Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Butarbutar, Elius Tua
Abstrak :
TUJUAN: Mengevaluasi variasi normal kanal fallopii segmen timpani dengan high-resolution multidetector computed tomography (HR-MDCT) serta mendapatkan nilai proporsi dehisensi dan protrusi inferior kanal fallopii segmen timpani. METODE: Seratus sampel tulang temporal diperoleh dari rekonstruksi 50 raw data subyek yang sebelumnya dilakukan pemeriksaan CT-kepala dengan menggunakan parameter rekonstruksi slice thickness 0.6 mm, increment 0.3 mm, kernel filter H70s, dan window setting mastoid (WW 4000/WL 600). Sebelumnya, data tersebut harus memenuhi kirteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Dengan menggunakan aplikasi rekonstruksi multiplanar, kanal fallopii segmen timpani dievaluasi ada tidaknya dehisensi dan posisi terhadap oval window yang dibagi menjadi kategori protrusi ≥50% dan <50% lebar oval window serta tidak ada protrusi. Evaluasi menggunakan potongan koronal-oblik dan sagital-oblik sedemikian rupa agar struktur kanal fallopii, oval window, dan incudo-stapes terlihat jelas. Pengukuran protrusi menggunakan garis imajiner yang dibuat sejajar dengan aksis dua titik, yaitu processus lenticularis dan di tengah lebar oval window. HASIL: Karakateristik demogratik subyek (n=50) terdiri dari 52% laki-laki dan 48% perempuan, dengan usia 7-80 tahun (rerata=44,5). Dehisensi kanal fallopii segmen timpani ditemukan 31 dari 100 sampel (31%) predominan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Protrusi ≥50% sebanyak 4%, protrusi <50% sebanyak 15%, dan 81% tidak terdapat protrusi. Tiga dari empat sampel dengan protrusi ≥50% terdapat dehisensi kanal fallopii segmen timpani. Menggunakan uji kemaknaan Chi-square hubungan antara dehisensi dan protrusi kanal fallopii tidak terdapat hubungan bermakna (p=0.176). KESIMPULAN: HR-MDCT dan aplikasi MPR merupakan modalitas pencitraan yang sangat berguna dalam mengevaluasi stuktur kecil telinga tengah, terutama mengobservasi adanya dehisensi dan protrusi kanal fallopii segmen timpani sebagai evaluasi pre-operatif sebelum operasi stapes. ......PURPOSE: Evaluate normal variation of tympanic segment fallopian canal through high-resolution multidetector computed tomography (HR-MDCT) of which proportion of dehiscence and inferior protrusion of tympanic segmen fallopian canal can be obtained. METHODS: One hundred sample of temporal bone which were obtained by reconstruction from raw data of 50 subjects previously performed head CT examination using parameters slice thickness 0.6 mm, increment 0.3 mm, kernel filter H70s, and window setting of mastoid (WW 4000/WL 600). Beforehand, subject data have to fulfil inclusion criteria and there?s no exclusion criteria. Using multi-planar reconstruction (MPR) application, tympanic segment fallopian canal were evaluated from the presence of dehiscence and its position towards oval window which were categorized into ≥50% protrusion oval window width, <50% protrusion oval window width, and no protrusion. Evaluation were using coronal-oblique and sagittal-oblique planes so that fallopian canal, oval window, and incudo-stapes superstructures can be fine depicted. Measurement of protrusion using imaginary lines which were made parallel to axis of two points, processus lenticularis and the middle of oval window width. RESULTS: Subjects demographic characteristics (n=50) consist of 52% men and 48% women, aged from 7 untill 80 years old (mean= 44.5). Presence of tympanic segment fallopian canal dehiscensce were found in 31 of 100 samples (31%) predominantly in men than women. Presence of ≥50% protrusion were found 4%, <50% protrusion 15%, and the remaining 81% samples do not have protrusion. Three of four samples of ≥50% protrusion were dehiscent, while one samples was not dehiscent. Using Chi-square significance test, there?s no significant relationship between fallopian canal dehiscence and protrusion (p=0.176). CONCLUSION: HR-MDCT and application of MPR were invaluable imaging tools to evaluate middle ear superstructures, especially in this study to observe presecence of dehiscence and protrusion of tympanic segment fallopian canal as a pre-operative evaluation before stapes surgery.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Marsinta Uli
