Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanslavina
"Hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa pada perokok.dengan bronkitis kronis dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terdapat hipersekresi mukus dan hiperplasia sel goblet pada saluran napas. Beberapa penelitian lain juga mengesankan bahwa faktor utama yang menyebabkan hiperplasia sel goblet adalah pajanan asap rokok pada paru secara konis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hiperplasia sel goblet akibat asap rokok terjadi juga pada keadaan akut. Pada penelitian ini digunakan sampel sebanyak 20 ekor tikus dewasa jantan dari galur Swiss Webster dengan berat badan 250 -- 300 gram yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan diberi paparan asap rokok sebanyak 5 batang perhari selama 20 menit (kecuali hari Minggu) selama 12 minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna jumlah sel goblet antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ( p< 0,025) . lni berarti bahwa terjadi hiperplasia sel goblet akibat asap rokok. Hasil ini diperkuat oleh pemeriksaan penunjang Electron Spin Resonance (ESR) untuk radikal bebas dalam darah tikus perlakuan yang menunjukkan peningkatan yang signifikan (p<0,025 ).
Acute Effects of Kretek Cigarette Smoke on Goblet Cell Hyperplasia in the Airway of Swiss Webster RatsPrevious investigations have shown that in smokers with chronic bronchitis and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) hyper secretion of mucus and goblet cell hyperplasia at the respiratory tract is present. A number of other investigations suggest that the main factor causing goblet cell hyperplasia is chronic exposure to cigarette smoke. The aim of this investigation is to find out whether goblet cell hyperplasia due to cigarette smoke also occurs in the acute state. In this investigation a sample of 20 adult male rats weighing 250 -- 300 g was used, divided into a treated group and control group. Each animal in the treated group was exposed daily for 20 minute to 5 the smoke of cigarettes for 12 weeks (except on Sunday).
The result of the investigation showed that there was a significant difference in the number of goblet cell between the control and the treated group (p value < 0,025), indicating the occurrence of goblet cell hyperplasia due to cigarette smoke. This result was confirmed by Electron Spin Resonance (ESR) tests for free radical concentration in blood (p value < 0,025).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Widianti
"Ruang lingkup dan Cara Penelitian : Sindrom Down (SiD) merupakan suatu kelainan genetik yang disebabkan oleh Trisomi 21 atau trisomi dengan translokasi kromosom 21. Karena diduga ada hubungan antara trisomi 21, translokasi yang melibatkan kromosom 21, dan segregasi kromosom dengan DNA satelit α maka diharapkan terdapat RFLP yang berbeda pada wanita yang mempunyai anak SiD dibandingkan wanita yang tidak mempunyai anak SiD. Deteksi RFLP dilakukan dengan teknik hibridisasi blot Southern menggunakan DNA genom yang diisolasi dari darah tepi, dengan digesti enzim TaqI dan HindIII, menggunakan pelacak DNA satelit α spesifik kromosom 13121; yang dilabel dengan digoxigenin. Hibridisasi dilakukan pada suhu 65°C, pencucian dengan SSC 2X pada suhu kamar dan dengan SSC 0,1X pada suhu 65°C. Sebagai markaDNA digunakan DNA λ /ecoRl/HindllL Analisis RFLP berdasarkan ada atau tidak adanya fragmen DNA restriksi tanpa memperhatikan intensitas hibridisasi.
