Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noorcahya Amalia
"Pendahuluan : Pembedahan laparoskopik abdomen memerlukan anestesia yang dalam dan relaksasi otot yang maksimal untuk memperbaiki lapang pandang pembedahan dan menurunkan angka komplikasi pascabedah. Pemberian dosis tinggi rokuronium dan sevofluran terkadang tidak terhindarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian magnesium sulfat sebagai adjuvan akan menurunkan konsumsi sevofluran dan rokuronium pada bedah laparoskopik abdomen.
Metode : Penelitian ini merupakan studi acak tersamar ganda yang mengikutsertakan 42 pasien yang menjalani laparoskopik bedah abdomen. Sampel dilakukan pengkelompokan dengan metode acak tersamar ganda, rasio 1:1, kedalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat 10% (A) sebanyak 25 mg/kgbb bolus dalam 30 menit dilanjutkan dengan 10 mg/kgbb/jam selama intrabedah. Kelompok kedua adalah kelompok plasebo (B) yang diberikan volume yang sama NaCl 0,9%. Sevofluran diberikan selama tindakan anestesi untuk mempertahankan nilai BIS 40-60. Rokuronium tambahan diberikan jika nilai TOF Count ≥1. Kedua kelompok kemudian akan dinilai konsumsi sevofluran dan rokuronium selama tindakan sebagai tujuan utama dan dilakukan penilaian rerata tekanan arteri, nadi dan waktu ekstubasi sebagai tujuan tambahan. 
Hasil : Konsumsi sevofluran secara signifikan lebih rendah pada kelompok magnesium (A) dibandingan dengan kelompok plasebo (B) [9.57(±2,79) VS 12.35 (±4,95) ml/jam] dengan p value  = 0.031. Konsumsi rokuronium juga secara signifikan lebih rendah pada kelompok magnesium (A) dibandingkan kelompok plasebo (B). [0.36(±0.09) VS 0,47(±0,16) mg/kgbb/jam] dengan p value 0.01. Terdapat perbedaan signifikan tekanan rerata arteri pasca-insuflasi, tetapi tidak ada perbedaan signifikan nadi maupun waktu ekstubasi. Kesimpulan : Pemberian magnesium sulfat sebagai adjuvan anestesi umum dapat menurunkan konsumsi sevofluran dan rokuronium pada bedah laparoskopik abdomen.

Background: Deep anesthesia and neuromuscular relaxation are needed in laparoscopic abdominal surgery to reduce possibility of postoperative complication and improve surgeon satisfaction. High dose of rocuronium and sevoflurane might be needed. This study aimed to investigate administration magnesium sulfate as adjuvant would reduce rocuronium and sevoflurane consumption in patient who went laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This study was a double blind randomized controlled trial involving 42 patient who underwent abdominal laparoscopic surgery. Subject were blindly randomized into two groups at a 1:1 ratio. First group received magnesium sulfat as A groups (loading dose 25 mg.kg-1 over 30 minutes and followed by 10 mg.kg-1.hr-1) during surgery and second group was B group was administered the same volume of NaCl 0.9%. Sevoflurane was administered to maintain anesthesia depth within BIS range 40-60. Supplementary of rocuronium intraoperative was given if TOF Count reached ≥ 1. All group was assessed for sevoflurane and rocuronium consumption as primary outcome. Both groups mean arterial pressure, heart rate and time of extubation also assessed as secondary outcome.
