Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Marielle Nabila Putri Setiawan Latief
"Jepang terkenal luas dengan layanan terpuji yang dapat ditemukan di setiap bisnis, terlepas dari apakah pelanggannya adalah tamu lokal atau tamu asing. Layanan khusus ini disebut ‘Omotenashi’, istilah yang berasal dari kata ‘motte’ yang berarti memegang dan ‘nashi’ yang berarti tidak ada, diringkas menjadi memberikan layanan terbaik tetapi 'tidak menerima' sebagai balasannya. Anime Isekai Shokudou bercerita tentang restoran ajaib dengan pintu yang terbuka ke dunia lain. Restoran tersebut menyediakan makanan untuk manusia dan makhluk di dunia lain setiap hari Sabtu saat pintu dibuka, dengan omotenashi sebagai layanannya. Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis representasi omotenashi dalam anime Isekai Shokudou dengan menggunakan teori Abdulellah Al-alsheikh tentang 3 elemen yang dimiliki omotenashi yaitu Shitsurai yaitu lingkungan fisik omotenashi dilakukan, Furumai berarti kegiatan omotenashi tersebut, dan Shikake adalah reaksi atau timbal balik pelanggan. Penelitian ini akan menggunakan analisis metode kualitatif. Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini adalah budaya omotenashi yang ditampilkan di anime Isekai Shokudou sesuai dengan 3 elemen omotenashi, dan ditampilkan di keseluruhan anime.
Japan is widely known for commendable service that can be found in every kind of business, regardless if the customer is a local guest or a foreign guest. This special kind service is called ‘Omotenashi’ a term that derives from the word ‘motte’ meaning to hold and ‘nashi’ that mean none, summarized as to give the best of service but ‘take none’ in return. Isekai Shokudou anime tells about a magical restaurant with a door that opens to another world. The restaurant provide foods for people and creatures on the other world every Saturdays when the door opens, with omotenashi as its service. In this paper, the author will analyze the representation of omotenashi in the anime Isekai Shokudou by using Abdulellah Al-alsheikh's theory about the 3 elements that omotenashi has, namely Shitsurai which is the physical environment the omotenashi is carried out, Furumai means the omotenashi activity itself, and Shikake being the customer's reaction or feedback. This research will be using a qualitative method analysis. Results and conclusions of this study is the Omotenashi culture that is shown in the anime Isekai Shokudou corresponds to the 3 elements of Omotenashi, and it is shown in the entirety of the anime."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Kaninda Rizki Indriani
"Geisha, sebagai salah satu pelaku seni yang menjadi ikon kebudayaan Jepang merupakan seseorang yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidang keseninan, terutama kesenian tradisional Jepang yang bekerja untuk menghibur orang lain berdasarkan kesenian yang mereka kuasai. Geisha mulai muncul sejak zaman Edo, saat di mana kondisi politik di Jepang sedang damai. Sebagai seorang geisha, femininitas merupakan hal yang harus dimiliki. Menurut Angela McRobbie, femininitas merupakan sebuah bagian dari ideologi dominan yang berperan untuk mendefinisikan kehidupan wanita. Femininitas ini dapat dilihat dari penampilan, cara berbicara, dan cara bertindak seorang geisha. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana femininitas geisha direpresentasikan dalam autobiografi yang berjudul Geisha, a Life karya Iwasaki Mineko dan Rande Brown. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan potongan kalimat hingga paragraf dalam autobigrafi yang dianggap berkaitan dengan penelitian. Potongan kalimat akan diambil dari autobiografi Geisha, a Life karya Iwasaki Mineko dan Rande Brown. Teori dan konsep yang akan digunakan adalah teori representasi dari Stuart Hall serta konsep femininitas berdasarkan pengertian dari Angela McRobbie. Menurut Hall, representasi merupakan produksi makna dari suatu konsep yang ada dalam pemikiran melalui bahasa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa femininitas geisha direpresentasikan oleh Iwasaki Mineko melalui cara berpakaian yaitu dengan memakai pakaian tradisional Jepang, kimono, cara berbicara yaitu dengan menggunakan dialek Gion serta cara bertindaknya yaitu dengan memperhatikan cara berjalan, pembawaan, dan ekspresi yang diperlihatkan.
