intrakranial, dan penggunaan zat psikotropika, narkotika atau alkohol tidak berhubungan dengan kejadian depresi pada pasien HIV yang mendapatkan efavirenz jangka panjang. Dari analisis bivariat didapatkan variabel kelompok usia 36-55 tahun, durasi mendapatkan EFV dan homoseksual berhubungan dengan depresi. Berdasarkan analisis multivariat didapatkan bahwa variabel usia 36-55 tahun (OR=0,454; 95% CI 0,244-0,845) dan durasi penggunaan EFV berhubungan dengan depresi pada penggunaan EFV lebih dari satu tahun (OR 0,843; IK 95% 0,755-0,940).
Kesimpulan. Proporsi depresi pada pasien HIV yang mendapatkan EFV jangka panjang adalah 23,5% (IK 95% 18,25%-28,74). Kelompok usia 36-55 tahun berhubungan dengan kecenderungan lebih sedikit mengalami depresi dibandingkan kelompok usia <35 tahun, dan pemakaian EFV berhubungan dengan kecenderungan semakin sedikit mengalami depresi(OR 0,843; IK 95% 0,755-0,940).

ABSTRACT
Background: Depression is considered as the most important psychiatric comorbid in Human Immunodeficiency Virus infection milestones. Special attention should be given to PLWH in long term efavirenz, the first choice for combination therapy in Indonesia since 2012, which also known for neuropsychiatric adverse effect. Aim: To determine the prevalence of depression in PLWH in long-term EFV therapy and contributing factors. Method. A cross-sectional study of 251 HIV-infected adults was conducted at the HIV integrated unit clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital from June to September 2018. The eligible subject was screened using Beck Depression Inventory-II and diagnosis of depression was made according to Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5 by doing structured interview. Bivariate analysis was conducted using Chi Square test and Mann-Whitney test. Significant variables were analyzed with multivariate analysis using logistic regression test. Result. From 251 eligible subjects, the prevalence of depression is 23.5% (95% CI 18.25%-28.74). Bivariate analysis shows variable of group of age 36-55 years, EFV duration and homosexuality are associated with depression but multivariate analysis showed only variable of age of 36 to 55 years old (OR=0.454; 95% CI 0.244-0.845) and EFV duration is associated independently with depression (p 0.002, OR 0.843; 95% CI 0.755-0.940). Conclusion. Prevalence of depression in people living with HIV in long-term efavirenz therapy is 23.5% (CI 95% 18.25%-28.74), group of age of 36 to 55 years is tend to have lesser depression than age <35 years and the longer duration of EFV is associated with the lesser tendency of depression.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Goretti,author
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian teh hijau
terhadap stres oksidatif postprandial pasca asupan makanan tinggi lemak pada
individu dewasa muda sehat. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan
desain alokasi acak menyilang tersamar tunggal yang melibatkan 19 orang
subyek, 8 laki-laki dan 11 perempuan, dengan median usia 20 tahun (19–
21tahun). Subyek penelitian diberikan 6 g teh hijau dalam 300 mL air atau air
putih setelah mengonsumsi burger dengan total energi 1066 kkal dan komposisi
lemak 57,71% pada dua kesempatan yang berbeda. Kadar MDA plasma diukur
pada awal dan 2 jam setelah mengonsumsi makanan dan minuman yang
diberikan. Median perubahan kadar MDA plasma pada pemberian teh hijau
adalah 0,04 (-0,19–0,11) dan rerata perubahan kadar MDA plasma pada pemberian
air putih adalah 0,01 ± 0,04. Tidak didapatkan perbedaan bermakna perubahan
kadar MDA plasma 2 jam postprandial antara pemberian teh hijau dibandingkan
dengan pemberian air putih (p=0,296). Pada penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa konsumsi teh hijau dosis tunggal pasca asupan makanan tinggi lemak tidak
memberikan penurunan stres oksidatif postprandial pada individu dewasa muda
sehat.

