Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Budi Darmawan
Abstrak :
Vaksinasi Covid-19 di daerah menimbulkan suatu tantangan dan hambatan tersendiri bagi tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan menghadapi tantangan dan hambatan seperti penolakan dari masyarakat, kabar bohong, dan kurangnya dukungan lintas sektoral. Latar tempat riset ini adalah Puskesmas Sukajadi, sebuah Puskesmas pedesaan yang berada di daerah Tapal Kuda Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode etnografi. Peneliti melakukan kegiatan observasi dan wawancara dari Februari 2020 hingga Februari 2021. Peneliti mengerangkai tulisan ini dengan menggunakan konsep resiliensi gelombang ketiga yang melihat individu sebagai bagian dari kelompok dan jejaring kebudayaan. Hasil penelitian ini menunjukkan tenaga kesehatan mengalami kewalahan dan moral distress dalam proses vaksinasi Covid-19. Tenaga kesehatan melakukan beberapa cara untuk menghadapi situasi sulit tersebut dengan menghiraukan emosi negative yang mereka rasakan, koping religius, berkumpul bersama orang yang mereka sayangi seperti suami dan anak, serta menjalankan hobi. ......Covid-19 vaccination in the regions poses a challenge and obstacle fro health workers. Health works face chellenges and obstacles such as rejection from the sommunity, fake news, and a lack of cross-sectoral support. The setting for this research is the Sukajadi Public Health Center, a rural health center located in the Tapal Kuda area of East Java. This research was conducted usiang ethnographic methods. Researchers carried out observations and interviews from February 2020 to February 2021. Researchers framed this paper by using concept of third wave resiliense, which sees individuals as part of cultural groups and networks. The result of this study indicate that health workers were overwhelmed and morally distressed in the Covid-19 vaccination process. Health works tahe several ways to deal with this difficult situation by being indifferent, coping religiously, hanging out with people they case about such as husbands, and children, and doing hobbies.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolanda Teja
Abstrak :
Latar belakang: Seiring bertambahnya usia, kerut nasolabial (nasolabial fold /NLF) merupakan salah satu area wajah yang menjadi prioritas untuk dikoreksi. Diperlukan modalitas peremajaan wajah yang efektif dengan sesi terapi minimal untuk mengurangi jumlah kunjungan, salah satunya adalah akupunktur tanam benang (thread embedding acupuncture/TEA) Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas satu sesi TEA dibanding dengan 6 sesi terapi manual akupunktur (MA) untuk mengurangi NLF. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal dilakukan pada total 30 wanita yang memenuhi kriteria inklusi. Peserta penelitian dialokasikan dalam 2 kelompok yaitu kelompok TEA yang mendapat 1 sesi terapi dan MA yang mendapat 6 sesi terapi. Dilakukan pengukuran panjang NLF menggunakan caliper vernier, skala Wrinkle Severity Rating Scale (WSRS) dan penilaian kepuasan hasil terapi menggunakan skala visual analogue scale (VAS). Pengukuran dilakukan pada saat sebelum memulai terapi, setelah menyelesaikan terapi, follow- up (FU) minggu ke-2 dan 4. Data diolah menggunakan SPSS 2.0 Hasil: Perbandingan perbedaan rerata luaran antara kelompok TEA dan MA pada saat menyelesaikan terapi menunjukkan hasil perbaikan yang bermakna pada perubahan panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p <0,001), WSRS (Uji Mann Whitney, p <0,001), dan kepuasan (Uji T Tidak Berpasangan, p <0,001). Pada FU minggu kedua, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok berdasarkan pengukuran panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,170), dan kepuasan (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,991), serta perbedaan bermakna pada WSRS (Uji Mann Whitney, p 0,018). Pada FU minggu keempat, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok berdasarkan pengukuran panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,079), WSRS (Uji Mann Whitney, p 0,082), dan perbedaan yang bermakna pada kelompok TEA pada skor kepuasan (Uji Mann Whitney, p 0,036). Kesimpulan: Perbaikan NLF pada TEA semakin baik dari waktu ke waktu, sementara MA menunjukkan perbaikan paling tinggi pada saat tepat setelah menyelesaikan terapi. Pada FU minggu ke 4 didapatkan hasil yang sama baik pada kedua