Geisha, as an artist who has become an icon of Japanese culture, is someone who has skills in arts, especially traditional Japanese arts who worked as an entertainer. Geisha began to appear since the Edo Period when the political conditions in Japan was stable. As a geisha, femininity is something that the must have. According to Angela McRobbie, femininity was part of a dominant ideology that plays a role in defining women’s lives. This femininity in geisha could be seen from the appearance, tehir way of speaking, and their behaviour. This research aims to show how geisha’s femininity was being represented in Geisha, a Life by Iwasaki Mineko and Rande Brown. This research used qualitative methods by collecting sentences to pharagraphs that are considered related to the research. These sentences and paragraphs will be taken from Geisha, a Life. The theories and concept that will be used are the representation theory bu Stuart Hall and the concept of femininity by Angela McRobbie. According to Hall, representation is the production of meaning from a concept through language. The result of this research indicates that geisha’s femininity was represented by Iwasaki Mineko through the way she dresses with using kimono, the way she talks with using Gion’s dialect, and the way she acts with how she walks, how she brings herself, and how she express herself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Ziamur Rayhan
"Onomatope adalah gaya bahasa yang menirukan suara makhluk hidup dan bunyi yang ada di lingkungan sekitar untuk menggambarkan suatu keadaan. Penelitian ini membahas mengenai ragam tersenyum dan tertawa dalam bahasa Jepang yang muncul dalam manga The Promised Neverland. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk onomatope tertawa yang terdapat dalam manga The Promised Neverland, mengetahui arti dari fonem pembentuk onomatope dan menjelaskan jenis tertawa yang muncul dalam manga The Promised Neverland. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah manga The Promised Neverland Volume 1-5. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah fonem-fonem pembentuk onomatope mempengaruhi cara tertawa. Lalu, satu onomatope dapat memiliki lebih dari satu bentuk. Bentuk dari onomatope dapat memperlihatkan bagaimana suatu ekspresi terjadi dan untuk memahami arti yang dimiliki suatu onomatope, harus memahami konteks dan situasi latar munculnya onomatope terlebih dahulu. Cara tertawa yang diperlihatkan oleh tokoh anak-anak di bawah usia 10 tahun menunjukkan sedikit variasi tertawa, sedangkan tokoh perempuan memiliki banyak ragam variasi tertawa tetapi jarang tertawa dengan mulut yang terbuka lebar.
Onomatopoeia is a style of language that imitates the sounds of living things and the surrounding environment to describe a situation. This study discusses the varieties of smiling and laughing in Japanese that appears in The Promised Neverland manga. The purpose of this study is to determine the form of the onomatopoeic laughter that appears in The Promised Neverland manga, to know the meaning of the phonemes that form an onomatopoeia and to explain the types of laughter that appear in The Promised Neverland manga. The data source is The Promised Neverland manga Volume 1-5. The research method that is used is descriptive qualitative analysis method. The result of this research is the phonemes that form an onomatopoeia affect the way of laughing. An onomatopoeia may have more than one form. The form of an onomatopoeia shows how an expression occurs. To understand the meaning of an onomatopoeia, it is necessary to understand the context and situation where the onomatopoeia appears. The way of laughing that shown by the characters under the age of 10 shows a slight variety of laughter. Meanwhile, the female characters have many variations of laughter, but they rarely laugh with their mouths wide open."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Elvista Chandra Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk gastrodiplomasi Jepang di Indonesia melalui program JETRO Japan Food Festival (JFF) 2016, dan menjelaskan pandangan orang Indonesia terhadap gastrodiplomasi Jepang di Indonesia melalui program JETRO JFF 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitaif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari buku atau jurnal artikel yang membahas tentang gastrodiplomasi secara umum maupun yang dilakukan oleh Jepang, data hasil wawancara dari perwakilan pihak JETRO Jakarta, dan data melalui penyebaran angket sebagai data primer. Berdasarkan hasil analisis data, gastrodiplomasi Jepang melalui program JETRO, yakni JFF 2016 ini disimpulkan sebagai bentuk keseriusan/kesungguhan pemerintah Jepang dalam melaksanakan gastrodiplomasi, dengan acara ini akan ada atau banyak restoran Jepang di Indonesia. Pandangan orang Indonesia terhadap gastrodiplomasi Jepang melalui program JETRO JFF 2016 adalah belum banyak orang Indonesia, khususnya di wilayah Jabodetabek yang mengetahui washoku dan wagashi yang dijual di JFF 2016. Orang Indonesia lebih memilih untuk menikmati washoku dan wagashi di restoran Jepang di wilayah Jabodetabek, khususnya yang ada di dalam mall. Selain itu, gastrodiplomasi juga dapat meningkatkan softpower atau pandangan yang baik tentang Jepang dan minat untuk berwisata ke Jepang, serta dapat meningkatkan penjualan ekspor bahan-bahan dari Jepang ke restoran yang ada di Indonesia.
