Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Rizka
Abstrak :
Latar belakang: Chief resident merupakan bagian penting dalam proses pendidikan di program studi pendidikan dokter spesialis (PPDS). Salah satu kompetensi chief resident adalah membimbing residen juniornya, namun kompetensi ini jarang diajarkan secara formal. Telah dilakukan program pelatihan Resident as Teacher dengan durasi 5 jam untuk 20 chief resident di PPDS Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek pelatihan tersebut terhadap kemampuan membimbing chief resident.dengan menggunakan metode Kirkpatrick tingkat 1 hingga 3. Metode: Penelitian kualitatif dengan dengan rancangan fenomenologi. Rancangan fenomenologi ini berupa deskripsi perspektif chief resident dan senior mengenai peningkatan kemampuan membimbing chief resident PPDS IPD FKUI setelah mengikuti pelatihan RaT. Sesuai dengan metode evaluasi Kirkpatrick, dilakukan evaluasi kepuasan peserta pelatihan, peningkatan pengetahuan pasca pelatihan, dan Focus Group Discussion untuk chief dan residen junior. Dilakukan pula triangulasi berupa observasi ronde chief dan observasi acara ilmiah siang serta analisis kasus negatif berupa in depth interview serta studi dokumen. Hasil: Berdasarkan hasil kuesioner kepuasan peserta pelatihan, materi pelatihan RaT bermanfaat untuk chief, praktis untuk diterapkan, sesi dalam pelatihan menarik dan instruktur dapat membawakan materi dengan baik. Hasil pre dan post test serta FGD menunjukkan peningkatan pengetahuan chief resident mengenai teknik microskills dan pemberian umpan balik efektif. Materi pelatihan RaT mampu laksana namun hambatan yang didtemui adalah kesulitan mencari waktu membimbing di antara beban pelayanan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan kesulitan memberi umpan balik positif. Simpulan: Pelatihan RaT yang telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan chief resident dan mampu meningkatkan pengetahuan serta keterampilan membimbing chief resident. Sebagian besar chief resident belum dapat memberi umpan balik positif. Selain itu, waktu membimbing terbatas karena tugas pelayanan yang banyak di RSCM. ...... Background: Teaching junior resident and medical student is one of the responsibilities of chief resident. However, teaching skill is rarely trained formally to them. A format of Resident as Teacher (RaT) training program was developed and conducted for 20 chief residents in Internal Medicine Residency Program. The aim of this study is to evaluate the improvement of chief?s teaching skill after joining this training program, based on the first three steps of Kirkpatrick evaluation program. Methods: Qualitative research based on phenomenology study was performed within two months after the training. Program questionnaire and pre-post test were conducted to evaluate the first (reaction) and second (learning) step of Kirkpatrick evaluation method respectively. The third step (behavior change) was evaluated by performing Focus Group Discussion for chief residents and junior residents. To increase the validity of the study, triangulation by doing indirect observation or rounds, classroom based activities and document study were done. Negative case analysis was also performed to explore further about the result of FGD. Result: Based on the questionnaire, the participants were satisfied by the RaT program. Pre and post test evaluation and FGD show that there is improvement of knowledge about teaching and giving effective feedback. FGD results supported by observations and document study show that chiefs applied the microskills technique but had difficulty in giving positive feedback, as well as finding appropriate time for discussion within very busy schedule of junior resident in the main teaching hospital. Conclusion: The training fulfills the need of chief resident, improves knowledge of teaching method and giving constructive feedback. However the chief residents was not used to give positive feedback to the junior residents and the busy clinical situation was identified as barrier to effective chief to junior resident learning process.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devrizal Hendry
Abstrak :
Latar belakang: Gangguan pendengaran sensorineural pada pilot merupakan masalah kesehatan yang dapat menyebabkan inkapasitasi pada saat pilot menjalankan tugas terbangnya dan berdampak terhadap keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko gangguan pendengaran sensorineural di antara pilot sipil di Indonesia. Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling pada tanggal 4-20 Mei 2015 terhadap pilot laki-laki berusia 20-60 tahun dan pilot memiliki lisensi Commercial Pilot License (CPL) atau Air Transport Pilot License (ATPL) yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (medex) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Gangguan pendengaran yaitu subyek memiliki ambang dengar 25 dB atau lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara memakai kuesioner. kemudian data diambil dari rekam medis pada hari pemeriksaan. Risiko gangguan pendengaran sensorineural dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox. Hasil: Selama 3 minggu masa pengumpulan data terdapat 681 pilot yang melakukan medex di Balai Kesehatan Penerbangan, didapatkan 314 pilot yang memenuhi kriteria penelitian. Sebanyak 15,9% mempunyai gangguan pendengaran sensorineural. Pilot dengan jam terbang total lebih 5000 jam dibandingkan kurang 5000 jam berisiko gangguan pendengaran sensorineural 4,7 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=4,73; p=0,137]. Pilot dengan usia 45-60 tahun dibandingkan usia 20-44 tahun berisiko gangguan pendengaran sensorineural 6,8 lipat (RRa=6,87; p=0,000). Simpulan: Jam terbang total 5000 jam atau lebih serta usia 45-60 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada pilot sipil di Indonesia.
