Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Elmiyah
"Masyarakat adat Dayat di Mamahak Besar dan Long Bangun pada dasarnya menyatu dengan alam. Hutan bukan hanya sebagai kawasan tempat tinggal, tetapi juga sebagai sumber penghidupan, sehingga memutuskan hubungan dengan hutan sama halnya memutuskan kehidupan mereka. Penelitian ini berttujuan: pertama, untuk mengetahui konsep masyarakat hukum adat Dayak di Mamahak Besar dan Long Bangun terhadap hak-hak atas tanah. Kedua, untuk mengetahui bagaimana pemerintah mengatur hak-hak masyarakat adat Dayak atas tanah dan hasil hutan di Mamahak Besar dan Long Bangun. Ketiga, untuk mengetahui bagaimana negara memberi perlindungan kepada masyarakat lokal atas tanah dan hasil hutan dalam kerangka kepentingan nasional. Metode penelitian yang dipakai adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat kualitatif. ;;"
2003
D902
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muntoha
"Lahirnya dua undang-undang di bidang pemerintahan daerah yailu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, merupakan respons pemerintah terhadap tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan desentralisasi yang Iebih luas kepada daerah Implikasi dari kebijakan desentralisasi itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam lcuat, mulai menuntut diberlakukannya syari?at Islam secara formal untuk diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa peraturan daerah (Perda) yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim dipersepsikan sebagai ?Perda-perda Bernuansa Syari?ah?.
Perda-perda bernuansa syari?ah? itu, telah menimbulkan pro clan kontra di kalangan umat Islam sendiri sehingga dalam penelitian ini diaiukan satu rnasalah pokok: Bagaimana merespons aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberlakuan syari?at Islam scara formal ? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif sedangkan kerangka teoritis yang dibangun untuk pemecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori reoeptio a contrario, teori hirarki nonna hukum, dan teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan: Perrama, teori recepixb a contrario harus dipahami bahwa berlakunya syari?at Islam adalah sebuah keniscayaan; Kedua, teori hirarki norma hukum dimaksudkan untuk mengkaji aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan keberlakuan hukum secara yuridis, yang ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan harus diposisikan dalam konteks pelimpahan kewenangan penmdangan dari pemerintah kepada daerah-daerah otonom.
Dalam penlitian yang dilakukan terhadap beberapa produk ?Perda dan Qanun bernuansa Syari?ah?, baik pada daerah otonomi khusus maupun daerah lain yang berstatus ownomi biasa ditemukan adanya berbagai hal sebagai berikut: Perramag formalisasi pemberlakuan syari?at Islam di Indonesia memiliki landasan historis-yuridis yang sangat kuat sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UU`D 1945; Kedua, kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasoa reformasi berimplikasi pada adanya peluang bagi daerah-daerah untuk memberlakukan corak hukumnya masing-masing, termasuk pemberlakuan syari?at Islam; Ketiga, jenis-jenis ?Perda dan Qanun bemuansa syari?ah? yang telah diproduk beberapa pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari empat klasifikasi: (1) jenis perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti pelacuran dan perzinaan), (2) jenis perda yang terkait dengan fashion (keharusan mernakai jilbab dan jenis pakaian laixmya di tempat-tempat tertentu), (3) jenis perda yang terkait dengan ?keterampilan beragama (keharusan pandai baca-tulis A1-Qur?an), dan (4) jenis perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah). Hal ini pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan karena merupakan produk bersama antara eksekutif dan legislatif, tetapi dari aspek materi-muatan yang diatur di dalamnya banyak yang overlap dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat atasnya.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu ditinjau kembali atas beberapa produk perda dan qanun tersebut, baik melalui judicial review maupun executive review.
The establishment of two legislations on local government, namely Act No. 22 Year 1999 and Act No. 32 Year 2004, highlights government?s response toward demand of democratization during Reformation era by issuing more decentralization policy for local govemment. The policy of decentralization has also shown robust implication particularly on several regions which possess strong Islamic character. They inquired to enforce legal Islamic syari?ah formally to be implemented locally. Accordingly, local regulation or laws were issued to lay down some aspects of Islamic teaching which is otten labeled as ?syari?ah based local laws".
