Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
T. Elfani Prassanti
Abstrak :
Jepang mengalami dua kali peristiwa ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi tinggi dan Bubble Economy. Bubble Economy, baik pada masa emasnya maupun kejatuhannya telah mengakibatkan perubahan khususnya pada pola pikir generasi muda Jepang tentang bekerja serta pada perubahan sistem perusahaan Jepang. Kedua faktor tersebut memunculkan generasi furiitaa yang merujuk kepada anak muda yang tidak bekerja sebagai pegawai tetap seperti orang tua mereka dulu, namun menggantungkan hidupnya pada pekerjaan paruh waktu. Menjadi furiitaa baik sukarela maupun terpaksa memiliki dilema tersendiri berkaitan dengan posisinya. Tetapi tidak hanya itu, keberadaan furiitaa di tengah-tengah masyarakat Jepang juga ditakutkan akan mernbawa permasalahan baru. Sehingga pemerintah perlu untuk melakukan usaha-usaha tertentu berkaitan dengan bertambahnya jumlah furiitaa setiap tahunnya. Skripsi ini bertujuan untuk mengkaji tentang fenomena furiitaa dilihat dari latar belakang Bubble Economy Jepang serta usaha yang dilakukan pemerintah agar jumlah furiitaa tidak terus bertambah.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S13645
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Wulandari
Abstrak :
Beberapa orang mengatakan pemasaran adalah suatu hal yang universal. Aktifitas pemasaran merupakan aktifitas yang disesuaikan dengan kondisi di sekitarnya. Penulis menganggap kondisi masyarakat Jepang menarik untuk dilihat dari segi pemasaran. Seperti tadi dikatakan, pemasaran tergantung pada lingkungan sekitar,hal itu berarti pemasaran Jepang tentu saja disesuaikan dengan lingkungan masyarakat Jepang. Skripsi ini memaparkan tentang manajemen pemasaran Jepang dilihat dari kinerja Toyota Motor Corporation .Ada dua hal yang menyebabkan penulis memilih Toyota Motor Corporation sebagai tema. Pertama, kompetisi manufaktur kendaraan di pasar dunia memang sulit, tetapi Toyota telah berhasil menembus pasar dunia dan menempati urutan ketiga dalam penjualan tingkat dunia. Urutan pertama ditempati oleh General Motor dan urutan kedua dipegang oleh Ford. Alasan kedua pemilihan Toyota sebagai tema adalah, di Jepang sendiri, Toyota berhasil menguasai pangsa pasar mayoritas dari kendaraan roda empat. Toyota Motor Corporation memegang bagian sebesar 40,8% dengan urutan keduanya adalah Nissan yang hanya memiliki 16,9% bagian.Kelebihan Toyota Motor Corporation dalam manajemen pemasaran itu sendiri terletak pada Sistem Produksi Toyota. Taichi Ono adalah penemu Sistem Produksi Toyota dan telah membuktikan dirinya sebagai pegawai Toyota berdaya kreasi dan inovasi. Kemampuan Taichi Ono ini didedikasikan untuk kesuksesan Toyota. Tentu saja karena Sistem Produksi Toyota lahir di dalam Toyota maka Toyota menguasai penggunaan sistem tersebut dengan sangat memuaskan. Adanya Sistem Produksi Toyota menjadikan produksi Toyota menjadi tetap stabil bahkan bila keadaan pasar berubah. Toyota dengan Sistem Produksi Toyota-nya mampu memenuhi keinginan konsumen melalui kualitas produk yang balk. Inilah yang menjadi kunci keberhasilan Toyota.Keistimewaan lain adalah dukungan dari jaringan distribusi dan pemasok Toyota yang telah ada sejak 1930-an hingga kini. Dimulai dari pendirian Toyota Motor Sales oleh Kamiya Shotaro pada tahun 1950, Toyota mulai memperluas jaringanpemasarannya, dan bahkan menjadi pelopor strategi yang efektif dalam penjualan mobil. Strategi yang efektif ini berupa pemisahan dealer sesuai dengan jenis mobil yang akan dijual, dengan pemisahan dealer maka aktivitas pemasaran untuk jenis mobil tertentu bisa difokuskan sesuai target penjualan. Cara seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga saat ini jaringan dealer tersebut menjadi kuat. Jaringan yang kuat memudahkan arus perpindahan produk dan produsen ke konsumen. Dengan kata lain, penjualan produk Toyota berjalan dengan lancar sesuai target.Manajemen pemasaran seperti ini membawa Toyota berhasil menembus pasar global dan menjadikan Toyota sebagai salah satu perusahaan yang mendominasi pasar negeri sendiri.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13474