Abstrak :
Mortalitas penderita artritis reumatoid(AR) yang cukup tinggi disebabkan oleh penyakit kardiovaskular akibat aterosklerosis.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifitas skor kalsifikasi arkus aorta di foto polos toraks berdasarkan klasifikasi Ogawa dalam mendeteksi aterosklerosis pada penderita AR. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 76 pasien AR di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Hasil penelitian menunjukkan sensitivitas 25% dan spesifitas 91,7% pada titik potong skor Ogawa 3,125%, dengan demikian lebih baik untuk mendeteksi pasien AR tanpa aterosklerosis. Pasien AR dengan kalsifikasi arkus aorta kemungkinan memiliki aterosklerosis sebesar 3,7 kali daripada pasien AR tanpa kalsifikasi arkus aorta. ......Mortality of rheumatoid arthritis (RA) patients which is quite high caused by cardiovascular disease due to atherosclerosis. This study aims to determine the sensitivity and specificity of the aortic arch calcification score on plain chest X-ray based on classification Ogawa in detecting atherosclerosis in RA patients. This study used a cross-sectional design in 76 patients at the Rheumatology Division Cipto Mangunkusumo Hospital. The results showed a sensitivity of 25% and specificity of 91.7% at the cut off point Ogawa scores 3.125%, thus it is better to detect RA patients without atherosclerosis. The possibility of arthritis rheumatoid patients with aortic arch calcification having atherosclerosis by 3.7 times than RA patients without aortic arch calcification.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Kusuma
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Mikrotia adalah malformasi kongenital yang seringkali disertai atresia auris dan kelainan telinga tengah. Kelainan ini dikoreksi dengan kanaloplasti dan timpanoplasti. Titik dan arah pengeboran kanaloplasti merupakan hal yang penting. Saat ini belum terdapat panduan yang objektif dalam menentukan arah pengeboran. Volume telinga tengah, berperan penting dalam penentuan keluaran hasil pembedahan, namun saat ini belum pernah dikaitkan dengan sudut α dan β. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan sudut α dan β dengan volume telinga tengah tmikrotia dan telinga normal menggunakan HRCT temporal. Metode: Menggunakan desain potong lintang. Subjek penelitian merupakan data sekunder HRCT tulang temporal, kemudian dilakukan pengukuran sudut α dan β dan volume telinga tengah. Hasil: Subjek penelitian berjumlah 34 sampel. Terdapat perbedaan bermakna sudut α dan sudut β telinga mikrotia dibandingkan telinga normal, dengan nilai p<0.001. Rerata volume telinga tengah mikrotia 0.36 cc, normal 0.67 cc. Tidak didapatkan korelasi volume telinga tengah dengan sudut α dan β, pada mikrotia maupun telinga normal. Nilai cut-off sudut α sebesar 15.40, sensitivitas 85.3% dan spesifisitas 82.4%. nilai cut-off sudut β sebesar 270, sensitivitas 73.5% dan spesifisitas 76.5%. Kesimpulan: Perbedaan posisi osikular dengan nilai cut-off yang didapat untuk sudut α dan β dapat menjadi acuan dasar pada operasi kanaloplasti. ...... Background and Objectives: Microtia is a congenital malformation with associated auricle atresia and middle ear abnormality, which is treated by canaloplasty and tympanoplasty. Drilling starting point and the direction in canaloplasty operation are no doubt very important things. Nowadays, guideline for determining the drilling direction has not been yet established. Middle ear volume which is one of important variable in determining operation outcome, has not been associated with α and β angle. This study intended to evaluate α and β angle and its relationship with middle ear volume using (HRCT) temporal bone. Method: Cross-sectional design were used. Data from previous HRCT examination were used to measured α and β angle and middle ear volume. Results: From 34 subjects, there were significant differences of α and β angle in microtic ear compared to normal ear, with p < 0.001. Middle ear volume average for microtic ear and normal ear were 0.36 cc and 0.67 cc, respectively. No significant correlation between middle ear volume and α and β angle. Cut-off value for α angle is 15.40 with sensitivity 85.3% and specificity 82.4%. Cut-off value for β angle is 270 with sensitivity 73.5% and specificity 76.5%. Conclusion: Differences in ossicular position with obtained cut-off value for α and β angle could become a base guidance in canaloplasty operation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Kurnia Putri
