Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nia Namirah Hanum
Abstrak :
Di era modern, kehadiran beton tidak hanya sebagai sebuah material. Eksistensinya memicu untuk menggali kembali bagaimana sebuah inovasi teknologi mempengaruhi peradaban, khususnya dalam wacana arsitektural. Jika diaplikasikan ke dalam bangunan, beton dipandang tidak memiliki prinsip dan bentukan yang baku jika kita bersedia membuka pikiran lebih jauh bahwa setiap bangunan, yang mengandung beton maupun tidak, adalah hasil turunan dari berbagai parameter, yaitu kultural, sosio-politik, dan ekonomi. Brutalisme, adalah salah satu gaya arsitektur yang erat kaitannya dengan beton ekspos/polos. Namun dewasa kini bangunan yang memiliki struktur beton polos sangat banyak, termasuk di Indonesia. Hal yang dikritisi adalah bagaimana Brutalisme dikupas melalui kacamata penggunaan beton di Indonesia, saat sokongan teknologi dan peristiwa- peristiwa politik menjadi alasan pembangunannya. Dengan studi kasus Wisma Hayam Wuruk (1976) yang ditengarai sebagai salah satu gaya Brutalisme di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menelisik kemunculan Brutalisme di Indonesia dengan penggunaan teknologi beton pada arsitektur modern dan pengaruh sosio-politik di era Orde Baru sebagai alat penelitian. Metode sejarah digunakan untuk menyajikan analisis terutama dalam menggambarkan beberapa peristiwa politik, yang dilakukan dalam bentuk deskriptif analitis untuk lebih menjelaskan kejadian dalam dimensi ruang dan waktu yang terjadi di masa lampau. ...... In the modern era, the presence of concrete is not merely as a material. Its existence triggers to rethinking on how a technological innovation affects civilization, especially in architectural discourse. If applied to buildings, concrete is deemed not to have a standard principle and form if we are willing to open our minds further that each building, whether or not containing concrete, is derived from various parameters, namely cultural, socio- political, and economic. Brutalism, is one of the architectural styles that is closely related to exposed concrete. But nowadays buildings that have plain concrete structures are very numerous, even in Indonesia. What was criticized was how Brutalism was peeled through the lens of concrete use in Indonesia, when technological support and political events became the reason for its development. With the case study of Wisma Hayam Wuruk (1976) which was suspected as one of the styles of Brutalism in Indonesia. This paper aims to explore the emergence of Brutalism in Indonesia with the use of concrete technology on modern architecture and socio-political influence in the New Order era as a research tool. Historical methods are used to present analysis, especially in describing several political events, carried out in descriptive analytical form to better explain events in the dimensions of space and time that occurred in the past.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arga Patria Dranie Putra
Abstrak :
Awal abad ke 20 dapat dikatakan sebagai sebuah titik yang mengawali pergeseran budaya dan keterbangunan di Indonesia menuju modernitas. Sedikit banyak perubahan ini hadir bersama perubahan paradigma kolonialisasi Belanda yang berusaha mendahulukan kepentingan masyarakat Hindia. Hadir tokoh-tokoh berkebangsaan Belanda yang dieluhkan telah berempati dan lebih memihak kepada penduduk Hindia-Belanda. Dengan begitu, ada kemungkinan bahwa empati bangsa Belanda terhadap masyarakat Hindia memiliki andil dalam implementasi politik etis maupun keterbangunan yang terjadi di awal abad ke-20. Peran arsitek seperti Karsten dan Schoemaker dapat menggambarkan bagaimana subjektifitas dan hubungannya dengan manusia dapat mempengaruhi keputusan terhadap karakter arsitektur yang dapat mewakili Hindia Belanda. Dengan mengacu kepada teori empati yang telah di elaborasi, tesis ini mengkaji pembangunan dan keterbangunan yang terjadi selama awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Penelusuran dan pemahaman akan berfokus terhadap individu-individu yang terlibat dalam praktek politik etis, dan memberikan perhatian terhadap subjektifitas dan tindakan yang dilakukan pihak Belanda. Riset akan dilakukan melalui studi presedenm, wawancara, serta observasi. Melalui kerangka yang telah di elaborasi, kemudian dapat dipahami apakah kehadiran empati terhadap masyarakat Hindia benar-benar hadir dan memberikan pengaruh terhadap bentuk baru kolonialisasi Belanda di Hindia Pada Awal Abad Ke-20. ......The beginning of the 20th century can be regarded as a point where cultural shift and development towards modernity in Indonesia began. More or less this change was present along with the paradigm shift of the colonialization of the Dutch who tried to prioritize the interests of the Indies community. Ethical Policy Present figures