The ?syari?ah based local laws? has attracted public attention specially among Muslim communities which is focused on this research by presenting a basic question; I-low to respond communities aspiration toward formally Shari 'a-isation of PERDA (Process of Making Regional Regulations based on Islamic Syari ?ah) ? This research adopts a normative judicial approach, while theoretical framework is based on the theory of reception a contrario, theory of hierarchy of legislation, and theory of decentralization in the context of unitary state system. First, theory of reception a contrario must be tmderstood in the context of basic value which obviously requires the formalization of syari?ah Secondly, that of hierarchy of legislation aims to examine aspect of rule of law in terms of legal enforcement which is determined by validity of legislation hierarchy. Finally, that of decentralization in the context of unitary state system must be positioned in the context of distribution of authority from central to local governments.
Based on this research, either in selected local governments with normal autonomy or in special autonomy, some basic Endings that can he described are as follow; first, forrnalization of syari?ah law enforcement in Indonesia has got it strong historical-judicial principle according to Article 29 (2) of the 1945 Constitution; Secondly, decentralization or autonomy policy in Indonesia after the Reformation era has brought to condition where some local government might produce their local laws in accordance with their characteristics including Islamic syari?ah. Thirdly, types of Perda and Qonun with Syari?ah basis issued by local govemments in Indonesia could be classified into four segments; (1) Type of Perda which deals with morality of communities in general (Perda of Anti-Prostitution and Adultery), (2) that of Perda which deals modesty and fashion (obligation to wear scarf or modesty in public places), (3) that of Perda which deals with religious skills (ability to read and write Al-Qur?an), and (4) that of Perda which deals with social charity funds raising (zakat, infaq and shadaqah). Those Perda must not be seen as problematic matters since those are joint products between local legislative and executive bodies. However, the matters stipulated in those Perda have overlapped with other higher legislations.
Based on that proposition, it needs to be considered that all Perda and Qonun should be reviewed, either through judicial review or executive review.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D1062
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hermayulis
"Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yang dilakasanakan pada masyarakat yang bermukin di daerah ,thak Mvi Tigo, Propinsi Sumatera Barat. Masalah yang dikaji tentang: Perkembangan hubungan kekerabatan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat matrilineal Minang dipandang dari pengamaan tanah komunal dalam hal ini adalah hak ulayat sebagai salah satu "media" pengikatnya; Dinamika perubahan penguasaan tanah komunal (tanah ulayat) menjadi tanah milik pribadi (perorangan) dalam masyarakat hukum adat matrilineal Minangkabau; Pengaruh pemilikan pribadi atas tanah terhadap perubahan hubungan kekerabatan; Pengaruh perubahan hubungan kekerabatan terhadap sistem kekerabatan dalam masyarakat hukum adat matrilineal.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat hukum adat Minangkabau terhadap tanah telah munyebabkan timbulnya pola migrasi yang berorientasi ke kampung, dalam arti selalu memelihara hubungan dengan kampung. Hubumgan rantau - kampung ini terbina dengan pola pewarisan, yang memungkinkan saling mewarisi tanah yang mereka dapat dan dapatkan dari hasil harta pencaharian. Di dalam perkembangannya, hubungan rantau- kampung dalam saling mewarisi mulai memudar, kalaupun masih ditemukan saling mewarisi, maka pola demikian terjadi di lingkungan yang terbatas pada keluarga inti yaitu terdiri dari mamak ibu - anak (kemenakan).