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Gunawan
Abstrak :
Idol atau dalam pelafalan Jepang, aidoru adalah salah satu fenomena dalam kebudayaan popular Jepang. Fenomena ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an yang dilatarbelakangi oleh perubahan dalam sistem kemasyarakatan Jepang sebagai dampak dari meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat secara ekonomi sehingga berpengaruh pula terhadap pandangan dan gaya hidup mereka. Fenomena aidoru sendiri merupakan sebuah gejala yang sangat menarik dalam masyarakat Jepang dimana mereka seperti memiliki penafsiran dan konsep sendiri terhadap kata idol. Sehingga konsep aidoru di Jepang tentunya tidak sama dengan konsep idol di negara lain. Pandangan masyarakat Jepang terhadap konsep aidoru berubah dari masa ke masa. Pada masa awal kemunculannya sekitar tahun 1970-an masyarakat memandang aidoru sebagai sosok ideal wanita Jepang (yamato nadeshiko). Pada periode tahun 1980-an yang Iahir fenomena _idol boom_ yaitu fenomena rnenjamurnya aidoru_-aidoru baru akibat merebaknya acara-acara pencarian bakat. Pada masa ini pandangan masyarakat Jepang terhadap gadis-gadis muda yang menjadi aidoru tak hanya dijadikan idola dan ukuran terhadap wanita Jepang yang ideal tetapi mulai dijadikan sebagai objek fantasi seksual kaum laki-laki. Memasuki tahun 1990-an fenomena perkembangan aidoru dikatakan sedang mengalami resesi. Hal ini berkaitan dengan keadaan ekonomi dan kemakmuran masyarakat Jepang yang juga sedang mengalami kemunduran. Akan tetapi, memasuki akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000 fenomena ini kernbali merebak dengan munculnya aidoru-aidoru barn yang memiliki _nilai lebih_ yaitu bakat atau sainou dan rasa percaya diri atau jishin. Hal ini menjadikan seorang aidoru bukan lagi sosok yang diidolakan oleh kaum pria raja, tetapi juga menjadi panutan bagi kaum gadis-gadis Jepang. Hal ini menunjukkan sifat budaya pop yang cepat berubah dan beradaptasi sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat. Dan aidoru sebagai salah satu bagian dari budaya pop Jepang dituntut untuk dapat ikut beradaptasi agar tetap dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu contoh aidoru yang menjadi fenomena khususnya pada periode awal tahun 2000-an adalah grup aidoru Morning Musume atau sering jugs disebut Momusu. Berbagai karakteristik aidoru yang muncul menurut pandangan masyarakat Jepang ini yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti tentang fenomena aidoru di Jepang. Dan untuk itu penulis menggunakan Morning Musume sebagai objek penelitian karena grup ini memenuhi kriteria sebagai kelompok aidoru dan dapat mewakili aidoru yang muncul pada masa kontemporer.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabirah Rahmah
Abstrak :
ABSTRAK
Orang Jepang dikenal sebagai bangsa yang menghargai dan mencintai alam. Salah satu bentuk penghargaan orang Jepang terhadap alam adalah dengan adanya tradisi dan kebiasaan yang berkaitan dengan alam, salah satunya ialah kebiasaan menikmati mekarnya bunga sakura atau yang dikenal dengan hanami yang dilakukan setiap musim semi. Dalam kebiasaan ini bunga sakura dijadikan sebagai objek karena memiliki arti yang khusus bagi orang Jepang yang didukung dengan adanya sakura zensen atau ramalan mengenai mekarnya sakura di seluruh negeri. Oleh karena itu, tugas akhir ini membahas mengenai kebiasaan hanami yang merupakan wujud dari naturalisme Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan tinjauan pustaka dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini digunakan teori naturalisme oleh Nakamura Hajime untuk dapat menganalisis sumber-sumber yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang sangat memperhatikan secara detil segala sesuatu yang berhubungan dengan alam, salah satunya adalah dengan adanya sakura zensen yang secara tidak langsung sebagai daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan hanami.