of Dutch who were complained for their empathy towards the population of the Dutch East Indies. Thus, there is a possibility that Dutches empathy towards Indies community has contributed to the implementation of ethical politics and the development in Dutch Indies that occurred in the early 20th century. The role of architects such as Karsten and Schoemaker can illustrate how subjectivity and its relationship with humans can influence decisions regarding architectural characters that can represent the Dutch Indies. By referring to the elaborated theory of empathy, this thesis examines the development that occurred during the early 20th century in the Dutch Indies. Research and Understanding will be focused on individuals who was involved in ethical political practices, attention also given to subjectivity and actions that were taken by the Dutch. The investigation will be done through precedent studies, Interviews & Observation. Through the elaborated framework, it can later be understood whether the presence of empathy for the Indies was truly present and had an influence on the new form of Dutch colonialism in the Indies in the Early 20th Century.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T53209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifandi Septiawan Nugroho
Abstrak :
Kamp interniran merupakan ruang pengasingan penduduk sipil Eropa yang dipakai oleh Jepang sejak menduduki Indonesia pada Maret 1943. Kamp interniran dibuat dengan menduduki dan meminjam ruang-ruang yang sudah ada sebagai media politik ingatan Jepang, dengan memisahkan penduduk lokal dari pengaruh Belanda pada ruang sosial sehari-hari. Di Kesilir, Jepang membuat kamp interniran dengan mengubah wilayah perkampungan dan perkebunan era kolonial sebagai eksperimen desa mandiri untuk penduduk Eropa. Perubahan ruang eksisting ke kamp interniran menjadikan ruang sosial kamp interniran Kesilir sebagai ruang liminal, yakni ruang di antara dua keadaan: lama dan baru, pemisahan dan penggabungan, temporer dan permanen. Studi ini bertujuan melihat hubungan antara arsitektur, politik ingatan, dan liminalitas di kamp interniran Kesilir. Sebagai tempat persilangan penduduk di masa akhir kolonial, kamp interniran Kesilir menjadi arena tumbuhnya subjektivitas dan ambiguitas ingatan kolektif. Kamp interniran Kesilir menjadi instrumen penting untuk mengidentifikasi arsitektur dalam konteks dinamika perubahan sosial penduduk pada masa akhir kolonial di Indonesia. Arsitektur kamp interniran Kesilir berperan sebagai aparatus pemisahan, pendisiplinan, dan kontrol, di saat yang bersamaan menjadi tempat interaksi sosial, transaksi, dan negosiasi. Penelusuran memori di kamp interniran membutuhkan analisis gambaran lingkungan visual, kehidupan sosial, dan politik propaganda Jepang yang terjadi baik di dalam maupun luar kamp interniran. Untuk melakukan itu, penelitian ini mencoba menggabungkan studi arsip arsitektur, studi lapangan, dan studi literatur teori memori kolektif dan ruang liminal. ......The internment camp was an exile space for European civilians used by the Japanese military government when occupying Indonesia in March 1943. The internment camp was created by occupying and borrowing existing spaces as a medium for Japanese's politics of memory, by separating the residents from the Dutch influence on everyday social space. In Kesilir, the Japanese created internment camps by converting colonial-era settlements and plantations into self-sufficient village experiments for European residents. The change from the existing space to an internment camp makes the social space of the Kesilir internment camp a liminal space, the space in between two conditions: old and new, separation and incorporation, temporary and permanent. This study examines the relationship between architecture, memory politics, and liminality in the Kesilir internment camp. As an intersection place of people in the late colonial period, the Kesilir internment camp became an arena for the extension of subjectivity and ambiguity of collective memory. The Kesilir internment camp became an important instrument for identifying architecture in the context of the dynamics of social change in the population during the late colonial period in Indonesia. The architecture of the Kesilir internment camp acts as an apparatus of separation, discipline and control, at the same time as a place of social interaction, transactions and negotiations. Tracing memories in internment camps requires an analysis of the visual environment, social life, and Japanese propaganda politics that took place both inside and outside the internment camp. Thus, this research combines architectural archival studies, field studies, and literature studies of the theory of collective memory and liminal space.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library