This study aims to explain the form of Japanese gastrodiplomacy in Indonesia through the JETRO Japan Food Festival (JFF) 2016 program, and to explain the views of Indonesians on Japanese gastrodiplomacy in Indonesia through the JETRO JFF 2016 program. The methods used in this research are quantitative and qualitative methods. The data collection techniques are carried out by collecting data from books or journal articles that discuss gastrodiplomacy in general and those carried out by Japan, data from interviews from representatives of JETRO Jakarta, and carried out by distributing questionnaires as primary data. Based on the results of data analysis, Japanese gastrodiplomacy through the JETRO program, namely JFF 2016, is concluded as a form of seriousness of the Japanese government in carrying out gastrodiplomacy, with this event there will be or many Japanese restaurants in Indonesia. The view of Indonesians on Japanese gastrodiplomacy through the JETRO JFF 2016 program is that not many Indonesians, especially in the Jabodetabek area, known that washoku and wagashi are sold at JFF 2016. Indonesians prefer to eat washoku and wagashi at Japanese restaurants in the Jabodetabek area, especially those in the malls. Therefore the Japanese government made a Japanese food expo with the aim of opening a Japanese restaurant in Jabodetabek due to the high number of Jabodetabek people eating washoku and wagashi in Japanese restaurants, especially those in malls. In addition, gastrodiplomacy can also increase softpower or a good view of Japan and interest in traveling to Japan, and can increase export sales of Japanese ingredients to restaurants in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Elvista Chandra Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk gastrodiplomasi Jepang di Indonesia melalui program JETRO Japan Food Festival (JFF) 2016, dan menjelaskan pandangan orang Indonesia terhadap gastrodiplomasi Jepang di Indonesia melalui program JETRO JFF 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitaif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari buku atau jurnal artikel yang membahas tentang gastrodiplomasi secara umum maupun yang dilakukan oleh Jepang, data hasil wawancara dari perwakilan pihak JETRO Jakarta, dan data melalui penyebaran angket sebagai data primer. Berdasarkan hasil analisis data, gastrodiplomasi Jepang melalui program JETRO, yakni JFF 2016 ini disimpulkan sebagai bentuk keseriusan/kesungguhan pemerintah Jepang dalam melaksanakan gastrodiplomasi, dengan acara ini akan ada atau banyak restoran Jepang di Indonesia. Pandangan orang Indonesia terhadap gastrodiplomasi Jepang melalui program JETRO JFF 2016 adalah belum banyak orang Indonesia, khususnya di wilayah Jabodetabek yang mengetahui washoku dan wagashi yang dijual di JFF 2016. Orang Indonesia lebih memilih untuk menikmati washoku dan wagashi di restoran Jepang di wilayah Jabodetabek, khususnya yang ada di dalam mall. Selain itu, gastrodiplomasi juga dapat meningkatkan softpower atau pandangan yang baik tentang Jepang dan minat untuk berwisata ke Jepang, serta dapat meningkatkan penjualan ekspor bahan-bahan dari Jepang ke restoran yang ada di Indonesia.
This study aims to explain the form of Japanese gastrodiplomacy in Indonesia through the JETRO Japan Food Festival (JFF) 2016 program, and to explain the views of Indonesians on Japanese gastrodiplomacy in Indonesia through the JETRO JFF 2016 program. The methods used in this research are quantitative and qualitative methods. The data collection techniques are carried out by collecting data from books or journal articles that discuss gastrodiplomacy in general and those carried out by Japan, data from interviews from representatives of JETRO Jakarta, and carried out by distributing questionnaires as primary data. Based on the results of data analysis, Japanese gastrodiplomacy through the JETRO program, namely JFF 2016, is concluded as a form of seriousness of the Japanese government in carrying out gastrodiplomacy, with this event there will be or many Japanese restaurants in Indonesia. The view of Indonesians on Japanese gastrodiplomacy through the JETRO JFF 2016 program is that not many Indonesians, especially in the Jabodetabek area, known that washoku and wagashi are sold at JFF 2016. Indonesians prefer to eat washoku and wagashi at Japanese restaurants in the Jabodetabek area, especially those in the malls. Therefore the Japanese government made a Japanese food expo with the aim of opening a Japanese restaurant in Jabodetabek due to the high number of Jabodetabek people eating washoku and wagashi in Japanese restaurants, especially those in malls. In addition, gastrodiplomacy can also increase softpower or a good view of Japan and interest in traveling to Japan, and can increase export sales of Japanese ingredients to restaurants in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library