kelompok untuk perbaikan panjang NLF dan WSRS. Namun demikian, nilai kepuasan kelompok TEA pada FU minggu ke 4 memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding MA. Selain itu, TEA memiliki keunggulan hanya memerlukan 1 sesi terapi sehingga dapat meminimalisir sesi kunjungan. ......Background: As we age, the nasolabial fold (NLF) become one of the areas of the face as a priority for correction. An effective facial rejuvenation modality such thread embedding acupuncture (TEA) is needed with minimal therapy sessions to reduce visit numbers. This study was conducted to see the effectiveness of one session of TEA compared to 6 sessions of manual acupuncture (MA) to reduce NLF . Methods: A single-blind randomized controlled clinical trial was conducted on a total of 30 women who met the inclusion criteria. Participants were allocated into 2 groups: TEA group with single session of therapy, and MA group with 6 sessions of therapy. The outcomes of the study were the length of NLF measured by vernier caliper, WSRS scale and satisfaction score using visual analogue scale (VAS). Measurement was carried out before starting therapy, right after completing therapy, 2 weeks and 4 weeks of follow-up (FU). Data processed using SPSS 20.0 Result: Comparison of the mean difference in outcomes between the TEA and MA groups at the time of completion of therapy showed significant improvements in changes of NLF length (Independent T-Test, p <0.001), WSRS (Mann Whitney test p <0.001), and satisfaction (Independent T-Test, p <0.001). In the second week of FU, there was no significant difference between groups based on the measurement of NLF length (Independent T-Test, p 0.170), and satisfaction (Independent T-Test, p: 0.991), and a significant difference in WSRS (Mann Whitney test, p 0.018). At the fourth week of FU, there was no significant difference between the two groups based on the measurement of the length of the NLF (Independent T-Test, p 0.079), WSRS (Mann Whitney test, p 0.082), and a significant difference in the TEA group in satisfaction scores (Mann Whitney test, p 0.036). Conclusion: The improvement of TEA group in NLF reduction showed a pattern of getting better from time to time, while MA group showed the best improvement at the time after completing therapy. At the fourth week of FU, the results for improvement in the length of NLF and WSRS were same in both groups. However, the satisfaction score of TEA group at fourth week of FU has higher value than the MA. In addition, TEA only requires 1 session so that it is expected to be able to minimize sessions
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Ishak
Abstrak :
Luka bakar didefinisikan sebagai kerusakan jaringan yang terjadi akibat aksi panas baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun telah banyak kemajuan yang dibuat dalam terapi luka bakar, namun penyembuhan luka yang lambat masih menjadi tantangan dalam perawatan luka bakar. Akupunktur manual dapat mempercepat penyembuhan luka bakar melalui efek anti-inflamasi, meningkatkan re-epitelisasi dan angiogenesis. Sedangkan laser akupunktur merupakan terapi yang menggunakan laser enersi rendah untuk merangsang titik akupunktur. Penelitian ini menilai pengaruh akupunktur manual dan laser akupunktur terhadap kecepatan penyembuhan luka bakar yang diamati secara makroskopik dan mikroskopik. Tiga puluh enam tikus Wistar jantan dibagi secara acak kedalam kelompok kontrol (n=12), kelompok akupunktur manual (n=12), dan kelompok laser akupunktur (n=12). Setelah dilakukan induksi luka bakar, pengukuran luka dan perlakuan diberikan setiap dua hari sekali selama 14 hari. Separuh jumlah dari setiap kelompok diterminasi pada hari ke-7 dan separuh sisanya diterminasi pada hari ke-14 untuk dilakukan pengamatan mikroskopik. Pada pengukuran penutupan luas luka hari ke-14, didapatkan perbedaan bermakna (p=0,009) antara kelompok akupunktur manual (66,96 ± 9,17) dibandingkan kelompok kontrol (49,93 ± 9,15), dan perbedaan yang bermakna (p=0,009) antara kelompok laser akupunktur (72,48 ± 14,62) dibandingkan kelompok kontrol. Namun tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,451) antara kelompok akupunktur manual dan laser akupunktur. Pada penilaian skoring mikroskopik hari ke-14 didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001) antara kelompok akupunktur manual (16,17 ± 1,17) dibandingkan kelompok kontrol (10,33 ± 1,21), dan perbedaan yang bermakna (p=0,004) antara kelompok laser akupunktur (17,83 ± 1,47) dibandingkan kelompok kontrol. Namun tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,058) antara kelompok akupunktur manual dan laser akupunktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik terapi akupunktur manual ataupun laser akupunktur dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk mempercepat penyembuhan luka bakar. ......Burns are defined as tissue damage that occurs as a result of the direct or indirect action of heat. Although many advanced treatments have been made in burn therapy, slow wound healing remains a challenge in burn treatment. Acupuncture can accelerate burn healing through its anti-inflammatory effect, increasing re-epithelialization and angiogenesis. While laser acupuncture is a therapy that uses low energy lasers to stimulate acupuncture points. This study assessed the effect of manual acupuncture and laser acupuncture on the speed of wound healing which were observed macroscopically and microscopically. Thirty-six male Wistar rats were randomly divided into control group (n=12), acupuncture group (n=12), and laser acupuncture group (n=12). After burn induction, wound measurements and treatments were given every two days for 14 days. Half of the numbers from each group were terminated on the 7th day and the remaining half were terminated on the 14th day for microscopic observation. On the 14th day of measurement of wound closure, there was a significant difference (p=0.009) between the acupuncture group (66.96 ± 9.17) compared to the control group (49.93 ± 9.15), and a significant difference (p =0.009) between laser acupuncture group (72.48 ± 14.62) compared to control group. However, there was no significant difference (p=0.451) between acupuncture and laser acupuncture groups. On the 14th day of microscopic scoring, there was a significant difference (p<0.001) between the acupuncture group (16.17 ± 1.17) compared to the control group (10.33 ± 1.21), and a significant difference (p = 0.004) between the laser acupuncture group (17.83 ± 1.47) versus the control group. However, there was no significant difference (p=0.058) between acupuncture and laser acupuncture groups. The results showed that either acupuncture therapy or laser acupuncture could be used as an adjunct therapy to accelerate burn healing.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisma Perdana Harja
Abstrak :
Nyeri merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami populasi geriatri di dunia dan menimbulkan penurunan kualitas hidup, fungsionalitas, serta beban sosioekonomi yang besar. Polifarmasi, tingginya angka kejadian demensia dan gangguan kognitif lain, serta meningkatnya sensitivitas terhadap obat analgesi menyebabkan rentannya populasi geriatri mendapatkan penanganan nyeri yang tidak adekuat. Penanganan nyeri yang tidak adekuat ini disertai berbagai perubahan fisiologis pada populasi geriatri meningkatkan risiko terbentuknya nyeri kronik, kerentaan, depresi dan ansietas, peningkatan morbiditas, serta penurunan kualitas hidup dan fungsionalitas. Populasi geriatri diperkirakan terus meningkat tiap tahunnya baik di Indonesia dan dunia; hal ini disertai dengan sulitnya pemberian analgesi yang adekuat menyebabkan perlunya penanganan nyeri yang efektif dan aman. Berbagai penelitian menunjukkan akupunktur dapat menurunkan nyeri pada populasi geriatri. Studi berupa telaah sistematis ini bertujuan untuk memaparkan peran akupunktur dalam menurunkan skala nyeri pada pasien geriatri dengan nyeri akut. Dilakukan pencarian literatur secara sistematis pada sumber data Google Scholar dan PubMed menggunakan kata kunci acupuncture, manual acupuncture, electroacupuncture, laserpuncture, laser acupuncture, ear acupuncture, battlefield acupuncture, pain, dan acute pain. Setelah studi yang didapatkan disingkirkan duplikasinya serta dipilah berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan tujuh studi yang digunakan dalam pembahasan; dengan skala nyeri yang digunakan mencakup Visual Analog Scale (VAS), Numeric Rating Scale (NRS), McGill Pain Questionnaire (MPQ), dan Brief Pain Inventory (BPI). Dilakukan penilaian kualitas studi menggunakan Cochrane Risk of Bias Tool ver. 2, dan metode Grading of Recommendations, Assessment, Development, and Evaluations (GRADE) dan didapatkan secara umum studi yang didapatkan