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Tuli sensorineural adalah penyebab tuli terbanyak pada anak-anak, akibat gangguan antaran impuls saraf pada koklea. Teknik implann koklea berkembang untuk mengatasi kelainan ini. Tomografi komputer resolusi tinggi memberikan peranan penting untuk mengevaluasi struktur koklea dan mengukur panjang duktus koklea untuk kepentingan pemasangan implan. Pengukuran dengan cara manual memiliki kekurangan waktu pengerjaan yang lama. Terdapat cara pengukuran dengan menggunakan rumus panjang duktus koklea yang dikembangkan oleh salah satu merk implan. Apabila terdapat korelasi antara kedua cara pengukuran tersebut, maka cara pengukuran dengan rumus panjang koklea dapat digunakan secara umum untuk semua merk implan koklea. Metode: Penelitian deskriptif dengan menggunakan uji korelasi pada rerata panjang duktus koklea pasien dengan tuli sensorineural menggunakan pengukuran secara manual dan rumus panjang koklea yang dilakukan pemeriksaan tomografi komputer resolusi tinggi tulang temporal di Departemen Radiologi RSCM terhadap 86 sampel penelitian. Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p ......Background and Objective: Sensorineural hearing loss is the most common cause of deafness in children, due to impaired nerve impulses in the cochlea. Cochlear implant technique develops to overcome this disorder. High resolution computed tomography provides an important role in evaluating the cochlear structure and measuring the length of the cochlear ducts for the benefit of implantation. Manual measurements have a short time lapse. There is a method of measurement using the cochlear duct length equation developed by one of the implant brands. If there is a correlation between the two methods of measurement, then the method of measurement by cochlear length equation can be used generally for all brands of cochlear implants Methods: A Descriptive correlation study of the mean length of the patient 39 s cochlear duct with sensorineural hearing loss using manual measurement and cochlear length equation performed by high resolution computed tomography examination of the temporal bone at Radiology Department of Cipto Mangunkusumo hospital for 86 research samples. Results: With Pearson correlation test, obtained p value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Maratani
Abstrak :
Latar belakang: Pengukuran tumor primer karsinoma nasofaring (KNF) belum rutin dikerjakan karena bentuknya yang ireguler dengan infiltrasi yang ekstensif pada jaringan sekitarnya. Pengukuran volume memiliki akurasi tinggi namun sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama. Lebih lanjut, belum ada penelitian yang membandingkan antara teknik pengukuran bidimensional dengan volume tumor primer KNF di Indonesia. Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi ukuran bidimensional terhadap volume tumor primer KNF pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode simple random sampling. Subjek penelitian berjumlah 50 pasien KNF yang menjalani pemeriksaan CT scan nasofaring di Departemen Radiologi FKUI/RSUPN CM. Penelitian dilakukan sejak Juni hingga September 2015. Pengukuran volume tumor primer nasofaring pada PACS INFINITT dilanjutkan dengan pengukuran bidimensional satu minggu kemudian. Hasil: Uji korelasi Spearman antara ukuran bidimensional dengan volume KNF memperlihatkan nilai p<0,001 dan r=0,9, dengan formula regresi volume tumor primer = - 11,38 + (1,97 x ukuran bidimensional). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sangat kuat antara ukuran bidimensional dengan volume KNF. ......Background: Primary tumour measurement of the nasopharyngeal carcinoma (NPC) has not been routinely performed because of its irregular shape and extensive infiltration to adjacent structures. Measuring the volume is highly accurate yet highly difficult and time-consuming. Moreover, there has not been comparison study between the bidimensional and volume measurement of the primary tumour of NPC done in Indonesia before. Purpose: To obtain the correlation value of the bidimensional measurement to the volume of the primary tumour of NPC using the CT scan. Method: This study used a cross-sectional design. Fifty subjects were chosen using simple random sampling from NPC patients that underwent nasopharyngeal CT scan at the Radiology Department of the Indonesia University's Faculty of Medicine/Cipto Mangunkusumo Hospital. This study was done from June until September 2015. NPC volume measurement was performed using PACS INFINITT, followed by the bidimensional measurement one week after. Results: Spearman correlation test between bidimensional and volume measurement of NPC shows p value<0.001 and strength of correlation (r) = 0.9, with regression formula of the primary tumour volume = - 11.38 + (1.97 x bidimensional measurement). Conclusion: There is a very strong positive correlation between bidimensional and volume measurement of NPC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Maratani
Abstrak :
Latar belakang: Pengukuran tumor primer karsinoma nasofaring KNF belum rutin dikerjakan karena bentuknya yang ireguler dengan infiltrasi yang ekstensif pada jaringan sekitarnya Pengukuran volume memiliki akurasi tinggi namun sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama Lebih lanjut belum ada penelitian yang membandingkan antara teknik pengukuran bidimensional dengan volume tumor primer KNF di Indonesia Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi ukuran bidimensional terhadap volume tumor primer KNF pada pemeriksaan Computed Tomography CT scan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode simple random sampling Subjek penelitian berjumlah 50 pasien KNF yang menjalani pemeriksaan CT scan nasofaring di Departemen Radiologi FKUI RSUPN CM Penelitian dilakukan sejak Juni hingga September 2015 Pengukuran volume tumor primer nasofaring pada PACS INFINITT dilanjutkan dengan pengukuran bidimensional satu minggu kemudian Hasil: Uji korelasi Spearman antara ukuran bidimensional dengan volume KNF memperlihatkan nilai p ......Background: Primary tumour measurement of the nasopharyngeal carcinoma NPC has not been routinely performed because of its irregular shape and extensive infiltration to adjacent structures Measuring the volume is highly accurate yet highly difficult and time consuming Moreover there has not been comparison study between the bidimensional and volume measurement of the primary tumour of NPC done in Indonesia before Purpose: To obtain the correlation value of the bidimensional measurement to the volume of the primary tumour of NPC using the CT scan Method: This study used a cross sectional design Fifty subjects were chosen using simple random sampling from NPC patients that underwent nasopharyngeal CT scan at the Radiology Department of the Indonesia University's Faculty of Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital This study was done from June until September 2015 NPC volume measurement was performed using PACS INFINITT followed by the bidimensional measurement one week after Results: Spearman correlation test between bidimensional and volume measurement of NPC shows p value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Denie Kartono
Abstrak :
Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS. Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification. Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity. Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record. Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles. Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vien Arina Ridwan
Abstrak :
Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah awal yang penting dan akan memengaruhi analisis forensik selanjutnya. Pada kasus tertentu, identifikasi jenis kelamin terbatas pada tulang jenazah. Mastoid merupakan bagian tulang yang potensial, didukung dengan dimorfisme seksual tinggi, keutuhan dan simetrisitasnya. Tinggi mastoid konsisten menunjukkan nilai akurasi diskriminasi jenis kelamin yang cukup tinggi. Kombinasinya dengan parameter osteometrik lainnya meningkatkan akurasi hingga 85%. Di Indonesia, penelitian radiologis mengenai estimasi jenis kelamin berdasarkan parameter mastoid masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian awal yang dapat mendukung penelitian pada cakupan yang lebih mendalam. Tujuan: Menilai perbandingan rerata pengukuran parameter osteometrik mastoid antara jenis kelamin, serta menentukan akurasi dan model prediksi estimasi jenis kelamin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan potong lintang, menggunakan data sekunder antemortem parameter osteometrik mastoid dari CT scan multiplanar. Tinggi mastoid sejati dan konvensional, diameter oblik dan sagital, serta volume mastoid diukur pada mastoid kanan dan kiri subjek. Jumlah subjek sebanyak masing-masing 105 perempuan dan laki-laki. Analisis komparatif dan penentuan titik potong dengan kurva ROC untuk menentukan akurasi (batas kemaknaan statistik alpha 5%). Model prediksi diperoleh dengan analisis regresi logistik. Hasil: Didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh parameter mastoid antara laki-laki dan perempuan (p 0,000). Nilai AUC pada seluruh parameter mastoid berkisar antara 91,1%-96,5% dengan akurasi dalam estimasi jenis kelamin laki-laki berkisar antara 87%-93%. Estimasi jenis kelamin laki-laki menggunakaan kombinasi tinggi mastoid sejati dan konvensional, serta volume mastoid tertinggi dapat mencapai probabilitas sebesar 97%. Kesimpulan: Parameter osteometrik mastoid antara jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan dan akurasi yang tinggi untuk estimasi jenis kelamin. ......Background: Gender identification is an initial and essential step for further forensic analysis. In certain cases, gender identification is often restricted to skeletal remains. Mastoid process is potential skeletal remains for gender estimation, considering its sexual dimorphism, strength, and symmetry. Mastoid height demonstrates consistent high accuracy in gender discrimination. Combinated with other mastoid parameters enhances its accuracy for up to 85%. In Indonesia, radiological research on gender estimation using these parameters is limited, requiring initial study to support deeper research scope. Objective: To compare mastoid osteometric parameter measurements between gender, to assess its accuracy and prediction model for gender estimation. Methods: This study was a cross-sectional comparative study using secondary antemortem measurements of mastoid osteometric parameters from multiplanar CT scan, which included bilateral true and conventional mastoid height, oblique and sagittal diameter, and mastoid volume measurements. Measurement datas from 105 male and female subject were analyzed. Comparative analysis and cut-off point were determined using ROC curve analysis to obtain accuracy. Statistical significance threshold used was alpha 5%. Prediction model was obtained from logistic regression analysis. Results: All mastoid osteometric parameters showed significant differences between gender (p 0,000). AUC value from all parameters ranged from 91,1% to 96,5%, with accuracy for male gender estimastion ranged from 87% to 93%. Combination of true and conventional mastoid height, and mastoid volume offered probability of male estimation for up to 97%. Conclusion: Mastoid osteometric parameters in each gender group demonstrated statistically significant differences and highly accurate for gender estimation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Lukmana
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Metode Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa. Hasil dan diskusi Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani, kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif. Kesimpulan Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.