Background: Sensorineural hearing loss in civil pilots could interfere pilots? performance to safely operate an aircraft thus could cause incapacitation on board. This study aimed to identify risk factors of sensorineural hearing loss among civil pilots in Indonesia. Methods: A cross-sectional study design with purposive sampling on 4-20 May 2015 was conducted on pilots of the male civilian. The inclusion criteria civilian pilots male 20-60 years old and had Commercial Pilot License (CPL) or Air Transport Pilot License (ATPL) who were taking medical examinations (medex) in Civil Aviation Medical Centre, Jakarta. Hearing impairment defined by hearing threshold of 25 dB or more. Demographic data were collected by interviewed pilots using questionnaires while audiometry and laboratory data were collected from medical records. Risk factors of sensorineural hearing loss were analyzed by Cox regression. Results: Three weeks collecting data had 681 pilot conducted medex in Civil Aviation Medical Centre, among 314 commercial pilots were fulfilled the criteria?s. Percentage of sensorineural hearing loss from audiometry data were 15.9%. Subjects with 5000 flight hours or more had almost five times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects with less than 5000 flight hours [adjusted relative risk (RRa) = 4.73; p = 0.137]. Subjects aged 45-60 year-old had almost seven times increased risk of sensorineural hearing loss compared to subjects aged 20-44 year-old (RRa= 6.87; p = 0.000). Conclusion: Total flight hours 5000 hours or more and age of 45-60 years increased the risk of sensorineural hearing loss among civilian pilots in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Sri Darmayani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien memerlukan upaya peningkatan kolaborasi antar tenaga kesehatan. Salah satu hambatan terbentuknya kolaborasi yang efektif adalah stereotip. Stereotip merupakan persepsi atau cara pandang mengenai seseorang atau sekelompok orang. Penelitian ini bertujuan mengekplorasi persepsi peserta didik profesi kesehatan dan praktisi kesehatan tentang stereotip. Metode. Penelitian ini menggunakan disain studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan sampel menggunakan maximum variety sampling yang melibatkan mahasiswa tahap akademik, mahasiswa tahap profesi dan praktisi kesehatan. Pengambilan data primer dilakukan melalui diskusi kelompok terarah. Analisis data dilakukan dengan analisis tematik. Hasil. Diskusi kelompok terarah dilakukan sembilan kali dengan total responden 71 responden. Responden peserta didik tahap akademik dan tahap profesi terdiri dari program studi pendidikan dokter, program studiilmu keperawatan dan program studi farmasi. Setiap program studi diwakili oleh delapan responden. Untuk praktisi kesehatan terdiri dari delapan dokter, delapan perawat dan tujuh apoteker. Terdapat empat tema yang diperoleh yaitu tipe stereotip, faktor yang memengaruhi terbentuknya stereotip, implikasi stereotip dan cara mengatasi stereotip.Pembentukan sterotip ini dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang profesi lain, setting pelayanan, kultur hierarkis, pengalaman individu terkait pelayanan kesehatan dan pandangan masyarakat. Stereotip menyebabkan hambatan pada komunikasi, menurunkan kepercayaan diri pada profesi kesehatan tertentu. Stereotip ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kompetensi profesi, knowledge sharing antar profesi, pengenalan peran dan kompetensi profesi serta mempunyai tujuan untuk keselamatan pasien. Simpulan. Stereotip positif dan negatif terdapat pada semua profesi yang memberikan dampak negatif pada kolaborasi. Stereotip ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang profesi lain, setting pelayanan, kultur hierarkis, pengalaman individu dan pandangan masyarakat tentang profesi kesehatan. Untuk mengatasi hal itu diperlukan adanya pengenalan peran profesi lain dan refleksi diri dari setiap individu. Selain itu diperlukan adanya pendidikan interprofesi untuk mengatasi pembentukan stereotip sehingga dapat meningkatkan kualitas kolaborasi pelayanan interprofesi
ABSTRACT
