Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahmi Muhammad Ahmadi
"Pesantren yang merupakan subkultur bangsa Indonesia tentunya mempunyai struktur sosial sendiri yang unik. Kiai adalah tokoh sentral pesantren yang memimpin dan berdiri sebagai imam, guru juga pemilik lembaga pendidikan yang bernama pesantren. Sehingga kiai memiliki otoritas yang penuh terhadap persantren yang dipimpinnya. Tak berlebihan kalau kemudian kiai disebut sebagai salah satu dari agen perubahan sosial yang ada dalam pesantren dan juga cultural broker bagi pesantren. Sebagai sebuah organisasi, pesantren tidak hanya kiai yang disebut aktor. Ada beberapa aktor dalam pesantren, salah satunya adalah ibu nyai yaitu istri kiai pemilik atau pengasuh pesantren.
Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta adalah pesantren salaf yang didalamnya tradisi Islam NU sangat kental. Pendidikan klasikal masih menjadi metode pendidikan dalam pesantren tersebut. Peran kiai masih dominan sebagaimana layaknya pesantren pada umumnya. Tetapi ada beberapa ibu nyai dalam pesantren ini juga memiliki peran yang tidak kalah dengan kiai. Sebab ibu nyai tidak digambarkan sebagai pendamping kiai saja tetapi ada peranan yang ibu nyai mainkan karena ibu nyai termasuk dalam elit pesantren yang tentunya memiliki power sebagaimana layaknya elit sosial dalam masyarakat.
Seberapa ibu nyai dalam pesantren Al Munawwir ini turut serta untuk memberikan arti dalam perjalanan pesantren. Dimana ibu nyai turut berperan serta dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pesantren. Peran ibu nyai yang menonjol dalam pesantren merupakan basil dari proses yang berlangsung dalam diri ibu nyai. Adanya persepsi yang dimilikinya dan struktur sosial pesantren yang saling berinteraksi ditambah dengan adanya motif dan situasi serta kondisi yang mendukung membuat ibu nyai dapat melakukan reproduksi dan memainkan perannya dengan kesadarannya sendiri. Tak dapat dinafikan adanya dorongan dari aktor-aktor lain dalam pesantren yang mendorong ibu nyai.
Human capital yang dimiliki oleh ibu nyai membuat ibu nyai dapat memberdayakan dirinya dan membuatnya lebih berperan dalam komunitas pesantren. Saat ibu nyai telah mendapatkan tempat dan legitimasi dari komunitas pesantren sebagai alit ibu nyai dapat membawa angin perubahan bagi pesantren. Ibu nyai sebagai perempuan sanggup mengalokasikan power dalam tindakan sosialnya. Otoritas power yang dimiliki ternyata dimanfwkan sedemikian rupa oleh ibu nyai walaupun ibu nyai mendapatkan tantangan sebagai konsekuensi logis ketika ada sekelompok orang yang bplum siap.
Pesanlren salaf tidak seperti dibayangkan selama ini sebagai sesuatu yang ortodok dan kaku yang mengkungkung peran dan kebebasan perempuan. Di pesantren ini peran ibu nyai ternyata tidak lepas dari legitimasi yang diberikan oleh komunitas pesantren terlebih adanya kiai yang memberikan legitimasi tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juri Ardiantoro
"Penelitian ini secara umum berusaha menggambarkan dan menganalisis konteks perubahan politik Indonesia, khususnya pemilu yang diselenggarakan tahun 1999. Secara khusus penelitian ini menganalisis hubungan-hubungan dinamik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999, yang menyangkut unsur-unsur negara dengan aktor-aktor dan struktur-struktur politik lain dalam penyelenggaraan pemilu di era transisi.
Penelitian mencakup empat isu utama yang tercermin dalam tujuan penelitian, yakni: (1) Pemilu'99 dalam konteks transisi politik Indonesia; (2) kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia, khususnya KPU Pemilu 1999; (3) bekerjanya unsur-unsur negara dalam struktur kelembagaan dan kinerja KPU Pemilu 1999; dan (4) peranan politik demokratik KPU'99 dalam meletakan landasan yang kokoh bagi pembaharuan (reformasi) kelembagaan politik di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada paradigma konstruktivisme. Sedangkan Iandasan teoritiknya menggunakan teori dialektika agensi-struktur dalam teori strukturasi Anthony Giddens. Dan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkombinasikan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi.
Penelitian ini berhasil mengajukan dun kesimpulan utama, yaitu kesimpulan praktik politik dan teoretik. Kesimpulan praktik secara umum menggambarkan bahwa perubahan politik (menuju demokrasi) selalu menghasilkan polarisasi kekuatan-kekuatan politik, baik di tingkat negara maupun di akar rumput (grass roots). Pada konteks yang lebih lanjut, perubahan ini tentu saja menyulut terjadinya ketegangan, konflik, dan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor politik yang bermain.
Pada lingkup yang lebih mikro di KPU, polarisasi politik tidak saja bersumber dari latar belakang ideologi, kultur dan sikap politik masa Ialu aktor-aktor tersebut. Oleh karena di era transisi politik ini terjadi ketidakpastian mengenai apa yang akan terbentuk dan terlembagakan, maka, polarisasi kekuatan politik jug bersumber dad usaha-usaha memperebutkan peluang sekaligus mengukuhkan pengaruhnya pads konstruksi politik yang akan terbentuk nantinya. Cara yang ditempuh antara lain terlibat dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi segala perangkat aturan. Karena, peraturan-peraturan yang akan muncul akan sangat menentukkan sumber sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke arena individual dan politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk dan terlibat.
Apa yang terjadi di KPU adalah cerminan bagaimana masing-masing aktor itu menggunakan legitimasi dan kebenaran yang dimilikinya untuk memainkan peranan politik tersebut. Akibatnya, aturan yang di satu sisi memberikan dasar legitimasi bagi keberadaan dan kinerja KPU, tetapi pada sisi yang lain telah menyumbang berbagai kontroversi dan kontradiksi politik.
