Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irawati A. Hardjosaputro
"Pada masa genroku (1688-1704), kelas pedagang dan tukang melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan taraf hidupnya sehingga mereka mempunyai peranan yang berarti dan dapat menunjang kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat yang berada di atasnya. Dengan meningkatnya taraf kehidupan sosial mereka, maka sistim pelapisan sosial pada jaman Edo (1603-1867) menjadi goyah karena lapisan masyarakat yang berada di atas kelas pedagang dan tukang, yaitu kelas militer dan petani hidupnya menjadi bergantung kepada pelayanan dan bantuan kelas pedagang dan tukang..."
1986
S13562
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ravena Retnadi Moenadjat
"Pokok masalah dari pembaharuan Meiji adalah dengan diruntuhkannya pemerintah feodal melalui perjuangan yang luar biasa. Salah seorang pelopor Restorasi Meiji adalah Saigo Takamori, dimana iawafat dengan cara yang menyedihkan setelah Restorasi Meiji dengan memikul nama sebagai penghianat. Hal tersebut sangat menarik perhatian penulis untuk membahasnya. Dimana keberadaan dari manusia seperti Saigo Takamori bagaimanapun juga mempunyai arti pada saat Jepang memasuki jaman baru yang disebut dengan Restorasi Meiji.Di dalam membuka jaman baru ada orang yang hilang lenyap begitu saja di tengah jalan, ada pula orang yang dipuji kehormatannya dengan menyanjung kejayaannya sampai terakhir kalinya. Semua orang-orang ini dapat dianggap sebagai orang penting yang mempunyai anti yang sama. Dimana mereka semua telah menjalankan pekerjaan yang mulia..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1986
S13790
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Pamiarsih
"Jepang dan AS dikenal dunia sebagai dua negara industri maju dengan perekonomian yang sangat baik. Dan Waters mengatakan bahwa suatu perekonomian hanya bisa efisien jika perusahaan-perusahaan yang ada di dalamnya juga demikian, dan suatu perusahaan hanya bisa begitu kalau para personil dan metode bisnisnya juga efisien. Sehubungan dengan itu, dapat ditarik benang merah bahwa perekonomian kedua negara itu dapat berkembang pesat, selain karena sumber daya manusianya yang berkualitas, mereka menerapkan metode bisnis atau manajemen bisnis yang efisien. Meskipun begun, Jepang dan AS menerapkan gaya manajemen yang berbeda, salah satunya dalam hal proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat dipahami karena Jepang dan Amerika adalah dua negara yang mempunyai latar be]akang sosial budaya dan masyarakat yang berbeda. Tema dalam skripsi ini adalah pengambilan keputusan dalam manajemen Jepang dan AS. Dan yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah pengaruh masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dalam manajemen Jepang dan Amerika. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengambilan keputusan dalam kedua gaya manajemen tersebut, kemudian menganalisa untuk mengetahui pengaruh masyarakat kedua negara itu terhadap proses pengambilan keputusan, dengan memakai metode deskriptif analisis. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui penganrh masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dalam manajemen gaya Jepang dan Amerika. Ringiseido dalam manajemen gaya Jepang mempunyai ciri khas yaitn cara kerja proses pengambilan keputusan ini dilakukan secara berkelompok, dari menunjuk kepada pengambilan keputusan dengan konsensus. Hal ini terbenluk karena masyarakat Jepang adalah masyarakat berkelompok, dan masyarakat vertikal. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang sangat sadar kelompok. Mereka mennberi perhatian utama pada harmonisasi atau wa dalam memihara keutuhan kelompok. Dan sebagai rnasyarakal vertikal yang memperhatikan jenjang hierarki, bangsa Jepang mengenal oyabun-kobuit, dan senpai-kohai kankei. Dalam hubungan ini terjadi hubungan resiprositi, yaitu atasan memberi bantuan kepada bawahannya, dan sebagai gantinya bawahan akan selalu siap untuk membantu atasannya. Hubungan seperti ini timbul karena mereka menyadari rasa saling ketergantungan di antara mereka sendiri. Sedangkan Amerika Serikat, top- down desicion making yang ada dalam, manajemen Amerika, mengutamakan kekuatan individu. Dalam perusahaan Amerika, peranan dan kemampuan individu menjadi perhatian utama untuk dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi. Karena itu, persaingan individu di antara mereka sangat ketat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika seseorang berhasil rnenduduki posisi penting dalam perusahaan, berarti ia telah rnampu membuktikan bahwa kemampuan individunya lebih menonjol dibandingkan yang lain. Karena itu, hak untuk mernbual keputusan menjadi wilayah eksklusif bagi manajer. Dengan demikian, masyarakat suatu negara sangat menpengaruhi pembentukan gaya manajemennya. Begitu pula dengan Jepang dan Amerika, khususnya dalam hal proses pengambilan keputusan Jepang dan dengan penekanan mereka pada kelompok, lebih mengutamakan proses pengambilan keputusan secara berkelornpok pula. Berbeda dengan Amerika yang menghargai individualiame, proses pengambilan keputusan pun ditekankan pada kemampuan individu."