Hasil dan Kesimpulan: Hibridisasi blot Southern DNA satelit α kromosom 13/21 dengan DNA genom yang didigesti TaqI menghasilkan fragmen utama pada 1,87kb, dan fragmen tambahan 1,79kb; 1,65kb dan 1,15kb. Terdapat polimorfisme pada fragmen-fragmen tambahan tersebut. Dijumpai variasi polimorfisme fragmen 2,0 kb/TaqI pada wanita dengan anak SiD, pada anak SiD dan pada wanita pembanding yang berusia >30 tahun. Hibridisasi blot Southern dengan digesti enzim HindIII menghasilkan fragmen besar (>21,2kb) pada keempat kelompok sampel dan beberapa fragmen tidak spesifik dengan intensitas hibridisasi sangat lemah pada kelompok pasien SiD dari ibunya.Terdapat perbedaan RFLP DNA satelit α kromosom 13/21 pada wanita dengan anak SiD dibanding RFLP wanita pembanding dengan usia < 30 tahun, dengan digesti TaqI Tidak terdapat polimorfisme dengan digesti HindIII."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sari
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Penelitian epidemiologi pada pekerja kelistrikan dan masyarakat yang bermukim di kawasan tegangan tinggi, menunjukkan adanya korelasi pengaruh listrik terhadap peningkatan resiko mendapat kanker darah, limfoma dan kanker otak. Hasil penelitian pemajanan medan elektromagnetik in vitro dan in vivo, dapat meningkatkan aberasi kromosom dan proliferasi sel. Hasil penelitian in vivo dengan menggunakan medan elektrostatik pada tikus jantan dewasa dosis 6 kV dan 7 kV, menunjukkan beberapa anaknya menderita kelainan kongenital. Tetapi pada penelitian tersebut tidak dilaporkan pengaruhnya terhadap materi genetik yang mendasari terjadinya kelainan itu. Untuk membuktikan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan menggunakan mencit sebagai hewan coba. Prekuensi aberasi kromosom dihitung, diperiksa ada tidaknya aberasi kromsom spesifik, yang diikuti dengan pemeriksaan proliferasi limfosit. Data yang diperoleh diuji normalitas dan homogenitasnya, kemudian dilakukan analisis varian faktorial.
Hasil dan kesimpulan : Dari penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: pemajanan medan elektrostatik masing-masing dosis 6 kV dan 7 kV pada mencit dapat meningkatkan aberasi kromosom (p < 0,01). Pemajanan medan elektrostatik pada mencit selama 48 jam, 72 jam dan 96 jam tidak berpengaruh terhadap frekuensi aberasi kromosom, aberasi kromosom spesifik dan proliferasi limfosit (p > 0,005). Pemajanan medan elektrostatik masing-masing dosis 7 kV pada mencit dapat meningkatkan proliferasi limfosit (p , 0,01).
Kesimpulan: pemajanan medan elektrostatik masing-masing dosis 6 dan 7 kV terbukti meningkatkan frekuensi aberasi kromosom, tidak terbukti menimbulkan aberasi spesifik. Pemajanan medan elektrostatik selama 48 jam, 72 jam dan 96 jam tidak terbukti terhadap peningkatan frekuensi aberasi kromosom, pembentukan aberasi kromosom spesifik dan peningkatan proliferasi limfosit."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfiralda Sjahfirdi
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Fenomena "ferning'', yaitu gambaran mirip daun pakis yang dibentuk oleh garam-garam khususnya NaCl, bila saliva atau lendir serviks dikeringanginkan, akan muncul jika terdapat hormon estrogen. Fenomena ini akan menghilang jika estrogen berada dalam kadar yang amat rendah, atau akibat pengaruh keberadaan hormon progesteron pada fase luteal siklus haid. Konsentrasi kedua hormon tersebut dalam saliva berkorelasi amat erat dengan konsentrasinya dalam darah.
Fenomena ini mudah diamati dan cukup dapat diandalkan untuk memperkirakan ovulasi. "Ferning" saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal termasuk aktivitas menggosok gigi, namun sampai saat ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kapan pengambilan saliva yang paling baik guna memperoleh hasil yang memuaskan. Penelitian untuk menjelaskan pengaruh menggosok gigi terhadap fenomena "Ferning" amat penting untuk mendapatkan hasil terbaik dalam memantau face fertil siklus haid. Tujuan penelitian ini adalah menilai kemunculan "ferning" saliva pagi hari sebelum dan sesudah menggosok gigi, dengan hipotesis bahwa "ferning" muncul pada saliva sebelum dan sesudah menggosok gigi. Penelitian ini menggunakan metode observasi pada satu kelompok wanita dengan siklus haid normal yang diambil sampel salivanya dua kali berturut-turut pada pagi hari sebelum menggosok gigi dan satu jam kemudian sesudah menggosok gigi sebelum makan apapun, pada hari ke-7, 8, 9, 13, 14, 15, dan 22 siklus haid antara pk.05.00 - 08.00. Gelas saji yang telah berisi cairan saliva yang telah dikeringanginkan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa di bawah mikroskop, dibuat sajian fotomikrograf dan dicetak untuk dinilai.
Penilaian hasil foto dilakukan secara buta. Kode pada foto dibuat oleh pembimbing. Selanjutnya foto dinilai dengan memberi tanda positif (+) pada foto yang memiliki "ferning", dan tanda negatif (-) pada foto tanpa "ferning". Uji statistik yang digunakan adalah uji statistik nonparametrik McNemar dengan batas kemaknaan α= 5%.