Pada saat negara menjadi bagian yang ikut bennain dalam pertarungan tersebut yang lebih paralel dengan arus utama (mainstream) politik publik justeru gagal meyakinkan sebagian besar politisi di KPU untuk mengambil sikap dan tindakan politik yang sejalan. Sebabnya, negara tidak sepenuhnya mampu mengontrol dinamika politik yang ada dengan sumber-sumber alokatif maupun kekuatan ototritatif dan kapasitas organisasionalnya di satu sisi, sementara itu,di pihak negara pun kekuatannya terfragmentasi, tidak utuh. Sementara pada saat yang sama, para aktor di KPU justru dengan bebasnya memainkan dan menginterpretasikan kepentingannya.
Sedangkan kesimpulan teoretik dalam penelitian ini dapat menggambarkan temuan-temuan teoretik yang pads dasarnya konfirmasi atau penguatan terhadap "kebenaran" teori tersebut. Namun demikian, modifikasi atas beroperasinya teori ini juga nampak.
Tidak adanya dominasi baik antara agen-agen politik yang bertarung, maupun struktur-struktur politik yang tersedia dan diproduksi di KPU selama penyelenggaraari Pemilu'99 membuktikan bahwa Giddens dalam hal ini besar: determinasi terhadap proses sosial (politik), bukan terletak pads salah satunya, tetapi keduanya saling mengandaikan. Sehingga kekuasaan atau power yang dapat terbentuk, diraih atau dikuasai juga terbukti pada sejauhmana para pelaku (actor) politik itu menguasai dan memproduksi struktur-struktur (baik legitimasi, dominatif, maupun signifikansi) yang ada.
Dengan memahami dinamika di KPU, apa yang disebut relasi agensi-struktur sangatlah bersifat relatif. Artinya, apa yang disebut agensi pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai struktur; demikian juga sebaliknya. Bahkan pada saat ia bertindak pada salah satunya, dalam waktu yang bersamaan dapat secara otomatik bertindak atas yang lainnya. Agensi, termasuk negara juga seringkali bukanlah sebuah entitas yang tunggal, namun terfragmentasi sedemikian rupa, demikian juga sebaliknya.
Path pain-inilah peneliti kemudian mengajukan kritik terhadap teori Giddens. Sesungguhnya relasi agensi-struktur bukan saja bersifat komplementer sehingga dikatakan struktur dapat memediasi (mediating) tindakan agensi, tetapi masing-masing sesungguhnya saling melekatkan (embeddeding). Penyamaan aktor dalam praktik-praktik sosial tidaklah dapat diterima sepenuhnya, karena, seringkali diantara aktor- aktor itu menegasikan aktor lain (yang lebih rendah "strata"), terutama menyangkut keputusan atau kebijakan. Selain itu, teori ini belum juga memberikan penjelasan lebih detail mengenai praktik-praktik politik yang tidak tunggal atas isu yang sama, pads ruang (space) dan waktu (time) yang sama pula; padahal baik ruang maupun waktu menurutnya bukanlah arena atau panggung atau tindakan melainkan unsur konstitutif dan pengorganisasian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [2003;2003, 2003]
T209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhardi Alimudarto
"Beberapa pembangunan permukiman yang mengalami gangguan, tidak mencapai sasarannya dan hasilnya tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat memang terjadi, Menarik untuk diketahui, apakah pengelola pembangunan telah menggunakan Indikator yang cocok, yang digunakan dalam menyiapkan pembangunan tersebut.
Kondisi integrasi sosial masyarakat dimana berbagai kepentingan dan kelompok terdapat didalamnya, juga kondisi sistem nilai budaya permukiman masyarakat dalam menyikapi dan memperluas peluang pembangunan perlu lebih dahulu diketahui dan diamati. Dalam mengamati tersebut, tentunya harus mempunyai ukuran-ukuran atau indikator yang dapat menilai kondisi integrasi sosial dan sistem nilai budaya permukiman tersebut.
Penelitian ini dibagi dalam 2 (dua) kajian. Bagian pertama merupakan Studi Kepustakaan (Library Research) dalam upaya untuk pemahaman yang lebih mendalam mengenai hakekat indikator, serta fungsi dan prasyarat indikator. Gambaran sejauh mana dimensi sosial budaya sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini terkandung, baik dalam pembangunan permukiman maupun dalam indikator yang pemah disusun. Kemudian dilakukan review atas hasil hasil penelitian dan penyusunan indikator. Hasil bagian pertama dari penelitian ini menunjukkan bahwa :
- Pembangunan Permukiman menurut Undang-undangnya (UU No.4 tahun 1992) memang sarat dengan masalah-masalah sosial budaya terutama kondisi integrasi sosial dan sistem nilai budaya permukiman masyarakatnya. Kondisi ini diperlukan untuk pembangunan permukiman, oleh karena itu indikator sosial budaya untuk keperluan tersebut perlu dibuat. Sementara itu indikator yang telah disusun oleh instansi yang paling berwenang pads tahun 2002 sekalipun, yaitu mengenai Indikator Pembangunan Manusia untuk sektor perumahan, masih cenderung kepada aspek teknis teknologis, dibanding sosial budaya.
Bagian kedua dari penelitian ini merupakan kajian lapangan, suatu tmuan empirik basil suatu proses metodologis yang induktif. Diperoleh data primer dari hasil wawancara mendalam dan FGD sebanyak 5 (lima) kali yaitu FGD 1 sampai dengan FGD V. Wawancara dengan para stake holders pembangunan permukiman sesuai tatanan pemilihannya sebagai basic informanis dan key informanis yang kesemuanya berjumlah 13 (tiga belas) Stake holders/informan. Pemilihan stake holders berdasarkan kriteria latar, pelaku, peristiwa dan proses yang melekat dalam diri dan lingkungannya.