Background. Effective and efficient health services require efforts to increase collaboration between health professionals. One of the barrier of effective collaboration is stereotypes. Stereotypes represent perceptions or perspectives about a person or group of people. This study aims to explore perceptions of health professional students and practitioners regarding stereotypes. Methods. This study was a qualitative study with phenomenology approach. Samples were selected using maximum variety sampling method, involving students from both academic and clinical stages as well as health practitioners. Primary data collection was conducted through focus group discussion. Data obtained were analyzed using thematic analysis. Results. Nine focus group discussions were conducted with 71 respondents. Eight students of three health professions study programs were involved in this study, representing study programs of medicine, nursing, and pharmacy. Eight medical practitioners, eight nurses, and seven pharmacists were also involved in focus group discussions representing health professionals. Four themes were identified from this study including types of stereotypes, factors affecting stereotypes formation, implications of stereotypes, and how to overcome stereotypes. Stereotype formation was affected by the lack of understanding of other health professions' role, hierarchical culture, personal experience in receiving healthcare, and community view. Stereotypes among health professionals caused obstacles in healthcare team communication and reduced self-confidence in certain health professionals. These stereotypes may be overcome through competency development and knowledge sharing among professionals as well as introduction of other health care professionals' roles and competences so that each profession possessed similar goals for patients' safety. Conclusion. Both positive and negative stereotypes affected collaboration negatively. Stereotypes were greatly affected by the lack of understandings, healthcare settings, hierarchical cultures, personal experiences, and society view regarding certain health profession. Therefore, understanding of other professions' role and self-reflection were important, as well as interprofessional education (IPE) and collaborative practice (IPCP) to overcome the stereotypes formation.
2019
T55559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhyar Dyni Zakyah
Abstrak :
Pendahuluan: Dalam pendidikan kedokteran, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penilaian yang diberikan oleh dosen tidak selalu sesuai dengan kemampuan mahasiswa yang sesungguhnya. Dampaknya dapat merugikan mahasiswa, dosen, bahkan pasien. Penelitian mengenai fenomena penilaian kompetensi mahasiswa yang kurang tepat, yang disebut dengan failing to fail, belum pernah dilakukan di pendidikan kedokteran gigi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena failing to fail pada dosen kedokteran gigi di Indonesia.  Metode: Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunakan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap 10 narasumber. Transkrip wawancara dibuat secara verbatim dan dianalisis menggunakan metode SCAT (Steps for Coding and Theorization). Analisis dokumen dipilih sebagai metode triangulasi data serta prosedur member checking dilakukan untuk validasi data.  Hasil penelitian: Bentuk asesmen berupa diskusi kasus, observasi pekerjaan klinik, OSCE, ujian komprehensif, DOPS, dan Mini-CEX. Bentuk failing to fail terdiri dari pengurangan jumlah requirement, penurunan standar, dan perubahan bentuk asesmen. Penyebab failing to fail: Tahap pre-decision, profesionalisme dan persepsi dosen terhadap asesmen yang keliru, kemampuan dosen kurang dalam melakukan asesmen, keterbatasan waktu pelaksanaan asesmen dan rasio dosen dan mahasiswa yang tidak ideal. Tahap driver, ketidakpahaman dosen terhadap tingkat kompetensi, adanya fenomena failing to pass, rubrik penilaian tidak ada atau sulit digunakan,sarana dan prasarana tidak memadai, serta performa mahasiswa yang buruk secara klinis dan profesionalis. Tahap primary decision, keahlian dosen bukan pada materi yang diujikan, adanya keinginan dosen untuk menjaga hubungan baik dengan mahasiswa atau orangtuanya. Tahap communication, adanya anjuran dari atasan dan tidak adanya program remedial. Dampak failing to fail dapat terjadi pada dosen, mahasiswa, pasien, dan profesi dan institusi