Result: Consumption of sevoflurane significantly lower in magnesium group [9.57(±2,79) VS 12.35 (±4,95) ml.hr-1] with p value  = 0.031. Consumption of rocuronium is also significantly lower in A groups than in B groups [0.36(±0.09) VS 0,47(±0,16) mg.kg-1.hr-1] with p value = 0.01. There is significant mean arterial pressure differences during post-insuflation. Meanwhile there is no difference on heart rate  and time of extubation between two groups
Conclusion: Administration of magnesium sulfat as adjuvant in general anesthesia reduce sevoflurane and rocuronium consumption during laparoscopic abdominal surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
"Latar belakang : Teknik blok popliteal menggunakan stimulator saraf masih menjadi pilihan di Indonesia. Keberhasilan blok meningkat jika pengetahuan dan pemahaman landmark anatomi baik. Landmark anatomi berupa jarak titik pereabangan saraf skiatik terhadap lipatan fossa popliteal dan kedalaman titik tersebut dari kulit. Perbedaan landmark anatomi dapat terjadi karena perbedaan ras akibat perbedaan ukuran tulang panjang dan massa otot. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kelamin, usia, dan data antropometri terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia dengan menggunakan panduan ultrasonografi. Metode : Penelitian bersifat analitik observasional dengan raneangan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Januari-April 2017 setelah medapatkan izin dari komite etik. Usaha meneari gambaran pereabangan saraf skiatik pada tungkai kanan dan kiri menggunakan ultrasonografi dua dimensi dilakukan pada 107 pasien yang akan menjalani operasi bedah tereneana di Instalasi Bedah Terpadu. Data yang diperoleh dianalisis melalui SPSS untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara jenis kelamin, usia tinggi badan, berat badan dan IMT terhadap landmark blok popliteal serta memperoleh formula prediksi landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia. Hasil : Pada penelitian ini diperoleh hubungan bermakna jenis kelamin, tinggi badan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke lipatan fossa popliteal dan hubungan bermakna berat badan, IMT terhadap jarak pereabangan saraf skiatik pada permukaan kulit dengan nilai p <0.005. Tinggi badan dorninan berpengaruh terhadap jarak pereabangan saraf skiatik dari lipatan fossa popliteal (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) sedangkan berat badan dominan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke permukaan kulit (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). Formula prediksi jarak pereabangan skiatik dari lipatan fossa popliteal (em) pada tungkai kanan - 12.548 + 0.133 x (Tb dalam em) dan tungkai kiri -6.549 + 0.091 x (Tb dalam em) + 0.63 x Jenis Kelamin. Formula prediksi jarak pereabangan skiatik ke kulit pada tungkai kanan 0.277 + 0.288 x (BB dalam kg) dan tungkai kiri 0.319 + 0.028 x (BB dalam kg) Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelarnin dan data antropometrik terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia.

Background : Popliteal nerve block with nerve stimulator remains as peripheral nerve block of choice in Indonesia. The successfulness of such block increases with better knowledge of anatomical landmark is the distance between the point of sciatic nerve to the popliteal fossa crease. The anatomical landmark might differ between races due to different bone length and mucle mass. This study aimed to observe the influence between races, age, and anthropometric data to the landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia by using ultrasonography guidance. Methods : This was an observational analytic study with cross-sectional design. This study was held ini Cipto Mangunkusumo Hospital from January-April 2017 following approval from ethical committee. An attempt to find the sciatic nerve branch on the left and right limb by using ultrasonography was done in I 07 patients undergoing surgery. Data was analysed by using SPSS to observe the relationship between age, sex, body weight and height, and BMI to such landmark Result : This study generated that sex and body height had strong association with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease. Strong association was also observed between body weight and BMI to such distance. Body height was associated with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) while body weight was associated with the distance of sciatic nerve branch to skin surface (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (em) in right limb was -12.548 + 0.133 x (body height in em) and in left limb was -6.549 + 0.091 x (body height in em) + 0.63 x age. The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the skin surface (em) in the right limb was 0.277 + 0.288 x (body weight in kg) and in left limb was 0.319 + 0.028 x (body weight in kg) Conclusion: Sex and anthropometric data were associated with the anatomical landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2017
T58309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Wiji Wicaksono
"Latar Belakang: Intubasi nasotrakeal adalah manajemen jalan napas yang banyak digunakan, terutama pada operasi di daerah oral. Beragam perangkat ditemukan untuk melakukan teknik intubasi, seperti video laringoskop. Penggunaan Video Laringoskop C-MAC® (CMAC) memungkinkan visualisasi glottis yang lebih baik bila dibandingkan dengan laringoskop Machintosh. Pada kasus jalan napas sulit, CMAC meningkatkan angka kesuksesan intubasi orotrakeal. Namun perangkat ini
tidak umum digunakan pada intubasi nasotrakeal. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 86 subjek penelitian untuk membandingkan keberhasilan intubasi dan durasi waktu intubasi nasotrakeal pada pasien dewasa ras Melayu antara penggunaan laringoskop video C-MAC® dengan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok derajat 2 atau 3, hipertensi tak terkontrol, Sindrom Guillen Barre, Myasthenia Gravis, dan
kontraindikasi intubasi nasotrakeal. Hasil: Penggunaan CMAC meningkatkan angka keberhasilan upaya pertama kali intubasi (RR 1,265, CI 95% (1.084-1.475)) dan membutuhkan durasi waktu
intubasi yang lebih singkat (nilai p<0,001) dibandingkan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh pada populasi dewasa ras Melayu. Simpulan: Pada pasien dewasa ras Melayu, intubasi nasotrakeal lebih mudah dengan menggunakan video laringoskop CMAC dibandingkan dengan menggunakan laringoskop konvensional Macintosh. Kemudahan intubasi didefiniskan sebagai keberhasilan upaya pertama kali yang lebih sering dan waktu prosedur intubasi yang lebih singkat.