memiliki kualitas yang baik. Berdasarkan hasil dari ketujuh studi tersebut didapatkan bahwa pemberian akupunktur dapat menimbulkan penurunan skala nyeri VAS, NRS, MPQ, dan BPI yang signifikan baik secara statistik maupun klinis. Selain itu, didapatkan pula akupunktur dapat menurunkan kebutuhan obat-obat analgesi terutama opioid, serta aman untuk digunakan pada pasien geriatri dengan nyeri akut. ......Pain is one of the problems commonly found in geriatric population in the world; pain caused reduction in quality of life and functionality, and increase in socioeconomic burden. Polypharmacy, increase in dementia and other cognitive impairments, and increased sensitivity to analgesics side effects made the geriatric population vulnerable to inadequate analgesia. Inadequate analgesia coupled with various physiological changes in geriatric population increase the risk of forming chronic pain, frailty, depression and anxiety; increase morbidity, and reduce quality of life and functionality. It is estimated that the number of geriatric population will continue to increase in the future, whether in the world or in Indonesia. With the continuously increasing population and difficulty in giving an adequate analgesia, a form of pain management that is effective and safe for geriatric patients with acute pain is required. Many studies showed that acupuncture is effective and safe in the pain management of geriatric patients. This systematic review was done in order to explain the role of acupuncture in reducing pain scale scoring in geriatric patients with acute pain. Systematic literature searching was done using the keyword acupuncture, manual acupuncture, electroacupuncture, laserpuncture, laser acupuncture, ear acupuncture, battlefield acupuncture, pain, and acute pain. with Google Scholar and PubMed as database. After eliminating duplications and applying the inclusion and exclusion criteria, seven studies was found and used for analysis. The studies used in the analysis used Visual Analog Scale (VAS), Numeric Rating Scale (NRS), McGill Pain Questionnaire (MPQ), and Brief Pain Inventory (BPI). Quality assessment of the studies used in analysis was done using Cochrane Risk of Bias Tool ver. 2 and Grading of Recommendations, Assessment, Development, and Evaluations (GRADE); it was found that overall the quality of the studies used was good. Based on the analysis acupuncture was found to reduce pain scale scoring of VAS, NRS, MPQ, and BPI significantly, whether statistically or clinically. Acupuncture was also found to reduce analgesic requirements, especially opioids, and is safe to be given in geriatric patients with acute pain.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arlene
Abstrak :
Pendahuluan: Nyeri pada lansia masih merupakan tantangan yang besar bagi tenaga kesehatan. Tatalaksana nyeri akut menjadi penting karena penanganan nyeri akut yang inadekuat telah dihubungkan dengan luaran yang lebih buruk selama hospitalisasi, termasuk nyeri persisten, waktu perawatan yang lebih lama, hambatan pada terapi fisik, keterlambatan ambulasi, dan delirium. Penggunaan farmakoterapi harus lebih berhati-hati karena kelompok lansia lebih rentan terhadap efek samping dan interaksi obat, adanya polifarmasi dan komorbiditas yang lebih banyak. Akupunktur telah diketahui efektif untuk menangani berbagai macam nyeri pada geriatri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh satu sesi akupunktur dalam penurunan skala nyeri pada pasien geriatri dengan nyeri akut. Metode: Desain studi ini adalah studi uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal. Empat puluh lansia > 60 tahun dengan nyeri yang dialami ≤ 6 bulan atau perburukan dalam ≤ 6 bulan terakhir dan NRS ≥ 4 dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: kelompok terapi standar dan kelompok kombinasi terapi standar dan akupunktur. Perlakuan akupunktur dilakukan 1 sesi pada titik Battlefield Acupuncture. Seluruh subyek tetap menerima terapi standar yang ditentukan oleh dokter penanggungjawab pasien. Penilaian skor NRS dan VAS dilakukan 30 menit, 1 jam, dan 2 jam setelah menerima perlakuan. Hasil: Rerata penurunan skor NRS dan VAS pada kelompok yang menerima kombinasi terapi standar dan akupunktur pada ketiga waktu pengukuran lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan kelompok terapi standar (p<0,001). Kesimpulan: Pemberian satu sesi akupunktur dapat