Hasil dan Kesimpulan: Fenomena "ferning" saliva pagi hari sebelum dan sesudah menggosok gigi muncul hanya pada hari ke-7 dan 8 siklus, sesuai dengan uji statistik nonparametrik McNemar (p = 0,4265). Dari segi kliinis berdasarkan uji sensitivitas dan spesifisitas, keberadaan "ferning" saliva sebelum dan sesudah menggosok gigi dapat dimanfaatkan untuk memantau kesuburan siklus, khususnya bagi pasangan yang menghindari kehamilan. Berdasarkan persentase hilangnya "ferning" sesudah menggosok gigi yang cukup tinggi pada fase periovulasi, pemanfaatan "ferning" saliva untuk memantau kesuburan siklus sebaiknya diambil dari sampel saliva sebelum menggosok gigi.

ABSTRACT
Scope and method of study: Ferning phenomenon, "fern-like pattern" configuration of NaCl, when the saliva or cervical mucus where air-dried naturally, will normally show up in the present of estrogen. This phenomenon will disappear in the absent of estrogen or in the influence of progesterone in luteal phase of menstrual cycle. The salivary concentration of these hormones are correlated strongly with their blood concentration. The phenomenon can be used to predict ovulation quite easily and reliable. Salivary ferning could be affected by several external factors included tooth brushing activity, but until presently, no study has been made in determining the best time for salivary sample collection to obtain best results. Research to elucidate the effect of tooth brushing on the ferning phenomenon is considered very important to get the best way in monitoring fertile phase of menstrual cycle. The purpose of this study is to observed the existence of salivary ferning early in the morning before and after tooth brushing. It was hypothesized that the ferning phenomena will show up similarly before and after tooth brushing.
Observational method was applied in this study to a group of women with normal cycle. The salivary samples were taken 2 times in the morning before tooth brushing and one hour after tooth brushing, before meal on the 7th, 8th, 9eh, 13th, 14th, 15th, and 22" days of cycles between 05:00 and 08:00 am. The glass slides containing salivary sample were air-dried naturally in room temperature and assessed microscopically. Photomicrographs were then produced and coded by the supervisor to be evaluated blindly thereafter. Positive marks (+) were given to the photomicrographs in which the ferning pattern can be found, and negative marks (-) to the others in which the ferning pattern can not be identified. McNemar nonparametric statistical test was applied on α = 5%.
Result and conclusion: Salivary ferning phenomena before and after tooth brushing were found to be imilarly good only on day 7th and 8th and were supported by McNemar nonparametric statistical test (p = 0,4265). On the clinical point of view, based on sensitivity and specificity test, salivary ferning before and after tooth brushing can be used to monitor ovulatory cycle, if pregnancy is to be avoided. Using salivary.ferning for monitoring ovulatory cycle are better taken before tooth brushing because the percentage of losing salivary ferning phenomena after tooth brushing is quite high in periovulatory phase.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stanislaus Ivanovich Krishnanda
"ABSTRACT
Stem cell therapy has been implemented in Cipto Mangunkusumo General Hospital RSCM, Jakarta. However, technical problems necessitate one to store the already prepared stem cells in a solution which best preserves them, without hampering their viability and functions PDT, until the operation is ready. Thus, this experiment explored the effect of phosphate buffered saline PBS, as a storage medium, on human umbilical cord-derived mesenchymal stem cells hUCMSCs viability and PDT over 168 hours. The experiment used passage 9 hUC MSCs that are placed into 8 groups 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96 and 168 hours with 4 observations each. After the time of interest elapsed, a sample of the cells were taken to determine their viability and its average value, while the others were seeded at 10,000 cells in a multi-well plate. When the seeded cells reached 70-80% confluence, they were harvested and their PDTs, as well as the average value, were checked using a formula. All the obtained data failed to meet the assumption of normal distribution and/or homogenous spread when Shapiro-Wilks test and Levenes test were used respectively. Thus, Kruskal Wallis test was used. When the time of interests were compared to 0-hour time point, viability starting at 6 hours and PDT starting at 3 hours already showed significant difference P0.05. By considering the FDA recommendation for stem cell therapy and statistical significance for both viability and PDT, it is concluded that hUCMSCs can only be stored for less than 3 hours in PBS for optimal transplantation. Nevertheless, this clinical recommendation is an oversimplification since other potency criteria of stem cells should be assessed for a successful therapeutic transplantation.