ABSTRACT
The objective of this study was to evaluate the ability of green tea cathecins to
modify postprandial oxidative stress after a high-fat meal in healthy young adults.
This is a randomized, single-blind, placebo-controlled trial which involved 19
subjects, 8 men and 11 women, with median age 20 years (19–21 years) After
consuming a high-fat burger (1066 kcal with 57,71% fat), subjects were given 6 g
green tea in 300 ml water or drinking water on two separate occasions. Blood
samples were collected pre-meal (fasted) and 120 min post meal, and assayed for
plasma malondialdehyde (MDA). Median changes of MDA concentration after
green tea was 0,04 (-0,19–0,11) and mean changes of MDA concentration after
drinking water was 0,01 ± 0,04. There was no significant difference of MDA
concentration changes between green tea and drinking water. The data indicate
that consuming single dose green tea after a high-fat meal could not attenuate
postprandial oxidative stress in healthy young adult."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
"Rasio Netrofil-Limfosit (RNL) adalah pemeriksaan laboratorium murah dan mudah didapatkan dimanapun, dan saat ini berkembang menjadi penanda luaran pada berbagai kondisi, termasuk pada Sindrom Koroner Akut (SKA). RNL menggabungkan dua jalur inflamasi berbeda (netrofil dan limfosit) untuk memprediksi luarannya, dan beberapa studi telah menunjukkan manfaatnya dalam memprediksi Major Adverse Cardiac Events (MACE). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan manfaat RNL dalam stratifikasi risiko SKA pada populasi Indonesia, dan menentukan nilai titik potong RNL untuk peningkatan risiko MACE.
Metode: 380 rekam medis pasien SKA dari Januari 2012-Agustus 2015 diikutkan dalam studi ini. Karakteristik, faktor risiko kardiovaskuler, dan hasil pemeriksaan laboratorium subjek dikumpulkan dan diikuti secara retrospektif untuk menilai kemunculan MACE (aritmia, infark ulang, in-stent restenosis, gagal jantung akut, syok kardiogenik, kematian) selama perawatan. Nilai RNL didapatkan dari pembagian hitung netrofil dan limfosit absolut. Analisis statistik untuk menentukan nilai titik potong RNL dan penyesuaian untuk faktor perancu dilakukan untuk memvalidasi hasil.
Hasil: Subjek mayoritas merupakan laki-laki, dengan rerata usia 57,92 tahun. Hipertensi dan merokok merupakan faktor risiko yang paling sering ditemukan. Rerata RNL subjek adalah 4,72, dan MACE ditemukan pada 73 kasus (19,2%). Setelah analisis ROC, didapatkan nilai titik potong sebesar 3.55 (sensitivitas 72,6%, spesitifitas 60,6%, AUC 0.702). Ditemukan bahwa terdapat peningkatan insidens MACE pada kelompok RNL>3.55 (30.47% vs 9.71% pada ≤3.55, p<0.001). Setelah penyesuaian untuk faktor perancu, RNL>3.55 tetap signifikan dalam memprediksi MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (IK95% 1,401-4,922)).
Kesimpulan: RNL>3.55 adalah prediktor independen untuk kejadian MACE.

Background: Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR) is a low-cost, readily available laboratory examination in various places, and is currently emerging as a prognostic marker for various conditions, including Acute Coronary Syndrome (ACS). NLR, which combines two different inflammatory pathways (neutrophil and lymphocyte), have been shown by several studies to be useful in predicting Major Adverse Cardiac Events (MACE). This study aims to prove NLR’s use in ACS risk stratification in Indonesians and determine a cutoff level for MACE risk increase.
Methods: 380 ACS patients’ medical records from January 2012 to August 2015 were included in this study. Subjects’ characteristics, cardiovascular risk factors and laboratory findings were collected, and retrospectively followed to evaluate for MACE (arrhythmia, reinfarction, in-stent restenosis, acute heart failure, cardiogenic shock, death) during hospitalization. NLR value was calculated from neutrophil and lymphocyte counts division. Statistical analysis to determine NLR cutoff point for MACE risks, and adjustment for confounding factors were done for results validation.