ABSTRACT
Japanese people are known as their respects and loves towards nature. One form of Japanese peoples appreciation for nature is the existence of tradition and custom related to nature, one of which is the custom of enjoying the blooming of cherry blossoms or known as hanami, which is done every spring. In this custom, cherry blossoms is used as an objects because they have special meanings for Japanese people who are supported by the presence of sakura zensen or known as predictions about the blooming of cherry blossoms throughout the country. Therefore, this paper discusses the hanami custom which is a form of Japanese naturalism. This paper uses descriptive analytical methods with literature reviews from various sources. In this paper Nakamura Hajimes naturalism theory was used to analyze the sources used. The results of the study showed that Japanese people were very concerned about everything related to nature, one of which was the presence of sakura zensen which indirectly served as an attraction for the people to do hanami.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfitriani Dewi
Abstrak :
ABSTRAK
Takarazuka Revue adalah sebuah teater asal Kansai, Jepang yang seluruh pemainnya terdiri dari perempuan. Dalam pembagian peran yang dimainkan, para pemain yang disebut dengan Takarasiennes dibagi menjadi dua peran, yakni peran laki-laki atau otokoyaku dan peran perempuan atau musumeyaku. Dalam membawakan karakter laki-laki, otokoyaku cenderung membawakan karakter androgini yang merupakan kombinasi kuat dari sifat maskulin dan feminin. Karakter tersebut dibentuk pada saat pelatihan di sekolah musik Takarazuka.
ABSTRACT
Takarazuka Revue is a theater from Kansai, Japan, where all of its players consist of women. In the division of roles played, the players called Takarasiennes are divided into two, male role or otokoyaku, and female role or musumeyaku. In bringing male characters, otokoyaku tends to carry an androgynous character which is a strong combination of masculine and feminine traits. The character is formed when training in the Takarazuka music school.
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Fatimah Yahya
Abstrak :
Bon-odori sebagai salah satu kebudayaan Jepang sudah berkembang sejak sangat lama dan masih dipraktikkan hingga saat ini. Selama perkembangan zaman dan teknologi Bon-odori juga mengalami beberapa perkembangan. Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan makna sakral dan perubahan lainnya yang terjadi pada Bon-odori sejak masuk ke Jepang hingga saat ini. Penelitian ini menggunakan metode studi literasi. Berdasarkan hasil penelitian tidak ada perubahan makna sakral pada Bon-odori yang masih dilakukan di Jepang. Sedangkan pada aspek-aspek lain Bon-odori, seperti gerakan, lagu, musik, dan instrumen pengiring Bon-odori terdapat perubahan yang terjadi seiring berkembangnya zaman.