ABSTRACT
Objectives To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated to surgery planning. Methods It’s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes. Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test. Results and Discussion Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22 and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles, posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05 with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative findings are suitable and significant. Conclusions There is a significant suitability between preoperative CT scan and intraoperative findings in malignant CSOM patients. The suitability level of preoperative CT scan using 0.6 mm or 1 mm slices classified in that category quite good and significantly.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumampouw, Marshal
Abstrak :
Latar Belakang: Peningkatan kasus kanker tiroid belakangan ini menimbulkan pertanyaan tentang overdiagnosis. ACR-TIRADS merupakan sistem stratifikasi yang dikembangkan untuk mengurangi overdiagnosis dalam mendeteksi kanker tiroid dengan menggunakan ultrasonografi. AI-TIRADS merupakan modifikasi baru dari ACR-TIRADS yang diklaim memiliki nilai diagnostik yang lebih baik, namun AI-TIRADS belum pernah diuji pada populasi Indonesia. Tujuan: Peneliti ingin mengetahui apakah AI-TIRADS memang benar lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS dalam menentukan keganasan suatu nodul tiroid. Metode: Penelitian ini mengevaluasi 124 nodul tiroid yang terdiri atas 62 nodul jinak dan 62 nodul ganas berdasarkan ACR-TIRADS dan AI-TIRADS. Setiap penentuan keganasan didasarkan dari lima kategori yang dipakai oleh TIRADS (komposisi, ekogenisitas, bentuk, tepian dan fokus ekogenik). Hasil temuan kedua sistem stratifikasi risiko ini kemudian dibandingkan nilai diagnostiknya dengan pemeriksaan sitopatologi berdasarkan kriteria Bethesda. Hasil: AI-TIRADS secara umum menunjukkan nilai diagnostik yang lebih baik daripada ACR-TIRADS. Tingkat kesesuaian AI-TIRADS terhadap pemeriksaan sitopatologi lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS (0,387 dan 0,242). Spesifisitas AI-TIRADS lebih baik (58,06% vs 41,94%; p< 0,00) dibandingkan ACR-TIRADS, namun sensitivitas AI-TIRADS sedikit lebih rendah dibandingkan ACR-TIRADS (80,65% vs 82,26%; p<0,00). AI-TIRADS juga memiliki nilai duga positif dan nilai duga negatif yang lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS (AI-TIRADS: 65,79% dan 75% vs ACR-TIRADS: 58,62% dan 70,27%). Kesimpulan: AI-TIRADS memiliki nilai diagnostik yang lebih baik dan dapat mengurangi jumlah positif palsu, namun AI-TIRADS masih memiliki kesulitan dalam mendeteksi keganasan pada nodul tiroid yang padat kistik. Diperlukan pengembangan lebih lanjut dari AI-TIRADS untuk meningkatkan kemampuan diagnostik dalam menentukan keganasan nodul tiroid, khususnya pada nodul padat kistik. ......Background: The recent increase in thyroid cancer cases has raised questions about overdiagnosis. ACR-TIRADS is a risk stratification system developed to reduce overdiagnosis in thyroid cancer detection using ultrasound. AI-TIRADS is a recent modification of ACR-TIRADS claimed to have better diagnostic value, but it has not been tested in the Indonesian population. Objective: The author aimed to determine whether AI-TIRADS is indeed superior to ACR-TIRADS in assessing the malignancy of thyroid nodules. Methods: This study evaluated 124 thyroid nodules, consisting of 62 benign and 62 malignant nodules, based on ACR-TIRADS and AI- TIRADS. Malignancy determinations were based on five categories used by TIRADS (composition, echogenicity, shape, margins, and echogenic foci). The findings of both risk stratification systems were then compared with their diagnostic values in cytopathological examinations based on Bethesda criteria. Results: AI- TIRADS, in general, demonstrated superior diagnostic value compared to ACR- TIRADS. The concordance rate of AI-TIRADS with cytopathological examinations was better than that of ACR-TIRADS (0.387 and 0.242). AI-TIRADS exhibited better specificity (58.06% vs. 41.94%; p < 0.00) compared to ACR-TIRADS, although AI-TIRADS had slightly lower sensitivity (80.65% vs. 82.26%; p < 0.00) compared to ACR-TIRADS. AI-TIRADS also had better positive predictive values and negative predictive values (AI-TIRADS: 65.79% and 75% vs. ACR-TIRADS: 58.62% and 70.27%). Conclusion: AI-TIRADS has better diagnostic value and managed to reduces the number of false positives. However, AI-TIRADS still faces challenges in detecting malignancy in solid cystic thyroid nodules. Further development of AI-TIRADS is needed to enhance its diagnostic capabilities in determining the malignancy of thyroid nodules, especially in solid cystic nodules.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>