mempengaruhi kecepatan penurunan skala nyeri pada pasien lansia dengan nyeri akut. ......Introduction: Pain management in elderly still become problematic for health workers. Adequate acute pain treatment is important because ineffective management for acute pain is associated with poorer outcomes throughout hospitalization, such as persistent pain, longer hospitalization period, delayed ambulation, and delirium. The use of pharmacotherapy in this group should be more cautious because elderly is more susceptible to drug interaction and side effects, polypharmacy, and comorbidities. Acupuncture has been found to be effective and safe in treating various kinds of pain in elderly. The aim of this study was to determine the effect of one session acupuncture on pain scale reduction in geriatric with acute pain. Methods: This was a single blinded, randomized controlled trial of 40 elders with pain experienced ≤ 6 months or worsening in the last 6 months, with NRS ≥ 4. The subjects were divided into 2 groups: the standard therapy group and the combination of standard therapy and acupuncture group. Acupuncture treatment was performed one time using Battlefield Acupuncture points. All subjects continued to receive standard therapy as determined by the doctor in charge of the patient. NRS and VAS scores were assessed 30 minutes, 1 hour, and 2 hours after receiving treatment to evaluate patient’s outcome. Results: Both NRS and VAS scores showed significant differences between 2 groups at all measurement times (p<0,001), with the mean reduction of pain scales in the group receiving combination of standard therapy and acupuncture was better than in standard therapy group. Conclusion: The administration of one session acupuncture can affected pain scale reduction in elderly with acute pain
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwandy
Abstrak :
Nyeri kanker timbul pada sekitar 40% pasien kanker dan meningkat hingga 75-80% saat kankernya menyebar. Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis dengan opioid dapat menimbulkan efek samping, toleransi dan adiksi, sehingga diperlukan modalitas lain dalam mengatasi nyeri kanker. Akupunktur merupakan suatu modalitas terapi yang banyak digunakan untuk membantu kondisi ini. Penelitian terhadap penggunaan akupunktur aurikular sebagai terapi untuk nyeri kanker masih sedikit, dan belum terdapat suatu tinjauan sistematis untuk menilainya. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui efektivitas akupunktur aurikular pada nyeri kanker. Tinjauan sistematis ini menggunakan daftar periksa PRISMA. Dari 3 studi yang dianalisis, semuanya menunjukkan penurunan intensitas nyeri dan terdapat luaran tambahan berupa pengurangan dosis analgesik harian, jumlah obat, dan posisi dalam WHO analgesic ladder. Kualitas studi yang dinilai dengan Cochrane Risk of Bias Tool terbaru dan GRADE mengungkapkan bahwa meski terdapat risiko bias yang digunakan pada dua studi, namun masih termasuk dalam rekomendasi Moderate, sementara studi oleh Ruela dkk (2018) mendapat rekomendasi High. Dapat disimpulkan, meskipun studi yang dianalisa masih sedikit, namun kualitasnya cukup baik dalam memaparkan efektivitas akupunktur aurikular pada nyeri kanker. ......Cancer pain occurs in about 40% of cancer patients and increases to 75-80% when the cancer spreads. Pharmacological pain management with opioids can cause side effects, tolerance and addiction, so other modalities are needed in dealing with cancer pain. Acupuncture is a widely therapeutic modality to help this condition. There is little research of auricular acupuncture as a therapy for cancer pain, and there is no a systematic review to assess it. The purpose of this paper is to determine the effectiveness of auricular acupuncture on cancer pain. This systematic review uses the PRISMA checklist. Of the 3 studies analyzed, all showed a decrease in pain intensity and additional outcomes that is a reduction in the daily analgesic dose, drug amount, and position in the WHO analgesic ladder. The quality of the study assessed by Cochrane Risk of Bias Tool and GRADE revealed that although there was a risk of bias used in the two studies, it was still included in the Moderate recommendation, while the study by Ruela (2018) received a High recommendation. It can be concluded, although the studies analyzed are still few, they are of good quality in describing the effectiveness of auricular acupuncture in cancer pain.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irman