ABSTRACT
Bon-odori as one of the Japanese cultures have developed since a very long time and are still practiced today. During the changing era and technologies development Bon-odori also experienced some developments. This research will discuss changes in sacred meaning and other changes that have occurred in Bon-odori since entering Japan until now. This research uses literacy study methods. Based on the result of the research there were no changes in the sacred meaning of Bon-odori that were still carried out in Japan. Whereas in the other aspects of the Bon-odori, such as movements, songs, music, and, accompaniment instruments of the Bon-odori there are changes that occur as the times passes.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmasena Akmal Aji
Abstrak :
Pada zaman Edo di Jepang, terdapat sistem kasta yang menjadikan kaum bushi (武士) atau pejuang sebagai kelas yang paling tinggi. Bushi terbagi menjadi Daimyo (大名) dan Samurai (侍). Daimyo memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada samurai, sebagai pemilik tanah dan pemberi upah kepada para samurai yang berjuang di bawah mereka. Namun, ada samurai yang menjadi ronin (浪人), yakni samurai tanpa tuan. Di Jepang terdapat salah satu kisah terkenal yang berkaitan dengan ronin , yaitu adalah kisah keempat puluh tujuh ronin yang membalas dendam atas kematian tuan mereka. Kisah ini kemudian diadaptasi menjadi film yang disutradarai oleh Kenji Mizoguchi. Meskipun berstatus sebagai ronin , keempat puluh tujuh pejuang tersebut tetap memegang nilai-nilai Bushido. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai Bushido berdasarkan deskripsi nilai-nilai bushido dari Nitobe Inazo yang terdapat dalam film "The 47 Ronin " karya Kenji Mizoguchi dengan menggunakan metode mise en scene yang dirujuk dari buku John Gibbs. Peneliti menemukan bahwa di dalam film ini Oishi menunjukkan nilai-nilai kebajikan, keadilan, kejujuran, kebenaran, kesetiaan , kehormatan, pengendalian diri. ...... During the Edo period in Japan, there was a caste system that placed the bushi (武士) or warriors as the highest class. The bushi were divided into Daimyo (大名) and Samurai (侍). Daimyo held a higher position than samurai, as they were landowners and provided salaries to the samurai who fought under them. However, there were samurai who became ronin (浪人), meaning samurai without a master. In Japan, there is a famous story related to the ronin, known as "The 47 Ronin," who sought revenge for the death of their lord. This story was later adapted into a film directed by Kenji Mizoguchi. Despite being ronin, the forty-seven warriors still adhered to the values of Bushido. This research aims to analyze the values of Bushido based on Nitobe Inazo's descriptions found in the film "The 47 Ronin" by Kenji Mizoguchi, using the mise en scene method referred to in John Gibbs' book. The researchers found that in this film, Oishi exemplified the values of virtue, justice, honesty, truth, loyalty, honor, and self-control.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhri Husaini
Abstrak :
ABSTRACT
Representasi laki-laki gay di Jepang dalam media masa pertama kali dimulai pada saat terjadi gay boom pada tahun 1990-an. Dua puluh tahun setelah gay boom, representasi laki-laki gay di Jepang tetap ada dalam media massa Jepang, salah satu contohnya drama Gisou no Fuufu yang salah satu tokoh utamanya merupakan seorang laki-laki gay. Menggunakan konsep wacana Foucault dan konsep universalizing view dan minoritizing view Sedgewick, tulisan ini akan membahas wacana homoseksualitas yang merupakan minoritas yang disandingkan dengan wacana heteroseksualitas yang merupakan mayoritas dalam drama tersebut. Wacana homoseksualitas dalam drama tersebut dianggap ldquo;kalah rdquo; jika disandingkan dengan wacana heteroseksualitas
ABSTRACT
Representation of Japanese gay men in the media began when gay boom occurred in the 1990s. Twenty years after the gay boom, the representation of gay men in Japan still persists in Japanese mass media. Japanese television drama Gisou no Fuufu is one of the example because one of the main characters from that drama is a gay man. Using Foucault 39 s concept of discourse and Sedgewick rsquo s universalizing view and minoritizing view, this paper will discuss the discourse of homosexuality coupled with the discourse of heterosexuality in the drama. The discourse of homosexuality in the drama somehow cannot ldquo win rdquo againts the discourse of heterosexuality.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randyani Alitha
Abstrak :