pendidikan. Kesimpulan: failing to fail harus dicegah dengan cara memberikan pelatihan asesmen dan profesionalisme serta menyediakan sistem dukungan bagi dosen; memberikan pelatihan asesmen dan menyediakan sistem dukungan bagi mahasiswa; serta membuat sistem asesmen yang optimal dan rasio dosen dan mahasiswa ideal agar bisa menyediakan program remedial bagi mahasiswa. ......Introduction: In medical education, several studies have shown that assessments provided by clinical instructors are only sometimes consistent with the actual competencies of medical students. This condition can harm students, clinical instructors, and even patients. Research on inadequate student competence assessment, known as "failing to fail," has not yet been conducted in dental education in Indonesia. This study aims to explore the failing to fail phenomenon among dental clinical instructors in Indonesia.  Methods: This descriptive qualitative study employed in-depth interviews with ten respondents. Interview recordings were transcribed verbatim and analysed using the SCAT (Steps for Coding and Theorisation) method. Document analysis was chosen as a data triangulation method, and member-checking procedures were conducted for data validation.  Result: Assessment methods included case discussions, clinical work observations, OSCE (Objective Structured Clinical Examination), comprehensive exams, DOPS (Direct Observation of Procedural Skills), and Mini-CEX (Mini-Clinical Evaluation Exercise). Failing to fail was found in reducing requirements, lowering standards, and changing the assessment format. The causes of failing to fail were categorised into four stages. The pre-decision stage consists of incorrect perceptions of assessment by instructors, inadequate assessment skills of instructors, limited assessment time, and an unfavourable faculty-to-student ratio. In the driver stage, instructors' lack of understanding of competency levels, the phenomenon of failing to pass, the absence or difficulty in using assessment rubrics, inadequate facilities and resources, and poor clinical and professional performance of students were the contributing factors to failing to fail. In the primary decision stage, instructors' lack of expertise in the tested material and the desire to maintain good relationships with students or their parents were the factors. In the communication stage, there were recommendations from the faculty and a need for remedial programs. Failing to fail can affect instructors, students, patients, and the public image of the profession and educational institutions.  Conclusion: Failing to fail should be prevented by providing assessment and professionalism training and establishing support systems for instructors, providing assessment training and support systems for students, and creating an optimal assessment system and an ideal faculty-to-student ratio to facilitate remedial programs for students.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Ainur Pamungkas
Abstrak :
Pendahuluan : Pembelajaran tahap klinis merupakkan pembelajaran berbasis work-placed based. Pada tahap ini peserta didik belajar secara langsung mempraktikan keilmuan yang dimiliki dan mengembangkan karakter seorang dokter melalui panduan pengajar klinis. Peserta didik memiliki kemampuan untuk menilai dan meniru karakter yang dimiliki oleh pengajar klinis. Peserta didik memiliki kecenderungan untuk mudah mencerna perilaku negatif dibandingkan perilaku positif. Karakter pengajar klinis menjadi penting dalam pembelajaran berbasis role model. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi karakteristik pengajar klinis pada pendidikan dokter di Indonesia. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan menggunakan maximum variation sampling pada kelompok pengelola prodi, peserta didik dan pengajar di tahap pembelajaran klinis. Penelitian dilakukan di empat institusi fakultas kedokteran di Indonesia (UNIBA, UKI, UNPATTI dan UI). Analisis konten dilakukan pada Focus Group Discussions (FGD) dan In Depth Interviews (IDI). Hasil : Sebanyak 32 peserta didik yang berpartisipasi dalam empat FGD dan delapan pengajar klinis dan pengelola prodi yang berpartisipasi dalam IDI untuk menjabarkan karakter ideal pengajar klinis di Indonesia. Terdapat 504 pendapat yang teridentifikasi dan dikelompokan kedalam 38 tema karakteristik. Sikap menghargai menjadi karakter yang sangat diharapkan dimiliki pengajar klinis diikuti sifat terbuka dan mampu memberikan umpan balik konstruktif. Terdapat empat buah karakter khusus yang hanya dimiliki pengajar klinis di Indonesia yakni kemampuan berbagi pengalaman, mengajarkan prinsip dasar kedokteran, pribadi religius dan disiplin. Sebagian contoh yang diberikan peserta didik berupa aspek negatif dari pengajar klinis. Simpulan : Terdapat tujuh belas karakter dari 38 karakter ideal bagi pengajar klinis pendidikan dokter di Indonesia yang memiliki kesamaan dengan karakter negara barat dan negara timur. Karakter baru pada Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kebutuhan karakter pengajar pada setiap tempat yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sebagai tambahan, terdapat proses pembelajaran negative role model yang diobservasi oleh peserta didik. ......Introduction: At the clinical learning stage, students learn to practice their knowledge and develop their character through a clinical teacher's guide. Students can assess and imitate the character possessed by clinical teachers. The character of clinical teachers becomes important in role models. This study aims to explore the characteristics of clinical teachers in medical education in Indonesia. Methods: This is a qualitative study using the phenomenological approach. Respondents were recruited using maximum variation sampling in groups of program managers, students, and lecturers at the clinical stage at four medical faculties in Indonesia (UNIBA, UKI, UNPATTI, and UI). We used content analysis on Focus Group Discussions (FGD) and In Depth Interviews (IDI). Results: A total of 32 (students) and eight (teachers and program managers) participated in four FGDs and eight IDIs. There are 504 opinions identified and grouped into 38 characteristic themes. "Respect for others" is a highly expected character, followed by being "openness" and "able to provide constructive feedback". There are four new characteristics: "ability to share experiences", "teach basic principles of medicine", "religious personality", and "discipline". Some of the examples given by students are negative aspects of clinical teachers. Conclusion: There are seventeen characteristics of clinical teachers in Indonesia similar to characters in western and eastern countries. The new character of Indonesia shows that there are differences in teachers' character needs in each place with a different background. Learning by negative role models was carried out by students in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwan Rinaldi
Abstrak :

Entrustable professional activities (EPA) adalah kerangka kerja asesmen dengan pemberian tanggung jawab dari staf pengajar kepada peserta didik untuk dilakukan tanpa supervisi setelah peserta didik memiliki kompetensi yang memadai. EPA diharapkan dapat menjembatani kinerja sehari-hari peserta didik, kompetensi yang dimiliki dan supervisi yang sesuai sehingga meningkatkan secara sinergis keselamatan pasien dan kualitas pendidikan. Tujuan penelitian adalah menetapkan aktivitas residen program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam sebagai EPA dalam kurikulum pendidikan berbasis kompetensi program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Penelitian dilakukan dengan desain kualitatif yang meliputi telaah pustaka, panel ahli (expert panels) untuk menentukan daftar aktivitas residen program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia yang dapat ditetapkan sebagai EPA menggunakan kuesioner Taylor dkk, serta pengambilan kesimpulan pendapat pemangku kepentingan melalui metode Delphi terhadap butir EPA yang telah disusun menggunakan kuesioner Hauer et al. Diskusi paneh ahli penelitian ini menghasilkan  28 EPA terbaru melalui penilaian kelayakan EPA sebagai unit kerja, esensi, dan peran menggunakan kuesioner Taylor dkk.  Metode Delphi menetapkan 28 butir EPA dapat diterima (Content Validity Index ≥ 80%). Pada analisis statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna. Akhir tahap pendidikan butir EPA menunjukkan sebagian besar variasi yang tidak berbeda bermakna antara keempat kelompok dalam menentukan akhir tahap pendidikan suatu butir EPA.