Dengan dipandu oleh kerangka konseptual integrasi sosial dan sistem nilai budaya pennukiman sebagai variabel dependen, penelitian ini mencoba mengembangkan pengaplikasian teori-teori guna bersama-sama para stake holders tersebut diatas menggali konsep konsep untuk dibangun menjadi indikator sosial budaya.
Hasil bagian kedua penelitian ini menunjukkan bahwa :
Munculnya masalah-rnasalah sosial budaya yang mengiringi upaya-upaya pembangunan permukiman.
Teridentifikasinya variable-variable yang mempengaruhi kondisi integrasi sosial dan sistem budaya dan terbangunnya konsep indikator sosial budaya pembangunan permukiman
Upaya-upaya yang dapat digunakan untuk mendorong tindakan operasionalisasi dengan mcnyiapkan komponen penilaian atau sub indikator dan metode penilaian.
Saran dan rekomendasi agar dapat dimanfaatkannya indikator ini untuk kalangan yang lebih luas.
Temuan lain dijumpai dalam penelitian ini. Disamping integrasi sosial dan sistem budaya, ternyata kondisi yang diinginkan untuk pembangunan pennukiman juga dipengaruhi oleh sikap aparat dan perilaku birokrasi yang menangani pembangunan permukiman.
Arus perumahan atau arus level komunitas yang antara lain nampak dari penyampaian aspirasi yang semakin berani, perlu disikapi dengan kehati-hatian di tengah era reformasi ini, termasuk dalam penanganan kondisi sosial budaya masyarakat dalam pembangunan. Kekhawatiran akan terjadinya hal-hal yang destruktif dan kontra produktif bukan tidak beralasan, terutama agar pembangunan tidak menjadi sia sia. Kegagalan dalam menciptakan integrasi sosial dan sistem nilai budaya pemukiman yang kondusif dapat menjadi benih-benih disintegrasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Agus Subekti
"Studi tentang zakat di Indonesia sejauh yang penulis amati kebanyakan berkutat pada manajemen pengelolaan zakat serta yang terkait dengan tinjauan keagamaan. Sedikit yang mengkaji zakat sudut pandang tinjauan sosial, kalaupun ada masih membatasi pada kegunaan zakat bagi kepentingan sosial. Sementara penelitian yang mengkaji tentang bagaimana aktivitas berzakat dan model pengelolaan yang dilakukan masyarakat serta bagaimana espektasi mereka terhadap bentuk pengelolaan zakat masih minim. Padahal zakat adalah aktivitas keagamaan yang melibatkan jumlah uang cukup banyak. Untuk itu penulis mencoba membuat gambaran aktivitas berzakat warga serta bagaimana mekanisme pengelolaan zakat yang sesuai menurut mereka.
Zakat adalah sebuah ibadah wajib keagamaan kongkrit yang agak unik. Dikatakan unik karena mengandung alasan penjelasan yang sangat rasional dan berhubungan dengan status sosial dan ekonomi umat serta kesulitan hidup umat yang lain. Dengan keunikannya tersebut zakat menyimpan potensi berupa jumlah nominal uang yang akan bergantung dengan jumlah wajib zakat pada suatu wilayah negara. Dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, potensi zakat di Indonesia sangat besar. Tapi sayangnya potensi ini sejauh ini masih dibiarkan menjadi sekedar potensi yang tidak terkelola dengan baik.
Konsep yang menjiwai penelitian ini adalah zakat memiliki fungsi yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat, bukan sekedar fungsi keagamaan apabila bisa dikelola dengan benar. Bagaimana aktivitas berzakat di RW 02 Keluarahan Tebet Barat, serta bentuk pengelola zakat seperti apa yang warga inginkan yang diteliti. Ada dua tujuan dari penelitian ini, pertama mencoba mengetahui bagaimana aktivitas berzakat dijalankan warga, sedang tujuan dengan menggunakan metode pengumpulan data survey terhadap 32 responden di 9 RT pada RW 02 Kelurahah Tebet Barat Jakarta Selatan, dibantu dengan wawancara mendalam serta studi literatur. Studi ini menggunakan analisa statistik SPSS dengan menggunakan tabel frekwuensi untuk menggambarkan secara rinci aktivitas berzakat yang dijalankan warga. Selanjutnya dengan menggunakan data survey dicoba dicari model Badan Amil Zakat seperti apa yang diinginkan masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas berzakat yang dilakukan warga menunjukan bahwa zakat baru memiliki fungsi keagamaan semata. Penjelasan Al'Quran yang mewajibkan umat muslim yang memiliki kekayaan lebih dari cukup untuk membayar zakat dengan harapan bisa menciptakan keseimbanagn dibidang perekonomian tidak meresap dalam benak wajib zakat. Wajib zakat hanya sekedar menjalankan kewajiban dalam berzakat.
Zakat sebagai tindakan sosial muncul sebagai konsekwensi dari pilihan seseorang terhadap agama Islam. Zakat yang memiliki potensi untuk menjaga sistem sosial masyarakat agar tetap dalam keseimbangannya ternyata fungsinya terdomestikan oleh penghayatan ritual keagamaan. Dalam tradisi Fungsionalisme zakat hanya berfungsi menjaga tetap utuhnya sistem keagamaan, harapan Islam agar zakat mampu juga menjaga sistem sosial masyarakat tidak terpenuhi. Hal itu terjadi karena pesan zakat sudah tereduksi ditingkat pemahaman umat. Sementara menurut konsep tindakan rasionalnya Weber aktivitas berzakat umat muslim merupakan tindakan rasional yang berorintasi nilai. Dalam tipe tindakan Weber, bentuk tindakan semacam itu menunjukan bahwa aktivitas berzakat warga belum menunjukan tipe tindakan dari masyarakat yang sudah modern. Dimana masyarakat modern ditandai dengan tipe tindakan mayoritas berorientasi pada pencapaian tujuan.