Semakin terpusatnya penguasaan dan pewarisan tanah kepada keluarga inti, dan diterimanya nilai dan norma pemilikan individu di tengah masyarakat, menyebabkan semakin lemahnya ikatan keluarga luas (extended family), yang ditunjukkan oleh semakin intensif dan penguasaan tanah oleh keluarga inti, adanya upaya untuk selalu mempertahankan agar tanah tetap berada pada keluarga inti. Perubahan pola penguasaan tanah ini semakin jelas dengan sertifikasi tanah yang menunjuk meta seseorang dam llama mamak kepala wrzris sebagai wakil dari anggota kerabat matrilinealnya Penguasaan tanah ulayat sebagai tanah milik komunal (bersama) yang sudah terfokus kepada penguasaan keluarga inti, telah melatarbelakangi pendapat para praktisi (khususnya BPN dan Departemen Kehutanan pada masa era Orde Baru) yang menyatakan tanah ulayat sudah tidak ada Pendapat tersebut telah mewarnai berbagai kebijakan yang berkaitan dengan tanah (khususnya tanah ulayat), sehingga kebijakan yang diambil menunjukkan tidak adanya sinkronisasi di dalam pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang telah diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan tidak adanya sinkronisasi vertikal maxima horizontal. Tidak adanya sinkronisasi vertikal terlihat dan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang tidak memungkinkan pengakuan hak masyarakat hukum adat yang diatur dengan Pasal 3 UUPA dengan bentuk-bentuk hak yang diatur di dalam Pasal 16 UUPA, kompersi hak-hak atas tanah, dan penghapusan lembaga gadai sebagai lembaga yang dianggap menyengsarakan rakyat. Tidak adanya sinkronisasi horizontal terlihat dari tidak adanya keterkaitan antara Pasal 3 UUPA dengan ketentuan Pasal 2 UUPK tentang jenis jenis hak atas tanah hutan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
D99
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maggalatung, A. Salman
"Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1114
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Oka Setiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bersifat kualitatif yang dilakukan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis Daerah Tingkat II Kabupaten Karangasem, Bali. Pemilihan ini dida­sarkan atas pertimbangan bahwa di daerah ini, desa masih memegang peranan dalam mengatur hak penguasaan atas tanah adat, tetapi dengan berlakunya HTN tanah adat telah ada berubah menjadi tanah pribadi. Masalah yang dikaji adalah perubahan hak penguasaan atas tanah adat yang berakibat terhadap peranan desa.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa tidak ada bidang tanah di wilayah desa ini dimiliki oleh warganya sebagai tanah milik pribadi yang dapat diperhunakan secara bebas oleh yang bersangkutan. Mereka menempatkan kepemilikan semua bidang tanah di wilayah itu menjadi milik desa, dengan sebutan tanah milik desa atau Tanah Adat. Wilayah ini dikua­sai dan diatur oleh desa dengan hak ulayat (prabumian desa). Bidang-bidang Tanah Adat yang berada di atas prabumian desa itu diberi nama dan dapat dimanfaatkan oleh warganya secara pribadi dengan Hak Milik Individu Terikat (HMIT), secara kelompok dan secara kelembagaan(desa atau pura) dengan Hak Milik Komunal (HMK)."
2002
D1097
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Elmiyah
"ABSTRAK
Masyarakat adat Dayat di Mamahak Besar dan Long Bangun pada dasarnya menyatu dengan alam. Hutan bukan hanya sebagai kawasan tempat tinggal, tetapi juga sebagai sumber penghidupan, sehingga memutuskan hubungan dengan hutan sama halnya memutuskan kehidupan mereka. Penelitian ini berttujuan: pertama, untuk mengetahui konsep masyarakat hukum adat Dayak di Mamahak Besar dan Long Bangun terhadap hak-hak atas tanah. Kedua, untuk mengetahui bagaimana pemerintah mengatur hak-hak masyarakat adat Dayak atas tanah dan hasil hutan di Mamahak Besar dan Long Bangun. Ketiga, untuk mengetahui bagaimana negara memberi perlindungan kepada masyarakat lokal atas tanah dan hasil hutan dalam kerangka kepentingan nasional. Metode penelitian yang dipakai adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat kualitatif. "
2003
D1046
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo Dwi Putro
Depok: 2011
D1260
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Andayani Budisetyowati
"Dalam upaya menangani masalah aktual dan konseptual otonomi daerah era reformasi, penelitian disertasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis mengenai (a) keberadaan dan hakikat otonomi daerah, (b) hubungan antara daerah otonom dan pemerintah, dan (c) hubungan antar daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tinjauan dari perspektif Ilmu Hukum Tata Negara. Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Areal Division of Powers (ADP) dari Arthur Maass yang berakar pada Teori Kedaulatan Rakyat. Teori tersebut dapat diaplikasikan pada negara kesatuan ataupun negara federal dengan instrumen utama desentralisasi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis kualitatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum pimer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat analisis, dilakukan kajian pustaka mengenai otonomi di berbagai bentuk negara. Dengan berbagai pertimbangan metodologis secara purposif negara-negara penelitian tersebut adalah Belanda, Inggris, Perancis, Filipina, dan Jepang sebagai negara kesatuan, serta Amerika Serikat dan Jerman sebagai negara federal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otonomi daerah beserta daerah otonom dan/atau pemerintahan daerahnya di negara kesatuan merupakan ciptaan Pemerintah melalui pembagian kekuasaan menurut wilayah (ADP). keberadaan, status dan lingkup kekuasaan otonomi daerah sepenuhnya bergantung pada ketentuan konstitusi dan berbagai produk hukum penjabarannya. Kekuasaan yang tercakup dalam otonomi daerag, di luar kekuasaan yudikatif. Pembagian kekuasaan diatur dalam undang-undang. Dengan diberikannya kekuasaan yudikatif dalam otonomi khusus merupakan pertanda dilakukannya desentralisasi asimetrik yang lambat laun dapat mengarah kepada terjadinya metamorphose dari negara kesatuan ke negara federasi.