ABSTRACT
Terapi sel punca sudah diimplementasikan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Namun, kendala teknis mendesak kita untuk menyediakan satu medium penyimpanan bagi sel punca yang sudah siap guna. Penyimpanan ini bersifat sementara dan tidak boleh membuat kualitas sel punca rusak. Oleh sebab itu, penelitian ini berupaya untuk menyelidiki kualitas sel punca mesenkimal yang diperoleh dari tali pusar (hUCMSCs)viabilitas dan kemampuan berproliferasi PDTketika ia disimpan di dalam phosphate buffered saline PBS selama 168 jam. Penelitian ini menggunakan hUCMSCs passage 9 yang dibagi menjadi 8 kelompok 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96 dan 168 jam dengan masing-masing 4 observasi. Setelah waktu yang ditentukan lewat, sampel dari sel punca diambil untuk menentukan viabilitas, serta didapatkan nilai rata-ratanya. Juga, 10,000 sel ditanam pada multi-well plate dan mereka dipanen pada saat mereka mencapai konfluensi 70-80% untuk mendapatkan PDT, serta nilai rata-ratanya. Hitungan yang didapat dari viabilitas dan PDT kemudian diperiksa menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji Levene, tetapi mereka gagal memenuhi kondisi distribusi normal dan persebaran data yang homogen. Oleh sebab itu, uji Kruskal-Wallis dipakai dan, ketika hasilnya dibandingkan dengan waktu 0 jam, viabilitas sel pada 6 jam dan PDT sel pada 3 jam sudah menunjukkan perbedaan yang signifikan P0.05. Dengan mempertimbangkan rekomendasi FDA tentang terapi sel punca dan signifikansi statistik untuk viabilitas dan PDT, dapat disimpulkan bahwa hUCMSCs hanya dapat disimpan di dalam PBS kurang dari 3 jam untuk transplantasi yang optimal. Namun, rekomendasi klinis ini merupakan sebuah penyederhanaan karena kriteria potensi dari sel punca yang lain juga perlu dinilai untuk sebuah terapi yang sukses"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yausep, Oliver Emmanuel
"Pendahuluan: Sel induk baru-baru ini menjadi topik yang menarik karena kemampuan mereka untuk memperbarui diri dan keserbagunaan, meringankan penyakit mulai dari gangguan graft versus inang sampai sirosis hati. Sayangnya, masalah administrasi dan teknis yang ditemui dalam pengaturan klinis dapat menunda pemberian sel punca. Ini membutuhkan mode penyimpanan sementara untuk sel-sel induk yang tidak hanya akan mempertahankan sel-sel induk, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mempertahankan kualitasnya. Studi ini, mengevaluasi saline fisiologis sebagai solusi untuk menangguhkan bagian 9 sel induk mesenkim yang berasal dari tali pusat manusia (hUC-MSCs).
Metode: Parameter yang dinilai dalam hal ini studi akan viabilitas dan kapasitas proliferatif (diukur dalam PDT) dari hUC-MSCs dalam suspensi lebih dari 168 jam, dengan 4 pembacaan diambil pada setiap 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96, dan 168 jam. Analisis statistik dari data yang dikumpulkan dilakukan untuk membandingkan data dengan baseline.
Hasil: MSC ditangguhkan dalam viabilitas retensi garam> 70% hingga 96 jam. Analisis statistik menghasilkan perbedaan yang signifikan dengan baseline dari 24 jam dan seterusnya untuk viabilitas dan 6 jam untuk PDT. Ini berarti bahwa MSC sudah mulai kehilangan kapasitas proliferasi dari 6 jam.
Kesimpulan: Kesimpulannya, hUC-MSCs hanya dapat disimpan selama <6 jam dalam larutan garam untuk kualitas optimal. Namun, kesimpulan ini tidak cukup untuk mendukung klinis pedoman sebagai sel induk memiliki sifat-sifat lain seperti imunosupresif, diferensiasi dan kapasitas sekresi faktor yang menentukan potensinya dan ini juga harus dievaluasi sehubungan dengan suspensi dalam saline.