Badan Amil Zakat yang sanggup memberikan jaminan akuntabilitas dan kepercayaan menjadi pilihan bagi Badan Amil Zakat yang dipercaya mengelola dana zakat. Karena belum ada yang dianggap memenuhi standar tersebut wajib zakat masih memilih membayarkan zakatnya langsung ke penerima maupun ke masjid.
Kebijakan perzakatan harus diarahkan pada upaya untuk membangun kesadaran tentang makna dari esensi zakat, sekaligus untuk memberikan jaminan kepercayaan kepada wajib zakat. Dengan jumlah warga muslim mayoritas kalau dana zakat bisa dimanfaatkan demi kepentingan kaum miskin, paling tidak ada satu meknisme yang bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan umat."
2003
T7065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrizal
"Masyarakat Suku Terasing merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional seutuhnya, untuk itu mereka memerlukan pembinaan. Tujuan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui program PKSMT adalah untuk menghilangkan keberadaan masyarakat Suku Terasing baik secara geografis, sosial budaya dan sosial ekonomi, sehingga kesenjangan dalam aspek tersebut diatas dapat dihilangkan dari berbagai suku bangsa yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama dari program PKSMT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat terasing.
Propinsi Riau masih menghadapi masalah cukup berat dalam membina masyarakat terasing. Masalah masyarakat terasing adalah kemiskinan. Disamping masalah kemiskinan, masalah tempat bermukim mereka yang sulit dijangkau, baik orbitasinya yang terpencar-pencar dan selalu berpindah-pindah maupun yang hidup mengembara di laut. Di Riau terdapat 26.728 jiwa (5,889 KK) masyarakat terasing di enam kabupaten yang menjadi bagian dari warga desa tertinggal yang miskin itu. Pembangunan yang berjalan selama ini lebih memprioritaskan ke sektor modern.
Sehingga masyarakat terasing semakin tergusur. Dan yang menjadi pemmasalahan apakah pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mampu untuk mengangkat mereka dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kehidupan Suku Laut yang telah melaksanakan program PKSMT, menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial Suku Laut dan melihat tanggapan serta minat mereka terhadap program itu sendiri.
Kerangka teori untuk melihat fenomena yang ada di lokasi penelitian digunakan Teori Pertukaran (Exchange Theory) diantara lain George Homans dengan pendekatan perilaku terhadap pertukaran, John Thibaut dan Harold H. Kelly dengan pendekatan kelompok, Peter Blau melihat pertukaran dalam bentuk struktur sosial dan Levi Strauss pertukaran sosial dilihat dari sudut individualistik versus kolektivistik. Teori pertukaran sosial melihat fenomena yang ada dalam bentuk perilaku nyata, bukan proses-proses subyektif.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, untuk menganalisa data, dan beberapa teknik pengumpulan data, seperti dokumentasi, pengamatan semi terlibat, wawancara dengan 20 orang warga Suku Laut binaan dan beberapa orang yang bukan warga binaan dan wawancara mendalam dengan beberapa informan seperti kepala desa, camat, kepala adat, pemuka masyarakat, aparat, instansi yang terkait dan petugas lapangan, semua data yang diperoleh baik tertulis, lisan, maupun berdasarkan semua simbol - simbol yang ada dalam masyarakat serta perilaku - perilaku nyata untuk dapat dideskripsikan dalam tulisan ini. Suku Laut yang menjadi sasaran penelitian adalah 67 KK.
Penelitian ini menunjukkan pelaksanaan program PKSMT dikatakan gagal karena tujuan utama program PKSMT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Suku Laut tidak terwujud, hal ini dilihat dari kondisi sosial ekonomi Suku Laut tersebut. Dan pembinaan yang dilakukan oleh Depsos justru ada kesan munculnya sifat ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Pembinaan selama ini lebih dibina dalam bentuk "derma", tidak memberi kail tapi memberi ikan. Suku Laut bukan dijadikan subyek pembangunan, tetapi dijadikan "proyek" pembangunan dari berbagai instansi yang terkait. Kegagalan ditengah jalan dalam usaha budidaya tambak dan peternakan ayam bukan dari ketidaksiapan masyarakat untuk menerima program, tetapi kesalahan lebih dititikberatkan pada pelaksana program itu sendiri Depsos maupun instansi terkait lainnya.
Program-program PKSMT yang dilakukan yang berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Suku Laut dianggap tidak operasional dan tidak bermanfaat kalau boleh dikatakan program yang dianggap "Primadona" oleh Depsos adalah mubazir. Depsos dalam pelaksanaan program tidak adanya reward dan punishment (penghargaan dan hukuman) terhadap masyarakat Suku Laut yang mau melaksanakan dan yang tidak mau melaksanakan program. Begitu juga dengan Depsos mereka tidak ada sanksi, tidak ada insentif apakah mereka gagal atau berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Dengan begitu mereka tidak memiliki beban moral terhadap program. Hal yang sama berlaku juga pada Kepala Desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang tidak bisa berbuat banyak kepada masyarakat binaan. Hampir dapat dikatakan bahwa aparat yang terlibat dalam pembinaan Suku Laut turut menikmati enaknya program. Tidak adanya pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan tugas membuat aparat pemerintah (Depsos) dan Suku Laut menjadikan program PKSMT sebagai "proyek" dengan istilah "sama-sama suka, sama-sama mau"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
"Negara Orde Baru, yang jauh dari format demokratis, agresif menyebar instrumen sosialisasi sebagai upaya pelanggengan sistem politik. Namun secara teoritik, sosialisasi tidak selalu berhasil secara lengkap, diantaranya dipecah oleh kekuatan imperatif kelas sosial.