Background: Nasotracheal intubation is a widely used airway management, especially in oral surgery. Various devices were found to perform intubation techniques, such as video laryngoscopes. The use of the C-MAC® Video Laryngoscope (CMAC) enables better glottis visualization compared to the
Machintosh laryngoscope. In the case of a difficult airway, CMAC increases the success rate of orotracheal intubation. However, this device is not commonly used in nasotracheal intubation. Methods: A single blinded randomized clinical trial study of 86 subjects has been done to compare the success of intubation and duration of nasotracheal intubation
in adult Malay patients between the use of C-MAC® video laryngoscopes and the use of a conventional Macintosh laryngoscope. Exclution criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, heart failure, second or third degree block, uncontrolled hypertension, Guillen Barre syndrome, Myasthenia Gravis, and contraindications to nasotracheal intubation. Results: The use of CMAC increased the success rate of the first attempt at intubation (RR 1,265, 95% CI (1,084-1,475)) and required a shorter duration of intubation (p value <0.001) than the use of conventional Macintosh laryngoscopes in the adult Malay race population. Conclusion: In adult Malay patients, nasotracheal intubation is easier using the CMAC video laryngoscope compared to using a conventional Macintosh
laryngoscope. The ease of intubation is defined as the high rate of successful first attempt and the shorter time of the intubation procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadius Eka Santoso
"Latar Belakang: Intensive care unit-acquired weakness (ICU-AW) adalah salah satu masalah yang dihadapi dalam manajemen pasien kritis karena dihubungkan dengan ventilasi mekanik berkepanjangan sehingga meningkatkan risiko komplikasi dan mortalitas selama di ICU. Mobilisasi dini seperti neuromuscular electrical stimulation (NMES) dilaporkan bermanfaat mengurangi durasi penggunaan ventilator di ICU. Telaah sistematik dan meta-analisis ini dibuat untuk menyimpulkan dampak dari NMES terhadap durasi penggunaan ventilator di ICU. Tujuan: Mengetahui dampak spesifik penggunaan NMES terhadap durasi penggunaan ventilator pada pasien ICU. Metode: Studi eligibel hingga Januari 2022 terinklusi dalam studi. Pencarian literatur dilakukan melalui database jurnal berbasis elektronik yaitu Cochrane, EBSCOHost, Scopus, dan Pubmed dengan kata kunci spesifik dan operator boolean. Studi terinklusi dievaluasi untuk risiko bias dengan Cochrane RoB 2 dan estimasi besar efek dilakukan dengan fixed effect model menggunakan perangkat lunak Review Manager 5.4. Hasil: Pencarian literatur menghasilkan 9 studi yang terinklusi dalam meta-analisis. Dari penggabungan data, disimpulkan bahwa penggunaan NMES berhubungan dengan penurunan durasi penggunaan ventilator (MD -1.48; 95% CI: -2,54 – -0,41, p = 0,007, I 2 =30%, fixed-effect modelling). Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian NMES dapat menurunkan durasi penggunaan ventilator di ICU.

Background: Intensive Care Unit-Acquired Weakness (ICU-AW) is one of the problems faced in critical medicine management, associated with prolonged mechanical ventilation (PMV) thereby increasing risk and mortality while in the ICU. Early mobilization such as neuromuscular electrical stimulation (NMES) has been reported to be beneficial in reducing the duration of mechanical ventilation in the ICU. This systematic review and meta-analysis was conducted to conclude the impact of NMES on the duration of mechanical ventilation in the ICU. Objective: To determine the impact of the use of NMES on duration of mechanical ventilation in ICU patients. Methods: Eligible studies up to January 2022 were included in the study. The literature search was carried out through electronic-based journal databases, namely Cochrane, EBSCOHost, Scopus, and Pubmed with specific keywords and boolean operators. The included studies were evaluated for risk of bias with Cochrane RoB 2 and estimation of effect size was performed using a fixed effect modelling using Review Manager 5.4 software. Results: The literature search yielded 9 studies that were included in the meta- analysis. From the pooled data, it was concluded that NMES administration was associated with a decrease in the duration of mechanical ventilation (MD -1.48; 95% CI: -2.54 – -0.41, p = 0.007, I2 = 30%, fixed-effect modeling). Conclusion: This study concluded that the administration of NMES reduces the duration of ventilator use in the ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library