Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
"ABSTRAK
Masalah pokok yang ingin dibahas dalam disertasi ini adalah mengenai gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi dan pelaksanaannya dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca kemerdekaan. Sejarah demokrasi setelah kemerdekaan itu sendiri, oleh para ahli sering dibagi ke dalam tiga kurun zaman, yaitu masa Demokrasi Liberal (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Pancasila (1967-sekarang). DaIam ketiga periode ini, Indonesia telah memiliki 3 naskah konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (Konstitusi RIS), dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS 1950).
Sehubungan dengan itu, menarik unluk dikaji bagaimana perkembangan kedaulatan rakyat itu di Indonesia, baik yang tercermin dalam rumusan ketiga konstitusi itu maupun yang tercermin dalam praktek selama tiga masa demokrasi itu. Perkembangan ini penting ditelusuri, mengingat tema kedaulatan rakyat merupakan topik yang tidak pernah berhenti dibicarakan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak jauh sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Apalagi gagasan kedaulatan rakyat itu sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman moderen sekarang cenderung tidak lagi hanya dilihat sebagai konsep politik. Tema demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol dibandingkan dengan demokrasi politik. Orang semakin lama semakin sadar bahwa jaminan-jaminan akan hak-hak politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam suatu negara, terutama jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan ekonomi dalam masyarakat yang cenderung tidak memihak kepada lapisan masyarakat yang berada dalam struktur papan-bawah. Jaminan demokrasi politik tidak serta merta melahirkan kondisi yang demokratis dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Karena itu, gagasan demokrasi ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikemhangkan bersamaan dengan gagasan demokrasi politik."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D19
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utari
"Kemerdekaan merupakan salah satu derivasi atau yang diturunkan dan hak asasi manusia, dan salah satu kemerdekaan itu adalah kemerdekaan berserikat dan berkumpul, sebagaimana ditegaskan, dalam Pasal 28 UUD 1945. Ditinjau dari gerak pelaksanaannya, UUD 1945 dapat dibedakan dalam empat periode, yaitu : 1) Masa Demokrasi Liberal; 2) Masa Demokrasi Terpimpin; 3) Masa Demokrasi Pancasila; dan 4) Masa Refonnasi, serta terselang kurun waktu berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Efektivitas implementasi kemerdekaan berserikat dan berkumpul tersebut mengalami masa pasang surut. Keadaan pasang surut diukur secara kuantitatif berdasarkan keberadaan organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan wadah partisipasi aktif individu dalam negara.
Teori yang digunakan untuk menganalisis pengaturan dan penggunaan kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah teori konstitusi, konsep negara hukum, teori demokrasi, dan prinsip keadilan; sedangkan untuk mengkaji sinkronisasi horisontal dan vertikal antara pengaturan yang berhubungan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul digunakan Sluffenlheorie dari Hans Kelsen. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (legal research) dan karenanya pendekatan yang pertama digunakan adalah pendekatan yuridis. Untuk menunjang akurasi data maka digunakan pula pendekatan perbandingan (komparatif). Objek atau sasaran penelitian ialah sekitar pengaturan yang berkaitan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas implementasi kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah pada masing-masing periode berlakunya UUD 1945, yang pada akhimya dapat ditemukan adanya siklus yang menarik, yaitu pada awal suatu rezim, implementasi kemerdekaan berserikat dan berkumpul diberikan secara luas dan setelah rezim menemukan format politik baru, diadakan pembatasan.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya persamaan pada semua rezim dalam melakukan pembatasan, yaitu pembatasan pada ideologi dan pembatasan pada persyaratan mendirikan partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, saran yang dapat diberikan bahwa dalam mendirikan partai politik maka pengaturan pendiriannya seyogyanya memberikan kelonggaran sedangkan pembatasan dapat dilakukan pada saat partai politik tersebut akan menjadi peserta pemilu.

Derived from human rights, freedom comprises among others the freedom of association and assembly as prescribed in Article 28, Indonesian Constitution 1945. According to its implementation, the Constitution has passed four periods. They are the periods of: 1) Liberal Democracy; 2) Guided Democracy, 3) Pancasila Democracy and 4) the Reformation Period. It was, however, interjected by the enactment of Federal Indonesian Republic in 1949. In fact, the effective implementation of the freedom of association and assembly was inconsistently conducted. This condition is measured on the power of the existing sociopolitical organization where individuals actively participate in the state governance.
To analyze the rule and the usage of the freedom of association and assembly, theory of constitution, law-state concept, theory of democracy and the principles of justice are applied. Meanwhile, Hans Kelsen Sluffenlheorie is employed to analyze the horizontal and vertical synchronization of the rules related to the freedom of association and the freedom of assembly. This is actually legal research. Consequently, first, the jurisdiction approach is applied. To support data accuracy, comparative approach is implemented. The object and target are related to the rules related to the freedom of association and assembly.
The result shows that the effective implementation of the freedom of association and assembly was related to the government policy for the respective periods of 1945 Constitution practice. It is found out that there is an interesting cycle. At the early regime, the implementation of the freedom of association and assembly was widely given in the early regime and was subsequently limited as soon as the regime obtained a new political form.
The result also shows the similarity of limitation to all regimes, such as the limitation of ideology and requirement on the political party establishment. Therefore, it is advised that the limitation should be enacted when a political party intends to be a contestant of general election instead of during its establishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D566
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Muchtar
"Latar Belakang
Setelah Perang Dunia II, banyak bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya, khususnya di kawasan Asia dan Afrika. Kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaan itu diperoleh bangsa-bangsa tersebut setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada umumnya bangsa-bangsa yang melakukan penjajahan itu adalah bangsa-bangsa/negara-negara yang berada di kawasan Eropa Barat.
Bangsa-bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya itu umumnya mendasari pemerintahannya dengan sistem demokrasi.l Hal ini dapat dipahami sebab demokrasi senantiasa merupakan cita-cita yang hidup. Penyebab lainnya karena negara-negara penjajah itu di tanah airnya mempraktekkan sistem pemerintahan demokrasi, dan sebagian tokoh-tokoh dari bangsa terjajah.
Akan tetapi bangsa-bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya itu, dalam banyak hal justru tidak mempraktekkan pemerintahan demokrasi. Paling tidak dapat dikatakan, terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Ada tiga pelanggaran yang sering terjadi yakni:
1. Pembentukan pemerintahan yang tidak berdasarkan pilihan rakyat,
2. Pengadaan anggota lembaga perwakilan tidak melalui pemilihan umum, dan
3. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dengan berbagai cara. Padahal justru hak-hak asasi manusia merupakan bagian penting dari demokrasi itu sendiri.
Bahkan dalam melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu, banyak pemerintahan yang melakukannya dengan bertopengkan demokrasi.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut bersumber pada penyebutan sistem demokrasi. Ini juga dapat dilihat dari pendapat Gilette Hitchner dan Carol Levine:2
"Hampir setiap negara bagaimanapun system politiknya, mengklaim bahwa bentuknya adalah demokratis. Tetapi kadang-kadang kata "demokratis" itu dikwalifisir dengan ekspresi-ekspresi seperti ?basic?, "guided", "paternal", "traditional", atau "people", sehingga dalam realitasnya "tyrannical", dan "authoritarian".
Praktek-praktek pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu menjadi perdebatan serta menarik perhatian PBB. Ini mendorong berlangsungnya konferensi Internasional Commission of Jurist tahun 1965 di Bangkok yang berhasil merumuskan enam syarat agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi3 yaitu :
1. Perlindungan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal).
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
D251
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library