Tesis ini mengangkat prerskripsi tersebut. Penelitian dilakukan di Kota Rangkasbitung pada lima bulan menjelang Mei 1998 (Reformasi).
Urgensi penelitian ini disamping persoalan praktis bagi para aktor pengambil kebijakan bertalian dengan upaya perolehan kesempatan pembangunan dengan (bentuk) perilaku politik juga merupakan tanggapan terhadap fenomena kesenjangan atau kelas. Pada tataran teoritik, dalam pendekatan Struktural Fungsional bahwa sosialisasi merupakan proses pelestarian sistem politik, dalam kajian ini proses itu diduga terpecah melalui persoalan kelas sosial.
Kajian masalah itu dilakukan terhadap 100 responder, masing-masing 50 responden untuk setiap kelas sosial melalui sampling purposive, ini tahap pertama. Tahap berikutnya, diambil 2 (dua) informan dalam indeepth interview untuk masing-masing kalas sosial, yang didasarkan pada bentuk okupasi public servant dan bentuk okupasi yang mandiri. Responden berusia berkisar antara 18 sampai 30 tahun. Secara demografi-politik, usia ini adalah generasi baru yang tidak tersentuh oleh perjuangan `45 atau apapun yang berhubungan dengan G 30 S-PKI, tidak ada yang trauma politik . Mereka adalah produk sosialisasi Orde Baru.
Data disusun dalam bentuk tabel silang untuk memudahkan analisa pada keterkaitan antar variabel. Bahasan diurai secara naratif analitik, dimaksudkan paparan data bukan sekedar sajian langsung dari tabel kuesioner dan informan yang sepenuhnya tafsiran peneliti (yang memungkinkan peluang dramatis). Melainkan tafsiran didasarkan rasionalitas teori dan perbandingan dengan penelitian yang lain. Ini dilakukan pada setiap ujung pembahasan bab dan sub-bab atau tema.
Seperti layaknya penelitian sosialisasi mengungkap proses ragam institusi sosial yang tersedia dalam masyarakat yang membangun pengetahuan, nilai dan sikap serta kepedulian. Dalam kerangka tersebut pertanyaan besarnya : bagaimana anak muda kota dalam proses pembentukan orientasi politik dalam kaitannya dengan kelas. Untuk membantu memahami gejala tersebut digunukan Poi ver Perspective dan Sociological Knowledge Approach.
Temuan penelitian tesis ini dalam bagian Kesimpulan disajikan dalam beberapa tesa. Pertama, peran keluarga dalam kelas atas lebih nyata sebagai agen sosialisasi politik, sementara pada kelas bawah peran itu dilakukan oleh peers-group ketetanggaan. Kedua, Orang tua yang menjadi figur publik cenderung memberikan kontribusi terhadap tingkat kepedulian politik anak. Ketiga, institusi agama pada masyarakat kelas atas cenderung bersifat politis sehingga sebagai agen sosialisasi politik lebih menonjol. Keempat, institusi agama pada kelas bawah cenderung sarat dalam wacana sufistik, sehingga memberikan kesan pada bentuk sosialisasi nilai politik yang bersifat konformis secara politik atau pro-state. Kelima, kelas atas lebih memahami aturan main politik, sementara pada kelas bawah lebih memahami peristiwa politik. Keenam, pada kelas bawah demokrasi dipandang dalam kerangka formalistik - institusional, sementara pada kelas atas demokrasi lebih dilihat dari sisi substansi (isi). Ketujuh, nilai - nilai demokratis lebih baik dikalangan anak muda kelas atas. Kedelapan, anak-anak muda kelas atas cenderung bersikap responsif-konservatif terhadap persoalan politik tingkat lokal, sementara pada anak muda kelas bawah terhadap persoalan yang sama bersikap apatis. Kesembilan, anak muda pada kelas bawah bersikap fatalistik terhadap sistem meritokrasi politik dan ekonomi, sementara pada anak muda kelas atas bersikap optimistik bahwa sistem meritokrasi tersebut dapat dibangun, Kesepuluh, bagi anak muda kelas atas terhadap isu politik lokal menunjukkan kepedulian yang lebih tinggi. Sementara terhadap isu kesenjangan ekonomi kepedulian yang tinggi lebih ditunjukkan oleh anak muda dari kelas bawah.
Temuan lain, nampaknya menarik untuk diangkat, bahwa eksklusivisme cenderung dibangun melalui struktur kelas (struktur sosial vertikal) daripada struktur sosial horizontal. Dan, anak muda di kedua kelas cenderung konservatif terhadap nilai agama, tetapi lebih moderat dalam soal suku atau etnis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Djatnika Ustama
"Melihat realita yang terjadi sekarang ini dengan bergulirnya arus reformasi disertai adanya perubahan pada berbagai bidang tentunya masyarakat harus dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Salah satu perubahan yang bersifat revolutif telah terjadi pada sistem pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka peluang begitu besar kepada Pemerintah Daerah untuk memberdayakan masyarakat secara maksimal. Kewenangan bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan yang mendukung upaya tersebut telah digariskan dalam peraturan-perundangan yang melengkapinya.
Sehubungan dengan hal di atas, salah satu aspek yang tidak kalah penting adalah pembangunan sosial pada daerah masing-masing. Hal ini dirasakan penting karena telah terjadi sebuah kondisi yang tidak baik bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan yang sedang berlangsung. Permasalahan ini terjadi karena pola kebijakan pembangunan yang salah pada Pemerintah terdahulu. Pada pembangunan yang serba terpusat telah membawa masyarakat kehilangan sikap kemandiriannya, sense of organizing mereka hilang serta masyarakat menjadi atomistic yaitu merasa tidak mempunyai dukungan organisasi. Semua proyek pembangunan sampai tingkat RT/RW pun berpusat pada pemerintah. Hal mana membuat rakyat sangat tergantung kepada pemerintah.