Results: Subjects were predominantly male, with average age of 57.92 years old. Hypertension and smoking were the most frequent risk factors found. Average NLR was 4.72, and MACE was found in 73 cases (19.2%). After ROC analysis, a cutoff of 3.55 was determined to be satisfactory (sensitivity 72.6%, spesitivity 60.6%, AUC 0.702). It was found that there is a significant increase in MACE incidence in NLR>3.55 (30.47% vs 9.71% in ≤3.55, p<0.001). After adjusting for confounding factors, NLR>3.55 was still significant in predicting MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (CI95% 1,401-4,922)).
Conclusion: NLR>3.55 is an independent predictor of in-hospital MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Ari
"ABSTRAK
Efek samping gastroduodenal sering terjadi pada pengunaan aspirin jangka panjang, bahkan pada dosis yang sangat rendah (10 mg/hari). Saat ini angka kejadian kerusakan mukosa gastroduodenal akibat penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan gambaran endoskopi kerusakan mukosa gastroduodenal pada pengguna aspirin dosis rendah jangka panjang pada pasien yang berobat di RSCM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien poliklinik dan ruang perawatan RSCM usia ≥ 18 tahun yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (75-325 mg) lebih dari 28 hari. Didapatkan 95 subjek penelitian melalui metode konsekutif dalam periode Desember 2015 ? April 2016. Temuan endoskopi berupa erosi mukosa dan ulkus peptikum dimasukkan ke dalam kelompok kerusakan mukosa. Hasil: Kerusakan mukosa gastroduodenal ditemukan pada pada 49 subjek (51,6% (95% IK 41,6-61,7%)), dengan gambaran erosi mukosa pada 38 subjek (40% (95% IK 30,2-49,9%)) dan ulkus peptikum pada 11 subjek (11,6% (95% IK 5,2-18,0%)). Hanya 44,9% pasien dengan kerusakan mukosa gastroduodenal memiliki keluhan dispepsia. Kombinasi antitrombotik meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mukosa (OR 3,3 (95% IK 1,3 ? 8,5)). Sedangkan penggunaan obat golongan proton pump inhibitors (PPI) menurunkan risiko (OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)). Kesimpulan: Kerusakan mukosa gastroduodenal terjadi pada lebih dari separuh pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah jangka panjang. Kombinasi aintitrombotik meningkatkan risiko kerusakan mukosa. Sedangkan penggunaan PPI efektif dalam menurunkan risiko tersebut.

ABSTRACT
Background: Long-term aspirin therapy can induces gastroduodenal mucosal injury, even in a very low dose (10 mg daily). The frequency of gastroduodenal injuries among long-term low-dose aspirin users in Indonesia is currently unknown.Aim: To determine the gastroduodenal mucosal injury prevalence, endoscopic findings, and influencing factors among long-term low-dose aspirin users in RSCM. Methods: This study was a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were ≥ 18 years old patients that have been using low-dose aspirin (75-325 mg) for at least the preceding 28 days. Ninety five subjects were recruited consecutively in the period of December 2015 ? April 2016. Endoscopic findings such as erosions and ulcers were assessed as mucosal injuries. Results: Mucosal injury was found in 49 subjects [51.6% (95% CI 41.6?61.7%)]; mucosal erosion in 38 subjects [40% (95% CI 30.2?49.9%)] and ulcers in 11 subjects [11.6% (95% CI 5.2?18.0%)]. Only 44.9% patients with mucosal injury had dyspepsia symptoms. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury [OR 3.3 (95% CI 1.3?8.5)]. However, proton pump inhibitor (PPI) decreases the risk [OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)]. Conclusions: Gastroduodenal mucosal injury was found in more than half of long-term low-dose aspirin users. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury, while PPI effectively reduced the risk.;"
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>