Introduction: Stem cells have recently been a topic of interest due to their ability to self renew and versatility, alleviating diseases ranging from graft versus host disorder to liver cirrhosis. Unfortunately, administrative and technical issues encountered in clinical settings may delay the administration of stem cells. This calls for a temporary mode of storage for stem cells that will not only preserve the stem cells, but also allow them to retain their quality. This study, evaluates physiologic saline as a solution to suspend passage 9 human umbilical cord-derived mesenchymal stem cells (hUC-MSCs).
Methods: The parameters assessed in this study will be viability and proliferative capacity (measured in PDT) of hUC-MSCs in suspension over 168 hours, with 4 readings taken at each 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96, and 168 hours. Statistical analysis of collected data is done to compare data to baseline.
Results: The MSCs suspended in saline retained viability >70% for up to 96 hours. Statistical analysis yielded significant difference with baseline from 24 hours onwards for viability and 6 hours for PDT. This means that the MSCs have started losing proliferative capacity from 6 hours.
Conclusion: In conclusion, hUC-MSCs can only be stored for <6 hours in saline for optimum quality. However, this conclusion is insufficient to support a clinical guideline as stem cells have other properties such as immunosuppressive, differentiation and factor secretion capacities that determine their potencies and these should also be evaluated with respect to suspension in saline.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agarwal, Raksheeth
"Sel punca mesenkim yang berasal dari tali pusat manusia (hUC-MSCs) biasanya digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit karena pembelahan multipotensial dan kemampuan imunomodulator. Masalah yang saat ini dihadapi dalam menerapkan transplantasi sel induk adalah keterlambatan karena proses administrasi. Akibatnya, sel punca harus dikembalikan ke laboratorium untuk dikultur ulang dan menyebabkan proses melakukan transplantasi terlambat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah solusi DMEM Glukosa Tinggi dapat digunakan sebagai solusi penyimpanan sementara sel yang akan ditransplantasikan. Dalam percobaan ini, hUC-MSC ditempatkan dalam suspensi dalam larutan DMEM Glukosa Tinggi pada 4oC.
Hasil dalam bentuk viabilitas dan kapasitas proliferasi berdasarkan populasi doubling time (PDT) sel induk diukur pada 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96, dan 168 jam. Metode Pengecualian Trypan Blue dan hemositometer standar digunakan untuk mengukur viabilitas dan perhitungan PDT. Tes Kruskal-Wallis digunakan untuk menganalisis data. Eksperimen ini menghasilkan viabilitas sel punca dipertahankan lebih dari 70% selama 96 jam, tetapi berbeda artinya setelah 72 jam (P <0,05). PDT berbeda secara signifikan setelah 24 jam (P <0,05). Untuk menyimpulkan, solusi DMEM Glukosa Tinggi dapat digunakan sebagai media penyimpanan sementara HUC-MSCs hingga 24 jam. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan kemampuan divisi dan imunomodulasi.

Mesenchymal stem cells derived from the human umbilical cord (hUC-MSCs) are commonly used in the treatment of various diseases due to multipotential cleavage and immunomodulatory abilities. The problem currently faced in implementing stem cell transplants is delays due to administrative processes. As a result, the stem cells must be returned to the laboratory for re-culture and cause the process of carrying out transplants too late. This study aims to determine whether the High Glucose DMEM solution can be used as a temporary storage solution of cells to be transplanted. In this experiment, hUC-MSCs were placed in suspension in a High Glucose DMEM solution at 4oC.
The results in the form of viability and proliferation capacity based on population doubling time (PDT) of the stem cells are measured at 0, 3, 6, 24, 48, 72, 96, and 168 hours. Trypan Blue Exclusion Method and standard hemocytometer are used to measure viability and PDT calculations. The Kruskal-Wallis test is used to analyze data. This experiment resulted that the viability of stem cells was maintained by more than 70% for 96 hours, but differed in meaning after 72 hours (P <0.05). PDT was significantly different after 24 hours (P <0.05). To conclude, High Glucose DMEM solution can be used as a temporary storage medium of hUC-MSCs for up to 24 hours. However, further research is needed to determine the ability of division and immunomodulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helsy Junaidi
"Latar belakang: Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi, bahan kimia, listrik dan radiasi. Penggunaan terapi sel punca khususnya sel punca mesensimal asal jaringan lemak manusia hADSC diharapkan menjadi solusi efisien dalam mengatasi masalah luka bakar karena diharapkan dapat membantu penutupan luka melalui re-epitelialisasi spontan pada luka bakar dalam. Penggunaan gel kolagen sapi sebagai pembawa hADSC diharapkan mampu menjaga sel punca tetap berada di area luka.