UU 22 yang telah memberikan kewenangan besar kepada Pemerintah Daerah menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat harus diberdayakan secara lebih serius terutama pada tatanan terbawah yang seringkali tidak terjangkau oleh kebijakan Pemerintah. DPRD yang ada dirasakan tidak cukup dapat merambah kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara baik dengan segala keterbatasan yang ada. Salah satu upaya pencarian solusi untuk kondisi masyarakat di atas adalah harus ada sebuah kebijakan yang secara sistematis dapat mengembalikan kemandirian masyarakat sehingga lebih jauh akan tercipta daya partisipasi masyarakat secara lebih aktif dalam pembangunan.
Belajar dari kenyataan adanya dua konsep kongkrit tentang keterlibatan secara langsung masyarakat pada lapisan terbawah yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) yang ada di desa-desa Kabupaten Bogor serta Dewan Kelurahan (DK) yang terdapat pada Kelurahan-kelurahan DKI Jakarta, penulis berupaya untuk mengadopsi konsep tersebut pada masyarakat kelurahan yang ada di Kabupaten Bogor. BPD dan DK terbentuk karena amanat UU. BPD terbentuk berdasarkan UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta DK terbentuk berdasarkan UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta.
Yang ironi dari UU 22 tahun 1999 adalah bahwa bagi daerah yang kondisi desanya telah berubah karateristiknya menjadi perkotaan maka harus dibentuk menjadi kelurahan, pembentukan atau perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan dengan serta merta berimplikasi kepada tergusurnya peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan dan pembangunan. Hal ini sangat jelas karena kelurahan yang dibentuk tidak dilengkapi dengan lembaga sejenis BPD yang dapat menampung atau menjadi wadah partisipasi masyarakat. Dari kenyataan ini maka tidak mengherankan jika di beberapa daerah (Kab. Bogor khususnya) banyak warga masyarakat desa yang keberatan bahkan menolak perubahan status tersebut. Alasan yang paling sering mengemuka adalah karena mereka tidak lagi berhak secara penuh untuk mengelola wilayah tempat mereka bermukim. Hal ini lebih jauh menjadi problem tersendiri yang harus dicarikan solusinya.
Badan Perwakilan Kelurahan yang dapat saja dikatakan hybrid atau gabungan dari konsep BPD dan DK, penulis kedepankan untuk menjawab persoalan tersebut dengan tentunya terlebih dahulu menggali berbagai informasi dari masyarakat setempat dalam hal ini elit masyarakat Kabupaten Bogor."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Try Wartono
"Studi tentang Sektor Informal Perkotaan yang membahas mengenai masalah kemiskinan pada kelompok masyarakat strata bawah, termasuk sektor informal, telah banyak dilakukan. Studi tentang kemiskinan, sektor informal, dan sejenisnya yang dilakukan secara komprehensif baru berhasil mengidentifikasikan permasalahan secara umum, sehingga sangatlah sulit untuk mendapatkan suatu kebijakan yang cocok untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Kemiskinan sangat beragam, begitu pula dengan sektor informal yang sangat luas cakupannya. Sehingga perlu dilakukan studi dengan subyek yang lebih khusus dengan kelompok-kelompok yang lebih kecil, agar permasalahan yang lebih spesifik (unique) dapat terindentifikasi dan mempermudah pengambil kebijakan untuk merman jalan keluar dengan kebijakan yang tepat sasaran.
Keterbatasan dan kesenjangan akses atas sumber pembiayaan dalam bentuk kredit dan jasa keuangan lainnya bagi masyarakat bawah dan pelaku usaha informal (financial exclusion), dipandang sebagai faktor dominan yang menyebabkan usaha dan tingkat perekonomian mereka sulit berkembang. Usaha microbanking dengan model "Grameen Bank" sebagai sebuah konsep kebijakan yang bertujuan menghilangkan kesenjangan, telah terbukti sukses di Bangladesh dan dapat dijadikan contoh untuk diterapkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk kebijakan pembangunan atau intervensi dalam memerangi kemiskinan (poverty reduction).
Pedagang Keliling yang merupakan kelompok kecil dan begitu juga dan beraganmya masyarakat sektor informal, menurut pengamatan penulis cukup homogen dan banyak dijumpai di berbagai kawasan perkotaan. Berdasarkan hal inilah, penulis mengambil pedagang keliling sebagai subyek penelitian yang dikaitkan dengan Konsep Usaha Microbanking sebagai instrumen pemberdayaan yang menjadi topik pembahasan dalam tesis ini. Selain itu, bila hasil uji-coba pemberdayaan (pilotting) terhadap pedagang keliling ini berhasil, kebijakan pemebrdayaan yang sama dapat dilakukan di daerah-daerah lainnya.
Untuk mempermudah penjabaran profil, potensi dan kendala subyek penelitian - agar dapat digunakan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan untuk mendapatkan instrumen pemberdayaan yang sesuai - penulis memilih menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik pengamatan, wawancara terhadap 50 pedagangan keliling sebagai responden dan wawancara mendalam dengan 9 informan terpilih (pedagang keliling, aparat pemerintah, dan tokoh masyarakat seternpat).