 


Entrustable professional activities (EPA) is an assessment framework where teaching staff gives students responsibility to be carried out without supervision after students have sufficient competence. EPA is expected to be able to bridge daily performance of students, their competencies, and appropriate supervision so as to synergistically improve patient safety and education quality. Objective of this study was to determine activities of internal medicine resident as EPA in the competency-based educational curriculum of Indonesian internal medicine specialist education program. The study used a qualitative design which included literature review, expert panels to determine list of resident activities in Indonesian internal medicine specialist education program that could be designated as EPA using questionnaire by Taylor et al and drawing conclusions on stakeholder opinions through Delphi method on EPA items. Expert panel discussion resulted in 28 new EPAs through assessment using questionnaire by Taylor et al. The Delphi method determines that 28 EPA items are acceptable (Content Validity Index ≥ 80%). In statistical analysis, there was no significant difference. At the end of the education stage, the EPA item shows most of the variations do not differ significantly between the four groups in determining the final stage of education for an EPA item.

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Rohdiana
Abstrak :
Gangguan pendengaran sensorineural merupakan salah satu komplikasi pada otitis media supuratif kronik (OMSK). Kelainan ini bisa bersifat sementara atau permanen dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan audiometri konvensional, masking dan tes Sensorinural Acuity Level (SAL) dapat menilai seberapa besar kejadian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK dan faktor yang berhubungan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang bersifat deskriptif analitik yang dilakukan di Poli THT RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari-Mei 2015 melibatkan 73 telinga OMSK. Gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK didapatkan sebanyak 24,7% dan umumnya terjadi pada frekuensi tinggi. Tipe OMSK, durasi penyakit, dan tipe perforasi dapat memengaruhi gangguan pendengaran sensorineural dan secara statistik bermakna. Gangguan pendengaran sensorineural terjadi pada OMSK dan pemeriksaan audiometri yang benar dapat menentukan kejadian ini. Tipe OMSK, durasi penyakit, dan tipe perforasi memengaruhi kejadian gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK.
Sensorineural hearing loss is one of the complications of chronic suppurative otitis media (CSOM). This order can be temporary or permanent and influenced by many factors. Conventional audiometry, masking, and Sensorineural Acuty Level (SAL) test can diagnose this incident. This study aims to determine the prevalence sensorineural hearing loss in chronic suppurative otitis media and related factors. This study was a cross sectional descriptif analytic which done at ENT Department Cipto Mangunkusumo Hospital periode January to May 2015 involving 73 ears of CSOM. The prevalence of sensorineural hearing loss in CSOM is about 24,7% and generally occurs at high frequency. Type of CSOM, duration of disease, and type of perforation may affect sensorineural hearing loss and statistically significant. Sensorineural hearing loss accurs in CSOM and audiometry examination can determine this condition. Type of CSOM, duration of disease, and type of perforation influence the incidence of sensorineural hearing loss in CSOM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shofiah Sari
Abstrak :
Tuba Eustachius berfungsi mengatur dan memodulasi status pneumatik dari telinga tengah dan mastoid untuk menjaga lingkungan yang sesuai untuk transmisi suara optimal oleh membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Fungsi TE merupakan faktor penting dalam patogenensis otitis media dan pembersihan ruang telinga tengah serta penting dalam keberhasilan operasi telinga tengah. Otitis media supuratif kronik OMSK adalah inflamasi kronik telinga tengah dan kavum mastoid dengan gambaran klinis adanya keluar cairan telinga berulang atau otorea melalui perforasi membran timpani yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penelitian ini ingin mengetahui sebaran dan kesesuaian hasil pemeriksaan fungsi ventilasi TE menggunakan sonotubometri dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee pada subjek OMSK tipe aman. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang pada 51 subyek yang diambil secara consecutive sampling. Hasil penelitian ini didapatkan proporsi hasil pemeriksaan ventilasi TE dengan sonotubometri normal sebanyak 35,5 dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee normal sebesar 5,9 . Uji kesesuaian dengan Kappa antara kedua alat didapatkan kesesuaian yang lemah namun secara statistik bermakna. Perhitungan kesesuaian dengan proporsi confounding didapatkan hasil yang sesuai antara kedua alat sebesar 70,6 .