Metode: Penelitian dilakukan pada tikus model luka bakar Sprague dawley . Masing-masing tikus mendapat tiga luka yaitu kontrol K , hADSC dalam gel kolagen sapi dan gel kolagen sapi. Penutupan luka diobservasi setiap hari sampai hari tikus dikorbankan hari ke-7,hari ke-14, hari ke-21 dan hari ke-28 kemudian dilakukan pengamatan secara makroskopis, penjalaran re-epitelialisasi secara mikroskopis, kualitas re-epitelialisasi densitas kolagen, jumlah lapisan epitel dan jumlah juluran epitel dan deteksi DNA manusia pada kulit tikus menggunakan metode PCR.
Hasil: Penutupan luka secara makroskopis menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara perlakuan hADSC dalam gel kolagen sapi dengan kontrol p 0.001 dan antar kelompok hADSC dalam gel kolagen sapi dengan kelompok gel kolagen sapi. Persentase penjalaran re-epitelialisasi pada perlakuan hADSC dalam gel kolagen sapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol dan kelompok gel kolagen sapi. Kualitas re-epitelialisasi ditunjukkan dengan jumlah lapisan epitel dan jumlah juluran epitel pada kelompok perlakuan hADSC dalam gel kolagen sapi lebih banyak dan berbeda bermakna dengan kontrol dan gel kolagen sapi. Kelompok perlakuan hADSC dalam gel kolagen sapi mempunyai densitas kolagen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol dan kelompok gel kolagen sapi. Deteksi keberadaan DNA manusia pada jaringan kulit tikus, ditemukan sampai pengamatan hari ke-28.
Kesimpulan: pemberian hADSC dalam gel kolagen sapi pada tikus model luka bakar dalam memberikan kualitas re-epitelialisasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol dan gel kolagen sapi.

Backgrounds: Burns are damage and loss of tissue due to contact with sources that have very high temperatures, chemicals, electricity and radiation. The use of stem cell, especially human adipose derived stem cells hADSC is expected to be an efficient solution in dealing with burns as it is expected to help wound closure through the spontaneous re epithelialization of deep dermal burn. The use of bovine collagen gel as a carrier hADSC is expected to keep stem cells in the wound area.
Method: This study used 20 male Spargue Dawley rats. Each rat received three wounds with different treatments control, hADSC in bovine collagen gel and bovine collagen gel. The wound closure was observed every day until the day of the rat was sacrificed day 7, day 14, day 21 and day 28 , and then done macroscopic observation, propagation of re epithelialization, re epithelialization quality collagen density, the number of epithelial layers and the number of epithelial rate ridge and the detection of human DNA on rat skin using the PCR method.
Result: The wound closure macroscopically showed a significant difference between the hADSC in the bovine collagen gel group with control group p 0.001 and between the hADSC in the bovine collagen gel group with the bovine collagen gel group. The percentage of re epithelialisation propagation in hADSC in bovine collagen gel was higher when compared with control and bovine collagen gel group. The quality of re epithelialization that showed by the number of epithelial layers and the number of epithelial rate ridge in the hADSC in the bovine collagen gel group significantly different from the control and bovine collagen gel group. The hADSC in the bovine collagen gel group had a higher collagen density compared to the control and the bovine collagen gel group. Detection of human DNA in rat skin tissue, showed the presence of human DNA still found until observation of the 28th day.
Conclusion: Application of hADSC in bovine collagen gel in deep dermal rat burns model provides better re epithelialization quality when compared with control and bovine collagen gel.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Eddy T.M.
"Ruang lingkup dan metode penelitian
Spesies radikal babas dan derivatnya berperan sangat panting pada cedera sel. Sampai saat ini penelitian untuk membuktikan peran obat golongan penghambat sistem renin angiotensin (SRA) dalam cedera sel adalah dengan model cedera iskemia-reperfusi. Cedera sel akibat iskemia-reperfusi disebabkan oleh pembentukan spesies oksigen reaktif yang berlebihan. Dari beberapa penelitian tersebut terbukti bahwa cedera sel dengan model cedera iskemiareperfusi dapat dihambat oleh obat golongan tersebut yang diduga bekerja sebagai antioksidan/antiradikal.