Eksploitasi gender sebagai produk dari tatanan sosial yang sudah berjalan sangat lama dan turun temurun di masyarakat telah membentuk institusi ideologis dimana perempuan menjadi sosok yang inferior jika dibandingkan dengan laki-laki. Dalam film Memoirs of a Geisha, Geisha didefinisikan sebagai penghibur perempuan Jepang yang identik dengan karakter anggun, menarik, serta memiliki keahlian dalam bidang seni tradisional Jepang. Untuk menjadi seorang Geisha yang sesuai dengan harapan masyarakat (patriarki), perempuan harus melalui beberapa proses yang memberi ruang terhadap eksploitasi yang dialami oleh perempuan. Kate Millet dalam teori Seksual Politiknya, menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarki terdapat delapan institusi yang menjadi media untuk mengukuhkan sistem patriarki di masyarakat. Metodologi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif. Hasil dari penelitian yang menggunakan teori Seksual Politik ini menunjukkan bahwa terdapat eksploitasi yang dialami oleh perempuan dalam prosesnya menjadi Geisha. Dari delapan bentuk eksploitasi yang dijelaskan Millet, eksploitasi perempuan dalam film Memoirs of a Geisha didukung oleh empat institusi pendukung patriarki yaitu institusi ideologi, biologi, sosiologi, dan psikologi dan kemudian terwujud dalam bentuk :manipulasi pola pikir, manipulasi perilaku, kemudian bermuara pada fenomena inferior-superiority complex. ......Gender exploitation as a product of a social order that has been running for a very long time and for generations in society and has become an ideological institution where they become inferior figures when compared to men. In film Memoirs of a Geisha, Geisha are defined as Japanese female entertainers who are synonymous with graceful, friendly, attractive characters and have expertise in traditional Japanese arts. To become a Geisha in accordance with the expectations of society (patriarchy), women must go through several processes. These social and political processes then provide room for the exploitation experienced by women. Kate Millet, in her socio-political theory, stated that in a patriarchal society, there are eight institutions which become the media to strengthen the patriarchal system in society. The methodology that will be used in this research is qualitative-descriptive. The results of this research, which uses the Political Sexual approach, show that there is exploitation experienced by women in the process of becoming Geisha. Of the eight forms of exploitation described by Millet, the exploitation of women occurs supported by four institutions supporting patriarchy, namely the institutions of ideology, biology, sociology, and psychology and then manifested in the form of: mindset manipulation, behavioral manipulation, then leading to the phenomenon of inferior-superiority complex.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Putu Arysutha Negara
Abstrak :
Di Jepang terdapat kegiatan perisakan (bullying) di dalam dunia pendidikan yang dinamakan ijime. Faktor utama penyebab terjadinya ijime adalah keinginan untuk menghilangkan perbedaan di dalam kelompok. Korban akan terus mendapatkan tindakan ijime sampai mereka menghilangkan perbedaan mereka dengan siswa lain. Terlebih lagi pada masa kini ijime dapat terjadi di media sosial yang digunakan oleh sebagian besar remaja Jepang. Ijime di media sosial dapat memiliki efek yang lebih buruk bagi korban karena tindakan ijime tidak berhenti di sekolah, tetapi selalu mengikuti sang korban bahkan sampai ke rumah. Tekanan dari lingkungan bagi korban ijime untuk mengubah kepribadian korban agar menjadi sama dengan anggota lain di dalam lingkungan sosial dapat menimbulkan tekanan batin bagi korban. Bila tekanan batin yang dirasakan korban ijime dapat membuat korban absen untuk bersekolah dalam waktu lebih dari 30 hari, hal tersebut diidentifikasi di Jepang sebagai futoko. Bila solusi atas perilaku futoko yang dilakukan korban ijime tidak dapat ditemukan, maka perilaku futoko dapat berkembang menjadi perilaku hikikomori. Hikikomori adalah perilaku di mana seseorang menolak untuk keluar rumah selama lebih dari enam bulan. Tulisan ini akan menjelaskan perilaku ijime dan fenomena hikikomori yang muncul sebagai dampaknya. Kemudian tulisan ini akan mengkaji langkah-langkah yang ditempuh untuk meminimalisir ijime di dalam dunia pendidikan. ...... In Japan, there are confirmed cases of bullying in the education system which is given the term ijime. The main factor causing ijime is the will to remove any difference that exist within a certain group. The victim will be continuously given ijime until they remove any difference they have with the other students. Nowadays ijime could happen anywhere, including in social medias which is used by the majority of Japanese teenagers. Ijime in social medias could be worse for the victims as the ijime didnt stop at school, but follows the victim anywhere. The pressure from the environment for the ijime victims to conform their personality with the other members within their group could cause stress for the victims. The stress felt by the ijime victims could cause them to be absent from school for over 30 days which is named futoko in Japan. If the solution to the victims futoko behavior couldnt be found, the futoko behavior could develop into hikikomori. Hikikomori is a behavior in which someone refuses to get out from their homes from more than six months. This article will try to explain the ijime behavior and hikikomori that appear as its impact. After that, this article will study the steps that have been taken to reduce ijime and its impact to the victims of one.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>