Data sekunder yang relevan diperoleh dari dokumen desa, literatur, dan berbagai jenis laporan yang khususnya berkaitan dengan konsep dan aplikasi usaha microbanking, Kombinasi data kuantitatif dan kualitatif digunakan dengan harapan dapat mempertajam analisis dan diperoleh interpretasi yang sahib dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Pamulang Barat merupakan daerah yang kondusif dan potensial oleh pendatang untuk berdagang. Fasilitas dan sarana yang dibutuhkan cukup tersedia dengan harga yang terjangkau oleh para pedagang keliling. Banyaknya komplek-komplek perumahan dan permukiman memberikan peluang pasar yang sangat besar bagi usaha mereka. Aparat desa dan penduduk asli di perkampungan pun dapat menerima mereka dengan baik. Perbedaan etnis, adat, dan budaya tidak menjadi halangan bagi pedagang keliling untuk berinteraksi sosial. Intensitas interaksi antara pedagang keliling dan masyarakat sekitarnya telah memungkinkan terbentuknya sebuah sinergi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Modal yang dibutuhkan oleh pedagang keliling relatif tidak besar dan untuk kekurangan dana dan pemodalan selama ini diperoleh dari kredit atau sumber pembiayaan rentenir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi adanya hambatan dalam pembiayaan bagi pedagang keliling tidak sepenuhnya benar. Yang sebetulnya terjadi adalah tidak adanya komunikasi, informasi, dan kebijakan pemerintah yang memberikan akses bagi mereka untuk bisa mendapatkan sumber dana dan pembiayaan yang berasal dari sektor keuangan formal. Padahal, 90% responden mengharapkan kredit perbankan dapat menggantikan posisi rentenir karena selama ini mereka harus membayar bunga yang tinggi.
Temuan lain adalah bahwa secara individu pedagang keliling cukup layak secara ekonomi maupun sosial untuk memdapatkan kredit, apalagi bila kemudian digabungkan menjadi beberapa kelompok berskala kecil ataupun besar (organisasi), yang membuat tingkat kepercayaan pihak perbankan yang telah menerapkan kosep microbanking menjadi lebih tinggi. Namun sangat disayangkan, sampai dengan sekarang ini belum ada organisasi yang dapat bertahan, sehingga secara teori banyaknya kelompok dan jenis pedagang keliling di lokasi tertentu, belum dapat disebut sebagai suatu komunitas.
Konsep microbanking yang bertujuan untuk memformalkan sistem keuangan di kalangan bawah belum diminati oleh lembaga perbankan yang ada, terbukti lebih dari 11 kantor cabang yang ada di Desa Pamulang Barat tidak satupun menyalurkan kredit. Mereka hanya berfungsi untuk menghimpun dana dan sebagai kasir bagi para penabung.
Sebuah catatan bagi lembaga perbankan khususnya adalah harus lebih proaktif untuk menjemput bola. Hancurnya nasabah besar adalah momentum yang sangat tepat untuk beralih pada nasabah mikro. Memang tidak mudah karena perlu ada kemauan dan perubahan cara kerja. Selain itu, spirit untuk melayani segmen mikro adalah kombinasi dari praktek rentenir, pegadaian dan perbankan itu sendiri. sehingga akan muncul gaya pelayanan yang baru (street-banker). Proses pemilihan dan pengelolaan nasabah yang balk akan dapat menekan resiko bisnis dan dapat menghapus keraguan untuk masuk dan melayani segmen mikro.
Bagi Pemerintah sebagai regulator hendaknya menyusun rambu-rambu untuk melindungi kepentingan nasabah maupun mengurangi resiko yang mungkin di alami oleh lembaga keuangan yang berkecimpung dalam usaha microbanking. Regulasi sangat diperlukan baik sebagai acuan bisnis, maupun sebagai acuan untuk supervisi kelembagaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kivlan Zen
"Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang perwira dari internal TNI-AD yang secara mandiri ingin menyajikan bagaimana peran TNI umumnya dan TNI-AD khususnya dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak lahirnya sampai dengan tahun 2000.
Peran TNI-AD yang demikian eratnya terhadap naik turunnya integrasi bangsa bukan hanya dipandang dari teori sosial yang berkaitan, tetapi juga dipandang dari integrasi internal TNI-AD yang bersifat Fungsional seperti kohesivitas dan solidaritas. Dalam tesis ini yang diuraikan bukan hanya yang berbentuk konflik internal saja, tetapi termasuk juga pengorganisasian, pendidikan dan pembentukan jiwa karsa.
Disamping itu integrasi bangsa Indonesia secara konseptual dan teoritis dapat dibagi yang bersifat integrasi nasional yaitu integrasi masyarakat terhadap negara secara vertikal dan integrasi sosietal yaitu integrasi antara masyarakat dengan masyarakat yang bersifat horizontal. Di dalam realita empirik naik turunnya integrasi bangsa Indonesia sejak tahun 1945 s/d 2000 adalah sangat berhubungan erat dengan naik turunnya integrasi internal TNI-AD.
Studi ini akan mengggambarkan bagaimana kondisi integrasi internal TNI-AD yang kelahiran dan tumbuhnya bersamaan dengan lahir dan tumbuhnya bangsa Indonesia, dimana pada saat itu TNI-AD terbentuk akibat ketakutan terhadap ancaman Sekutu. Akhirnya tumbuhnya TNI-AD berkaitan erat dengan keputusan politik untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga TNI-AD terlibat di dalam kehidupan politik.
Manakala keputusan Politik TNI-AD bersama TNI-AL, TNI-AU dan POLRI tidak boleh terlibat lagi dalam kehidupan politik praktis sejak tahun 2000 berdasarkan Tap MPR No. VII/2000, maka integrasi internal TNI-AD tidak lagi mempengaruhi naik turunnya integrasi bangsa Indonesia, atau artinya tidak terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya.