2000
S15437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nungky Widyaningsih
"Di Jepang, obentou tidak hanya dianggap sebagai kotak makan siang saja, tetapi juga merupakan sarana mengekspresikan kasih sayang. Selain kaya akan nutrisi, obentou juga harus ditata sedemikian rupa agar orang-orang tertarik untuk memakannya. Di Taman Kanak-Kanak Jepang, seorang ibulah yang wajib membuatkan obentou bagi anaknya. Para ibu harus berusaha sekuat tenaga mengekspresikan atau merepresentasikan diri mereka dalam obentou tersebut agar anak-anak dapat mengikuti kegiatan di Taman Kanak-Kanak tanpa kesulitan. Untuk membuat obentou yang identik dengan kasih sayang, usaha yang melibatkan pengorbanan, pengertian, juga kreatifitas sangat dibutuhkan. Dengan membuat obentou yang menarik dan penuh nutrisi, anak-anak diharapkan tidak hanya dapat makan dengan lahap dan riang, namun juga dapat merasakan cinta sang ibu dalam obentou yang dimakannya.

Abstract
In Japan, obentou is not only just a lunch box, but also one mean to express someone_s affection. Besides the nutrition factor, obentou has to be nicely arranged and designed so that the people are interested in consuming it. In Japanese Preschool, it is the mothers who have the obligation to make the obentou for their children every morning. Mothers must have the ability to represent and express themselves through the obentou arrangement so that the children can do their daily activities well at preschool. In order to make obentou full of motherly affection, effort needs to be done. The effort made to express affection involves sacrifice, understanding, and creativity. Because of the nutritious and well arranged obentou, children are not only expected could enjoy their lunch time, but also could feel their mothers_ affection in the obentou."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13759
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Iskandariati
"Sistim stratifikasi Shi No Ko Sho adalah sistim stratifikasi masyarakat Jepang pada zaman Edo (1600-1867). Sistim stratifikasi tersebut ditetapkan secara resmi dan tegas oleh pemerintah Jepang yang pada saat itu dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu. Ieyasu berasal dari kaum Samurai dan ia berhasil mendirikan pemerintah mi_liter yang berpusat di kota Edo pada tahun 1603. Pemerintah Tokugawa secara tegas membagi masyarakat Jepang menjadi empat kelas yaitu kelas Samurai (Bushi), kelas Petani (Nomin), kelas Pengrajin (Kosakunin), dan terakhir kelas Pedagang (Shonin). Tingkatan kelas ini kemudian dikenal dengan Shi No Ko Sho, yang kemudian dilaksanakan secara keras dan kaku. Dengan adanya ketentuan mengenai pembagian kelas tersebut maka seseorang tidak dapat pindah ke tingkatan yang lebih tinggi walaupun ia memiliki kemampuan dan bakat. seseorang memperoleh tingkatan kelas di dalam masyarakat hanya berdasarkan keturunannya saja. Tujuan pemerintah Tokugawa adalah agar kelas-kelas di dalam masyarakat tidak dapat mengumpulkan kekuatan untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Tokugawa. Penguasa berusaha memecah dan memisahkan kelas yang satu dengan kelas yang lain dengan mengadakan diskriminasi-diskriminasi yang kuat. Sistim ini berlangsung hingga beberapa generasi dan akhirnya tidak dapat dipertahankan lagi karena ada beberapa faktor yang menyebabkan sistim ini runtuh. Faktor tersebut antara lain, karena adanya politik isolasi maka negara dalam keadaan damai sehingga kaum Samurai mulai kehilangan fungsinya dan hanya hidup bermewah-mewahan saja, masuklah kekuatan kelas Pedagang yang lambat faun dapat berperan dalam kehidupan pedagang. Didobraknya politik pintu tertutup oleh pemerintah Amerika sehingga pemerintah Tokugawa runtuh. Dengan runtuhnya pemerintah yang bersifat feodal tersebut maka runtuh pula sistim stratifikasi masyarakatnya. Kemudian sistim startifikasi Shi No Ko Sho dihapus oleh kebijaksanaan Kaisar Meiji."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ailah Dahlia
"Dikukuhkannya sistem keluarga tradisional Ie sebagai standar keluarga nasional dalam Meiji Minpo di zaman Meiji telah membuat keadaan perempuan Jepang lebih buruk lagi dari sebelumnya Akan tetapi di tengah tengah bangsa yang sangat patriarkat tersebut komunitas geisha justru muncul dengan sistem matriarkat yang dijalankan dengan ketatnya Skripsi ini membahas mengenai keunikan sistem matriarkat dalam komunitas geisha Kyoto serta ldquo penolakan rdquo nya terhadap dominasi kaum lelaki di zaman Meiji Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan metode deskriptif analisis Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dijalankannya sistem matriarkat dalam komunitas geisha tersebut telah membebaskan mereka dari berbagai subordinasi seperti yang telah diterima perempuan pada umumnya.

During the Meiji period, the condition of women in Japan deteriorated as a result of Ie, the Japanese traditional family system, which was further legitimized by Meiji Civil Code. The geisha community, however, created a stringently matriarchy system in the midst of a patriarchy nation. This study focuses on the uniqueness of the matriarchy system established by the geisha community of Kyoto, and its “rejection” of Meiji Period male dominance. The research conducted was primarily a literature study, using techniques of descriptive analysis, and the result show that the matriarchy system of Kyoto geisha community was able to sustain itself by means of several sub-ordinations received by women in general."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library