Eustachian Tube ET function is to regulate and modulate pneumatic status of middle ear and mastoid cavity for maintenance of appropiate environment for optimal noise transmision by the tympanic membrane and ossicular chain. ET function is the important factor in otitis media pathogenesis and clereance of middle ear cavity also for middle ear surgery prognosis. Chronic suppurative otitis media CSOM is chronic inflamation of middle ear and mastoid cavity with reccurent ear discharge or otorrhoea through tympanic membrane perforation which occurs more than 3 months.This study is intended to investigate the proportion and association of examination on ET ventilation function with sonotubometry and impedance audiometry using automatic Toynbee on CSOM benign type subject. This study is a cross sectional descriptive research in 51 subjecst which were taken by consecutive sampling. The results is that the normal proportion of ET ventilation function with sonotubometry is 35,5 and with impedance audiometri using automatic Toynbee is 5,9 . The correlation test with Kappa from the two devices is weak but is statistically significant. Another correlation test with confounding proportion indicates that the two devices match at 70,6 .
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55688
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Woro Paramyta
Abstrak :
ABSTRAK
Sumbatan hidung merupakan keluhan tersering yang ditemukan pada praktek THT sehari-hari. Penyebab sumbatan hidung multifaktorial dan dapat disebabkan faktor struktural ataupun mukosa. Pemeriksaan sumbatan hidung dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Hidung tersumbat juga dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup seseorang. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara pemeriksaan subjektif menggunakan kuisioner Nasal Obstruction and Symptom Evaluation NOSE , dan secara objektif menggunakan Peak Nasal Inspiratory Flowmeter PNIF dan Rinomanometri Aktif Anterior untuk mendiagnosis sumbatan hidung pada subjek dengan deformitas hidung. Deformitas hidung yang masuk dalam penelitian ini adalah, crooked nose, saddle nose, gangguan katup hidung dan septum deviasi. Penelitian ini juga akan mencari hubungan sumbatan hidung terhadap kualitas hidup berupa sleep disordered breathing. Penelitian ini adalah penelitian studi potong lintang dengan desain analitik pada 52 percontoh deformitas hidung dan 10 percontoh normal yang diambil secara berurutan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan Bootstrap. Tahanan hidung populasi normal pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,172 Pa/cm3/detik, dan pada populasi deformitas hidung sebesar 0,173 Pa/cm3/detik. Hasil dari penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara NOSE dan PNIF serta NOSE dengan rinomanometri. Didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemeriksaan PNIF dan rinomanometri aktif anterior.
ABSTRACT Nasal obstruction is the most common symptom in daily practice. Etiology of nasal obstruction is multi factorial and can be caused by mucosal or structural factors. Nasal obstruction also correlate with quality of life. There was subjective and objective evaluation to diagnose nasal obstruction. This study aim to evaluate the correlation between Nasal Obstruction and Symptom Evaluation NOSE questionnaire, Peak Nasal Inspiratory Flowmeter PNIF and Active Anterior Rhinomanometry to diagnose nasal obstruction in nasal deformity. Nasal deformity that include in this study were crooked nose, saddle nose, nasal valve incompetence, and deviated septum. This study also will examined correlation between nasal obstruction and sleep disordered breathing. This study is cross sectional study with analitic design on 52 subject with nasal deformity, and 10 normal subject taken consecutively with data analyzed with bootstraps method. The result of this study was nasal resistance in normal subject 0,172 Pa cm3 sec and in nasal deformity subject 0,173 Pa cm3 sec on 75 Pa pressure. There is no significant correlation between NOSE score and PNIF value also between NOSE score and rhinomanometry value. There is significant correlation between PNIF and active anterior rhinomanometry.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>