Tesis ini juga menemukan bahwa integrasi internal belum tentu akan semakin menguat apabila berhadapan dengan konflik keluar, sebagaimana dinyatakan oleh Coser dalam proposisi No.9 seperti pemberontakan PKI tahun 1948 dimana TNI-AD sedang menghadapi agresi Militer Belanda ke 2, ketika TNI-AD bersiap-siap menghadapi Belanda untuk merebut IRJA terjadi konflik tahun 1957 s.d tahun 1962 antara para Pangdam dengan Kasad sehingga terjadi Pemberontakan PRRI/Permesta serta ketika TNI-AD berhadapan dengan PKI dan konfrontasi dengan Malaysia telah terjadi Pemberontakan yang dimotori oleh Letkol. Untung Cs. tahun 1965."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahuddin
"Munculnya radikalisme di kalangan kaum muda merupakan fenomena yang penting untuk diamati. Di tengah kehidupan sebuah bangsa yang tengah menapaki masa transisi menuju demokrasi, munculnya radikalisme politik bisa dimaknai secara ganda: positif dan negatif. Secara positif ia bisa dipandang sebagai daya dorong yang mempercepat proses demokratisasi, tetapi secara negatif bisa dimaknai sebagai ancarnan bagi tegaknya demokrasi. Dalam tesis ini peneliti lebih melihat radikalisasi pemuda sebagai hal yang positif dalam merombak sistem sosial politik yang lama, menuju ke arah sistem baru yang lebih adil dan demokratis.
Tesis ini memfokuskan perhatian pada proses terjadinya radikalisasi politik dalam tubuh Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang ikut dalam Pemilu 1999. Sejak awal, PRD merupakan wadah tempat anak-anak muda melakukan serangkaian tindakan radikal dalam menentang kebijakan rezim Orde Baru Soeharto.
Dalam terminologi ilmu sosial radikalisme merupakan: suatu paham atau aliran dalam gerakan sosial politik, yang ingin membangun suatu dunia atau tatanan sosial politik yang lebih baik; dengan cara menghancurkan akar kejahatan sosial; menghilangkan institusi-institusi yang dianggap menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi; dengan program membangun sistem politik ekonomi yang demokratis dan bervisi kerakyatan. Sifat gerakan radikal adalah revolusioner (bukan evolusioner, reformis, atau gradual), dan untuk itu gerakan ini senantiasa menantang kemapanan kekuasaan yang tidak populis.
Penelitian ini-bersifat kualitatif, dengan mencoba memahami pemikiran, sikap dan sifat dari tindakan yang diambil oleh PRD dalam merespons perkembangan sosial politik yang ada, baik pada level lokal maupun nasional. Untuk kepentingan pemahaman itu, peneliti mengumpulkan bahan-bahan (data-data) melalui tiga cara; kajian dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam, dan observasi.
Yang menjadi pedoman awal penelitian ini adalah pembacaan terhadap sejarah perjalanan bangsa secara umum, yang dengan jelas menempatkan pemuda sebagai salah satu sosok sentral. Di dalam banyak momentum penting, seringkali kaum muda tampil ke depan, memberikan jawaban dan solusi ketika terjadi kebuntuan politik. Eksistensi kaum muda yang demikian ini, dengan jelas tergambar dalam khazanah sejarah bangsa, yang dilukiskan dengan angkatan-angkatan; Angkatan 1908, Angkatan 28, Angkatan 45, dan juga Angkatan 1966. Dan mungkin Angkatan 1998!
Pada saat yang sama Peneliti juga menyaksikan ada sekelompok kaum muda yang tidak diukir dengan tinta emas sejarah seperti itu, tetapi sesungguhnya mereka juga memiliki andil dalam merobohkan struktur politik yang korup dan menindas. Mereka berjuang di tingkat akar rumput (grassroots) dengan penderitaan fisik dan mental karena berbagai tekanan; baik dari penguasa maupun dari masyarakatnya sendiri. Tetapi sesungguhnya mereka berhasil mewujudkan cita-cita mereka, yang antara lain berupa; `Pencabutan Dwi Fungsi ABRI', `Pencabutan Paket 5 W Politik', `Penurunan Soeharto', `Referendum untuk Rakyat Maubere'. Mereka itu adalah para aktivis Partai Rakyat Demokratik.
Dengan menggunakan kerangka strukturasi Giddens-yang menunjukkan adanya sifat dualitas dalam struktur (duality ofstructur)--penelitian ini menunjukkan bahwa meski Orde Baru dengan seluruh perangkat dan sumber daya yang mereka miliki (rules and resources) telah mencoba mendominasi seluruh aktor yang ada di bawahnya, tetap saja ada ruang dan cara yang cukup bagi aktor untuk melakukan 'perlawanan' terhadap struktur. Bahkan dalam banyak hal, aktor justru memanfaatkan kebijakan yang diterapkan oleh struktur sebagai `alat' untuk melawan. Gerakan kaum muda yang semula hanya bersifat protes sosial, karena ditumpas secara represif akhimya malah merubah gerakan menjadi bersifat ideologis dan radikal.
Tampak ada korelasi yang signifikan antara tingkat represifitas penguasa dengan tingkat resistensi yang diberikan. Mengikuti teori pegas, semakin kuat penekanan semakin kuat pula tingkat perlawanan.
Tesis ini berkesimpulan, pertama, konsep teoritik strukturasi Giddens relevan untuk menjelaskan tentang proses terjadinya radikalisme kaum muda (meski tesis ini hanya mengeksplorasi satu aspek dari tiga aspek utama yang disebut Giddens, yaitu aspek struktur `Dominasi'). Kedua, konsep radikalisme Popper berlaku dalam radikalisme PRD dengan catatan radikalisme PRD tidak persis se-ekstrim konstruksi Popper yang menyarankan adanya `pembunuhan, pengusiran dan pendeportasian'.
Ketiga, tentang kemunculan radikalisme, penelitian ini dalam beberapa hal mengukuhkan teori Jocano, tetapi ada perbedaan mendasar, jika Jocano menunjukkan radikalisme muncul sebagai respons terhadap modernisasi, PRD tidak pernah menentang atau menolak modernisasi. Radikalisme PRD hanya menentang dan melawan setiap aspek kehduoan yang mengancam tegaknya demokrasi dan HAM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>