Penelitian ini ingin membuktikan lebih lanjut apakah obat golongan penghambat SRA yakni kaptopril dan losartan dapat menghambat cedera sel hati dengan model lain. Model yang digunakan adalah kerusakan atau cedera sel hati yang diinduksi dengan dengan parasetamol dosis toksik, CCI4, dan etanol. Kerusakan sel hati akibat bahan-bahan hepatotoksik tersebut disebabkan oleh metabolit reaktif baik berupa spesies oksigen reaktif atau spesies radikal babas, yang merupakan hasil metabolisme dari masing-masing bahan tersebut.
Untuk mengetahui efek proteksi kaptopril dan losartan dilakukan pengukuran kadar enzim SGOT dan SGPT, serta pemeriksaan histopatologi jaringan hati. Sedangkan untuk mengetahui apakah efek proteksi ini diperantarai oleh sifat antioksidan/antiradikal kaptopril dan losartan, dilakukan pengukuran kadar MDA hati dan MDA serum.
Penelitian ini menggunakan 54 ekor tikus putih galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 3 grup secara acak yang masing-masing terdiri dari 18 ekor. Kemudian masing-masing grup dibagi secara acak menjadi 3 kelompok. Grup P diberi parasetamol dosis tunggal 2500 mg/KgBB, grup C diberi CCI4 dosis tunggal 2 ml/KgBB. Grup E diberi etanol dengan konsentrasi bertingkat 35%, 50%, 60%, dan 70% dengan dosis 10 ml/KgBB/hari mulai dari hari pertama Sampai hari ke 4. Setiap grup tersebut terdiri dari kelompok yang tidak diproteksi, kelompok yang diproteksi dengan kaptopril, dan kelompok yang diproteksi dengan losartan. Dua puluh empat jam setelah perlakuan terakhir dilakukan laparatomi untuk pengambilan darah dan pengangkatan hati. Darah diambil untuk pengukuran kadar SGOT, SGPT, dan kadar MDA serum. Hati diangkat untuk pengukuran kadar MDA hati dan pemeriksaan histopatologi. Data kadar SCOT, SGPT, dan MDA dianalisis dengan uji statistik ANOVA satu arah dan perbandingan berganda Tukey. Data histopatologi dianalisis dengan uji perbandingan berganda non parametrik Kruska}-Wallis.
Hasil
- Hasil uji statistik kadar SCOT dan SGPT pada semua kelompok yang diproteksi dengan kaptopril atau losartan Iebih rendah secara bermakna dibanding dengan kelompok yang tidak diproteksi.
Hasil uji statistik tingkat kerusakan hati pada grup P, kelompok yang diproteksi dengan kaptopril dan losartan Iebih rendah secara bermakna dibanding dengan kelompok yang tidak diproteksi. Hasil uji statistik tingkat kerusakan hati berupa degenerasi steatosis pads grup C dan grup E, kelompok yang diproteksi dengan kaptopril dan losartan lebih rendah secara bermakna dibanding dengan kelompok yang tidak diproteksi. Tetapi tingkat kerusakan hati berupa degenerasi nekrosis pada grup C dan grup E tidak terdapat perbedaan, sehingga tidak dilakukan uji statistik.
- Hasil uji statistik kadar MDA hati pada semua kelompok yang diproteksi dengan kaptopril dan losartan Iebih rendah secara bermakna dibanding dengan kelompok yang tidak diproteksi. Perbedaan bermakna kadar MDA serum hanya ditemukan pada grup C, yaitu kelompok yang diproteksi dengan kaptopril dan losartan lebih rendah secara bermakna dibanding kelompok yang tidak diproteksi.
Kesimpulan
1. Kaptopril dan losartan dapat mencegah cedera sel hati tikus yang diinduksi dengan parasetamol, CCI4, dan etanol.
2. Mekanisme kerja obat golongan penghambat SRA dalam mencegah cedera set diduga selain karena adanya gugus -SH pada kaptopril, juga melalui hambatan efek farmakodinamik angiotensin II dalam pembentukan spesies radikal bebas dan derivatnya.
3. Obat golongan penghambat SRA mempunyai efek antioksidan/antiradikal."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T2041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parade, Magdalena
"Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>