Dalam negara kesatuan, kekuasaan yang diserahkan (didesentralisasikan) kepada daerah otonom tidak bersifat eksklusif. Namun otonomi daerah dapat diperbesar ataupun diperkecil bergantung pada kerangka hukum sebagai hasil konstitusi ketatanegaraan. Hubungan antara daerah otonom dan pemerintah serta antar daerah otonom tidak hierarkis tetapi merupakan hubungan antar organisasi. Namun produk hukum daerah otonom berada di bawah produk hukum pusat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1770
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raharusun, Yohanis Anton
"Disertasi ini membahas mengenai desentralisasi asimetrik dalam negara kesatuan ditinjau dari perspektif perkembangan ketatanegaraan Indonesia: studi terhadap format pengaturan asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua dalam periode 1950 sampai 2012. Dalam penelitian ini, dikaji dan dianalisis mengenai penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen-elemen dasar pemerintahan daerah meliputi: (1) urusan dan kewenangan, (2) kelembagaan (3) personil (4) sumber keuangan (5) perwakilan (6) pelayanan publik, (7) pembinaan dan pengawasan. Permasalahan yang dikaji adalah (1) apakah kebijakan otonomi khusus dalam perspektif praktik ketatanegaraan Indonesia hanya diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua. (2) penerapan desentralisasi asimetrik dapat menciptakan percepatan dan pencapaian tujuan demokratisasi ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah. (3) strategi penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dan penelitian empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus/istimewa (1950-2012) dalam praktiknya masih memperlihatkan pola sentralistik yang dominan dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah. Kebijakan desentralisasi asimetrik yang dipraktikkan di ketiga daerah tersebut memiliki karakter asimetrik yang berbeda-beda dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sesuai karakter perundang-undangan yang berlaku di ketiga daerah tersebut. Perbedaan tersebut dalam hal pengaturan tentang urusan dan kewenangan, kelembagaan, perwakilan dan sistem pemilihan kepala daerah, kebijakan fiskal dan pelayanan publik. Perbedaan asimetrik lainnya adalah, Yogya lebih didasarkan pada alasan historically driven with some culturally oriented goals, Aceh lebih didasarkan pada alasan politically driven with religiously oriented goals dan Papua lebih di dasarkan pada alasan politically driven with slight religiously oriented goals. Meskipun terdapat perbedaan penerapan berbagai elemen dasar pemerintahan daerah tersebut di atas, namun kebijakan asimetrik yang diberikan kepada ketiga daerah tersebut dalam kenyataannya lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal yang besar dapat tersebut diharapkan membawa perubahan yang siginifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Namun, dalam kenyataannya titikberat kebijakan fiskal yang besar tersebut tidak diikuti dengan penerapan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan belum dapat memberikan manfaat dan perubahan yang signifikan, terutama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan percepatan pencapaian tujuan demokrasi dan demokratisasi.
Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian sebagai jawaban terhadap research quetions dari penelitian adalah, bahwa kebijakan desentralisasi asimetrik yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal yang didasarkan pada pertimbangan politik (politicaly driven) tanpa adanya suatu grand design atau blue print kebijakan asimetrik secara menyeluruh berdasarkan elemen-elemen dasar Pemerintahan Daerah. Ketujuh elemen dasar di atas, secara integrated merupakan alat tools untuk melihat substansi asimetrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut dipakai sebagai tools untuk mempertajam penerapan desentralisasi asimetrik di ketiga daerah tersebut di atas. Penataan terhadap elemen-elemen dasar tersebut haruslah bersifat terpadu dan menyeluruh, pendekatan yang bersifat piece-meal yang dilakukan akan selalu menghasilkan outcomes yang kurang optimal bahkan seringkali menimbulkan ketegangan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang manakala pemerintah masih memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus/istimewa terhadap daerah lain di Indonesia sebagai solusi politik dalam mempertahankan integritas negara kesatuan, maka diperlukan penataan terhadap ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut merupakan suatu keniscayaan yang perlu diatur dalam payung hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena desentralisasi asimetrik dalam perspektif negara kesatuan Republik Indonesia telah memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut dapat saja dijadikan rujukan bagi Daerah lainnya di Indonesia untuk meminta status khusus atau keistimewaan yang sama seperti yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua, mengingat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut masih menimbulkan multi tafsir sehingga perlu dipertegas kembali makna ketentuan tersebut, manakala Pemerintah bermaksud akan melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945.

This study discusses asymmetrical decentralization in a unitary state viewed from the perspectives of Indonesian constitutional development. It focuses on the format of asymmetrical arrangements for Yogyakarta, Aceh, and Papua during the period of 1950 through 2012. It analyzes the specific asymmetrical characteristics of the special autonomy for the three provinces based on the 7 basic elements of a local government which comprise of: (1) local authority; (2) local institutions (3) personnel/staffing; (4) local sources of revenue, (5) representation and election system of regents, (6) public services, and (7) guidance and supervision. Specifically the issue analyzed here in this study include: (1) why the special autonomy in the perspective of the constitutional development given only to Yogyakarta, Aceh, and Papua and (2) whether the implementation of asymmetrical decentralization expected to accelerate democracy improvement and the realization of a democratic life, viewed from the perspective of the basic elements of local government, and (3) how this strategy of implementing asymmetric decentralization in Yogyakarta, Aceh, and Papua viewed from the perspective of the basic elements of local government can expedite welfare. This is a normatively legal study with a historical approach. The data collection was done through document study and interviews. The collected data were then analyzed qualitatively.
The study found that various types of local government regulations in Indonesia including the special autonomy regulations (1950-2012) in practice still indicate traces of centralistic patterns in implementing the local government elements. Through broad observation, the three provinces are seen to have differed slightly. The asymmetrical arrangements for Yogyakarta have been historically driven with some culturally oriented objectives; the asymmetrical arrangements for Aceh have been religiously driven through political maneuvers; and the asymmetrical arrangements for Papua have been politically driven with ethnic and some slight religiously oriented purposes. This discussion has been done in light of a local government elements and the implementation of asymmetric decentralization based on the local government elements. The asymmetric decentralizations implemented in three provinces have distinctive asymmetric features. They have not fully followed the asymmetric features found in the special autonomy regulations for these three provinces. The differences may be observed in the arrangements of authorization, institutions, representation and election system of regents, fiscal policies, and public services. Despite the above differences, the asymmetrical arrangements given to these three provinces have been heavily focused on fiscal policies ? which have been meant to bring about significant improvements in the running of the local governments, i.e. improvements of public services. In reality, the special autonomy has not resulted in significant improvements, particularly in the betterment of social welfare and the acceleration to reach democracy and democratization.
In summary, the asymmetrical decentralization granted for these three provinces in the form of heavily fiscal advantages, have been more politically driven without grand design or blue print of comprehensive asymmetric decentralization policy, which should have been strictly based on the local government elements. The seven basic elements are an integral tool to view the asymmetric substance to enhance prosperity and welfare of the people. The seven basic elements are utilized as tools to sharpen the implementation of asymmetric decentralization in the three regents above. Arrangement of the basic elements should be integrated and comprehensive; a piece-meal approach would always create outcomes less optimal or even cause tension between Central and Regions. Therefore, in the constitutional practices in the future, especially considering the central government still grants special policies to other regions in Indonesia as a political solution to maintain the integrity of the unitary state, then it is necessary to better arrange the seven basic elements of local governments under an umbrella law in the form of special regulations. As one may observe, asymmetrical decentralization is found in the Constitution 1945, Article 18B verse (1). It is possible for other regions in Indonesia to request special status such that granted to Yogyakarta, Aceh and Papua, remembering the Constitution 1945, Article 18B verse (1) still create multiple interpretations, such that it needs reinforcement the meaning of that clause, should the Government want to do the Fifth amendment of the Constitution 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>