Abstrak :
Pendahuluan: COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2. Gejala klinis COVID-19 yang paling sering dialami adalah demam dan batuk. Infeksi SARS-CoV-2 ke dalam tubuh pejamu akan menimbulkan respon imun dari pejamu yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan berbagai penanda inflamasi, salah satunya adalah C-Reactive Protein (CRP). Saat ini belum ada terapi spesifik yang efektif untuk mengatasi COVID-19. Akupunktur yang merupakan modalitas terapi non-farmakologi yang telah terbukti dapat memberikan efek anti-inflamasi. Saat ini belum ada penelitian uji klinis akupunktur yang meneliti penanda inflamasi terhadap pasien COVID-19 yang telah dipublikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas akupunktur dalam menurunkan kadar CRP dan memperbaiki gejala batuk yang dialami pasien COVID-19 gejala ringan-sedang. Metode: Sebuah penelitian pilot dengan desain studi uji klinis acak tersamar tunggal. Dua puluh dua pasien COVID-19 terkonfirmasi melalui pemeriksaan RT-PCR yang memiliki gejala ringan-sedang yang sedang dirawat inap di rumah sakit dikelompokan dalam dua kelompok: kelompok perlakuan yang mendapat terapi standar dan intervensi akupunktur manual dan kelompok kontrol yang mendapat terapi standar. Intervensi akupunktir manual dilakukan setiap 2 hari dengan total 6 sesi terapi. Sebelum intervensi dilakukan pengukuran kadar CRP dan penentuan onset batuk dan setelah 6 sesi akupunktur dilakukan dilakukan pengukuran kadar CRP dan penentuan periode lama batuk. Hasil: Terjadi penurunan rerata kadar CRP pada kedua kelompok (p=0,397). Penurunan kadar CRP pada kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Gejala batuk lebih singkat pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p = 0,01). Kesimpulan: Kombinasi akupunktur manual dan terapi standar menurunkan kadar CRP dan penurunannya lebih besar dibandingkan dengan terapi standar. Namun, penurunan kadar CRP tidak bermakna secara statistik. Dan mempersingkat gejala batuk yang dialami pasien COVID-19 gejala ringan-sedang secara bermakna. ......Introduction: COVID-19 is a disease that caused by infection of SARS-CoV-2. The most common clinical symptoms of COVID-19 are fever and cough. SARS-CoV-2 infection into the host's body will cause an immune response which will cause systemic inflammation. This can be seen from the increase in various inflammatory markers, one of which is C-Reactive Protein (CRP). Currently there is no specific therapy that is effective for curing COVID-19. Acupuncture is a non-pharmacological therapeutic modality that has been shown to provide anti-inflammatory effects. Currently, there are no published studies of acupuncture clinical trials examining inflammatory markers in COVID-19 patients. The purpose of this study was to determine how effective acupuncture in reducing CRP levels and improving cough symptoms experienced by COVID-19 with mild-moderate symptoms patients. Methods: A pilot study with an experimental study design single blind randomized clinical trial. Twenty-two COVID-19 patients confirmed by RT-PCR examination who had mild-moderate symptoms who were being hospitalized were divided into two groups: the treatment group who received standard therapy and manual acupuncture intervention and the control group who received standard therapy. Manual acupuncture intervention was performed every 2 days for a total of 6 therapy sessions. Before the intervention, the CRP level was measured and the onset of the cough was determined and after 6 acupuncture sessions, the CRP level was measured and the period of cough was determined. Results: There was a decrease in the mean of CRP levels in both groups (p = 0.397). The decrease in CRP levels in the treatment group was greater than the control group. Cough symptoms were shorter in the treatment group than in the control group and this difference was statistically significant (p = 0.01). Conclusion: The combination of manual acupuncture and standard therapy reduced CRP levels and the decrease was greater than that of standard therapy. However, the reduction in CRP levels was not statistically significant. And shorten the cough symptoms experienced by mild-moderate COVID-19 patients significantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library